Konstelasi Imajinasi

Rabu, 21 Januari 2015

Seperti Kamboja yang Sedang Kautatap

Sumber: boemisayekti.files.wordpress.com


Nak, akan kuceritakan padamu kisah cinta yang tidak akan kau temukan pada siapa pun di generasimu

SEORANG perempuan paruh baya terjatuh saat hendak menaiki tangga sebuah rumah panggung. Perempuan itu tak sanggup bangkit, dadanya teramat sakit. Ia teriak, namun tenggorokannya seolah tercekik.
Aminah yang kala itu sedang menyapu halaman, bergegas menuju ke arah ibunya yang sedang tergeletak tak berdaya. Segera ia menopang tubuh perempuan itu ke kamar lalu dibaringkannya di sebuah ranjang berkelambu.
Napasnya masih terengah, keringat mengucur dari jidatnya yang keriput. Aminah duduk di samping ibunya yang sedang berusaha memejamkan mata. Tangannya menggenggam erat tangan ibu yang dicintainya.
Begitu sang ibu tertidur, Aminah segera menuntaskan pekerjaannya yang tertunda. Angin yang bertiup kencang menerbangkan dedaunan yang menguning di ujung ranting pepohonan. Terlihat bulir air menetes dari mata Aminah. Kejadian beberapa menit lalu masih terbayang di benaknya.
Dari jalan setapak desa, terlihat dua orang pemuda memperhatikan Aminah yang sedang menyapu halaman rumahnya. Jelang sesaat, kedua orang itu berlalu. Aminah tetap melanjutkan pekerjaannya hingga tak ada lagi dedaunan yang menumpuk.
Keesokan harinya, semua kembali seperti biasa. Memang semenjak Sang ayah meninggal, Aminah lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia tak ingin Sang ibu yang menderita sakit parah menyusul ayahnya begitu cepat. Jadi atas kesadaran dan baktinya pada orang tua, ia lah yang mengurus kebutuhan sehari-hari mereka. Mulai dari bekerja di kebun orang, menyelesaikan pekerjaan rumah, hingga merawat sang ibu yang menghabiskan waktunya di pembaringan.

*

AWAN menutupi desa pagi itu saat Aminah sedang berada di kali untuk sekadar membersihkan diri dan mencuci. Ia tak sendiri, seorang gadis desa yang sebaya dengannya menemani Aminah bak seekor anak itik. Mereka mandi dan bermain air. Tapi sadar akan lokasi kali yang selalu dilalui oleh orang-orang desa, mereka tetap menggenakan sarung sebagai penutup tubuh. Dan benar saja, dari atas jembatan kayu yang menggantung indah di atas kali, nampak dua orang pemuda memperhatikan mereka.
“Sepertinya ada orang yang mengikutimu.” Fatimah berbisik pada Aminah seraya menunjuk ke arah jembatan.
Aminah langsung mengalihkan pandangannya ke arah jembatan kayu yang bergoyang itu, tapi kedua pemuda tadi sudah tak disana.  Dan bagai angin lalu, Aminah mengabaikan kejadian itu. Kini ia mulai mencuci pakaian yang dibawanya dari rumah pagi ini.
“Mengingat usiamu yang sekarang, pernahkah kau berpikir untuk menikah?” Tetiba saja Fatimah melontarkan pertanyaan yang membuat Aminah tertawa.
“Belum ada yang cocok. Mungkin suatu hari akan ada yang pas di hati.” Aminah kini tersenyum pada Fatimah sembari mengucek pakaian yang kali ini adalah pakaian ibunya.
“Bagaimana dengan Umar? Bukankah dia begitu menyukaimu. Lagian kalian berdua terlihat cocok untuk membangun sebuah keluarga yang purna.” Fatimah menggoda Aminah dengan alisnya yang naik turun.  
“Tidak Fatimah, dia sudah seperti sahabat bagiku.” Aminah tersenyum.
“Kalau Rafli? Bukankah sedari dulu kau dimabuk kepayang oleh sosoknya?” Mendengar pertanyaan itu, Aminah menghela napas panjang, kemudian menatap sahabat karibnya.
“Kau tahu lah, ia tidak sepadan denganku. Ia seorang tuan tanah, sedangkan aku hanya seorang buruh petik, mana mungkin ia jatuh cinta padaku.” Aminah terlihat lesu.
“Ada banyak cara cinta mempertemukan seseorang. Tanpa memandang apa dan siapa, tetiba cinta telah bersarang di hati dua insan. Yah, kita tidak pernah tahu bagaimana cinta memainkan perannya.” Tutur Fatimah sambil tersenyum seolah memberi semangat.
Tak ada pembicaran lagi sehabis itu. Mereka berdua diam. Yang terdengar hanya bunyi pakaian yang sedang dikucek, bunyi kayu jembatan yang berdecit, bunyi ranting dan daun yang diterpa angin, serta bunyi riak-riak air yang mengalir dan menghantam bebatuan besar di sepanjang kali.

