Konstelasi Imajinasi

Jumat, 18 April 2014

Alangkah Rusaknya Negeri Ini


Tulisan ini bermula dari kekhawtiran saya terhadap keadaan Indonesia yang ‘rusak’ saat ini. Terlebih, ketika suatu siang saya membaca buku tulisan Amri Marzali (Antropologi & Pembangunan Indonesia) di mana dalam buku itu ada penggambaran sebuah penelitian yang dilakukan oleh Edward Banfield di desa Montegranesi di Italia bagian selatan. Penelitian tersebut mencatat satu kondisi psikokultural negatif yang tidak mendukung ke arah kemajuan ekonomi masyarakat, yaitu sikap iri hati kepada orang lain (1958). Masyarakat Montegranesi berperilaku bagai mengikuti aturan yang berbunyi “Maksimalkan keuntungan materi jangka pendek keluarga batih, anggaplah bahwa orang lain juga akan berbuat seperti itu.”

Mereka yang berperilaku seperti ini disebut sebagai “amoral familist” (Sifat keluarga yang Tidak Bermoral). Persoalannya, Indonesia menurut Amri Marzali (dan saya juga sepakat) merupakan negara dengan penduduk yang menderita ‘penyakit’ ini, ciri-cirinya:

1. Tidak ada orang yang mendahulukan kepentingan kelompok, kecuali kalau kepentingannya sendiri sudah terpenuhi.
2.    Hanya para pegawai negeri yang peduli akan masalah-masalah umum. Orang biasa tidak peduli.
3.     Hanaya ada sedikit pengawasan atas kegiatan pegawai negeri.
4.     Organisasi sulit untuk dibangun dan dibina, karena masin-masing orang hanya memikirkan kepentingan sendiri-sendiri.
5.    Pekerja kantor hanya akan bekerja keras sepanjang hal itu diperlukan agar dia tidak dipecat.
6. Kepatuhan pada hukum hanya karena takut akan dihukum. Kalau tidak ada alasan karena takut hukuman, maka undang-undang tidak akan dipedulikan.
7. Pegawai akan korupsi sepanjang dia bisa mengerjakannya.
8.     Mereka yang lemah akan menyenangi rezim tangan besi.
9.     Barang siapa yang membangkitkan semangat pelayanan umum sebagai motif kerja akan dianggap sebagai penipuan omong kosong.
10. Prinsip politik yang abstrak tidak sesuai dengan perilaku konkret setiap hari.
11.Tidak ada pemimpin dan tidak ada pengikut. Masing-masing jalan sendiri-sendiri.
12.Orang hanya akan ikut PEMILU untuk mencapai tujuan kepentingan jangka pendek.
13.Individu-individu akan menyokong kegiatan bersama hanya jika ada keuntungan-keuntungan langsung bagi dirinya.
14.Janji-janji Parpol hanya dipercaya sedikit sekali.
15.Para penguasa dianggap hanya mementingkan diri sendiri dan korup.
16.Tidak ada perilaku organisasi politik yang sesuai dengan namanya.
17.Pekerja partai akan menjual jasanya kepada pembayar yang tertinggi. 

Bagaimana? Poin-poin di atas dapat kita temukan dengan mudah di sekitar kita bukan? Jangan salahkan diri anda jika hal-hal di atas merupakan santapan sehari-hari di negeri ini. Kita adalah sebuah Amoral familist! Lantas apakah kita hanya akan tinggal diam sebagai penonton saja? Melihat “keluarga besar” kita ini seterusnya menjadi keluarga yang tidak bermoral? Tentu kita ingin sebuah perubahan. Lebih tepatnay perubahan sosiokultural.

Banyak ahli Sosiologi dan Antropologi yang mengkaji perubahan sosiokultural ini, tapi sedikit dari mereka yang memikirkan secara sadar bagaimana perubahan sosiokultural tersebut sebaiknya diarahkan dan dipercepat. Ideologi cultural relativism lah yang menjadi penghambat hal tersebut. Sebab pemahaman ini menganggap tidak ada budaya yang buruk, semuanya baik berdasarkan pemahaman masyarakatnya, jadi tidak perlu kita campuri. Namun sebenarnya, terdapat institusi yang mampu memperbaiki daya psikokultural masyarakat Indonesia, yakni:
1.    Kepemimpinan
2.    Pernafsiran baru terhadap ajaran agama
3.    Pendidikan dan peralatan
4.    Media Massa
5.    Pembangunan organisasi dan norma
6.    Perilaku manajemen
7.    Pola-pola pengasuhan anak.

Mari kita ubah keluarga kita yang tidak bermoral ini menjadi keluarga besar yang bermoral, tentunya ketujuh poin diatas merupakan pilar-pilar perubahan yang akan membawa harapan. Setidaknya jangan pernah bermimpi untuk merubah negeri ini jika belum melakukan sebuah tindakan nyata yang mampu merubah lingkungan di sekitar kita. Atau dalam lingkup lebih kecil, ubah dulu orang-orang terdekat kita (keluarga, teman, sahabat, bahkan mungkin pacar). Dan, semua itu mustahil jika tidak kita mulai dari diri kita. Mulailah dengan hal-hal kecil yang sederhana. Setidaknya, hal-hal kecil itu (yang tentunya dimulai dari diri kita juga ‘yang kecil’ ini) akan menjadi titik-titik kecil cahaya yang saling menyatu dan menjadi lentera penerang negeri yang –sebenarnya- telah rusak ini.

I Ching pernah berkata “Setelah sebuah masa kehancuran datanglah titik balik. Cahaya penuh daya yang dahulu hilang kini bersinar kembali… Yang lama berakhir, yang baru terlahir.

***

Sumber:
Antropologi & Pembangunan Indonesia oleh Amri Marzali (dengan banyak perubahan disana sini)