Konstelasi Imajinasi

Minggu, 22 September 2013

Nasi Kuning Pagi Ini

AROMA lavender memenuhi ruangan yang serba putih ini. Aku berbaring di tempat tidur yang terbuat dari busa empuk dengan mata menatap keluar jendela di lantai empat sebuah bangunan yang cukup megah. Dari sini aku bisa menatap langit cerah tanpa batas bersama walet yang menari indah, bersama bulbul yang bernyanyi riang, bersama angan yang terbang jauh ke angkasa. Belum selesai kunikmati efek relaksasi yang ditimbulkan oleh kumpulan sensasi yang mewarnai hari ini, seseorang mengetuk pintu sembari membawa hidangan makan siang.
 
Di kamar ini aku layaknya seorang raja. Makanan yang selalu datang tepat waktu, kasur yang empuk,  fasilitas yang memadai, pelayanan yang memanjakan, serta pemandangan yang begitu indah membuatku nyaman, tenang, dan damai seolah aku merasa aman selamanya di sini. Namun entah sudah belasan tahun aku tidak pernah menginjak tempat ini lagi. Aku rindu tempat ini. Rumah sakit ini.
 
                                                                     *
 
TUJUH hari berlalu. Aku masih terbaring di sini, memandang keluar jendela, menatap mentari yang mulai terbit. Perlahan sinarnya mulai menyinari. Kulangkahkan kaki menuju jendela rumah sakit yang tidak begitu jauh dari tempatku merajut mimpi. Udara segar menyeruak masuk saat jendela kaca itu terbuka dan mengimpit dinding.
 
“Wah, kau sudah sehat rupanya.” sebuah suara penuh syukur keluar dari WC kamar yang tadinya tertutup.
 
“Tentu saja, tujuh hari sudah cukup bagiku untuk memulihkan diri Ibu. Jadi bisakah kita pulang hari ini?” kataku bersemangat.
 
“Kata dokter kemarin, dirimu masih harus istirahat di sini seminggu lagi.” Kata ibu sambil tersenyum.
Mendengar itu, aku hanya terdiam. Sebenarnya, perasaan nyaman yang kurasakan beberapa hari belakangan kini berganti bosan. Tujuh hari dengan hanya melakukan rutinitas yang sama dengan alur yang juga sama membuatku ingin segera keluar dari tempat ini. Aku mengira bahwa hari ini aku akan kembali. Kembali ke rumah yang mungkin sedikit kotor karena lama tak terjamah, kembali ke kamar dengan kasur dan bantal yang rindu untuk di manja. Aku kecewa. Entah pada siapa. Aku kembali ke tempat tidur, menarik selimut, lalu mengurung tubuh.

“Nasi kuning.” sebuah suara merdu membuka mataku kembali. Bukan karena yang meneriakkan suara itu adalah seorang perempuan, tapi karena dua buah kata yang diteriakkan merupakan nama sebuah makanan yang menggugah selera. Mungkin nasi kuning bisa menjadi alternatif makananku yang sebelumnya hanya bubur dan telur.
 
Aku bangun dari tempat tidur, beranjak cepat ke arah pintu, hingga ibu heran melihatku.
 
“Mba, nasi kuningnya!” Aku memanggilmu dari balik pintu.
 
“Mau pakai telur atau pakai ayam?” kamu tersenyum dan menatapku.
 
Aku terkagum. Kali ini bukan karena tampilan nasi kuningnya yang menggoda, namun wajah dan keramahan penjualnya yang tidak lain adalah kamu. Baru kutemukan seorang penjual yang memesona pandanganku. Wajah manis khas orang Sunda dengan balutan jilbab berwarna hitam, sweeter bermotif garis putih cokelat, serta training yang juga berwarna hitam menjadi paduan sempurna yang membuatmu tampil kawai di mataku.
 
“Eee… mau yang pakai telur atau yang pakai ayam?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Aku jadi kikuk.
 
“Yang pakai telur Mba.” kataku.
 
Tanganmu memberiku bungkusan nasi yang masih panas. Aku menyodorkan uang pecahan lima ribu,  kamu kembali tersenyum. Namun saat masih dalam lamunan, dirimu berlalu setelah mengucapkan terima kasih. Aku hanya memandangmu berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang mulai ramai. Langkahmu gemulai.Terlalu gemulai untuk seorang penjual nasi kuning. Aku mulai berpikir, mungkin kamulah yang menjadi alasan mengapa aku masih berada di sini.
 
                                                                     *
 
PAGI kembali datang. Pagi yang kemarin terasa muram kini kembali bersinar cerah. Dari balik tempat tidur, kunantikan suara yang sejak kemarin terngiang di telingaku.
 
“Nasi kuning.” Itu dia. Suara itu yang kutunggu. Suara merdu darimu, seorang penjual nasi kuning yang kini menghiasi pagiku.
 
“Mba, hari ini seperti yang kemarin yah…” kataku padamu.
Kamu memberiku sebungkus nasi kuning hangat berlaukkan tahu, tempe dan telur. Aku senang ternyata kamu masih mengingatku. Dan seperti yang kuduga, tampilanmu hari ini tidak terlalu berbeda dengan tampilan yang kemarin. Kecantikan alamiah muncul di balik busanamu yang begitu sederhana.
 
“Mba, sudah berapa tahun menjual nasi kuning di sini?” tanyaku berusaha membuka percakapan. Aku berharap obrolan kita pagi ini berlangsung cukup lama.
 
“Baru minggu ini. Aku orang baru.” Kamu tersenyum.
 