*

DUA orang pemuda memandang lekat sosok Aminah dari balik pepohonan. Dengan keranjang di pundaknya, Aminah nampak sibuk memetik kopi Robusta yang siap panen.
“Sampai kapan kalian akan mengikutiku? Tunjukkan saja diri kalian.” Ucap Aminah dengan santainya sambil meraih buah kopi dengan jemarinya yang mulus.
“Ini aku.” Seorang pemuda menampakkan diri dari balik pohon.
“Kupikir aku telah menjadi sasaran tindak kejahatan, ternyata kau Umar.” Aminah nampak lega, sebab sosok mencurigakan selama ini hanyalah pemuda desa yang merupakan teman semasa kecil Aminah. “Aku tahu masih ada satu lagi yang selalu mengikutiku. Tunjukkan dirimu!” Aminah mengeraskan suaranya.
Mendengar suara Aminah yang seolah menggerebek pelaku kriminal, sosok itu muncul dari lebatnya pepohonan kopi. Aminah terperanjat dan nampak tak percaya akan siapa yang berdiri di hadapannya.
Rafli?
“Maaf Aminah. Aku hanya ingin tahu kehidupanmu lebih dalam. Itulah mengapa tiap hari, aku mengikutimu kemana saja. Aku mengajak Umar sebab tidak ada yang lebih tahu dirimu selain sahabat masa kecilmu.” Rafli mengutarakan kalimat yang menunjukkan bahwa ia begitu penasaran dengan sosok Aminah.
“Maksudnya?” Aminah seolah tak tahu, padahal hatinya tersipu malu. Ia tak menyangka seorang Rafli menaruh perhatian lebih padanya.
“Empat tahun lalu, saat pertama kali aku menginjakkan kaki di desa ini dan menjadi seorang tuan tanah, kau satu-satunya sosok yang mengalihkan duniaku. Bukan hanya fisikmu yang laksmi, tapi ketulusan hati dan keluhuran pekertimu membuat siapa saja pasti jatuh hati. Termasuk aku Aminah.” Pemuda itu mengungkapkan perasaannya ke Aminah.
“Sejujurnya aku pun merasakan hal serupa. Namun jika kau memang mencintaiku, datanglah ke rumah untuk membicarakan hal yang lebih serius.” Aminah tertunduk. Ia malu setengah mati.
Mendengar perkataan dan laku Aminah yang mengisyaratkan sebuah penerimaan, Rafli lompat kegirangan. Jawaban Aminah tidak meleset dari tebakannya. Ia sudah mempersiapkan semuanya. Bekal untuk sebuah perjalanan panjang antara ia dan Aminah.

*

SELURUH desa riuh begitu pernikahan seorang tuan tanah dengan seorang buruh pemetik kopi diumumkan. Tetangga dan sanak famili sudah berkumpul di rumah Aminah untuk membantu kelancaran acara tersebut, pun janur kuning telah terpasang di depan rumah. Jantung Aminah berdebar menanti momen bahagia yang akan berlangsung empat hari kemudian. Ia tidak habis pikir, kisah cintanya bagaikan dongeng pernikahan antara rakyat jelata dan seorang pangeran.
Namun di tengah suka cita Aminah, penyakit ibunya kembali datang. Tetiba ia tak sadarkan diri saat asyik bercengkerama di dapur bersama keluarga yang lain. Seisi rumah panik. Tak terkecuali Aminah, ia berharap Sang ibu kembali membuka matanya.
Seorang mantri berkata bahwa perempuan yang melahirkan Aminah itu hanya butuh dirawat dengan baik. Mendengar perkataan mantri tadi, muncul keraguan di hati Aminah. Kini ia dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit.
Apakah ia harus melanjutkan pernikahannya dengan Rafli? Sebab jika demikian, maka ia harus melakukan kewajibannya sebagai istri. Dan, tentu saja kasih terhadap ibunya akan terbagi. Atau apakah ia harus membatalkan pernikahan itu demi merawat Sang ibu dengan sepenuh hati? Aminah dilema setengah mati. Satu-satunya cara adalah meminta pertimbangan Sang calon suami.
“Ibu adalah orang terpenting dalam hidupmu. Rawatlah ia dengan setulus hatimu. Soal pernikahan bisa kita tunda dan diselenggarakan di lain waktu. Tenang saja, aku akan setia menunggumu sampai kapan pun.” Jawaban calon suami tercinta membuat hati Aminah tersentuh. Betapa beruntungnya ia mendapatkan lelaki seperti Rafli.
“Tapi, apa itu tidak masalah buatmu?” Aminah meminta keyakinan dari hati Rafli sekali lagi.
Tidak masalah, karena aku mencintaimu.”  

