Konstelasi Imajinasi

Minggu, 31 Agustus 2014

Dari Bumi ke Langit


                                sumber : kongthe.com


Mentari bersedih
saat tergelincir.

Pekat malam selalu mengisi
ruang yang letih.

Dan aku hanya berdiri di sini
menanti pagi.

Luka yang kualami
kini belum terobati.

Apa yang terjadi nanti
bila terus begini?

*

Karena cinta manusia senang pergi,
memaksaku terus berlari.

Di antara pelangi aku menimbang mimpi,
di ujung hari pelangiku pergi.

Dan dunia yang akan jadi saksi
dari bumi ke langit aku terus mencari.

Apa yang terjadi nanti
bila terus begini?

*

Percayalah,
mentari akan tunjukkan
semua cinta
yang kau simpan
di hati.


(Makassar, Juni – Juli 2014)

Jumat, 29 Agustus 2014

Musim Kematian

     
                                        sumber: www.wallmay.net 

Tibalah kita di musim kematian
setelah berlalu tiga musim yang berurutan:
perkawinan, kelahiran, dan tumbuh berkembang.

Jika kau dapati siang tetap berjelaga dengan pekat mewarnai angkasa,
dan daun-daun luruh meninggalkan ranting kerontang,
pun tanah retak merekah,
maka burung nasar mengembangkan sayap bertuliskan;
selamat datang di musim kematian.

Gagak bermata merah menatap nanar.
Kata bapak,
mereka mencari jiwa-jiwa yang siap dibawa terbang.
Aku hanya berdoa bukan aku yang dibawa terbang,
atau bapak, atau ibu, atau ketiga kakakku, atau adik kecilku.

Semua manusia pada waktu itu bergelut dengan takut.
Saling jaga, saling peluk
di dalam rumah-rumah mereka yang berselimut abu.

Bakda asar,
sembilan ekor gagak hitam menarik ibu,
kami menangis!
Tapi bapak menarik tubuh ibu lalu melepasnya dari cengkeraman kaki gagak.
  
Hingga bapak berusaha mengusir gagak-gagak itu dari rumah kami yang sederhana,
nahas, kepala, dada dan kaki bapak ditarik lalu dibawa terbang ke akhirat.
Kami hanya teriak melihat bapak dibawa pergi,
teriakan yang tak sampai pada telinga bapak.

Musim kematian masih berlanjut.
Tetanggaku mati, ibu temanku mati,
temanku mati!
Keluarga kami dirundung sepi,
tapi hati belum mati.

Sampai sembilan puluh hari berlalu,
musim kematian berakhir dengan gerimis yang jatuh di pagi hari
melahirkan musim baru yang mengulang takdirnya sendiri.

Suatu hari,
jika kau dapati siang kembali tetap berjelaga,
dengan pekat kembali mewarnai angkasa,
dan daun-daun kembali luruh meninggalkan ranting kerontang,
pun tanah kembali retak merekah,
berarti tibalah kita di musim kematian untuk yang kesekian kalinya.

(Makassar, Juni 2014)



*



Kisah Puisi


Pernah tidak suatu waktu entah dalam sehari, seminggu, atau sebulan, kalian kehilangan orang yang kalian kenal berturut-turut? Saya yakin pernah. Waktu itu Juni 2014, dalam sebulan (menjelang hingga awal Ramadan) , ada lebih dari 10 berita duka yang tersiar sampai ke telingaku. Yang meninggal pun adalah orang yang yah lumayan akrablah denganku. Terutama ayah dari teman kelasku di Respect, Fera dan tante salah seorang sahabatku sejak SMA (anak Tomodachi -> ini nama gank :D) Qalby. Saya turut berduka cita akan kehilangan tersebut, sobat! Semoga amal ibadah mereka di terima di sisinya yah. 
So, life goes on guys. 