“Wah kebetulan, aku juga orang baru di sini. Orang baru sakit.” Aku tersenyum lebar padamu.
Kamu tertawa lalu berjalan ke arah koridor untuk menghabiskan jualan yang sepertinya masih tersisa beberapa bungkus lagi. Sejak saat itu, saat di mana mentari mulai menyinari kaki langit merupakan saat berharga yang tak terganti. Namun satu hal yang belum lengkap dan menjadi sedikit beban di hati, kamu terlalu cepat pergi.
 
                                                                       * 

TIDAK terasa lima hari telah berlalu. Penantianku di tiap pagi merupakan jawaban mengapa waktu berputar sedemikian agresif. Dirimu selalu membuatku penasaran. Penasaran akan resep apa yang kamu gunakan untuk membuat nasi kuning sederhana ini sedemikian lezat, penasaran karena ingin tahu kepribadian dan keseharianmu lebih dalam,  serta penasaran karena di setiap kesempatan, dirimu langsung berlalu setelah menjawab sebuah kalimat yang terlontar untuk sekadar akrab.
 
“Mba, tinggal di mana?” Pagi ini aku kembali membuka percakapan.
 
“Tidak jauh dari sini, kira-kira dua kilometer dari arah timur rumah sakit.” kamu menjawab dan tersenyum manis.
 
Lalu seperti pada empat pertemuan sebelumnya, setelah tersenyum kamu langsung melangkah pergi. 

Aku tidak mengerti apa yang ada dipikiranmu. Apakah kamu berusaha menjauh dariku? Entahlah.
 
Aku kembali memandang pundakmu yang semakin jauh. Ingin rasanya aku memangggil dan membuatmu kembali ke sini. Aku ingin menahanmu lebih lama lagi hanya untuk sekadar bercerita dan mengakrabkan diri. Namun aku tak berani. Lelaki macam apa aku ini? Meskipun aku juga mengerti bahwa kamu ingin menghabiskan jualanmu sebelum nasi hangatnya berubah dingin.
 
                                                                            *
 
PAGI kembali datang. Aku kembali mendengar teriakan lembut yang familiar.
 
“Nasi kuning” suaramu terdengar semakin dekat. Aku duduk berdiam diatas tempat tidur dengan kaki yang bersilangan.
 
“Nasi kuning!” teriakmu tepat di depan pintu kamarku. Aku melihat bayangan dirimu dari balik pintu kaca yang buram itu.
 
Aku berbalik ke arah jendela dan jelang beberapa detik kulirik kembali pintu kaca itu, aku masih mendapati dirimu menunggu. Mungkin karena dirimu tidak mendengar sepatah katapun keluar dari mulutku.
 
“Nasi kuning.” kamu kembali berteriak. Aku bisa melihat dari pintu kaca buram itu, kau menatapku dengan tatapan pengharapan. Berharap aku menemuimu, lalu membeli sebungkus nasi kuning telur kesukaanku.
 
“Maaf, pagi ini sepertinya aku tidak ingin makan nasi kuning.” Aku berteriak dari dalam kamar. Apa yang barusan kukatakan? Kata-kata itu keluar begitu saja. Dan kulihat dirimu berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
 
Aku menyesal mengikuti saran ibu. Beliau yang menyuruhku untuk tidak terlalu keseringan makan nasi kuning karena khawatir jangan sampai penyakitku kambuh lagi. Aku mengikuti saran beliau hari ini dan aku menyesal. Semoga esok kamu masih datang. Karena aku rindu nasi kuningmu. Tidak, sebenarnya aku rindu dirimu.
 
                                                                        *
 
LAMA kutunggu namun hari ini aku tak mendengar suaramu. Mungkinkah kamu kecewa? Sepertinya tidak mungkin. Dirimu tidak mungkin kecewa hanya karena seorang pembeli yang dalam lima hari terakhir terus membeli jualanmu dan di hari keenam tiba-tiba ia bertingkah sebaliknya. Aku yakin, ada lebih banyak pembeli yang akan menghabiskan nasi kuningmu di tiap pagi. Itu dia, mungkin saja jualanmu pagi ini sudah habis. Baiklah, aku sudah tidak berharap lagi.
 
Aku merapikan barang-barangku karena sesuai janji dokter, aku akan pulang di hari ketujuh yang jatuh tepat pada hari ini. Aku sebenarnya sedih, karena mungkin saja kita akan susah untuk bertemu kembali. Dan jujur, aku masih memikirkan kejadian kemarin.
 
“Nasi kuning.” sebuah suara lembut membuatku tersentak dari lamunan.
Aku berbalik kearah pintu kaca yang pagi ini terbuka lebar lalu kudapati dirimu tersenyum manis sembari mengangkat sebuah kantongan hitam kecil.
 
Aku menujumu.
 
Kau menyerahkan kantongan hitam itu. Namun aku terkejut karena isinya merupakan nasi kuning yang tertata rapi dalam sebuah wadah plastik berwarna putih.
 
“Nasi kuning ini khusus kubuatkan untukmu.” Kamu kembali tersenyum lalu berbalik arah dan mencoba untuk meninggalkanku.
 
“Tunggu sebentar! Maukah kamu sedikit lebih lama di sini? Ada banyak hal yang ingin kubagi denganmu.” Akhirnya aku mengutarakan kalimat itu.
 
Langkahmu terhenti. Kamu kembali berbalik padaku lalu heran mematung. Mata kita bertemu. Saling membaca, saling berbicara.
 
