Konstelasi Imajinasi

Selasa, 30 Desember 2014

Di Kaki Langit


    Sumber:  Dokumentasi Pribadi

HARI itu, kita berada di sana. Berlari lalu berteriak lepas seolah menantang alam. Angin terlampau kencang, mengibarkan baju-baju kusut yang menempel pada tubuh kita. Padang ini terlalu luas untuk kita saling berkejaran, namun terlalu sempit untuk imajinasi bocah lugu seperti kita. Saat semua berlarian kesana kemari, kulihat kau hanya duduk termenung dengan dagu bertumpu pada lutut. Aku meninggalkan mereka yang kini sibuk berkejaran, lalu duduk di sampingmu.
“Suatu hari aku akan ke sana.” kau menunjuk kaki langit.
“Tapi itu kan ujung dunia? Mana mungkin kau bisa kesana.” Jawabku polos.
“Pasti bisa! Hanya di sanalah kedamaian akan tercipta” Kau menatapku tajam. Aku hanya mengangguk.
“Apa yang kaulakukan di situ Akbar? Ayo main lagi!” Aku tersentak begitu Fifi berteriak tepat di gerbang telinga sebelah kiriku.
“Jangan teriak!” Aku mengejar Fifi sambil tertawa. Dari kejauhan, kulihat kau masih saja seperti itu. Menatap kaki langit sore dengan pandangan kosong.
Kita hanya bermain di sana bakda ashar sebab siang sepulang sekolah kita beristirahat sambil menunggu adzan ashar berkumandang. Pun tempat itu hanya muncul di siang hari dan kembali hilang saat maghrib merajai. Sebuah tempat berupa daratan berpasir putih yang hanya muncul saat air laut surut, lalu tenggelam saat air laut merangkak pasang. Orang-orang desa menyebutnya gusung.
Mentari sedikit lagi terbenam. Saat-saat seperti inilah yang selalu kita nanti. Saat bola besar itu berubah merah, pun laut berkilauan bak butiran amber yang terhambur sejauh mata memandang. Kita terpesona. Namun pemandangan seperti ini tidaklah bertahan lama, sebab kita harus bergegas kembali ke daratan utama sebelum air merangkak pasang.
Untuk pulang, kita harus berjalan ke ujung gusung. lalu berjuang melintasi lumpur yang membenamkan dan mencengkeram kaki. Terasa sulit melangkah. Namun, kita harus berjuang jika tidak ingin tenggelam oleh air pasang yang kian mendekat.  
Setelah sampai di tepian, air sudah sepenuhnya menenggelamkan gusung. Tidak terlihat lagi lahan tempat kita menguntai mimpi dan imajinasi. Hanya laut sejauh mata memandang. Mesjid sudah mengeluarkan lantunan ayat suci, pertanda sebentar lagi adzan maghrib berbunyi. Kita melangkah pulang ke rumah masing-masing. Menanti diomeli oleh ibu dan ayah sebab pakaian tak lagi bersih.
*
HARI itu kita kembali ke sana. Cuaca yang tadinya cerah, berubah menjadi kelam. Awan hitam pekat menggantung di langit, menutupi mentari yang seharusnya masih terik. Ini masih pukul 04.00 Wita, namun suasana di gusung begitu mencekam. Angin dingin mulai berhembus. Kencang, dan semakin kencang. Gelombang mulai tidak bersahabat. Ada riak yang semakin liar. Aku mulai berpikir ini pertanda buruk.
Rintik kini perlahan turun. Kulihat Fifi, dan Jamil asik bermandi rintik. Mereka menari dan berlari ke sana kemari. Beda denganmu yang tetap duduk bertumpu pada lutut, membiarkan rintik hujan basahi wajahmu yang selalu saja murung.
“Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu? Mengapa kau selalu termenung?” Akhirnya aku bertanya padamu.
“Kedamaian. Aku hanya ingin damai”  Lagi-lagi kau berkata hal yang sulit kumengerti.
“Selalu saja itu! Aku tidak pernah mengerti apa yang kau maksud. Jika kau punya masalah, mengapa kau tidak mau menceritakannya padaku?” Aku berusaha menjadi tempatmu berbagi keluh.
 “Akbar! Ayo pulang!” Jamil berteriak padaku. Mereka berdua berencana kembali ke rumah, sebab hujan semakin deras dan guruh mulai memekakan telinga.
Begitu aku bangkit, kulihat gelombang mulai meninggi. Oh tidak! Badai tropis mengincar kita. Sontak kita semua berlari. Hingga tiba di ujung gusung, padang lumpur kembali menghambat langkah kaki. Kita tetap berjalan, selangkah demi selangkah. Cengkeraman lumpur begitu kuat, namun kita harus cepat. Jika tidak, maka amukan badai yang membawa gelombang akan menyeret kita ke tengah lautan.
Aku melihat ke belakang, dan kusaksikan fenomena alam yang luar biasa indahnya. Badai tropis yang membawa awan hitam pekat, angin kencang dengan udara dingin menusuk tulang, guruh yang didahului oleh sambaran halilintar, hingga gelombang tinggi yang segera menghantam pesisir. Tapi tunggu, ada yang aneh di gusung itu. Tidak mungkin!
“Lisa..! Apa yang kau lakukan di sana? Cepat lari..!” Aku tercengang melihatmu berdiri di gusung, menanti hantaman badai yang segera menerpamu. Aku memberimu isyarat untuk menjauh, namun kau tetap diam seolah tak menghiraukan peringatanku.
Kau berbalik padaku. Menatapku, lalu untuk pertama kalinya kulihat kau tersenyum. Inikah kedamaian yang kau maksud? Membuat dirimu hanyut dalam gelombang hanya akan menyisakan penyesalan mendalam bagiku.  
Aku memutar arah. Aku harus kembali ke gusung untuk memaksamu ikut denganku. Dengan kata lain, aku akan menyelamatkanmu.
“Akbar..! Apa yang kau lakukan? Ayo cepat..!” Tata memanggilku.
“Aku harus ke sana menyelamatkan Lisa..!” Aku berteriak.
“Lisa? Tidak ada siapa-siapa di sana!”


Sungguminasa, 23 Desember 2013

***

Cerpen ini sudah lama saya buat dan sudah lama pula terbit di majalah Soulmkas beberapa bulan silam (Juli kalau tidak salah). Hanya saja, saya baru memiliki waktu untuk online dan memposting cerpen ini.. Iya betul, setelah sekian lama akhirnya saya memposting sesuatu...:D