Puisi ini akhirnya dierbitkan juga oleh harian Cakrawala, dan semoga bisa menghibur kalian dan mengingatkan kita selalu pada kematian. Ya, bukankah kematian mengajarkan kita bahwa kekekalan hanyalah mitos bagi manusia?

      sumber: harestya.wordpress.com

Untuk menggambarkan atmosfer penuh duka itu, saya menyebutnya Musim Kematian. Yakni secara harfiah berarti "Musim yang dipenuhi oleh orang meninggal". Horor yah? Memang begitulah. Melalui puisi ini saya membayangkan sebuah musim yang dipenuhi Grim Reaper (gagak hitam bermata merah) dan siap mencabut nyawa manusia. Oleh karena itu, jika suatu hari kalian betul-betul melihat dan merasakan sesuatu seperti yang saya gambarkan di atas, berarti selamat datang di musim kematian.



Rabu, 27 Agustus 2014

Guru

                                                    

Engkau terjaga dari tidurmu saat subuh baru saja terbangun.
Tugas mulia menantimu dari senin hingga sabtu.
Mengajar, membimbing, dan membina kami sebagai muridmu.

Dengan hati nan sabar,
dengan jiwa nan tabah,
dengan tutur nan sopan,
dengan semangat nan membara.

Karenamu, Guru,
jemari kami lincah menari,
mata kami mampu melihat warna dunia yang berseri,
angka dan huruf menjadi teman sejati,
akhlak terpuji menjadi pakaian yang menghiasi
keseharian kami.

Guru, karena pengorbanan mulia yang mengalir
di tiap tetes darah dan keringatmu,
menjadi tinta emas dalam setiap langkah kami.
Sepanjang hari, saat subuh  baru saja terbangun.


(Pinrang, Agustus 2014)


*

Kisah Puisi

Puisi ini sebenarnya bukan karya saya seutuhnya, namun terinspirasi (dan dibuat bersama) Ibu Pancawati, S.Pd, SD, seorang guru sekolah dasar di lingkungan Barugae, kelurahan Padaidi, kecamatan Mattirobulu, kabupaten Pinrang (lengkapnya :D). Asal usul puisi ini berawal dari adanya perlombaan 17-an di kecamatan Mattirobulu dan sebagai mahasiswa yang sedang ber-KKN, kami menjadi tim pemenangan kelurahan tempat kami mengabdi. Nah, karena bakat saya ada di bidang sastra (iya gak sih?) jadinya saya melatih puisi di beberapa SD dan inilah salah satu puisi yang 'jadi' pada waktu itu dan alhamdulillah diterbitkan oleh harian Cakrawala. :D


Saya yang sedang melatih baca puisi Wanda dan Wira hehe kalau baca puisi itu harus lebay! :D

Hal unik dari puisi ini adalah karena bentuk, judul, dan temannya sangat mainstream, mengingatkan saya akan puisi-puisi yang pernah saya buat dan saya tulis (dan saya yakin anda semua juga) :D puisi ala anak-anak SD hahaha. Yah, susunan katanya tidak terlalu bermain pada majas (meskipun ada sih) karena saya pikir untuk porsi anak SD, bahasanya tidak usah terlalu berat. Namun buka berarti puisi ini dibuat secara abal-abal, bukan. Tetapi jika dikatakan dibuat sederhana, yah bisa jadi. Semoga saat membaca puisi ini, ingatannya kembali ke guru kalian, terutama guru SD yang bisa dikatakan lebih lama menghabiskan waktu bersama kita. :)



Sabtu, 23 Agustus 2014

Alegria



Musibah adalah tamu tak diundang.
Seperti kemarin, tetiba dia meluncur
dengan sepeda motor dari balik busur
hujan sambil membawa dua buah bejana.

Dia lalu menuang air darah 
dalam bejana hitam ke wajahku, 
lalu lumpuhlah dunia!

“Itu adalah dolorosa, jadi rasakanlah!”
Aku menahan perih dalam diam.
Lalu tersenyum saat mengingat Tuhan.

Musibah tercengang, dia menuang cairan pelangi 
dalam bejana putih ke wajahku,
lalu berwarnalah dunia!