“Seharusnya kamu mengucapkan kalimat itu di hari pertama kita bertemu.” Aku melihat senyum manis terkembang di wajahmu.
 
Lalu kamu menujuku.
 
                                                                           *

Cerpen diatas pernah dimuat di harian Berita Pagi edisi Ahad, 8 Oktober 2013 :)

Sabtu, 21 September 2013

Santai Saja Kawan

saat kita berjalan
menatap masa depan
aral melintang menghadang
tak menjadi halangan

saat kau mulai merasa penat
dalam keseharian
semua terasa gelap
pun yang kau lakukan salah

saat galau menghantui asa
dilema dimana-mana
hingga kita bertanya
ini galau atau dilema?


saat sayap tak lagi terkepak
kita hanya bisa berjalan
lelah terasa peluh berjatuhan
nikmati saja perjalanan

saat hidup masih indah kawan
selagi hidup bisa dinikmati saja
jangan dipersusah jangan dipersukar
santai saja

- Makassar, Oktober 2013 (untuk mereka yang depresi jalani hari, santai saja kawan)

Antropologi?

Sebagian orang masih banyak yang salah kaprah akan jawaban dari pertanyaa diatas. Ilmu tentang fosil-fosil lah, kerajaan-kerajaan lah, hingga tulang-belulang menjadi jawaban yang tak asing di telinga. Belum lagi jawaban seperti “Tidak tahu, Apa itu?” hanya membuat akademisi yang bergelut di bidang ini menjadi gusar. Bagaimana tidak, ilmu yang begitu luar biasa ini sangat tidak familiar di kalangan masyarakat yang seharusnya harus tahu akan potensi besar dari ilmu ini. Baiklah mari kita mulai saja perkenalannya secara singkat.

Antropologi dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin, yakni Anthopos yang berarti Manusia dan Logos yang berarti Penalaran atau Ilmu. Jadi, Antropologi secara etimologi, berarti:

“Imu tentang Manusia”
 
Yang dipelajari dalam ilmu ini adalah seluruh aspek pada diri manusia, baik dari aspek fisik (biologis), maupun dari aspek sosial-budaya. Namun dalam koridor ilmu-ilmu sosial, tentu saja yang menjadi pembahasan keseharian hanyalah Antropologi sosial-budaya, sedangkan kajian Antropologi fisik menjadi santapan ilmu-ilmu kesehatan yang tentu saja lebih eksak.
 
Konsep kunci dalam Antropologi adalah sebuah kata yang setiap hari kita dengar, kita baca, dan kita lihat melalui media-media yang terpampang nyata, kebudayaan atau culture. Mengapa demikian? Ingat, yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal-budi kita yang menjadi cikal kata budaya itu sendiri. Tanpa itu, maka mustahil kita disebut manusia. Kita hanya akan disebut sebagai Big Ape  yang betul-betul bodoh. Mengingat bahwa mustahil kita melanjutkan pembahasan ini tanpa mengetahui konsep kunci itu, maka ada baiknya jika kita berkenalan dengan konsep itu.
 
Culture menurut Prof. DR  Koentjraningrat adalah:
 
“Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”
 
Apa yang manusia pikirkan (sistem gagasan), apa yang manusia lakukan (tindakan), dan apa yang manusia hasilkan (artefak), kesemuanya adalah bagian dari kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan adalah segala sesuatu yang ada pada diri manusia.
 
Membuat nasi goreng adalah sebuah culture karena dalam pikiran kita, telah terpetakan dengan jelas langkah-langkah untuk membuatnya (nasi goreng). Ini merupakan sebuah hasil olah pikiran. Kemudian kita melakukan proses pembuatan, yakni memasak (tindakan). Lalu jadilah sepiring nasi goreng yang merupakan sebuah hasil karya manusia. Perlu diingat disini, bahwa kemampuan kita mengetahui seluruh bahan-bahan dan langkah-langkah untuk membuat nasi goreng tidak datang dari langit begitu saja. Kita melihatnya dan tentu saja mempelajarinya dari orang tua, dari orang yang berada di lingkungan kita, dan bahkan dari berbagai macam media. Kesemua proses melihat –mengamati- dan mempelajari hal-hal tersebut merupakan sebuah proses pembelajaran kebudayaan yang berada di lingkungan sekitar kita yang pada umumnya disebut Enkulturasi.

7 Unsur Kebudayaan  (Versi On the Spot, *ups, maaf… versi Prof. Koentjaraningrat)

1. Sistem Pengetahuan
2. Sistem Religi
3. Bahasa
4. Sistem Mata Pencaharian Hidup
5. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
6. Organisasi Sosial
7. Kesenian

3 Wujud Kebudayaan

1.    Sistem Gagasan (Kognisi) => yang manusia pikirkan
2.    Sistem Tindakan/Kelakuan (Behaviour) => yang manusia lakukan
3.    Hasil karya (Artefak) => yang manusia hasilkan


Hubungan antara Unsur dan Wujud Kebudayaan

Tiap unsur kebudayaan pasti memiliki 3 wujud dari kebudayaan itu sendiri.  Misalnya tentang tarian gandrang bulo yang merupakan contoh dari unsur kesenian dalam kebudayaan Makassar.  Segala pengetahuan mengenai cara menari dari para penarinya merupakan wujud dari sistem gagasan, kemudian proses menarikan tarian tersebut adalah wujud dari sistem tindakan. Adapun wujud artefa dari unsur tersebut adalah segala benda (material) yang digunakan dalam proses menari gandrang bulo misalnya pakaian, sarung, dan bahkan bulo atau bambu itu sendiri. Intinya, tiap unsur dari sebuah kebudayaan pasti memiliki wujud tersendiri.
                                                                  
                                                                      *

Rabu, 18 September 2013

My Best Abang Ever!

