Konstelasi Imajinasi

Kamis, 15 Agustus 2013

Romance of the Terza Rima

She's my past black crow
You're my present grey owl
But, who's my future white dove?

2013 (Illuminated with imagination in my bedroom)

Rabu, 14 Agustus 2013

Revolution of the Social One Project

Pernahkah kalian merasakan masa-masa SMA? Ada yang mengatakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah. Sebenarnya tergantung individu masing-masing. Ada yang memperoleh masa-masa indahnya saat SD, saat SMP, saat SMA, bahkan ada yang memperoleh masa-masa indah saat kuliah. Jika boleh jujur, maka secara pribadi akan kukatakan bahwa masa-masa indah dalam hidup kudapatkan di setiap jenjang kehidupan. Ya, begitulah. Bagiku, kehidupan itu indah.

Kali ini, aku akan menggambarkan salah satu bagian dari hidupku yang tidak akan pernah kulupa. Masa SMA. Aku sekolah di sebuah madrasah aliyah negeri yakni  di MAN 2 Model Makassar.

Ini dia nampak MAN 2 Model dahulu    




Aku diterima di kelas X-4 tahun 2008, lalu naik ke kelas XI IPS 1. Benar, aku mengambil jurusan IPS meskipun sebenarnya nilai IPA ku lebih tinggi dari pada nilai IPS. Tapi hidup itu pilihan kawan, jalan hidup telah menuntunku mengambil jurusan IPS. Aku senang. Terlebih, aku diterima di kelas XI IPS 1 yang merupakan kelas unggulan untuk IPS, aku bangga.

Saat pertama masuk, kelasnya terasa sepi, maklum hanya ada 26 orang yang mengisi kelas tersebut. Hening. Hanya bisik-bisik yang terdengar samar. Entah siapa yang bersuara. Aku tidak bisa seperti ini. Kelas macam apa ini? Diam dan tanpa kehidupan. Aku melangkah kedepan kelas, sambil mulai berbicara ke seluruh penghuni baru XI IPS 1.

“Guys, kita ini IPS 1, tunjukkan bahwa kalian pantas berada disini! Jadi tolong, ributlah! Kelas macam apa yang tidak memiliki suara di dalamnya?” Seisi kelas heran, lalu semua tertawa. Aku senang.

“Mari kita buktikan, bahwa kita ini pantas!” aku berteriak sembari mengangkat tangan kanan penuh semangat.

“Yeay, ayo!” teriak kelas yang kini bersemangat.

Aku lantas berpikir, siswa macam apa yang menyuruh seisi kelas untuk gaduh? Aku aneh.


                                     
Penghuni awal XI IPS 1. Foto diambil saat Praktek Nikah di mata pelajaran Fiqhi. Aku tidak ada di foto tersebut berhubung saat itu sedang mengikuti English Debating yang dilaksanakan oleh PERISAI-UH

Setelah itu hari-hari berjalan indah. Aku ditunjuk sebagai ketua kelas. Dan ibarat seorang raja, maka aku harus memikirkan sebuah nama untuk wilayah kerajaan. Nama XI IPS 1 sudah terlalu mainstream, sangat tidak seru. Tiga hari tiga malam aku memikirkan nama yang cocok untuk kelas ini, dan akhirnya setelah berkonsultasi dengan beberapa petinggi kerajaan, maka pada tanggal 16 Juli 2009 aku memutuskan (dan disepakati oleh rakyat kerajaan) bahwa nama resmi kelas XI IPS 1 adalah RESPECT singkatan dari Revolution of the Social One Project. Respect ini memiliki tagline, Life for Respect and Respect for Life.

Gambar yang di foto dari jaket persatuan saat porseni 


Aku mengambil nama ini karena:

1.    Terdengar keren. Misalnya seseorang bertanya “Bata, nama kelasmu apa?” dengan bangga aku menjawab “Respect!”. Keren kan?