*

HARI itu, mereka menunda pernikahan tersebut. Dan kau tahu apa yang terjadi? Takdir berkata lain. Semuanya tak seindah kisah pernikahan dalam dongeng yang selalu kubacakan padamu sebelum tidur saat kau kecil dulu, Nak.
Bisa kau lihat dari tiga makam yang ada di depan matamu saat ini. Ketiga makam itu saling berdampingan.  Yang paling kiri adalah makam calon kakekmu, Rafli, yang di tengah adalah makam nenekmu, dan yang paling kanan adalah makam kakekmu, Umar.
Beberapa bulan setelah ditundanya pernikahan itu, Rafli kecelakaan saat hendak ke kebun untuk melihat patok tanahnya. Ia terpeleset dan terjatuh di lereng bukit. Kepalanya terbentur bebatuan yang membuatnya cedera kepala berat dan tak tertolong lagi. Nenekmu yang mendengar berita itu terpuruk dalam kesedihan mendalam. Seseorang yang seharusnya sudah menjadi suaminya kini tinggal kenangan.
Belum juga hilang duka yang nenekmu derita, nenek buyutmu meninggal di tahun yang sama. Jelang dua bulan setelah meninggalnya Rafli. Sejak hari itu, tak ada lagi senyum indah dari wajah nenekmu yang ayu.
Kau bertanya tentang kakekmu? Baiklah, Umar bisa menjadi kakekmu sebab nenekmu menerima lamarannya delapan tahun kemudian. Waktu yang cukup lama bagi sebuah penantian cinta yang berawal dari persahabatan.
Dan, kakekmu pantas memperoleh imbalan yang setimpal. Hati nenekmu. Yah, meskipun kakekmu tahu hati yang nenekmu berikan hanyalah serpihan kecil dari hati yang telah dimiliki oleh Rafli, kakekmu tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Baginya, selama itu adalah cinta, itu sudah cukup.
Nak, sebelum kita meninggalkan pemakaman ini, tidakkah kau perhatikan kamboja yang tumbuh di antara makam Rafli dan nenekmu? Beberapa orang bilang tumbuhan itu laiknya dinding pembatas antara Rafli dan nenekmu. Sebuah tanda bahwa cinta mereka tidak akan pernah bersatu. Mungkin itu benar, tapi ibumu ini punya pendapat lain.
Perhatikan akar kamboja itu, tidakkah kau lihat dari mana ia berasal? Ya, dari dalam kuburan Rafli dan nenekmu. Akarnya yang menghunjam tanah adalah sebuah media penyalur cinta di antara mereka. Cinta yang tersalur melalui akar, batang dan jaringan tumbuhan itu menghasilkan bunga berkelopak putih yang bermekaran di tiap ujung ranting kamboja tersebut.
Indah bukan? Tentu saja. Cinta mereka yang kembali bersemi di alam sana menjelma bunga di dunia fana. Bunga yang mekar dari sebuah keabadian.

(Pare - Makassar, Januari-Maret 2014)


***


Kisah Cerpen 

Cerpen ini diangkat dari kisah nyata dari kakek-nenek seorang teman yang tinggal di Sumatera. Waktu itu, awal Januari 2014 saya berada di kampung Inggris Pare dan punya teman di suatu tempat kursus, saat senggang ia menceritakan kisah cinta (sejati) neneknya yang (masih) mencintai calon suaminya. Sewaktu ia cerita, entah kenapa saya berpikir "Gila! Mungkin di generasi kita sudah tidak ada lagi kisah cinta seperti ini." Jadilah saya abadikan dalam cerpen di atas dengan perubahan di sana-sini, yah namanya kan fiksi hehehe tapi substansinya tidak berubah dan beberapa 'motif' cerita tetap sama, misalnya 'dua orang yang akan menikah lalu gagal karena si perempuan memilih untuk merawat orang tua' dan 'di pemakaman muncul pohon kamboja di antara makam mereka'. That's it! Amazing right?

