Konstelasi Imajinasi

Selasa, 30 Desember 2014

Di Kaki Langit


    Sumber:  Dokumentasi Pribadi

HARI itu, kita berada di sana. Berlari lalu berteriak lepas seolah menantang alam. Angin terlampau kencang, mengibarkan baju-baju kusut yang menempel pada tubuh kita. Padang ini terlalu luas untuk kita saling berkejaran, namun terlalu sempit untuk imajinasi bocah lugu seperti kita. Saat semua berlarian kesana kemari, kulihat kau hanya duduk termenung dengan dagu bertumpu pada lutut. Aku meninggalkan mereka yang kini sibuk berkejaran, lalu duduk di sampingmu.
“Suatu hari aku akan ke sana.” kau menunjuk kaki langit.
“Tapi itu kan ujung dunia? Mana mungkin kau bisa kesana.” Jawabku polos.
“Pasti bisa! Hanya di sanalah kedamaian akan tercipta” Kau menatapku tajam. Aku hanya mengangguk.
“Apa yang kaulakukan di situ Akbar? Ayo main lagi!” Aku tersentak begitu Fifi berteriak tepat di gerbang telinga sebelah kiriku.
“Jangan teriak!” Aku mengejar Fifi sambil tertawa. Dari kejauhan, kulihat kau masih saja seperti itu. Menatap kaki langit sore dengan pandangan kosong.
Kita hanya bermain di sana bakda ashar sebab siang sepulang sekolah kita beristirahat sambil menunggu adzan ashar berkumandang. Pun tempat itu hanya muncul di siang hari dan kembali hilang saat maghrib merajai. Sebuah tempat berupa daratan berpasir putih yang hanya muncul saat air laut surut, lalu tenggelam saat air laut merangkak pasang. Orang-orang desa menyebutnya gusung.
Mentari sedikit lagi terbenam. Saat-saat seperti inilah yang selalu kita nanti. Saat bola besar itu berubah merah, pun laut berkilauan bak butiran amber yang terhambur sejauh mata memandang. Kita terpesona. Namun pemandangan seperti ini tidaklah bertahan lama, sebab kita harus bergegas kembali ke daratan utama sebelum air merangkak pasang.
Untuk pulang, kita harus berjalan ke ujung gusung. lalu berjuang melintasi lumpur yang membenamkan dan mencengkeram kaki. Terasa sulit melangkah. Namun, kita harus berjuang jika tidak ingin tenggelam oleh air pasang yang kian mendekat.  
Setelah sampai di tepian, air sudah sepenuhnya menenggelamkan gusung. Tidak terlihat lagi lahan tempat kita menguntai mimpi dan imajinasi. Hanya laut sejauh mata memandang. Mesjid sudah mengeluarkan lantunan ayat suci, pertanda sebentar lagi adzan maghrib berbunyi. Kita melangkah pulang ke rumah masing-masing. Menanti diomeli oleh ibu dan ayah sebab pakaian tak lagi bersih.
*
HARI itu kita kembali ke sana. Cuaca yang tadinya cerah, berubah menjadi kelam. Awan hitam pekat menggantung di langit, menutupi mentari yang seharusnya masih terik. Ini masih pukul 04.00 Wita, namun suasana di gusung begitu mencekam. Angin dingin mulai berhembus. Kencang, dan semakin kencang. Gelombang mulai tidak bersahabat. Ada riak yang semakin liar. Aku mulai berpikir ini pertanda buruk.
Rintik kini perlahan turun. Kulihat Fifi, dan Jamil asik bermandi rintik. Mereka menari dan berlari ke sana kemari. Beda denganmu yang tetap duduk bertumpu pada lutut, membiarkan rintik hujan basahi wajahmu yang selalu saja murung.
“Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu? Mengapa kau selalu termenung?” Akhirnya aku bertanya padamu.
“Kedamaian. Aku hanya ingin damai”  Lagi-lagi kau berkata hal yang sulit kumengerti.
“Selalu saja itu! Aku tidak pernah mengerti apa yang kau maksud. Jika kau punya masalah, mengapa kau tidak mau menceritakannya padaku?” Aku berusaha menjadi tempatmu berbagi keluh.
 “Akbar! Ayo pulang!” Jamil berteriak padaku. Mereka berdua berencana kembali ke rumah, sebab hujan semakin deras dan guruh mulai memekakan telinga.
Begitu aku bangkit, kulihat gelombang mulai meninggi. Oh tidak! Badai tropis mengincar kita. Sontak kita semua berlari. Hingga tiba di ujung gusung, padang lumpur kembali menghambat langkah kaki. Kita tetap berjalan, selangkah demi selangkah. Cengkeraman lumpur begitu kuat, namun kita harus cepat. Jika tidak, maka amukan badai yang membawa gelombang akan menyeret kita ke tengah lautan.
Aku melihat ke belakang, dan kusaksikan fenomena alam yang luar biasa indahnya. Badai tropis yang membawa awan hitam pekat, angin kencang dengan udara dingin menusuk tulang, guruh yang didahului oleh sambaran halilintar, hingga gelombang tinggi yang segera menghantam pesisir. Tapi tunggu, ada yang aneh di gusung itu. Tidak mungkin!
“Lisa..! Apa yang kau lakukan di sana? Cepat lari..!” Aku tercengang melihatmu berdiri di gusung, menanti hantaman badai yang segera menerpamu. Aku memberimu isyarat untuk menjauh, namun kau tetap diam seolah tak menghiraukan peringatanku.
Kau berbalik padaku. Menatapku, lalu untuk pertama kalinya kulihat kau tersenyum. Inikah kedamaian yang kau maksud? Membuat dirimu hanyut dalam gelombang hanya akan menyisakan penyesalan mendalam bagiku.  
Aku memutar arah. Aku harus kembali ke gusung untuk memaksamu ikut denganku. Dengan kata lain, aku akan menyelamatkanmu.
“Akbar..! Apa yang kau lakukan? Ayo cepat..!” Tata memanggilku.
“Aku harus ke sana menyelamatkan Lisa..!” Aku berteriak.
“Lisa? Tidak ada siapa-siapa di sana!”