2.    Respect merupakan sebuah kata dalam bahasa Inggris yang berarti “Saling Menghormati” atau “Saling Menghargai”. Hal itu merupakan sebuah simbol, bahwa siswa yang ada di kelas ini merupakan siswa yang humanis. Saling menghormati dan saling menghargai merupakan prinsip dasar dalam kehidupan manusia. Jika kita semua menerapkan prinsip sederhana ini, maka tidak akan ada yang namanya penghinaan, pelecehan serta penindasan. Bahkan tidak akan ada yang namanya perang. Harus kuakui, saat ini dunia kehilangan rasa saling menghargai. We only hurting each other in our life, not respect each other.  So the future will view our history as a crime.

3.    Revolution of the Social One Project yang berarti “Revolusi Proyek IPS 1” merupakan frase yang kurang dimengerti oleh beberapa orang. Namun akan kujelaskan makna di balik frase ini. Revolusi Proyek IPS 1 merupakan sebuah gagasan yang menatap jauh kedepan. Gagasan ini terdiri dari dua buah konsep yakni “Revolusi” dan “Proyek IPS 1”. Revolusi merupakan sebuah perubahan yang berlangsung secara cepat, sedangkan Proyek IPS 1 adalah sebuah proyek rahasia yang sebenarnya merupakan ego pribadiku sendiri. Aku membayangkan, bahwa orang-orang di kelas XI IPS 1 merupakan orang-orang dengan banyak sifat, karakter, dan bakat yang berbeda. Namun seperti yang kukatakan sebelumnya, mereka berjiwa humanis yang berarti mereka adalah orang-orang yang baik. Dari asumsi seperti inilah, aku berpikir bahwa mereka adalah orang-orang yang berpotensi. Maka aku yakin, potensi-potensi mereka bisa digunakan untuk membantu orang-orang disekitar kita. Tidak sampai disitu, visi proyek ini masih jauh kedepan. Mereka semua adalah orang-orang berpotensi yang berarti persentasi kesuksesan mereka itu tinggi. Oleh karena itu, jika suatu hari nanti mereka telah menjadi orang yang berhasil, maka bukan tidak mungkin kemampuan mereka digunakan untuk membangun Indonesia bahkan membangun dunia menuju ke tatanan yang lebih baik.

Setidaknya hal-hal diataslah yang kupikirkan dan kupercaya beberapa tahun yang lalu. Dan hari ini, aku masih percaya akan hal itu.

Tahun 2010, kami semua naik ke kelas XII. Kami senang namun kami juga sedih. Senang karena kami naik kelas, dan mendapat teman baru yang di-rolling dari kelas lain. Sediah karena banyak kenangan tersimpan di kelas yang lama dan kehilangan beberepa teman yang di-rolling ke kelas lain. Pe-rolling-an ini membuat populasi di kerajaan RESPECT berkurang menjadi 24 orang. Tidak mengapa, karena kami memiliki keluarga baru. Kami semua bersemangat mengawali hari baru di kelas yang baru.

Oh iya, semenjak menjabat jadi ketua OSIS (Desember 2009 yang berarti memasuki semester 2), aku bukan lagi seorang Raja di RESPECT. Aku menyerahkan tahta kepada Jihan Khadijah sebagai raja RESPECT yang kedua. Setelah naik ke kelas XII, berdasarkan hasil pemilihan umum rakyat RESPECT maka yang menjadi raja ketiga adalah Ahmad Zaky Malik. Zaky kemudian menjadi raja RESPECT yang paling baik dan paling gampang dieksploitasi. Ehm, maaf.

Tahun 2011, kami semua lulus dari MAN 2 Model Makassar. yang berarti kami harus meninggalkan wilayah kerajaan karena daerah tersebut akan diambil alih oleh generasi selanjutnya. Kami pun meninggalkan beberapa artefak sebagai bukti kejayaan kami di masa lalu. Artefak-artefak itu berupa tempelan lafadz “Allah” dan lafadz “Muhammad” yang sampai saat ini belum dilepas (karena tempatnya yang sangat tinggi dan mungkin susah diraih) serta meja guru yang telah kami jadikan prasasti berisi tanda tangan seluruh penghuni RESPECT tertanggal 30 Maret 2011. Sebuah kelas yang penuh dengan kenangan tentang kalian.

