Konstelasi Imajinasi

Senin, 24 Maret 2014

Teori-Teori Pembangunan Menurut Visi Cultural Studies


Salah satu faktor paling penting dalam peningkatan kualitas SDM adalah faktor mentalitas. Faktor mentalitas ini oleh sebagian orang disebut sebagai faktor “manusia” atau Human Factor (Inkeles 1966) atau disebut juga the state of mind (Harrison, 1985), faktor non-ekonomi (Kuntjoro-Jakti, 1972), faktor psikokultural (Budiman, 1989), sikap mental (Koentjaraningrat, 1974) pokoknya apa pun namanya, isinya tetap sama, yakni konsep yang mengandung kombinasi aspek kejiwaan dan akal budi manusia yang hidup di dalam satu lingkungan kultural tertentu.
Faktor tersebut menurut Porter terdiri atas attitude, values, dan beliefs (sikap, nilai, dan kepercayaan) namun sepertinya Amri Marzali lebih senang menggunakan istilah faktor psikokultural. Ketika faktor ini dikaitkan dengan usaha untuk berproduksi tinggi (dalam konteks pertumbuhan ekonomi), maka ini akan berubah menjadi daya atau energi yang disebut daya psikokultural. Yang dimaksud di sini adalah kemampuan mental, akal-budi, atau mind sekumpulan individu dalam mendorong diri mereka untuk terus berproduksi tinggi.
Ada banyak teori Barat yang mengupas tentang hubungan antara manusia yang berdaya psikokultural tinggi dengan pekembangan ekonomi suatu bangsa, yakni:

1.   Max Weber
Bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958) memperlihatkan bagaimana semangat untuk pencapaian kemajuan lebih menonjol di kalangan Orang Protestan dari Orang Katolik. Mengapa? Sebab ada seperangkat nilai yang terkandung dalam etika Protestan (khususnya aliran Calvinisme) yaitu: 1. asceticism (kerja keras, hemat, jujur, rasionalitas dan sederhana), Calling (masing-masing orang memiliki kewajiban), dan Election (Tuhan telah memberkahi orang-orang tertentu). Fakta ini membuat kita berpikir tentang pentingnya peranan agama dalam kemajuan ekonomi. Berbeda dengan agama-agama Timur (Hindu, Konghucu, Buddha dll) yang memiliki aspek irrationality dimana Weber berpandangan bahwa ini adalah faktor penghambat.

2.   Arthur Lewis
Dalam bukunya yang berjudul The Theory of Economic Growth (1955), Arthur Lewis menghubungkan faktor-faktor psikokultural yang mendorong kemunculan para wirausahawan dengan masalah lingkungan sosial dan politik yang subur bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut Arthur, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh sikap terhadap kerja, terhadap jumlah dan pemilihan anak, terhadap penemuan baru, terhadap orang asing, terhadap pencarian pengalaman hidup, dan lain-lain. Lebih lanjut, Lewis berpendapat bahwa agama bisa berpengaruh buruk namun bisa pula berpengaruh baik terhadap kemajuan ekonomi.

3.   Ervett Hagen
Dalam bukunya On the Theory of Social Change (1962), pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak datang secara-tiba-tiba tapi melalu proses bertahap yang berlangsung dalam beberapa generasi yang dia sebut transition to economic growth.

4.   Gunnar Myrdal
Bagi Myrdal, faktor-faktor psikokultural tidak hanya melahirkan perilaku berwirausaha, tapi juga memasuki, membentuk, dan mendorong dimensi politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain dari seluruh sistem nasional. Myrdal juga melihat pola-pola ideal dalam proses menuju ke masyarakat modern, seperti sikap rasionalitas, persamaan, sosial dan ekonomi serta demokrasi politik merupakan hal yang asing dalam kebanyakan masyarakat negara terbelakang. Hal itu bisa kita temukan dalam bukunya yang berjudul Asian Drama (1968).