Sungguminasa, 23 Desember 2013

***

Cerpen ini sudah lama saya buat dan sudah lama pula terbit di majalah Soulmkas beberapa bulan silam (Juli kalau tidak salah). Hanya saja, saya baru memiliki waktu untuk online dan memposting cerpen ini.. Iya betul, setelah sekian lama akhirnya saya memposting sesuatu...:D

Minggu, 31 Agustus 2014

Dari Bumi ke Langit


                                sumber : kongthe.com


Mentari bersedih
saat tergelincir.

Pekat malam selalu mengisi
ruang yang letih.

Dan aku hanya berdiri di sini
menanti pagi.

Luka yang kualami
kini belum terobati.

Apa yang terjadi nanti
bila terus begini?

*

Karena cinta manusia senang pergi,
memaksaku terus berlari.

Di antara pelangi aku menimbang mimpi,
di ujung hari pelangiku pergi.

Dan dunia yang akan jadi saksi
dari bumi ke langit aku terus mencari.

Apa yang terjadi nanti
bila terus begini?

*

Percayalah,
mentari akan tunjukkan
semua cinta
yang kau simpan
di hati.


(Makassar, Juni – Juli 2014)

Jumat, 29 Agustus 2014

Musim Kematian

     
                                        sumber: www.wallmay.net 

Tibalah kita di musim kematian
setelah berlalu tiga musim yang berurutan:
perkawinan, kelahiran, dan tumbuh berkembang.

Jika kau dapati siang tetap berjelaga dengan pekat mewarnai angkasa,
dan daun-daun luruh meninggalkan ranting kerontang,
pun tanah retak merekah,
maka burung nasar mengembangkan sayap bertuliskan;
selamat datang di musim kematian.

Gagak bermata merah menatap nanar.
Kata bapak,
mereka mencari jiwa-jiwa yang siap dibawa terbang.
Aku hanya berdoa bukan aku yang dibawa terbang,
atau bapak, atau ibu, atau ketiga kakakku, atau adik kecilku.

Semua manusia pada waktu itu bergelut dengan takut.
Saling jaga, saling peluk
di dalam rumah-rumah mereka yang berselimut abu.

Bakda asar,
sembilan ekor gagak hitam menarik ibu,
kami menangis!
Tapi bapak menarik tubuh ibu lalu melepasnya dari cengkeraman kaki gagak.
  