Namun aku pribadi kecewa (dan mungkin seluruh penghuni RESPECT juga) wilayah seharusnya menjadi milik generasi penerus IPS 1 kini berubah menjadi wilayah milik IPA 1. Bukan berarti aku membenci IPA, aku sangat senang dengan anak-anak IPA bahkan banyak yang bilang bahwa temanku kebanyakan anak-anak IPA. Namun yang harus kalian ketahui adalah, ada hal yang hanya bisa diwariskan dari seorang ayah kepada anaknya. Kalian mengerti maksudku? Seperti itulah. IPS 1 adalah sebuah roda yang akan terus berputar. Saling mewarisi dari satu generasi ke generasi lain. Meskipun secara umum kita semua adalah keluarga MAN 2 Model Makassar, namun secara spesifik IPS 1 hanya akan mewarisi darah IPS 1 begitupun dengan peninggalan-peninggalan termasuk wilayahnya. Itu adalah milik leluhur kami, jadi sudah sewajarnya jika itu menjadi milik kami.

Wah, tidak terasa penjelasan ini sudah semakin panjang. Mungkin itu saja perkenalan tentang RESPECT, sebuah kelas yang memiliki visi jauh kedepan. Ingat teman-teman, end of class doesn’t mean end of us. Jadi siapkah kalian mewujudkan apa yang kupercaya selama ini?


Saat Upacara kelulusan di Ballroom Mall Panakkukang, 19 April 2011...
We Grow up friend, we grow up :)

Selasa, 13 Agustus 2013

Elegi Sang Hilang

PERNAHKAH kalian merasa kehilangan?

Saat sesuatu masih bersama kita, nilainya tidak begitu terpikirkan. Namun sesuatu itu menjadi sangat berharga jika sudah tidak bersama kita. Ya, perasaan kehilangan hanya akan ada jika kita pernah merasa memilikinya. Itulah yang terjadi padaku.

Dahulu aku seorang yang memiliki segalanya, rumah yang bagaikan istana, koleksi mobil mewah, tabungan yang mencapai saldo milyaran, tanah yang tersebar di mana-mana, usaha yang kian hari kian berkembang, dan tentu saja tunangan yang jelita. Oh iya, aku juga punya yacht. Sebelumnya perlu kupertegas, bahwa aku adalah contoh nyata seorang entrepreneur sukses yang bergerak di bidang Multilevel Marketing atau biasa disebut MLM. Tidak heran jika aku memiliki kekayaan yang berlimpah. Ya, dulu. Karena itu adalah cerita lama. 

Selain dari segi materi, aku juga memiliki skill di segala bidang. Aku jago bermain badminton, jago bermain gitar, jago melukis lukisan bernuansa realis, jago silat, jago menulis cerpen, jago hacking dan aktif dalam berbagai organisasi. Soal kecerdasan, jangan ditanya. Sejak SD hingga SMA, aku tidak pernah keluar dari lingkaran tiga besar peringkat kelas unggulan. Dan saat sarjana, aku memperoleh predikat summa cumlaude dari sebuah universitas yang menurut orang universitas terbaik se-Indonesia. Tapi itu cerita lama.
Beberapa anugerah yang telah diberikan Allah tidak membuatku kufur nikmat kepada-Nya. Aku rajin menyedekahkan hartaku untuk mereka yang kurang mampu, membayar zakat, menyumbang untuk pembangunan mesjid, pesantren, panti asuhan dan berbagai amal jariah yang lain. Akumulasi dari hal-hal inilah yang membuatku merasa menjadi manusia paling berbahagia, beruntung dan mendekati sempurna. Tapi sekali lagi, itu hanyalah cerita lama.