“Itu adalah alegria, jadi terimalah.”
Aku menahan tawa melihat dia pergi begitu saja. 
Dan saat dia kembali datang, 
akan kusambut dengan syukur dan sabar.


(Makassar, Juli 2014)



*

Nb: 

dolorosa : kesengsaraan
alegria    : kebahagiaan


**

Puisi ini terbit di harian Cakrawala dan kudedikasikan (asik) untuk kak Jumrang. Dan memang beliaulah inspirasi dari puisi ini. Terutama saat beliau mendapat musibah (kecelakaan) beberapa waktu lalu yang membuat kami semua khawatir terhadap beliau (parah meen, parah). Tapi menariknya, kak Jum dengan ikhlas menerima musibah tersebut. :) Dan alhamdulillah, kini beliau telah sembuh dari keadaan tersebut. Hebat kak Jum, salah satu inspirasi kami semua. Orang yang mampu mengubah dolorosa menjadi alegria. 

Oh iya, kemarin (Sabtu, 23 Agustus 2014) beliau terpilih sebagai ketua FLP cabang Makassar periode 2014 -2016. Saya mengucapkan selamat sekaligus turut berduka cita, alhamdulillah sekaligus innalillah. Selamat bergelut dengan alegria sekaligus dolorosa. :)


Smile kak Jum, smile! :) Kami akan selalu mendukungmu :D hohoho

***

Jumat, 22 Agustus 2014

Jiwa yang Tenang


                                          Sumber: http://bukhoryart.files.wordpress.com/

Mentari sepi di antara kolong langit,
menyapa jutaan manusia yang berbalut sepi.
Meski rasaku semakin tak kuat, aku bertahan!
Mohon Jiwa yang Tenang dengarlah.

Apa yang telah terjadi tak dapat kembali lagi
sebab penyesalan selalu datang di akhir.
Jiwa yang Tenang terusik dari tidur yang lelap,
maka mohon Jiwa yang Tenang, dengarlah.

Dunia tak mau lagi mengakui
saat kesempatan terang terbuang di sisi hari.
Jauh sudah kita melangkah, namun  hasil tak didapati
kini aku hanya bisa bersyair.

Namun kuingatkan padamu Jiwa yang Tenang, tak ada yang percuma.
Sebab jelas terasa kita telah berjuang bersama.
Kumohon Jiwa yang Tenang, tetaplah terlelap
meski kini aku hanya bisa bersuara.

Jiwa yang Tenang, dengarkanlah suara kehidupan,
simfoni indah dunia yang akan membuatmu kembali terlelap.
Jiwa yang Tenang, dengarkanlah suara kehidupan,
melodi indah dunia yang akan membuatmu terus terlelap.


(Makassar, Mei 2012)

*

Terbit di harian Cakrawala (Dengan sedikit perubahan) :) Anggaplah ini versi 'Remastered' nya hehe dari puisi 'Jiwa yang Tenang' yang dulu sempat kuposting di awal-awal saya bermain blog hehehe. 

Rabu, 20 Agustus 2014

Aisyah

                  Sumber: http://copypast.ru/

1/ Memanah Purnama

Aisyah engkau tetap memandangi roda masa
tak tahu apa yang kaupikirkan
memberi kesaksian sejarah anak zaman
mengerti yang mereka butuhkan

kadang kau terpuruk
dalam duka bayang-bayang
kadang kau semangat
dalam suka terang

Aisyah kini langkahmu semakin terarah
berjuang untuk diri dan masa depan
berorasi dalam aksi bahagianya jiwa
hatimu sesuci kemuliaan

kadang pesimis melanda
sungguh hitam rasa
namun optimis
selalu membawa cahaya

Aisyah kau tak sendiri di tengah dunia
tetap melangkah bersama
walau semua tak seindah yang kau harapkan
kau tetap memanah purnama

dan tak lama kau semakin berjaya
hingga napasmu terengah
kau semakin terlihat indah
dalam rupa wanita

