Konstelasi Imajinasi

Minggu, 22 Juni 2014

Penelitian, Gilang, dan Bukit Singkiq -Sebuah Perjalanan ke Toraja Utara


Hari selasa yang lalu (17 Juni 2014), lagi-lagi saya mengunjungi Toraja dalam rangka penelitian. penelitian kali ini mengenai implementasi wajib belajar sembilan tahun di kabupaten Toraja Utara. Tentunya saya tidak sendiri, ada Kamil, kak Varis, Rahmat, Rustam, dan Amil yang menemani petualangan saya di sana selama empat hari. Kami berangkat menggunakan bus malam (Bintang Prima *promosi kah?) yang membawa kami dari padatnya Makassar pada pukul 22.00 wita.

Di Rantepao, kami menginap di Wisma Maria I, sebuah wisma di mana kalian akan merasa feel like home. Tidak ada tekanan, tidak ada hal-hal yang membuat kita tidak nyaman. Memang sih tidak terlalu mewah, tapi yang membuat kita rindu adalah kamarnya yang dingin, air -yang seharusny- panas tidak panas,  sarapannya tiap pagi -roti bakar yang terlampau nikmat dengan telur mata sapi, msrgarin, dan selai nenas-, keramahan petugasnya, dan Gilang! Seekor anjing jenis  Siberian Husky yang membuat saya jatuh cinta. Bagaimana tidak, ia memiliki tingkah lucu nan menggemaskan dengan mata yang berbeda warna antara satu dan lainnya (yang satunya berwarna abu-abu, yang satunya lagi cokelat.) 


                                          *Saya dan Gilang yang lagi guling-guling


                     *Gilang dengan matanya yang beda warna (seperti pakai softlens, atau Sharingan? :D)

Singkat cerita, kami mendatangi beberapa SD dan SMP di beberapa kecamatan di Toraja Utara. Ini sungguh melelahkan, sebab kami harus menempuh perjalanan dengan medan yang cukup sulit.Untungnya kami membagi diri menjadi tiga tim, dan timku(saya, Rahmat, dan Pak Yulsak *Navigator) mendapat jatah sekolah-sekolah di bagian kota Rantepao saja (yeyeye) :D 

Banyak hal menarik selama petualangan kami dari satu sekolah ke sekolah lain, sebut saja saat berbincang dengan kepala sekolah dan guru yang mengeluh karena kekurangan fasilitas, karena siswa-siswanya suka bolos, karena tidak punya aula, karena anaknya supel dan kuliah di UNHAS jurusan Arsitektur angkatan 2010 *loh? gak nyambung yah? (maaf..) pokoknya banyak sekali. Ternyata menjadi seorang kepala sekolah itu tidak mudah yah... hehehe.

Oh iya, di tengah petualangan kami, tersiar berita duka, kakak dari Rustam meninggal dunia, sehingga ia harus di pulangkan saat malam sabtu. Jadilah kami tinggal berlima.

Dan di hari terakhir sebelum kami meninggalkan Toraja yang indah, kami naik ke bukit Singkiq, sebuah bukit di mana di atas bukit tersebut berdiri struktur salib yang kokoh dan terlihat di seantero Rantepao. Kami naik ke sana di temani Vrista sebagai guide dan menyaksikan betapa indahnya Rantepao dari ketinggian (dan sungguh capek loh  melewati 314 anak tangga *betulan, saya yang hitung). Selain itu, terlihat pula gunung Sesean, gunung tertinggi di Toraja.

Baiklah, sebagai bagian akhir dari curcol ini, saya beri sebuah puisi singkat. Bye....
 
                                                                               *

Di Bukit Singkiq

salib berdiri
adzan mengawini angin

                                                                                                                  (Rantepao, Juni 2014)




Minggu, 15 Juni 2014

Navicula dan Iwan Fals; Manusia yang Bermusik tentang Manusia



Halo...

Akhir-akhir ini rasanya saya kembali menyukai lagu-lagu yang sedikit mengkritik kehidupan. Taruhlah lagu-lagu milik Iwan Fals dan Robi Navicula. Mungkin karena pada suatu malam saat Makassar International Writers Festival 2014 (MIWF), Robi Navicula melantunkan lagu-lagu kritikan yang alirannya 'gue bingitsss' XD hehehe. Bagaimana tidak, coba buka deh di Youtube lagunya Busur Hujan yang bercerita tentang manusia dan lingkungan (secara Robi juga aktivis Green Peace) atau Mafia Hukum yang mengkritik korupsi di Indonesia yang sudah memamah-biak. Bagi kalian para aktivis, pecinta Rock, ataupun para manusia yang haus akan nilai-nilai kehidupan pasti jatuh cinta. :D