                                                                                    *

SUATU hari di pagi cerah, aku sedang menikmati nasi goreng buatan ibu yang sedari dulu menjadi makanan favoritku. Ya, ibulah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Beliau harta yang paling berharga untukku melebihi apa pun yang kumiliki selama ini. Maka tidak heran, jika aku masih suka dibuatkan nasi goreng spesial ala Mama. Meskipun mungkin aku bisa saja membeli nasi goreng termahal di dunia, tapi masakan ibu sungguh sangat berbeda. Tidak akan pernah ada yang dapat menandingi cita rasanya. Kalian tahu kenapa? Karena ada cinta di setiap masakannya.

Musibah terjadi saat aku mencoba suapan pertama dari nasi goreng spesial ala Mama tersebut. Tiba-tiba aku tidak bisa merasakan cita rasa apa pun bahkan aku tidak dapat membau aroma khasnya.

“Nasinya hambar? Tidak biasanya seperti ini. Apa ibu sakit?” aku membatin. Aku mencoba suapan kedua, dan sekali lagi, aku tidak merasakan cita rasa apa pun, benar-benar tidak memiliki cita rasa dan aroma! 

“Ibu, ibu kesini sebentar!” Aku sedikit berteriak memanggil ibu yang sedang di dapur.

“Ada apa nak?” Ibu menghampiriku lalu bertanya.

“Coba ibu makan ini, kenapa nasi gorengnya tidak memiliki rasa dan aroma apapun?” Sembari menyodorkan piring ke Ibu yang terlihat mengernyitkan dahi.

“Tidak berasa dan tidak beraroma apanya? Nasi goreng enak begini kok dibilang tidak berasa dan tidak beraroma?” Tanya ibu setelah mencicip sesendok nasi goreng buatannya sendiri.

“Eh? Aku serius bu! Nasi goreng ini tidak berasa dan tidak beraroma!” Sekarang aku mulai heran.

“Nak, mungkin kamu sedang sakit.” Ibu terlihat khawatir.

Mendengar jawaban ibu, sontak aku menuju dapur lalu mengambil apel. Setelah kucicipi, ternyata benar. Mungkin aku sakit. Aku tidak bisa merasakan cita rasa apel yang dulu menjadi buah kesukaanku. Aku membuka kulkas dan mencoba menghirup aroma segar yang keluar dari dalam lemari pendingin tersebut. Namun nihil, aku tidak dapat membau apapun. Aku mencoba membau parfum mahal yang kusemprotkan di badanku beberapa menit lalu. Namun lagi-lagi, aku tidak dapat mencium aroma apa pun. Sekarang aku takut.

Ditemani ibu, aku menuju rumah sakit untuk memeriksakan diri. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya bisa bedoa, semoga ini bukan sesuatu yang buruk. “Maaf, saya belum bisa memastikan bapak menderita penyakit apa. Mungkin bapak menderita sebuah penyakit baru yang kami dokter pun tidak tahu penyakit seperti apa itu.” Jawaban dokter ini membuatku frustasi. Mustahil aku menderita penyakit aneh. Setelah mendengar pernyataan dari dokter tadi, siang itu aku langsung memutuskan untuk berobat ke Singapura, negara yang menurut beberapa orang merupakan salah satu destinasi pengobatan modern di dunia. Namun sama saja. Jawaban yang kuterima sama sekali tidak memuaskan.

Hari berganti hari, aku bahkan berobat hingga ke Jerman, Kanada dan Amerika. Namun lagi-lagi jawaban yang kuterima semua sama, tidak tahu. Apakah benar aku menderita penyakit aneh seperti itu? Paling tidak untuk beberapa bulan, aku percaya bahwa sebuah penyakit aneh tak bernama telah menyerang hidupku yang awalnya terasa sempurna.