Hingga bapak berusaha mengusir gagak-gagak itu dari rumah kami yang sederhana,
nahas, kepala, dada dan kaki bapak ditarik lalu dibawa terbang ke akhirat.
Kami hanya teriak melihat bapak dibawa pergi,
teriakan yang tak sampai pada telinga bapak.

Musim kematian masih berlanjut.
Tetanggaku mati, ibu temanku mati,
temanku mati!
Keluarga kami dirundung sepi,
tapi hati belum mati.

Sampai sembilan puluh hari berlalu,
musim kematian berakhir dengan gerimis yang jatuh di pagi hari
melahirkan musim baru yang mengulang takdirnya sendiri.

Suatu hari,
jika kau dapati siang kembali tetap berjelaga,
dengan pekat kembali mewarnai angkasa,
dan daun-daun kembali luruh meninggalkan ranting kerontang,
pun tanah kembali retak merekah,
berarti tibalah kita di musim kematian untuk yang kesekian kalinya.

(Makassar, Juni 2014)



*



Kisah Puisi


Pernah tidak suatu waktu entah dalam sehari, seminggu, atau sebulan, kalian kehilangan orang yang kalian kenal berturut-turut? Saya yakin pernah. Waktu itu Juni 2014, dalam sebulan (menjelang hingga awal Ramadan) , ada lebih dari 10 berita duka yang tersiar sampai ke telingaku. Yang meninggal pun adalah orang yang yah lumayan akrablah denganku. Terutama ayah dari teman kelasku di Respect, Fera dan tante salah seorang sahabatku sejak SMA (anak Tomodachi -> ini nama gank :D) Qalby. Saya turut berduka cita akan kehilangan tersebut, sobat! Semoga amal ibadah mereka di terima di sisinya yah. 
So, life goes on guys. 

Puisi ini akhirnya dierbitkan juga oleh harian Cakrawala, dan semoga bisa menghibur kalian dan mengingatkan kita selalu pada kematian. Ya, bukankah kematian mengajarkan kita bahwa kekekalan hanyalah mitos bagi manusia?

      sumber: harestya.wordpress.com

Untuk menggambarkan atmosfer penuh duka itu, saya menyebutnya Musim Kematian. Yakni secara harfiah berarti "Musim yang dipenuhi oleh orang meninggal". Horor yah? Memang begitulah. Melalui puisi ini saya membayangkan sebuah musim yang dipenuhi Grim Reaper (gagak hitam bermata merah) dan siap mencabut nyawa manusia. Oleh karena itu, jika suatu hari kalian betul-betul melihat dan merasakan sesuatu seperti yang saya gambarkan di atas, berarti selamat datang di musim kematian.



Rabu, 27 Agustus 2014

Guru

                                                    

Engkau terjaga dari tidurmu saat subuh baru saja terbangun.
Tugas mulia menantimu dari senin hingga sabtu.
Mengajar, membimbing, dan membina kami sebagai muridmu.

Dengan hati nan sabar,
dengan jiwa nan tabah,
dengan tutur nan sopan,
dengan semangat nan membara.

Karenamu, Guru,
jemari kami lincah menari,
mata kami mampu melihat warna dunia yang berseri,
angka dan huruf menjadi teman sejati,
akhlak terpuji menjadi pakaian yang menghiasi
keseharian kami.

Guru, karena pengorbanan mulia yang mengalir
di tiap tetes darah dan keringatmu,
menjadi tinta emas dalam setiap langkah kami.
Sepanjang hari, saat subuh  baru saja terbangun.