Nih saya kasih potongan liriknya Mafia Hukum:

Mafia hukum, hukum saja
Karena hukum tak mengenal siapa

Skafo (Sekadar Info) yah, Navicula ini band asal Indonesia (Bali lebih tepatnya) yang take album di Hollywood loh... Keren kan? Bangga lah dengan Indonesia! hehehe



Kemarin (15 Juni 2014) juga nih yah, saya baru mendengar lagu terbaru Iwan Fals dari album Raya-nya yang keluar tahun 2013 lalu, sebuah album yang didedikasikan untuk anak ketiganya, Raya Rambu Rabbani. (Ini juga berarti Iwan Fals orangnya Sweet bingitss). Ini juga bukan untuk yang pertama kalinya beliau menulis lagu untuk anaknya, Galang Rambu Anarki juga lagu yang didedikasikan untuk anak pertamanya (dengan nama yang sama), dan Cikal untuk anak keduanya (namanya Annisa Cikal Rambu Bassae).


Oh iya, lagu paling keren dalam album Raya itu berjudul Katanya. Sebuah lagu yang sempat membuat saya merinding mendengarnya. Bagaimana tidak, mendengarnya sajak membuat saya berpikir "Iya yah, kok Indonesia seperti ini?" Potongan liriknya seperti ini:

Katanya zamrud khatulistiwa
Nyatanya kilau air mata
Katanya serpihan surga
Nyatanya... Oh...

Dalam kan? Bingitss... T.T

So, tunggu apa lagi, ayo download lagu-lagunya hehehe atau minimal buka deh di Youtube... :)

Bagian akhir, saya kasih lirik Busur Hujan deh... nih cekidot! :D

Busur Hujan

busur hujan di cakrawala
kaurayu hatiku menuju ke sana
busur hujan di cakrawala
maha karya jembatan ke gerbang surga


kukembangkan layarku
arungi samudera ibuku
kan kuhunjam sauhku
ke dalam rahimmu


warna-warni kita menjadi satu 
warna-warni kita menjadi satu 
warna-warni kita menjadi satu 
warna-warni kita menjadi satu 
di dalam rahimmu

busur hujan di cakrawala
manusia titipkan mimpinya di sana 

busur hujan di cakrawala
ada harta di kakinya, menunggu di sana


kukembangkan layarku
arungi samudera moyangku
kan kuhunjam sauhku
ke dalam rahimmu



Oh iya, saya mau protes sama Blogger.com, kenapa saya tidak bisa mengunggah foto ke sini? Hah? -____-"


                                                                         *** 










Minggu, 08 Juni 2014

Lembaran Kisah Rina(i)


Selalu ada kejadian-kejadian yang disembunyikan. Di balik nasib, di balik rinai hujan yang membasahi lembaran-lembaran buku, bahkan di balik tempat makanan kucing yang tiap pagi dan petang kau isi. Pernahkah kau pikirkan hal itu? 