5.   David McClelland
McClelland berpendapat bahwa satu jenis daya mentalitas seseorang yang disebutnya sebagai “n achievement” adalah faktor penting bagi kemajuan usaha orang tersebut. Daya psikokultural ini berbentuk semacam gagasan, motivasi, semangat, dorongan, untuk melakukan pekerjaan tidak hanya dengan hasil yang baik, tapi dengan hasil yang terus-menerus berkembang lebih baik.

6.   Alex Inkeles
Seperti ahli-ahli lain, Inkeles juga menempatkan teorinya tentang modernisasi manusia dalam konteks pembangunan ekonomi, yaitu dalam rangka peningkatan kehidupan manusia melalui peningkatan produksi. Secara singkat, Ia mengatakan bahwa manusia modern adalah manusia yang siap untuk meninggalkan pola pikir tradisional jika diperlukan.

Sumber:
Bab 4, Antropologi & Pembangunan Indonesia oleh Amri Marzali

Ilalang


                                Sumber: 4.bp.blogspot.com/


Tak seindah azalea,
yang sepanjang zaman melegakan mata.

Yak sesuci melati,
yang aromanya hingga ke relung hati.

Tak seharum lavendel,
yang menerapi sepanjang kalender.

Tak seagung teratai,
yang terapung membawa damai.

Tak semewah anthurium,
yang bermandikan susu bermanjakan cium.

Tak sehebat magnolia,
yang pesonanya tak termakan usia.

Tak sesabar dandelion,
yang terinjak meski mungkin oleh mastodon.

Hanya aku,
yang terbang, hilang, dan terbuang.  


(Makassar, 2013)


*

Puisi ini pernah dibacakan di acara Laskar, sebuah acara sastra yang disiarkan oleh radio kampus Unhas, EBS Fm. Puisi ini juga diterbitkan di koran kampus Identitas, dan merupakan salah satu puisi favorit penyair perempuan Makassar (yang punya banyak fans dimana-mana). Yup, Azure Azalea! :D hehehe 

Selasa, 18 Maret 2014

Dimensi Sosiokultural dalam Pembangunan


Konsep “pembangunan” pada mulanya, dan pada dasarnya diacukan kepada pengertian pembangunan ekonomi, yakni “suatu proses dimana real per capita income dari satu negara meningkat dalam sautu masa panjang dan dalam masa yang bersamaan jumlah penduduk yang “di bawah garis kemiskinan” tidak bertambah, dan distribusi pendapatan tidak makin senjang (Meier 1989). Namun dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial, pembangunan diartikan lebih umum, yakni “perubahan sosiokultural yang direncanakan (dan menuju ke arah yang lebih baik. ed)” (Arensberg dan Niehoff 1964). Ada beberapa kasus yang diceritakan oleh Amri Marzali dalam bab ini yakni:

1.    Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik di Malaysia
Rancangan Malaysia Kedua (1971-1975), atau Repelita Kedua Malaysia adalah suatu ciptaan yang paling penting dalam sejarah Malaysia. Repelita ini secara dahsyat merombak prioritas tujuan pembangunan dari pertumbuhan ke pemerataan. Butirnya berbunyi “mengurangi dan seterusnya menghapuskan kemiskinan…” harus dilaksanakan “…melalui peningkatan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja bagi semua rakyat Malaysia.” Butir yang paling penting adalah “membangun susunan masyarakat Malaysia yang baru di mana ketidak seimbangan ekonomi antar kaum (antar kelompok etnik dan ras) berkurang dan seterusnya menghilang (Malaysia 1971).Kaum yang dimakasud disini adalah kaum Melayu, Cina, India, dan lain-lain. Hasilnya? Bisa kita lihat bagaimana majunya Malaysia saat ini.