                                                                                 *

HIDUP tetap berjalan, dunia pun terus berputar. Meskipun kini aku sudah tidak bisa merasakan cita rasa dan membau aroma, aku tetap mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan. Aku terus berdoa dan berikhtiar agar penyakit aneh yang kuderita bisa sembuh sehingga aku bisa kembali memulai aktivitas keseharianku tanpa hambatan. Namun keyakinan untuk sembuh itupun buyar ketika aku kehilangan kemampuan untuk bersuara. Siang itu saat aku sedang mengecek karyawan, aku kehilangan suara!

Dokter yang pernah memeriksaku dulu kembali terheran dengan apa yang kualami. Begitupun saat aku kembali memeriksakan diri ke Singapura, Jerman, Kanada, dan Amerika, mereka hanya menggelengkan kepala. Tak ada jawaban sama sekali akan penyakit yang kualami. Penyakit yang menghilangkan kemampuan indera pengecap, pembau, dan kemampuanku untuk menghasilkan suara. Belum cukup sampai disitu, aku hampir gila begitu mendengar keputusan tunanganku yang membatalkan rencana pernikahan. Cobaan apalagi yang harus kutanggung di pundak ini?

Aku semakin frustasi. Kehilangan kemampuan untuk bersuara membuatku malas menjalani hidup. Apa yang akan kulakukan tanpa suara? Namun iman di dalam hati selalu mengiring diri ini untuk tetap dekat kepada Rab Pencipta Segalanya. Aku tahu, ada rencana dibalik ini semua. Bukankah Dia Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya? Kecintaanku kepada-Nya benar-benar diuji dengan hilangnya sesuatu yang berharga, kemampuan bersuara.

                                                                                 *

JELANG dua bulan setelah hilangnya kemampuan bersuara, aku kehilangan kemampuan untuk mendengar! Aku benar-benar tidak dapat mendengar bunyi apapun. Hanya hening yang bernyanyi riang dalam duniaku yang kini bisu. Aku sudah tidak mau berobat kemanapun karena hasilnya akan sama saja. Sekarang aku pesimis. Aku kehilangan gairah hidup. Aku hanya mengurung diri di kamar meratapi nasib. Jika bukan karena dorongan ibu yang memberikanku semangat untuk terus menatap kedepan, aku mungkin akan terus berada di kamar selamanya. Aku harus terus bersyukur. Karena aku yakin, bahwa cintaku kepada-Nya kembali diuji.  

Harus kuakui, hilangnya kemampuan untuk mendengar sangat menghambat aktivitasku. Jika ingin melakukan komunikasi, maka komunikasi verbal akan menjadi hal yang mustahil. Satu-satunya cara adalah komunikasi non-verbal melalui tulisan ataupun bahasa isyarat. Bukankah hidup masih berjalan?
Namun bencana lagi-lagi datang. Saat aku berjalan menuju kamar ditemani oleh ibu, aku tiba-tiba terjatuh dan tidak dapat merasakan kakiku. Aku lumpuh! Tidak hanya kaki, namun tanganku juga tidak bisa kugerakkan. Sekarang aku betul-betul hanya berdiam diri di kamar. Hampa dan tanpa harapan.

Aku hampir kehilangan iman. Aku memaksa ibu untuk melakukan euthanasia saja. Aku sudah tidak kuat untuk hidup. Aku ingin mengakhirinya segera. Dalam hampa yang kurasakan, aku menangis sejadi-jadinya. Meskipun tangisanku tidak menghasilkan suara secara lahiriah, tapi batinku berteriak keras. Aku juga memang tidak dapat mendengar tangisan ibu. Namun aku tahu, beliau juga menangis sejadi-jadinya. Siapa yang tidak menangis melihat anaknya sendiri meminta untuk di-euthanasia?

Tangisan ibu membuatku mengurungkan niat. Aku sadar, euthanasia bukan jalan untuk mengkahiri ini semua. Aku kembali teringat bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hambanya melebihi batas kemampuannya. Aku percaya, aku dapat melewati semuanya. Aku percaya.