*

Suatu sore, aku berteduh di rumahmu sebab hujan dengan derasnya membasahi bumi yang selama ini kering. Aku menatapmu, kau menatapku. Lalu kau membuka percakapan singkat yang akan membawa kisah kita menuju lembaran-lembaran panjang hidup.
“Mungkin nasib membawamu kemari, memandang air langit bersamaku. Apalagi yang lebih indah dari momen ini?” Kau berkata padaku.
Aku hanya tersipu mendengarmu mengucapkan kalimat itu padaku. Hati perempuan mana yang tak berbunga saat mendengar untaian kalimat indah dari seseorang yang dicintainya?
Sesaat kemudian, kau merapikan buku-bukumu yang basah terkena hujan. Itu salahmu. Kita hanya ke taman untuk sekadar berjalan-jalan, tapi kau selalu merasa tidak nyaman jika tidak membawa buku bacaan. Akibatnya, buku-buku itu basah ketika langit cerah tiba-tiba berganti hujan.
Habis kau gelar buku-buku itu di lantai teras rumah, kau beranjak masuk untuk mengganti pakaian yang kuyup. Dari balik pintu, kulihat kau menuang makanan di sebuah wadah plastik berwarna jingga tua. Aku pikir itu makanan untuk kucing kesayangan yang selalu kau ceritakan padaku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah laku manismu.
            Meski sudah lama bersamamu, ada satu hal yang membuatku heran terhadapmu. Kau tidak pernah mengizinkanku masuk lebih jauh ke rumahmu. Jika hal itu kutanyakan padamu, maka jawabanmu hanya satu, aku belum halal untukmu. Aku sepakat, lagian apa juga kata orang jika melihat seorang wanita berada di dalam rumah seorang pria. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum begitu mengingat jawabanmu kala itu.
Hujan yang membuatku kedinginan sore itu, memaksa urin menumpuk di kandung kemihku. Aku teriak memanggilmu dari luar pintu, tapi tak ada jawaban darimu. Kakiku gemetar menahan gejolak biologis yang semakin tak terbendung. Aku sudah tak mampu! Tanpa melepas sepatu yang menghiasi kakiku, aku menerobos rumahmu. Kalang kabut mencari toilet yang kadang kita sebut bilik renung.
            Setelah melepas beban itu, aku berniat kembali ke teras rumah. Namun aku tak percaya akan apa yang dipersepsikan panca inderaku sore itu.
Hidungku membau aroma khas minuman keras yang tersebar di seantero ruangan yang bercat abuabu. Botolnya tergeletak bersama alat suntik dan tumpukan kartu. Di dinding, tertempel poster-poster dengan gambar tak senonoh. Pun buku-buku bergenre sastra selangkangan menghiasi rakmu yang penuh. Ada apa dengan rumahmu? Pikiranku mulai melayang kesana kemari. Aku mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
            Hatiku hancur saat kubuka salah satu pintu kamar yang ada di hadapanku. Kusaksikan pemandangan yang tidak akan pernah kulupa seumur hidup.
Kau bercanda mesra dengan perempuan lain!
Oksigen menghilang dari pembuluh darah di otakku. Tubuhku gemetar terpaku. Baru saja aku kau ajak terbang ke langit jauh, kini dari ketinggian, kau menghempasku.
Aku pasti sudah menamparmu kalau saja seekor anak anjing –yang ternyata adalah peliharaanmu- tidak menjilat kakiku. Kau dan kekasih lainmu -yang panik- mencoba menjelaskan semuanya. Tapi aku menolak. Apa lagi yang harus kau jelaskan? Kau tak ubahnya seorang munafik yang berusaha menjerat dan menyesatkan wanita. Tak kusangka aku pernah mencintai orang sepertimu. Topengmu terbongkar sudah. Rumah ini adalah sarang pendosa, dan kau adalah pemimpin mereka. Sejak sore itu, aku bersumpah tak akan ada lagi kisah tentangmu
***
Di lain sore, aku menemukanmu! Kita berteduh di sebuah ruko sebab rinai hujan kembali turun. Dan, bak tak punya rasa malu, kau kembali memulai percakapan denganku.
“Mungkin nasib membawaku kesini, memandang air langit yang selalu saja menyejukkan hati. Siapa namamu wahai gadis penunggu hujan?” Kau berkata padaku.
“Bukankah empat tahun lalu kita pernah bertemu di bawah kanopi pohon, lalu kau berkenalan denganku?  Aku dan kau melebur dalam percakapan cair, membuatku terjebak dalam cinta semu yang sebenarnya hanya nafsu. Bukankah kau ingat itu?”
Kau terdiam,
“Kau juga pasti ingat saat lembaran-lembaran bukumu yang basah menipuku seolah kau orang yang cerdas, padahal kau tak lebih seorang munafik nan pandir.”
Kau masih terdiam.
“Kau juga tentu ingat bagaimana kau mengarang cerita tentang tempat makanan kucingmu yang tiap pagi dan petang kau isi, padahal kau hanya pembual belaka.” Aku menatapmu nanar, kau tetap terdiam.
“Maaf, aku tidak mengerti maksudmu nona.” kau seolah tak tahu apa-apa.
“Evan, berhentilah berlaku bodoh!”
PLAK!
Akhirnya aku menamparmu. Tamparan yang tertunda empat tahun lalu kini benar-benar membekas di pipimu. Pun suaranya mengalahkan gemuruh rinai yang menghantam atap ruko tempat kita bertemu.
“Kak Rina! Apa yang kakak lakukan?” Adikku seolah tidak sepakat dengan perlakuanku pada lekaki munafik itu.
“Orang ini yang membuat hati kakak remuk. Dialah alasan mengapa kakak terkena Skizofrenia.” Aku menjelaskan perbuatanku pada Nia yang selama empat tahun ini –saat aku sakit- setia menemani kemana pun aku pergi.
“Kakak, perhatikan orang itu baik-baik.” Nia memelukku erat. Air matanya mengalir dari pipinya yang tembem. Sontak kuperhatikan baik-baik sosok yang kutampar tadi, lalu kulontarkan sebuah pertanyaan sederhana.
“Maaf, anda siapa?”
***
Makassar, 12 Mei 2014

*Terbit di Identitas edisi akhir Mei