Halo semua, kali ini akan kuperkenalkan seseorang pada kalian para pembaca yang budiman.  

Seseorang yang kutemui saat MUNAS FLP di Bali lalu. 
Seseorang yang kukagumi karena cerpen-cerpen kerennya, bisa dibilang saya adalah fans-nya. Seseorang yang tiba-tiba membuka pintu kamar dan berkata,

"Abang tidur disini yah, soalnya di kamar abang sudah empat ada tiga orang dan kamu katanya sendiri"

Seseorang yang menjelma menjadi sangat baik dan juga supel begitu berkenalan dengannya. Seseorang yang begitu tiba-tiba ingin dipijat karena -katanya- lelah habis turnamen badminton. Seseorang yang selalu memberi semangat untuk tetap konsisten di jalur kepenulisan dan dakwah. Seseorang yang sampai saat ini masih menjalin komunikasi dengan adik-adiknya yang jauh dan tersebar seantero Indonesia.
Seseorang yang sangat terkenal di dunia kepenulisan Indonesia -khususnya cerpen- namun tidak dibutakan oleh ketenaran dan harta.
Seseorang yang kini menjadi my new and my best Abang ever! :D
So, siapa dia? engingeng...

Abang BENNY ARNAS
Karena bang Benny udah kebelet banget minta foto-foto waktu di Bali namun rada susah diunggahh, ya udah, kuposting disini aja... Silakan diunduh bang :D hoho

 
 

Me and My Abang Benny Arnas @Pantai Jerman Bali

                                                                     
                              Mba Sinta Yudisia (Ketua FLP periode 2013-2017) dan Bang Benny


Bang Benny dan Kak Amir (Anggota FLP ranting UMI Makassar)

                             
                              Bang Benny dan Kak Jumrang (PJS FLP Wilayah Sul-Sel)

Bang Benny dan kak Yanuardi Syukur (Penulis buku-buku non-fiksi) yang sekarang menjadi salah seorang panutan di FLP


Bang Benny dan delegasi FLP wilayah Sul-Sel

                                                    
                                    Bang Benny dan delegasi FLP wilayah Sul-Sel (part II)


Diskografi Avenged Sevenfold

Lama nggak nge-post sesuatu yang bernuansa musik, kali ini (dan sangat kebelet) ingin begitu saja posting sesuatu yang bernuansa musik terutama mengenaiband favoritku, Avenged Sevenfold. Baiklah, langsung aja ke pokok apa yang akan kuposting, yakni penjelasan mengenai diskografi band yang memiliki simbol the Deathbat ini dengan sedikit translete judulnya ke bahasa Indonesia (yang juga sangat kebelet). Langsung aja cekidot:
 
1. Sounding the Seven Trumpet (2001) (Bunyikan Terompet Ketujuh)


Album debut Avenged ini full scream (bukan full cream yah) dengan single debut To the End the Rapture (Menuju Akhir dari Gairah). Begitu mendengarnya, telinga kita bakal disuguhin musik yang begitu metalcore hingga salah seorang teman berkata "wah, kalau cuman teriak-teriak gini aku juga bisa dong!" bisa jadi. :D Namun, terdapat penyimpangan dalam album ini, seperti lagu Street (Jalanan) yang ber-genre Punk dan Warmness on the Soul (Kehangatan dalam Jiwa) yang ber-genre Piano Ballad. Terdapat pula beberapa lagu yang tidak sepenuhnya scream seperti Shattered by Broken Dreams (Terhambur oleh Mimpi yang Hancur) dengan sedikit vokal non-scream serta Darkness Surrounding (Kegelapan Mengepung) yang memiliki unsur sedikit mendayu di akhir lagu (seperti dangdut) karena vokal M. Shadow yang bercengkok.
 
2. Waking the Fallen (2003) (Bangunkan yang Terjatuh)


Kalau di album sebelumnya dibuat full scream, maka album kali ini dibuat setengah scream setengah bernyanyi. Unholy Confession (Percakapan Tak Suci) menjadi single andalan yang membuat band ini menjadi salah satu band metalcore yang paling berpotensi. Selain Unholy Confession, lagu keren lainnya ada Desperate Through Reverence (Penghormatan yang Menyedihkan) yang memberikan sentuhan ending begitu menarik, Remenissions (Remenisi) dengan unsur akustik di tengah lagu yang scream nian, And All Things will End (Dan Segalanya akan Berakhir) dengan sentuhan alternative dan ending yang sedikit out of the box, dan Clairvoyant Disease (Penyakit Waskita) dengan ritme lagu yang 'berlarian'. Adapula lagu 'kembar' yang sangat kontradiksi, yakni I Won't See You Tonight 1 (Aku Tidak Ingin Melihatmu Malam Ini 1) dengan aliran slow rock serta I Won't See You Tonight 2 (Aku Tidak Ingin Melihatmu Malam Ini 2) dengan aliran metalcore. Namun lagu yang paling keren dalam album ini adalah Chapter Four (Bab Empat) yang terinspirasi dari kisah pembunuhan pertama di bumi oleh anak Adam (Kain dan Abel -Qabil dan Habil-). Lagu ini seolah membawa kita menyusuri lorong waktu dan menghadirkan kita di lokasi pembunuhan tersebut. Feel the sensation!
 