2.    Strategi Pembangunan Cagar Budaya Condet
Kawasan Condet terkenal akan buah duku, salak dan budayanya yang Betawi banget. Oleh karena itu, Gubernur DKI Jakarta Bapak Ali Sadikin (1966-1977) bersama staff dan jajaran pemerintahan waktu itu berencana untuk melestarikan budaya Betawi dan kawasan perkebunan dukuh dan salak dengan melakukan 6 kegiatan, yakni; pembentukan koperasi simpan pinjam, pembangunan jalan raya dan jalan setapak, renovasi rumah tradisional Betawi, penghijauan, penggalakan kegiatan kebudayaan, dan pembangunan industri kerajinan tangan, kolam ikan, dan cara pertanian modern. Oh yah, khusus untuk yang melanggar aturan memotong pohon salak, maka akan DISUNAT oleh Pak Gubernur (serius). Hasilnya? Memang pada mulanya berjalan mulus, namun dampak negatif dari proyek pembangunan ini adalah masuknya sarana dan prasarana modern di wilayah tersebut (yang tersebar di sepanjang jalan yang baru dibangun) dan makin banyaknya warga Jakarta yang berpindah ke Condet seiring dengan mudahnya akses transportasi. Warga baru tersebut kemudian mendirikan rumah-rumah dan bangunan-bangunan di atas kebun salak (termasuk investor) akibatnya para pemuda Condet ta’bangka gehol, dan lahan kebun salak pun semakin menyempit. Oh yah, dan bagaimana dengan hukuman akan disunat? Pak Gubernur pensiun duluan.

3.    Persebaran Teknologi Tepat Guna
Kasus ini melibatkan 3 pesantren dimana di tiap pesantren diberikan pelatihan cara membuat beberapa jenis peralatan teknologi tepat guna oleh klien LP3ES yang ujung-ujungnya “Gatot” alias Gagal Total. 1) Alat perontok padi yang diberikan kepada pesantren Darunnajah di desa Pondok Pinang dan Pondok Kacang di Tangerang sukar diterima karena masyarakat disana sudah tidak bersemangat lagi bertani (pindah pekerjaan), bahkan tanah mereka sudah dijual kepada investor yang ingin membangun real estate. 2) Di daerah Madura, diperkenalkan tungku lorena yang memudahkan mereka dalam memasak makanan. Namun makanan utama mereka ternyata adalah jagung yang dikeringkan diatas para-para yang disimpan di dapur dengan harapan panas dan asap hasil pembangkaran merayau ke arah jagung tersebut. Masalahnya tungku lorena mengalirkan asap keluar rumah melalui cerobong, jadinya jagung mereka tidak bisa dipanasi dan tidak bisa dipanasi. 3) Beberapa pesantren menghadapi persoalan organisasional yang berkaitan dengan tradisi. Pesantren memiliki tujuan untuk meningkatkan pendidikan agama di suatu masyarakat namun kini pesantren dihadapkan pada tujuan baru yakni pembangunan masyarakat dan penyebaran teknologi tepat guna. Namun hal ini ternyata mendatangkan konflik internal antara kyai yang mendukung tujuan baru tersebut (kyai progresif) dengan kyai yang menolak (kyai tradisional).


4.    Ketegangan Sosial di Cilegon
Ini adalah pengalaman Amri Marzali bersama trainee LP3ES yang meneliti masyarakat desa di sekitar pabrik waja PT. Kratakau Steel, Cilegon. Survey dijalankan dan hasilnya sekitar 80% anggota masyarakat menyambut gembira kehadiran pabrik tersebut. Selesai? Tidak, Hasil ini menyesatkan! Karena setelah ini, Amri Marzali melakukan penelitian khas Antropologi, yakni observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Hasilnya? Yang 80% tadi ternyata sangat tidak suka dengan cara pabrik membebaskan tanah penduduk (dengan setengah memaksa) dan mengangkat pegawai (yang bukan orang Banten). Sedangkan kaum ulama mengkhawatirkan efek negative dari pabrik ini dalam perkembangan pelacuran. Rupanya mereka khawatir (baca: takut) dengan keadaan mereka jika menjawab “tidak senang” terpaksalah mereka menjawab “senang” agar kehidupan mereka aman-aman saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: 1) faktor kultural (solidaritas antar etnik) dalam hubungan sosial harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan daerah. 2) Pentingnya teknik penelitian antropologis dalam menggali dimensi cultural dalam pelaksanaan pembangunan.   

Sumber:
Resume dari Bab 3 buku Antropologi dan Pembangunan Indonesia oleh Amri Marzali