Cerpen ini dimuat di majalah fakultas 'Saksi' looh :D hehehe (terus?). Nah, sekadar refleksi dan berbagi perasaan, saya ingin menanyakan pertanyaan sederhana, masih adakah cinta sejati seperti kisah di atas? Atau mungkin sudah punah? Maybe.




Sabtu, 10 Januari 2015

Berlayar

                                Sumber: balipers.com
                                           

Senja selalu indah di dermaga
kapal-kapal datang bawa cerita
kau pulang bawa cinta.

Rindu hilang tenggelam
saat kita melarung kata-kata menuju malam
mereka bersinar jadi lentera
lalu terbang jadi kunang-kunang.

Saat laut memanggilmu untuk tualang
biarkan aku menemanimu berlayar,
sebab kau tak mampu bertahan tanpa sajak-sajak
yang kubacakan sebelum bintang
jatuh ke pelupuk matamu dalam.


(Takalar, Desember 2014)


*


Kisah Puisi

Puisi ini saya buat saat sedang melakukan Latihan Penelitian Mahasiswa Antropologi (LPMA) di Galesong Utara, kabupaten Takalar Desember 2014 lalu (bukan foto di atas loh yah, jangan tertipu hehehe). Saat itu saya sedang menjadi Kordinator Steering yang sibuk mengurusi panitia dan kadang-kadang mengevaluasi peserta, yah begitulah. Tapi setiap sore selama seminggu, saya harus ke dermaga yang terletak di dusun Beba (dan sebenarnya merupakan pangkalan pendaratan ikan) untuk melihat senja. Apa pun yang terjadi! Sebab senja di sana sangat indah. Jadilah inspirasi datang tidak henti hehehe.


                                           *Eng ing eng, Ini senjanya... mantap kan?





*Ini saya yang pura-pura tidak sadar kamera. Lihat di belakang? Begitulah kondisi dermaga Beba yang sedang direnovasi. Di sinilah tempat mangkal kami setiap sore, yah curhat-curhatan lah bareng panitia :D


Oh iya, ini merupakan salah satu puisi yang sangat saya suka karena pembuatannya yang penuh penghayatan (kontemplasi) dan penuh perasaan. Saat itu saya memang merasa sedang dalam kondisi yang powerfull karena tidak memiliki beban. Makna puisi di atas saya serahkan pada pembaca. Inspirasi puisinya, selain dari senja di dermaga, kapal-kapal nelayan yang datang dan pergi silih berganti, dan perasaan yang saya rasakan, lagu dari Payung Teduh sangat membantu dalam lahirnya puisi ini. Yup, Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan selalu setia menjadi lullaby.




                                                                            *Ini saya yang sok menatap laut

Sekadar informasi, puisi di atas pernah dibacakan dalam acara Laskar di radio komunitas Unhas, EBS.FM. Waktu itu (dalam kondisi sakit) saya baru pulang dari lokasi dan langsung capsus ke studio wkwkwk. 


Jumat, 09 Januari 2015

Saya Dengan Berbagai Nama

Nama adalah sebuah penanda. Kasarnya, nama adalah 'kode' bagi setiap manusia untuk mengenali dirinya dan membedakan antara dia dan orang lain (the others). Begitu pentingnya nama, semua manusia yang terlahir ke dunia pasti memiliki nama. 

So do I. Saya memiliki nama yang diberikan oleh orang tua saya dan menurutku itu nama terindah di dunia. Namun selain nama yang diberikan oleh orang tua, sebenarnya selama ini saya memiliki banyak sekali nama. Yup, banyak sekali. Nama-nama itu diberikan oleh teman, sahabat, keluarga, orang asing, mantan (ehm), orang dekat, senior, junior, dll. Oleh karena itu, kali ini saya akan memposting nama-nama yang saya miliki (setidaknya pernah saya miliki). Yah, anggaplah sebagai inventaris nama saya seumur hidup. Check this out!