3. City of Evil (2005) (Kota Kejahatan)



Disini nih, terjadi revolusi besar-besaran dalam musik Avenged Sevenfold, dimana mereka yang awalnya hobi Scream, sekarang jadi sangat Classic Rock layaknya penerus Guns n' Roses. Mendayu-dayu gimanaa gitu hehehe. Karena inilah, mereka memiliki haters yang berarti kehilangan banyak fans. Namun, mati satu, tumbuh seribu. Karena album inilah, mereka menjadi begitu tenar. Salut buat M. Shadow dan kawan-kawan yang berani putar haluan dengan single mereka Bat Country (Negeri Kelelawar) yang begitu classic rock. Bisa dibilang, keseluruhan lagu di album ini keren abis! Sebut saja Seize the Day (Raihlah Hari) dengan vokal ala Axl Rose yang mendayu, Sidewinder (Sidewinder) dengan sedikit eksperimen musik reggae di ending lagu, Strenght of the World (Kekuatan Dunia) dengan unsur musik epik ala film-film adventure, Blinded in Chain (Dibutakan Rantai) yang berisi kritik sosial, Trashed and Scattered (Terbuang dan Terhambur) dengan musik yang begitu aiternative, dan yang paling keren M.I.A (Hilang dalam Pertempuran) alias Missing in Action  dengan hentakan musik yang memberi semangat dan lirik sempurna yang begitu puitis, membawa kita pada nuansa perang yang sebenarnya.
 
4. Avenged Sevenfold (2007) (Balasan Tujuh Kali Lipat) -Self Titled-



Album ini menjadi album dimana Avenged Sevenfold bereksperimen dengan beragam musik. Membuat karakter musik Avenged Sevenfold begitu Avenged banget! *eh? Ada Critical Acclaim (Sorakan Kritis) yang mengandung unsur gothic, Gunslinger (Pemegang Senjata) dengan sedikit unsur country, Unbound (The Wild Ride) (Tak Terikat {Pengendara Liar}) dengan suara anak kecil yang menjadi ending lagunya, Brompton Cocktail (Brompton Cocktail) dengan sedikit unsur ethnic dan musik folk, Almost Easy (Hampir Mudah) yang memiliki iringan piano disela-sela hentakan musik kerasnya memberikan harmonisasi tersendiri, Lost (Hilang) dengan bantuan instrumen techno, Dear God (Kepada Tuhan) yang murni country rock, Afterlife (Akhirat) dengan musik megah yang dipenuhi dengan permainan biola, serta A Little Piece of Heaven (Sepotong Kecil Surga) yang merupakan paduan musik rock dengan orkestra yang terinspirasi dari pertunjukan Broadway. Album ini juga disebut album Black and White karena memiliki album art hitam dan putih yang begitu mencolok.

5. Nightmare (2010) (Mimpi Buruk)



Ini adalah album yang paling menyedihkan dimana drummer mereka Jimmy -The Rev- Sullivan meninggal dunia. Jadilah album ini didedikasikan untuk sang drummer dengan tetap mempertahankan ciri khas ke-Avenged-an mereka hehehe. Ada banyak lagu yang mencerminkan kesedihan rekan mereka, sebut saja Nightmare yang menjadi single hit mereka, So Far Away (Sangat Jauh) dengan paduan musik dan video klip yang begitu mengharukan, Buried Alive (Dikubur Hidup-Hidup) yang terdengar syahdu namun menghentak, Welcome to the Family (Selamat Datang di Keluarga) yang musiknya memberi semangat dalam kesedihan, serta Fiction (Fiksi) yang menjadi surat wasiat The Rev sebelum meninggal. Setelah kematian The Rev, banyak fans yang bertanya-tanya tentang siapa yang akan menggantikan posisi The Rev sebagai drummer. Awalnya dikira Mike Portnoy (mantan drummer Dream Theater) namun ternyata dia hanya dikontrak selama Nightmare Tour berlangsung. Ada pula beberapa lagu yang mencerminkan mereka kembali bereksperimen, seperti Tonight the World Dies (Malam Ini Dunia Mati) dengan tambahan unsur country, God Hates Us (Tuhan Benci Kita) dengan unsur scream layaknya album kedua mereka, Save Me (Selamatkan Aku) dengan aliran alternative rock layaknya lagu di album ketiga mereka serta Danger Line (Garis Bahaya) yang memiliki sentuhan musik ala marching band di akhir lagu.

6. Hail to the King (2013) (Hidup Sang Raja)



Ini adalah album pertama Avenged Sevenfold tanpa campur tangan The Rev dan kedatangan drummer baru mereka Arin Ilejay. Di album ini pula pertama kalinya kita lihat M. Shadow tampil dengan rambut gondrong membuat mereka terlihat seperti band-band rock 80-an. Di album ini mereka mencoba sesuatu yang baru, yakni merubah sedikit genre musik mereka menjadi Groovy Metal dengan musik ala band rock 70-an. Sebut saja Hail to the King yang menjadi single pertama, Shepherd of Fire (Gembala Api) yang menjadi soundtrack video game Call of Duty II: Black Ops, dan Requiem (Misa Arwah) dengan paduan suara yang bernyanyi menggunakan bahasa latin pada opening lagu menghasilkan musik dengan efek yang epik nan kolosal. Ada pula rock ballad dengan musk ala band 80-an, yakni Crimson Day (Hari yang Merah Tua) yang terdengar sangat syahdu dan Acid Rain (Hujan Asam) yang memberikan efek flashcbak pada lagu-lagu pop tahun 90-an. Meskipun ter-influence oleh band-band super senior seperti Led Zeppelin dan Black Sabbath, para kritikus menilai mereka telah kehilangan ciri ke-Avenged-an mereka. Namun dalam beberapa lagu, kita temukan unsur ke-Avenged-an tersebut seperti pada lagu Heretic (Bid'ah) dengan vokal yang begitu groovy namun terdengar Avenged Sevenfold banget, Coming Home (Pulang) yang memberikan efek semangat karena musiknya yang mengingatkan kita pada M.I.A dan St. James (St. James) yang didedikasikan untuk James -The Rev- Sullivan dengan musi k yang mengingatkan kita pada lagu Welcome to the Family. This is the new Avenged Sevenfold, they're great, and I love them! :D