2/Bulan yang Tak Purnama

tidakkah kaulihat Aisyah menangis?
tidakkah kaulihat Aisyah bersedih?
saat semua hilang entah dan pergi
saat semua sepi menghantui

mentari di siang tak lagi sakit
purnama telah berganti dengan sabit
tapi cerita Aisyah tak juga habis
kini ia berselimut sepi

selendang Aisyah dini hari
tak kenyang melahap makan dan pergi
lalu ia teriak dalam keheningan gelap sunyi
di bawah bulan yang tak purnama lagi

nurani mencari keyakinan diri
sebagai perempuan yang tak mesti nakal lagi
agar ia bukan sekadar sosok dan nama diri,
bukan sekadar sosok dan nama diri

Aisyah terus berlari
mencari sosok yang dapat memperbaiki
hijab yang melindungi diri dari
sengat dunia yang dapat menodai

malam-malam sepi
tanpa purnama lagi
mencari terus mencari
tanpa kenal henti


(Makassar, Januari 2013)

*

Terbit di harian Cakrawala
(Ini versi terbaru sebenarnya dari 2 puisi yang pernah kuposting saat masih awal-awal nge-blog :D) 


Lampu Kota yang Temaram

                                          Sumber: johansuryantoro.blogspot.com

1/
lampu kota yang temaram,
masihkah kauingat?
kisah kita dalam diam
dalam rindu yang tersirat

lampu kota yang temaram,
masihkah terbayang?
perjalanan saat malam
mulai menjelang

saat kaulihat cahaya kunang-kunang
yang berpendaran di balik bayang-bayang

lelah hatimu merasa
senang jiwamu, kautertawa
tenangkanku yang merasa bersalah
pada hujan,
padamu, lampu kota yang temaram

2/
lampu kota yang temaram
masihkah kausuka?
bersuara, memberi salam,
mengobati duka

lampu kota yang temaram
masihkah kaurela?
menerangi taman kelam
tempat semua bermula

saat sinarmu terbias rinai hujan
yang menumpahkan seribu kerinduan

aku merindumu telah lama
saat terhapus semua cerita
maafkanku yang merasa bersalah
pada hujan,
padamu, lampu kota yang temaram


(Makassar, Mei 2013)

*Terbit di harian Cakrawala

Selamat Datang ke Masyarakat, Mahasiswa! -Sebuah Kisah Ber-KKN di Pinrang-

Sudah tiga tahun saya duduk di bangku kuliah, dan biasanya pada peralihan semester enam ke semester tujuh ada ritus tahunan yang wajib dilakukan mahasiswa dengan SKS yang telah mencukupi (biasanya 90). Apa itu? Yup, KKN alias Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme :D eits, bukaan! Maksudnya Kuliah Kerja Nyata. Sebuah kegiatan di mana mahasiswa (ehm) dilepas ke masyarakat untuk mengabdi berdasarkan jurusan, program studi, keahlian, dan spesialisasinya selama kurang lebih dua bulan (dulu tiga bulan) yang kali ini merupakan gelombang ke 87. 
Dan setelah mengalami proses yang panjang (membayar, mendaftar, registrasi ulang, pembekalan berkali-kali, pelepasan, serta di-PHP berkali-kali *tentang jadwal pengambilan atribut dan pemberangkatan, oh iya, dan rapat berkali-kali, akhirnya pada hari Jumat, tanggal 10 Juli 2014 saya berangkat juga!