(Pinrang, Agustus 2014)


*

Kisah Puisi

Puisi ini sebenarnya bukan karya saya seutuhnya, namun terinspirasi (dan dibuat bersama) Ibu Pancawati, S.Pd, SD, seorang guru sekolah dasar di lingkungan Barugae, kelurahan Padaidi, kecamatan Mattirobulu, kabupaten Pinrang (lengkapnya :D). Asal usul puisi ini berawal dari adanya perlombaan 17-an di kecamatan Mattirobulu dan sebagai mahasiswa yang sedang ber-KKN, kami menjadi tim pemenangan kelurahan tempat kami mengabdi. Nah, karena bakat saya ada di bidang sastra (iya gak sih?) jadinya saya melatih puisi di beberapa SD dan inilah salah satu puisi yang 'jadi' pada waktu itu dan alhamdulillah diterbitkan oleh harian Cakrawala. :D


Saya yang sedang melatih baca puisi Wanda dan Wira hehe kalau baca puisi itu harus lebay! :D

Hal unik dari puisi ini adalah karena bentuk, judul, dan temannya sangat mainstream, mengingatkan saya akan puisi-puisi yang pernah saya buat dan saya tulis (dan saya yakin anda semua juga) :D puisi ala anak-anak SD hahaha. Yah, susunan katanya tidak terlalu bermain pada majas (meskipun ada sih) karena saya pikir untuk porsi anak SD, bahasanya tidak usah terlalu berat. Namun buka berarti puisi ini dibuat secara abal-abal, bukan. Tetapi jika dikatakan dibuat sederhana, yah bisa jadi. Semoga saat membaca puisi ini, ingatannya kembali ke guru kalian, terutama guru SD yang bisa dikatakan lebih lama menghabiskan waktu bersama kita. :)



Sabtu, 23 Agustus 2014

Alegria



Musibah adalah tamu tak diundang.
Seperti kemarin, tetiba dia meluncur
dengan sepeda motor dari balik busur
hujan sambil membawa dua buah bejana.

Dia lalu menuang air darah 
dalam bejana hitam ke wajahku, 
lalu lumpuhlah dunia!

“Itu adalah dolorosa, jadi rasakanlah!”
Aku menahan perih dalam diam.
Lalu tersenyum saat mengingat Tuhan.

Musibah tercengang, dia menuang cairan pelangi 
dalam bejana putih ke wajahku,
lalu berwarnalah dunia!

“Itu adalah alegria, jadi terimalah.”
Aku menahan tawa melihat dia pergi begitu saja. 
Dan saat dia kembali datang, 
akan kusambut dengan syukur dan sabar.


(Makassar, Juli 2014)



*

Nb: 

dolorosa : kesengsaraan
alegria    : kebahagiaan


**

Puisi ini terbit di harian Cakrawala dan kudedikasikan (asik) untuk kak Jumrang. Dan memang beliaulah inspirasi dari puisi ini. Terutama saat beliau mendapat musibah (kecelakaan) beberapa waktu lalu yang membuat kami semua khawatir terhadap beliau (parah meen, parah). Tapi menariknya, kak Jum dengan ikhlas menerima musibah tersebut. :) Dan alhamdulillah, kini beliau telah sembuh dari keadaan tersebut. Hebat kak Jum, salah satu inspirasi kami semua. Orang yang mampu mengubah dolorosa menjadi alegria. 

Oh iya, kemarin (Sabtu, 23 Agustus 2014) beliau terpilih sebagai ketua FLP cabang Makassar periode 2014 -2016. Saya mengucapkan selamat sekaligus turut berduka cita, alhamdulillah sekaligus innalillah. Selamat bergelut dengan alegria sekaligus dolorosa. :)


Smile kak Jum, smile! :) Kami akan selalu mendukungmu :D hohoho

***

Jumat, 22 Agustus 2014

Jiwa yang Tenang


                                          Sumber: http://bukhoryart.files.wordpress.com/

Mentari sepi di antara kolong langit,
menyapa jutaan manusia yang berbalut sepi.
Meski rasaku semakin tak kuat, aku bertahan!
Mohon Jiwa yang Tenang dengarlah.

Apa yang telah terjadi tak dapat kembali lagi
sebab penyesalan selalu datang di akhir.
Jiwa yang Tenang terusik dari tidur yang lelap,
maka mohon Jiwa yang Tenang, dengarlah.

Dunia tak mau lagi mengakui
saat kesempatan terang terbuang di sisi hari.
Jauh sudah kita melangkah, namun  hasil tak didapati
kini aku hanya bisa bersyair.

Namun kuingatkan padamu Jiwa yang Tenang, tak ada yang percuma.
Sebab jelas terasa kita telah berjuang bersama.
Kumohon Jiwa yang Tenang, tetaplah terlelap
meski kini aku hanya bisa bersuara.