7. Catatan: Album lain
Selain album diatas, terdapat pula sebuah album EP yakni, Welcome to the Family EP (2010) yang didedikasikan untuk The Rev dengan sebuah lagu baru 4:00 am yang lagi-lagi didedikasikan untuk The Rev. Terdapat pula sebuah album kompilasi yakni Live in the LBC/Diamonds in the Rough (2009) (Langsung dari LBC/Berlian di Hadapan) dengan beberapa lagu baru yang memiliki aliran musik sedikit berbeda dari album sebelumnya karena sentuhan efek gitar yang sedikit lebih 'ribut' namun tetap mempertahankan ciri ke-Avenged-an mereka. Seperti pada lagu Until the End (Sampai Akhir), Demons (Iblis), Dancing Dead (Dansa Orang Mati), dan The Fight (Pertarungan).

Jika dirangking versi Imajinarium, maka urutan album terbaik Avenged Sevenfold menjadi:

7. Sounding the Seven Trumpet
6. Waking the Fallen
5. Live in the LBC/Diamonds in the Rough
4. Hail to the King
3. Nightmare
2. City of Evil
1. Avenged Sevenfold

 

Itulah sedikit penjelasan mengenai album-album Avenged Sevenfold beserta peringkatnya versi Imajinarium. :) 

Jumat, 06 September 2013

Menunggu Terang

masih mampu kumenangis. walau
hatiku terkantuk

pergilah jauh dari hidupku. terus
bawa semua beban itu

terjaga, tersadar. lalu
tak ada lagi kau

kau gelap, berlalu!
disini kumenunggu

menunggu cinta. yang baru
datang berbeda dengan kau

menunggu terang. kamu
yang tak lagi jauh

-2013 (untuk mereka yang sabar menunggu)

Rabu, 04 September 2013

Entitas Gelap

MALAM ini purnama ketiga puluh enam. Aku yang duduk bersila ditengah lingkaran segel magi berusaha menangkap seluruh energi semesta yang terpancar pada tiap benda. Aku menyebutnya Orbs. Di ruangan yang gelap ini, orbs tersebut memancarkan cahaya berwarna-warni. Mereka bersinar bagaikan belasan lilin yang menerangi ruang hampa. Aku yang awalnya konsentrasi menyerap energi, kini hanyut dalam ilusi pendarannya. Pendaran  yang hanya bisa dilihat oleh mata orang tertentu saja, seperti aku. Dua belas tahun silam, aku dan saudaraku tiba-tiba mampu merasakan entitas lain yang lebih halus dari semua makhluk yang kami tahu. Entitas tersebut kami sebut Astral.

Ruang gelap ini adalah persembunyian rahasiaku selama  bertahun-tahun. Berdesain interior gothic dengan keseluruhan dinding berwarna hitam menambah kesan gelap dan suramnya tempat ini. Terdengar menyeramkan namun aku suka itu. Aku suka gelap. Dalam gelap, aku menemukan betapa indahnya cahaya yang tidak disadari oleh mereka yang diselimuti terang. Dalam gelap,aku menikmati terang dengan cara yang berbeda. Dalam gelap, aku menemukan jati diriku yang sebenarnya. Aku dirasuki oleh astral Lucifer, malaikat yang jatuh dan terusir dari surga bergelar The Fallen. Mungkin karena itulah, meskipun bernaung dalam gelap aku tetap menyukai terang. Dan mungkin aku rindu padanya.

Aku masih berusaha menyerap orbs agar Mana dalam jiwaku terisi penuh. Mana akan sangat kubutuhkan dalam pertarungan malam ini. Jika Mana dalam jiwaku kurang, maka aku akan kewalahan untuk mengendalikan astral yang menjadi sumber kekuatan. Aku tidak mau itu terjadi karena aku harus memenangkan pertarungan ini. Penderitaan ini sudah cukup. Surga yang indah  seharusnya menjadi tempatku bernaung, bukan di bumi manusia yang penuh akan derita dan kesengsaraan. Mengingat semua itu, semangatku terpancing. Aku akan mengalahkan Gabriel, malaikat yang membuangku dalam gelap pekat. 

Malam sudah hampir larut. Mana dalam tubuhku sudah terisi penuh. Aku menghentikan semediku lalu beranjak keluar dari lingkaran segel magi yang kubuat untuk melindungi diri dari entitas yang berniat menyerangku. Aku menyalakan sedikit cahaya untuk menyiapkan jubah hitam yang kugunakan saat perang.

Di depan cermin, kutemui diriku pada sosok pemuda rapuh dengan rambut hitam Emo yang dulunya hanya bisa mengeluh. Namun Lucifer telah merubah semuanya, aku kini menjelma menjadi pemuda berani yang siap menaklukkan apapun.