Dua hari sebelum pemberangkatan, lokasi telah dibagi, dan saya berada di kabupaten Pinrang kecamatan Mattirobulu, yeay! Actually, saya lebih menyukai Pinrang ketimbang lokasi lain yang menjadi tujuan KKN tahun ini (Bone dan Enrekang). Saya tidak tahu kenapa, mungkin karena Pinrang masih saudara dengan Parepare, mungkin karena saya sudah pernah ke Pinrang, atau mungkin karena akses ke Pinrang itu mudah
Namun salah satu alasan yang kuat, karena saya memiliki banyak kenalan, sahabat, dan orang-orang terdekat yang berasal dari Pinrang. Sebut saja kak Jumrang dan keluarganya yang baik hati (guru menulis saya yang sempat terkena musibah), kak Wawan (Fitrawan Umar), Pak Bahar (salah seorang inspirator dan calon guru berprestasi Nasional *ciee), Kucing Senja (Dirga alias muridnya Pak Bahar),  Irfan (ketua angkatan 2011 Antro), Rani (teman curhat yang sebenarnya memiliki asal usul tidak jelas apakah dia Pinrang, Enrekang, atau Kalimantan :D), Memet (ketua Himpunan Sastra Inggris), kak Ismi (ini juga tidak jelas apakah Pinrang atau Jawa - -“), kak Opu (Esais -> ini juga orang tidak jelas, Pinrang atau Kalimantan) Kode (nama sebenarnya Risky *he?), Hijriah (juniorku di Antro), Aris (teman angkatan di Antro),  Arman (juga teman angkatan) dan Arif (seorang sahabat yang KKN di Miangas -> ini juga tidak jelas apakah Pinrang atau Parepare  - -“)  Wahtever! intinya saya punya banyak kenalan di Pinrang. *Ini kayak ucapan terima kasih saja, banyak nama dan panjang-panjang haha ;D
Oke, kembali ke laptop! Akhirnya saya ke Pinrnang bersama teman-teman baru yang baru juga saya kenal. Di dalam mobil, saya besempit-sempit ria bersama delapan orang dan bersama barang bawaan yang bejibun banyaknya. Sumpah, terlipat badanku duduk di belakang -____-“ tapi yah begitulah perjuangan yang akan selalu kami kenang. Hehehe :D
       Suasana di Kantor Bupati (di sini ramai dan panas loh)
Kami disambut di kantor Bupati Pinrang, dansaat pembagian posko, namaku tidak terdaftar di mana-man cooy… Saya ulangi, tidak ada di mana-mana. What the hell? - -“. So, Pak Arya (my best supervisor) memasukkan saya di kelurahan Padaidi. Dan tebak, saat melihat wajah-wajah teman poskoku pertama kali, saya kurang semangat. Sebab mereka semua menampilkan wajah lesu dan kurang bersemangat (maaf teman-teman :P) tapi setelah beberapa menit bergaul dengan mereka, (dan setelah sampai di posko) mereka adalah salah satu teman terbaik yang pernah ada! Sumpaah! :)
Jadi ceritanya, dalam posko Padaidi awalnya ada delapan orang. Nah, seorang pindah ke posko lain, terus ada lagi yang pindah tidak bilang-bilang, jadi totalnya ada tujuh orang, ditambah saya yang baru masuk totalnya jadi delapan orang. Kemudian, masuklah dua orang anak UNAN (Padang nih, Padang) yang ceritanya lagi ikut KKN Tematik sehingga totalnya kini sepuluh orang. Eits, belum selesai, salah seorang di antara kami membawa anaknya yang baru berumur 40 hari (waw) lengkap dengan saudaranya selaku baby sitter, jadi total kami dalam satu posko ada 12 orang. Great! Amazing!
Saat berada di kantor bupati, kami tidak disambut (dan dijemput) oleh “Pak Lurah” yang seharusnya menyambut kami, tapi dijemput oleh Pak Sekcam yang akhirnya membawa kami ke rumah salah seorang teman poskoku yang (secara kebetulan mungkin?) bisa kusebut pulang kampung. Karena KKN di rumah sendiri hehehe.
Setelah berangkat dari kantor bupati menuju kecamatan Mattirobulu (tepatnya ke kelurahan Padaidi, lingkungan Karangan) dan lagi-lagi berdesakan dalam mobil yang penuh barang, kami ber-12 akhirnya tiba di sebuah posko berarsitektur Bugis. Sebuah posko yang dalam sebulan ke depan akan penuh kegilaan, konflik, kelucuan, keongolan, kehangatan, persahabatan, dan ehm, cinta. Sebuah posko yang kami sebut "Rumah".


Selfie pertama dengan teman se-posko :D

Bersambung…