Jiwa yang Tenang, dengarkanlah suara kehidupan,
simfoni indah dunia yang akan membuatmu kembali terlelap.
Jiwa yang Tenang, dengarkanlah suara kehidupan,
melodi indah dunia yang akan membuatmu terus terlelap.


(Makassar, Mei 2012)

*

Terbit di harian Cakrawala (Dengan sedikit perubahan) :) Anggaplah ini versi 'Remastered' nya hehe dari puisi 'Jiwa yang Tenang' yang dulu sempat kuposting di awal-awal saya bermain blog hehehe. 

Rabu, 20 Agustus 2014

Aisyah

                  Sumber: http://copypast.ru/

1/ Memanah Purnama

Aisyah engkau tetap memandangi roda masa
tak tahu apa yang kaupikirkan
memberi kesaksian sejarah anak zaman
mengerti yang mereka butuhkan

kadang kau terpuruk
dalam duka bayang-bayang
kadang kau semangat
dalam suka terang

Aisyah kini langkahmu semakin terarah
berjuang untuk diri dan masa depan
berorasi dalam aksi bahagianya jiwa
hatimu sesuci kemuliaan

kadang pesimis melanda
sungguh hitam rasa
namun optimis
selalu membawa cahaya

Aisyah kau tak sendiri di tengah dunia
tetap melangkah bersama
walau semua tak seindah yang kau harapkan
kau tetap memanah purnama

dan tak lama kau semakin berjaya
hingga napasmu terengah
kau semakin terlihat indah
dalam rupa wanita

2/Bulan yang Tak Purnama

tidakkah kaulihat Aisyah menangis?
tidakkah kaulihat Aisyah bersedih?
saat semua hilang entah dan pergi
saat semua sepi menghantui

mentari di siang tak lagi sakit
purnama telah berganti dengan sabit
tapi cerita Aisyah tak juga habis
kini ia berselimut sepi

selendang Aisyah dini hari
tak kenyang melahap makan dan pergi
lalu ia teriak dalam keheningan gelap sunyi
di bawah bulan yang tak purnama lagi

nurani mencari keyakinan diri
sebagai perempuan yang tak mesti nakal lagi
agar ia bukan sekadar sosok dan nama diri,
bukan sekadar sosok dan nama diri

Aisyah terus berlari
mencari sosok yang dapat memperbaiki
hijab yang melindungi diri dari
sengat dunia yang dapat menodai

malam-malam sepi
tanpa purnama lagi
mencari terus mencari
tanpa kenal henti


(Makassar, Januari 2013)

*

Terbit di harian Cakrawala
(Ini versi terbaru sebenarnya dari 2 puisi yang pernah kuposting saat masih awal-awal nge-blog :D) 


Lampu Kota yang Temaram

                                          Sumber: johansuryantoro.blogspot.com

1/
lampu kota yang temaram,
masihkah kauingat?
kisah kita dalam diam
dalam rindu yang tersirat

lampu kota yang temaram,
masihkah terbayang?
perjalanan saat malam
mulai menjelang

saat kaulihat cahaya kunang-kunang
yang berpendaran di balik bayang-bayang

lelah hatimu merasa
senang jiwamu, kautertawa
tenangkanku yang merasa bersalah
pada hujan,
padamu, lampu kota yang temaram

2/
lampu kota yang temaram
masihkah kausuka?
bersuara, memberi salam,
mengobati duka

lampu kota yang temaram
masihkah kaurela?
menerangi taman kelam
tempat semua bermula

saat sinarmu terbias rinai hujan
yang menumpahkan seribu kerinduan

aku merindumu telah lama
saat terhapus semua cerita
maafkanku yang merasa bersalah
pada hujan,
padamu, lampu kota yang temaram


(Makassar, Mei 2013)