Puas menatap cermin, aku mengambil Dark Pulsar yang kemampuannya telah ter-upgrade ke tingkat yang lebih advance. Pedang ini terbuat dari bahan Vibranium, sebuah unsur paling kuat dan paling langka di Bumi. Ditambah lagi, pedang ini memiliki efek sihir karena mata pedangnya terbuat dari kristal yang berasal dari sumber legendaris energi sihir peradaban Atlantis. Luar biasa, aku mampu merasakan energi Dark Pulsar beresonansi dengan energi gelap tubuhku.

“Gabriel, waktumu di surga sudah habis. Saatnya untukmu belajar mencintai gelap” Aku menyeringai.

Beranjak dari tempat persembunyian, kulangkahkan kaki menuju dunia luar yang sedikit terang oleh cahaya bintang jua purnama. Angin malam yang berhembus cukup kuat, membuat dahan dan ranting pepohonan bergerak sehingga menghasilkan suara alam yang khas di telinga. Angin malam juga menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Aku akan menuju ke medan pertempuran. Medan dimana semuanya telah dijanjikan. Namun  perjalanan kesana tidaklah mudah. Berbagai rintangan harus kuhadapi. Labirin yang menyesatkan hingga serangan monster mengerikan seperti Werewolf, Vampir, dan Cerberus menjadi pemanasan sebelum berhadapan dengan Gabriel.

                                                                                 *
DISINILAH aku, berpijak diatas tanah yang dijanjikan tiga tahun lalu. Elvenpath, sebuah wilayah lapang yang dikelilingi oleh lebatnya hutan purba dengan rerumputan yang menari riang diterpa hembusan angin malam. Banyak kenangan di tempat ini. Kenangan yang terkristalisasi dalam bentuk Orbs berwarna putih.

Aku tidak menemukan sosoknya. Dimanakah dia? Seharusnya dia sudah disini sedari tadi, menantiku dengan sabar sambil mengepakkan sayap putihnya yang berkilau diterpa cahaya kuning purnama. Apakah dia sudah lupa jalan menuju ketempat ini? Ataukah dia sudah lupa akan janjinya?Tidak mungkin. Dia dirasuki astral malaikat, mustahil dia tersesat dan mustahil pula dia lupa.    

Entah sudah berapa menit waktu yang kulalui sembari mengingat semua kenangan yang telah terukir. Sesekali aku menatap purnama, aku berharap dia datang dari sana. Lama sekali pikirku. Tapi sudahlah, yang kulakukan hanya menunggu. Karena kesabaran akan menentukan segalanya.

“Maaf membuatmu menunggu, Fikar” sebuah suara datang dari arah yang tidak kuduga.

Tidak biasanya dia datang menghadap bulan. Aku berbalik kearahnya dan jelang beberapa detik kulihat tatapan matanya yang bersahabat. Mata jernih seorang malaikat.

“Akhirnya kau datang juga Zul. Atau harus kupanggil Gabriel?” Aku tersenyum melihatnya. Sosoknya tidak jauh berbeda. Dia masih senang menggunakan gamis putih dan celana kain hitam, sebuah paduan warna yang sempurna.

“Terserah kau saja, Lucifer.” Celetuk Gabriel sembari membetulkan kacamatanya.

“Baru kali ini kau datang menghadap bulan. Ada apa dengan sayapmu?” Penampilannya memang tidak berubah, namun beberapa kebiasaannya mungkin telah dia tinggalkan.

“Aku ini manusia biasa, tidak berbeda dengan dirimu Zul” Dia merendah.

“Aku tahu itu, namun tubuh kita dirasuki oleh astral 12 tahun yang lalu. Sejak saat itu kita berdua telah melalui berbagai macam pertarungan, hingga kau menghilang tiga tahun yang lalu” Aku kembali mengingatkan Gabriel akan apa yang terjadi tiga tahun lalu.

“Tentu saja aku ingat semua itu, mana mungkin aku melupakannya. Masa itu adalah masa paling indah sekaligus masa paling sulit dalam hidupku” Dia sedikit tersenyum.

“Baguslah, artinya kau juga masih mengingat janjimu.” Sekarang giliranku tersenyum.

“Temui aku di Elvenpath saat purnama ketiga puluh enam. Jika kau bisa mengalahkanku, maka aku akan mengembalikanmu ke surga. Tapi percuma saja, karena itu tidak akan terjadi!” Gabriel sesumbar seolah dia akan menang.

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi sebelum mencobanya” Aku menghunus Dark Pulsar.

“Ternyata kau masih membawa benda seperti itu” Dia mungkin terheran melihat pedangku yang level-nya telah ditingkatkan.

“Tentu saja. Kalau kau tidak ingin mati sia-sia, sebaiknya siapkan senjatamu. Aku sudah tidak sabar melihat Excalibur yang legendaris itu.” Aku memberikan peringatan terakhir padanya.

“Jangan harap aku akan mengeluarkan benda seperti itu” Perkataan ini terasa aneh buatku. Tapi siapa peduli,? Yang harus kulakukan hanya mengalahkannya dan kembali ke surga.

“Jangan menyesal Gabriel, aku akan mengirimmu kedalam gelap!” Aku memusatkan mana pada ujung Dark Pulsar. Lalu dengan sekali hentakan, sinar merah yang bercampur dengan pekatnya hitam menjadi sebuah ledakan besar layaknya ledakan bintang.

Dark Nova Blaster!” Serangan itu tepat mengenai Gabriel. Aku tersenyum puas.