Keadaan yang seperti ini membuatku terpaksa menghabiskan banyak waktu di kamar. Aku sudah tidak bisa melakukan apapun. Untunglah aku masih bisa menggerakkan jari-jari tanganku yang lemah sehingga aku masih bisa berkomunikasi dengan ibu. Beruntung pula, karena aku masih bisa melihat, meskipun aku tahu bahwa tidak lama lagi indera penglihatanku juga akan menghilang.

Dan benar saja, tiga bulan kemudian pandanganku mulai mengabur. Lalu yang kulihat hanyalah kegelapan pekat. Sangat gelap. Aku buta! Sekarang aku menjadi orang yang betul-betul teralienasi dari lingkungan. Satu-satunya cara untuk melakukan komunikasi adalah melalui sentuhan, karena inderaku yang tersisa hanyalah indera peraba. Apakah kemampuan indera ini juga akan hilang? Entahlah. Tidak tahu merupakan satu-satunya jawaban.

                                                                                   *

EMPAT tahun berlalu sejak indera penglihatanku menghilang. Aku merasa segala nikmat dan anugerah yang diberikan Allah telah hilang bersama perginya kemampuan masing-masing indera. Tak ada lagi makanan enak dengan aroma menggoda, tak ada lagi mobil mewah, tak ada lagi permainan gitar, tak ada lagi lukisan, tak ada lagi olahraga, dan tak ada lagi aktivitas fisik lainnya. Yang ada hanyalah menghabiskan waktu di dalam pikiran.

Apakah kalian berpikir aku merasa sedih sehingga menceritakan sebuah elegi? Tidak sama sekali. Aku tidak merasa sedih. Justru Sang Hilanglah yang seharusnya bersedih dan berelegi. Dia boleh mengambil segala yang kumiliki, tapi dia tidak akan mampu merebut iman yang tertanam dalam hati ini. 

Dalam heningnya pengembaraan pikiranku, aku tersenyum memikirkan mengapa Allah memberiku ujian seperti ini. Dan di dalam keheningan pengembaraan pikiranku itu pulalah aku menemukan jawabannya.

Aku mengingat sebuah hadits qudsi, Allah berfirman;

“Dan diantara hamba-hamba-Ku yang mukmin ada sebagian yang tidak bisa baik urusan agama mereka kecuali diberi kekayaan, kelegaan, dan kesehatan badan. Lalu, Kami menguji mereka dengan kekayaan, kelegaan, dan kesehatan badan, sehingga baiklah urusan agamanya. Diantara hamba-hamba-Ku yang mukmin ada pula sebagian yang tidak bisa baik urusan agama mereka kecuali diberi kekurangan, kemiskinan, dan penyakit sehingga baiklah urusan agama mereka. Aku mengetahui dengan apa hamba-Ku yang mukmin menjadi baik dalam urusan agamanya.”

Mungkin awalnya aku termasuk hamba yang berada di golongan pertama, namun kemudian aku menjadi hamba yang berada di golongan kedua. Inilah yang aku syukuri. Aku tidak menjadi seorang hamba yang kehilangan iman meskipun aku sedang diatas awan, ataupun saat aku sedang dirundung rangkaian bencana yang tak berkesudahan. Aku puas dan aku merasa menang. Baru kali ini aku merasakan sebuah kemenangan yang begitu dahsyat. Kemenangan sejati untuk seorang pemenang sejati. Aku bersorak dalam hati.

Selain itu, kita selaku manusia selalu menghabiskan waktu dengan dunia diluar diri kita. Berinteraksi dengan lingkungan fisik dan manusia lainnya sungguh mendominasi keseluruhan aktivitas kita.

Namun pernahkah kita sempatkan diri untuk menghabiskan waktu dengan pikiran dan diri kita sendiri? Bukankah kita seharusnya seperti itu? Ya, kurasa memang seharusnya seperti itu.
                                                                                 
                                                                                  *
                                                                                                     
                                                                                               Makassar dan Sungguminasa, Juni 2013