*Terbit di harian Cakrawala

Selamat Datang ke Masyarakat, Mahasiswa! -Sebuah Kisah Ber-KKN di Pinrang-

Sudah tiga tahun saya duduk di bangku kuliah, dan biasanya pada peralihan semester enam ke semester tujuh ada ritus tahunan yang wajib dilakukan mahasiswa dengan SKS yang telah mencukupi (biasanya 90). Apa itu? Yup, KKN alias Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme :D eits, bukaan! Maksudnya Kuliah Kerja Nyata. Sebuah kegiatan di mana mahasiswa (ehm) dilepas ke masyarakat untuk mengabdi berdasarkan jurusan, program studi, keahlian, dan spesialisasinya selama kurang lebih dua bulan (dulu tiga bulan) yang kali ini merupakan gelombang ke 87. 
Dan setelah mengalami proses yang panjang (membayar, mendaftar, registrasi ulang, pembekalan berkali-kali, pelepasan, serta di-PHP berkali-kali *tentang jadwal pengambilan atribut dan pemberangkatan, oh iya, dan rapat berkali-kali, akhirnya pada hari Jumat, tanggal 10 Juli 2014 saya berangkat juga!


Dua hari sebelum pemberangkatan, lokasi telah dibagi, dan saya berada di kabupaten Pinrang kecamatan Mattirobulu, yeay! Actually, saya lebih menyukai Pinrang ketimbang lokasi lain yang menjadi tujuan KKN tahun ini (Bone dan Enrekang). Saya tidak tahu kenapa, mungkin karena Pinrang masih saudara dengan Parepare, mungkin karena saya sudah pernah ke Pinrang, atau mungkin karena akses ke Pinrang itu mudah
Namun salah satu alasan yang kuat, karena saya memiliki banyak kenalan, sahabat, dan orang-orang terdekat yang berasal dari Pinrang. Sebut saja kak Jumrang dan keluarganya yang baik hati (guru menulis saya yang sempat terkena musibah), kak Wawan (Fitrawan Umar), Pak Bahar (salah seorang inspirator dan calon guru berprestasi Nasional *ciee), Kucing Senja (Dirga alias muridnya Pak Bahar),  Irfan (ketua angkatan 2011 Antro), Rani (teman curhat yang sebenarnya memiliki asal usul tidak jelas apakah dia Pinrang, Enrekang, atau Kalimantan :D), Memet (ketua Himpunan Sastra Inggris), kak Ismi (ini juga tidak jelas apakah Pinrang atau Jawa - -“), kak Opu (Esais -> ini juga orang tidak jelas, Pinrang atau Kalimantan) Kode (nama sebenarnya Risky *he?), Hijriah (juniorku di Antro), Aris (teman angkatan di Antro),  Arman (juga teman angkatan) dan Arif (seorang sahabat yang KKN di Miangas -> ini juga tidak jelas apakah Pinrang atau Parepare  - -“)  Wahtever! intinya saya punya banyak kenalan di Pinrang. *Ini kayak ucapan terima kasih saja, banyak nama dan panjang-panjang haha ;D
Oke, kembali ke laptop! Akhirnya saya ke Pinrnang bersama teman-teman baru yang baru juga saya kenal. Di dalam mobil, saya besempit-sempit ria bersama delapan orang dan bersama barang bawaan yang bejibun banyaknya. Sumpah, terlipat badanku duduk di belakang -____-“ tapi yah begitulah perjuangan yang akan selalu kami kenang. Hehehe :D
       Suasana di Kantor Bupati (di sini ramai dan panas loh)
Kami disambut di kantor Bupati Pinrang, dansaat pembagian posko, namaku tidak terdaftar di mana-man cooy… Saya ulangi, tidak ada di mana-mana. What the hell? - -“. So, Pak Arya (my best supervisor) memasukkan saya di kelurahan Padaidi. Dan tebak, saat melihat wajah-wajah teman poskoku pertama kali, saya kurang semangat. Sebab mereka semua menampilkan wajah lesu dan kurang bersemangat (maaf teman-teman :P) tapi setelah beberapa menit bergaul dengan mereka, (dan setelah sampai di posko) mereka adalah salah satu teman terbaik yang pernah ada! Sumpaah! :)
Jadi ceritanya, dalam posko Padaidi awalnya ada delapan orang. Nah, seorang pindah ke posko lain, terus ada lagi yang pindah tidak bilang-bilang, jadi totalnya ada tujuh orang, ditambah saya yang baru masuk totalnya jadi delapan orang. Kemudian, masuklah dua orang anak UNAN (Padang nih, Padang) yang ceritanya lagi ikut KKN Tematik sehingga totalnya kini sepuluh orang. Eits, belum selesai, salah seorang di antara kami membawa anaknya yang baru berumur 40 hari (waw) lengkap dengan saudaranya selaku baby sitter, jadi total kami dalam satu posko ada 12 orang. Great! Amazing!
Saat berada di kantor bupati, kami tidak disambut (dan dijemput) oleh “Pak Lurah” yang seharusnya menyambut kami, tapi dijemput oleh Pak Sekcam yang akhirnya membawa kami ke rumah salah seorang teman poskoku yang (secara kebetulan mungkin?) bisa kusebut pulang kampung. Karena KKN di rumah sendiri hehehe.
Setelah berangkat dari kantor bupati menuju kecamatan Mattirobulu (tepatnya ke kelurahan Padaidi, lingkungan Karangan) dan lagi-lagi berdesakan dalam mobil yang penuh barang, kami ber-12 akhirnya tiba di sebuah posko berarsitektur Bugis. Sebuah posko yang dalam sebulan ke depan akan penuh kegilaan, konflik, kelucuan, keongolan, kehangatan, persahabatan, dan ehm, cinta. Sebuah posko yang kami sebut "Rumah".