Namun apa yang kulihat tidak bisa dipercaya. Sosok itu masih berdiri tangguh, tanpa luka dan goresan sedikitpun. Aku mengutuk dalam hati. Sudah sekuat apakah malaikat ini hingga serangan terkuatku tidak mempan padanya? Dia hanya tersenyum dan menahan tawa. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi.

“Sial, Dark Slashes!” Aku menyerangnya bertubi-tubi dengan sayatan berkecepatan tinggi. Namun dia berhasil menghindari seranganku. Hingga ia berhasil menangkap ujung pedangku lalu melemparnya jauh. Mustahil. Dia…

“Sudah cukup, aku berhenti!” Tatapannya tajam dan serius

“Tidak, pertarungan kita belum berakhir!” Aku berteriak tepat di depan wajahnya.

“Ini sudah berakhir, berhentilah bermain-main!” Nada bicaranya mulai meninggi.

“Aku tidak bermain-main! Aku akan mengalahkanmu dan kembali ke…”

DEBUK!
Sebuah pukulan keras dan cepat mengenai pipiku. Sangat sakit.

“Sampai kapan kau mau bertingkah layaknya anak umur delapan tahun?” Pertanyaan itu menyakiti hatiku. Lebih sakit dari pukulan yang mengenai pipiku.

“Aku hanya…”

“Hanya apa? Kau tidak ubahnya seorang anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Kenapa kau masih saja mempertahankan ilusi, fantasi, dan imajinasimu? Kau menamai semua yang ada sesuai dengan keinginan duniamu saja, Orbs, Elvenpath, Labirin, Monster, mereka semua hanya imajinasi. Tidakkah kau berpikir bahwa pedangmu itu hanya mainan? Bahwa semua jurus yang kau keluarkan itu tidak pernah bekerja? Bahwa kerasukan entitas astral seperti Lucifer dan Gabriel itu tidak pernah terjadi? Sama sekali tidak pernah dan tidak akan pernah! Berhentilah ber-fantasi!” Dia mulai menggertakku. Aku tertunduk, terdiam, dan terpaku memikirkan kata-kata Zul.

“Tiga tahun lalu, aku sengaja mengundangmu ke tempat ini untuk melihat apakah kau sudah berubah atau tidak. Ternyata sama saja. Kau masih seorang chunnibyou . Malam ini usiamu genap 20 tahun, kumohon hentikan perbuatan alay  mu ini. Berhentilah berilusi, berhentilah berfantasi dan berhentilah berimajinasi seolah apa yang kau bayangkan itu nyata. Kumohon…”

“Aku tahu semua itu! Aku tahu semua jurus itu tidak pernah bekerja dan aku tahu mereka semua tidak nyata. Aku hanya berusaha melindungi diriku dari dunia dewasa yang dingin.  Tidakkah kau pernah memikirkan itu?” Aku memotong perkataan Zul. Sekarang aku balik menggertak. Meskipun sebenarnya aku sedih. Sedih karena seseorang telah menyadarkanku juga karena aku mungkin harus meninggalkan kebiasaan lamaku.

“Sudahlah, tidak perlu sedih begitu. Aku tahu, kau mempertahankan dirimu yang seperti ini hanya karena kau tidak siap menjadi dewasa. Tapi sampai kapan? Satu hal yang  harus kau tahu bahwa ketika kau masih seorang bocah lugu maka kau akan melihat dunia hanya berwarna hitam atau putih. Saat beranjak dewasa, kau akan menyadari bahwa tidak ada yang sebenarnya hitam dan tidak ada yang sebenarnya putih. Mereka bercampur sehingga menimbulkan sebuah warna keraguan, abu-abu. Yang harus kau lakukan adalah terbebas dari keraguan itu dan memilih jalan hidupmu.”

Zul benar. Aku hanya takut menjadi dewasa. Dunia dewasa itu tidak enak. Sebuah dunia yang dipenuhi oleh wajah keraguan, kebohongan, dan kepalsuan. Namun, aku tahu hari itu akan datang. Siap tidak siap, aku harus menjalaninya. Gelap tidak akan selalu menjadi gelap, begitupun dengan terang. Terkadang ada sesuatu yang berada diantara keduanya. Dialah Sang Bayang yang selalu saja remang. Namun, aku yang memutuskan entah apakah selamanya berada dalam gelap, bersembunyi dibalik keraguan remang, atau berlari menuju terang. Namun bagiku, Zul benar-benar malaikat. Malaikat yang menyadarkan Sang Iblis agar melepas belenggu gelap.

“Kakak, ini sudah subuh. Mari kita pulang sebelum ayah dan ibu terbangun” Aku mengajak Zul berlalu dari padang rumput yang sudah gelap karena kehilangan purnama. Dia mungkin heran. Entah sudah berapa tahun aku tidak memanggilnya dengan panggilan kesayangan.

“Baiklah, tapi mulai sekarang tolong nyalakan lampu kamarmu.” Dia tertawa. Aku hanya tersenyum mendengar candanya. 

Begitulah kisah dimana iblis dikalahkan oleh malaikat. Dimana gelap hilang dan terbuang, lalu terang menuntunku pulang.

                                                                               *
                                                                              Makassar dan Sungguminasa, Agustus-September 2013

Senin, 02 September 2013

Romansa Tersina

Dia gagak hitam masa lalu
Saat ini kau burung hantu abu-abu
Siapa kan jadi merpati putih masa depanku?

-2013 (Ter-iluminasi di kamar mandi)