Selfie pertama dengan teman se-posko :D

Bersambung…

Minggu, 22 Juni 2014

Penelitian, Gilang, dan Bukit Singkiq -Sebuah Perjalanan ke Toraja Utara


Hari selasa yang lalu (17 Juni 2014), lagi-lagi saya mengunjungi Toraja dalam rangka penelitian. penelitian kali ini mengenai implementasi wajib belajar sembilan tahun di kabupaten Toraja Utara. Tentunya saya tidak sendiri, ada Kamil, kak Varis, Rahmat, Rustam, dan Amil yang menemani petualangan saya di sana selama empat hari. Kami berangkat menggunakan bus malam (Bintang Prima *promosi kah?) yang membawa kami dari padatnya Makassar pada pukul 22.00 wita.

Di Rantepao, kami menginap di Wisma Maria I, sebuah wisma di mana kalian akan merasa feel like home. Tidak ada tekanan, tidak ada hal-hal yang membuat kita tidak nyaman. Memang sih tidak terlalu mewah, tapi yang membuat kita rindu adalah kamarnya yang dingin, air -yang seharusny- panas tidak panas,  sarapannya tiap pagi -roti bakar yang terlampau nikmat dengan telur mata sapi, msrgarin, dan selai nenas-, keramahan petugasnya, dan Gilang! Seekor anjing jenis  Siberian Husky yang membuat saya jatuh cinta. Bagaimana tidak, ia memiliki tingkah lucu nan menggemaskan dengan mata yang berbeda warna antara satu dan lainnya (yang satunya berwarna abu-abu, yang satunya lagi cokelat.) 


                                          *Saya dan Gilang yang lagi guling-guling


                     *Gilang dengan matanya yang beda warna (seperti pakai softlens, atau Sharingan? :D)

Singkat cerita, kami mendatangi beberapa SD dan SMP di beberapa kecamatan di Toraja Utara. Ini sungguh melelahkan, sebab kami harus menempuh perjalanan dengan medan yang cukup sulit.Untungnya kami membagi diri menjadi tiga tim, dan timku(saya, Rahmat, dan Pak Yulsak *Navigator) mendapat jatah sekolah-sekolah di bagian kota Rantepao saja (yeyeye) :D 

Banyak hal menarik selama petualangan kami dari satu sekolah ke sekolah lain, sebut saja saat berbincang dengan kepala sekolah dan guru yang mengeluh karena kekurangan fasilitas, karena siswa-siswanya suka bolos, karena tidak punya aula, karena anaknya supel dan kuliah di UNHAS jurusan Arsitektur angkatan 2010 *loh? gak nyambung yah? (maaf..) pokoknya banyak sekali. Ternyata menjadi seorang kepala sekolah itu tidak mudah yah... hehehe.

Oh iya, di tengah petualangan kami, tersiar berita duka, kakak dari Rustam meninggal dunia, sehingga ia harus di pulangkan saat malam sabtu. Jadilah kami tinggal berlima.

Dan di hari terakhir sebelum kami meninggalkan Toraja yang indah, kami naik ke bukit Singkiq, sebuah bukit di mana di atas bukit tersebut berdiri struktur salib yang kokoh dan terlihat di seantero Rantepao. Kami naik ke sana di temani Vrista sebagai guide dan menyaksikan betapa indahnya Rantepao dari ketinggian (dan sungguh capek loh  melewati 314 anak tangga *betulan, saya yang hitung). Selain itu, terlihat pula gunung Sesean, gunung tertinggi di Toraja.

Baiklah, sebagai bagian akhir dari curcol ini, saya beri sebuah puisi singkat. Bye....
 
                                                                               *

Di Bukit Singkiq

salib berdiri
adzan mengawini angin

                                                                                                                  (Rantepao, Juni 2014)




Minggu, 15 Juni 2014

Navicula dan Iwan Fals; Manusia yang Bermusik tentang Manusia



Halo...

Akhir-akhir ini rasanya saya kembali menyukai lagu-lagu yang sedikit mengkritik kehidupan. Taruhlah lagu-lagu milik Iwan Fals dan Robi Navicula. Mungkin karena pada suatu malam saat Makassar International Writers Festival 2014 (MIWF), Robi Navicula melantunkan lagu-lagu kritikan yang alirannya 'gue bingitsss' XD hehehe. Bagaimana tidak, coba buka deh di Youtube lagunya Busur Hujan yang bercerita tentang manusia dan lingkungan (secara Robi juga aktivis Green Peace) atau Mafia Hukum yang mengkritik korupsi di Indonesia yang sudah memamah-biak. Bagi kalian para aktivis, pecinta Rock, ataupun para manusia yang haus akan nilai-nilai kehidupan pasti jatuh cinta. :D

Nih saya kasih potongan liriknya Mafia Hukum:

Mafia hukum, hukum saja
Karena hukum tak mengenal siapa

Skafo (Sekadar Info) yah, Navicula ini band asal Indonesia (Bali lebih tepatnya) yang take album di Hollywood loh... Keren kan? Bangga lah dengan Indonesia! hehehe



Kemarin (15 Juni 2014) juga nih yah, saya baru mendengar lagu terbaru Iwan Fals dari album Raya-nya yang keluar tahun 2013 lalu, sebuah album yang didedikasikan untuk anak ketiganya, Raya Rambu Rabbani. (Ini juga berarti Iwan Fals orangnya Sweet bingitss). Ini juga bukan untuk yang pertama kalinya beliau menulis lagu untuk anaknya, Galang Rambu Anarki juga lagu yang didedikasikan untuk anak pertamanya (dengan nama yang sama), dan Cikal untuk anak keduanya (namanya Annisa Cikal Rambu Bassae).


Oh iya, lagu paling keren dalam album Raya itu berjudul Katanya. Sebuah lagu yang sempat membuat saya merinding mendengarnya. Bagaimana tidak, mendengarnya sajak membuat saya berpikir "Iya yah, kok Indonesia seperti ini?" Potongan liriknya seperti ini:

Katanya zamrud khatulistiwa
Nyatanya kilau air mata
Katanya serpihan surga
Nyatanya... Oh...

Dalam kan? Bingitss... T.T

So, tunggu apa lagi, ayo download lagu-lagunya hehehe atau minimal buka deh di Youtube... :)

Bagian akhir, saya kasih lirik Busur Hujan deh... nih cekidot! :D

Busur Hujan

busur hujan di cakrawala
kaurayu hatiku menuju ke sana
busur hujan di cakrawala
maha karya jembatan ke gerbang surga


kukembangkan layarku
arungi samudera ibuku
kan kuhunjam sauhku
ke dalam rahimmu


warna-warni kita menjadi satu 
warna-warni kita menjadi satu 
warna-warni kita menjadi satu 
warna-warni kita menjadi satu 
di dalam rahimmu

busur hujan di cakrawala
manusia titipkan mimpinya di sana 

busur hujan di cakrawala
ada harta di kakinya, menunggu di sana


kukembangkan layarku
arungi samudera moyangku
kan kuhunjam sauhku
ke dalam rahimmu



Oh iya, saya mau protes sama Blogger.com, kenapa saya tidak bisa mengunggah foto ke sini? Hah? -____-"


                                                                         ***