                                                                     sumber: 3.bp.blogspot.com

1. Andi Batara al-Isra : Ini nama lengkap saya di akte kelahiran dan nama resmi saya di forum-forum formal (kadang juga pakai ‘M.’ di belakangnya yang diambil dari singkatan nama bapak, yakni Mahmud). Indah kan namanya? Hehehe. Saya akan menjabarkan artinya, Andi merupakan gelar kebangsawanan bagi suku-bangsa Bugis (ibuku memang orang Bugis) dan nama internasional karena dikenal juga nama Andi (atau Andy) di dunia barat. Batara berarti ‘Sang Pencipta’ dan merupakan kata umum (yang sakral) bagi kebudayaan Hindu dan beberapa suku-bangsa di Asia Tenggara termasuk Bugis-Makassar. Jika dirunut, kata Batara ini memiliki kesamaan dengan kata ‘al-Fathir’ dalam bahasa Arab yang juga berarti ‘Pencipta’ juga kata ‘Avatar’ yang memiliki kesamaan arti. Al-Isra adalah bahasa Arab yang merupakan salah satu surat dalam al-Quran (surah ke-17) yang secara harfiah berarti ‘Yang Memperjalankan Di Malam Hari’. So, namaku sebenarnya bermakna “Seorang Pencipta yang Berjalan Pada Malam Hari.” Apa? Mau protes?
2.  Andi : Ini panggilan paling sederhana bagi saya sebab semua lidah di dunia mampu mengucapkannya terutama teman-teman dari Jerman. Saat mengikuti program Tridem (latihan penelitian) kemarin saya memperkenalkan diri dengan nama Batara dan semua lidah teman-teman dari Jerman kesulitan memanggil saya, jadilah saya mengatakan “It’s ok, you can call me Andi”. Tapi semakin lama bergaul dengan mereka, akhirnya mereka memanggil saya dengan Batara juga ujung-ujungnya hahaha.
3. Batara : Ini nama saya yang paling umum. Orang-orang mengenal saya dengan nama yang powerful ini. Yup, powerful sebab ini nama yang sangat sakral! Suatu hari di Takalar saat sedang mengikuti LPMA dan berkenalan dengan seorang warga, waktu saya menyebutkan nama ini, dia berkata “Iih, porena arena.” (Ih, namanya luar biasa!).
4. Batara Black Kosong : Ini panggilan lebay yang hanya keluar dari seornag guru saat SMA dulu, Pak Kahar. Saya tidak tahu apa dasarnya sehingga memanggil saya dengan panggilan aneh ini.
5.  Bata : Ini juga panggilan saya yang sangat simpel, dan biasanya hanya dipanggil oleh orang-orang yang sudah akrab dengan saya. Ini kayak nama merek sepatu dan bahan bangunan yah? -_____-“
6.  Batha : Hanya orang-orang tertentu yang memanggil saya seperti ini, panggilan ini kuperkenalkan sewaktu SMA. Yup, pakai ‘H’ karena waktu itu saya masih alay dengan nama-nama gehol getoh. Panggilan ini sebenarnya sudah ingin kuhapus tapi masih ada beberapa orang yang memanggilku seperti ini T.T.
7. Batha-ssi : Ini panggilan saya dari anak Respect (Nama kelas sewaktu SMA). Embel-embel ‘-ssi’ merupakan hal umum di Korea. Ini efek Korean Wave beberapa tahun lalu.
8. Batako : Ini panggilan anak-anak posko Padaidi sewaktu KKN di Pinrang, sampai sekarang pun begitu. Kayak material bangunan saja -_____-“
9. Berus / Bathaberus : Ini panggilan sewaktu SMA yang dipopulerkan oleh Dede dan beberapa teman sampai sekarang masih memanggilku dengan panggilan ini. Bathaberus terinspirasi dari istilah Cerberus, seekor makhluk mitologi dari Yunani berupa anjing berkepala tiga.
10. Tara : Beberapa teman dari luar Makassar memanggil saya dengan panggilan ini dan menurutku keren, Tara! *asik. Dalam bahasa Sansekerta, Tara artinya ‘Laut’, keren kan? (Saya kan jatuh cinta dengan laut). Tapi kalau di daerah Makassar, Tara memiliki arti yang negatif. Tahu kan artinya? Sudahlah…
11. Ra : Ini juga salah satu panggilan yang sangat saya suka, simpel dan dalam. Ya, Ra adalah sebutan bagi Dewa Matahari bangsa Mesir (Lengkapnya Amun Ra). Panggilan ini dipopulerkan pertama kali oleh kak Riy (kak Isma, senior FLP berhidung unyu) dan akhir-akhir ini beberapa teman juga memanggilku seperti itu.
12. Al-Isra: Satu-satunya orang yang memanggilku seperti ini adalah nenekku sewaktu kecil dulu di pasar Karuwisi..
13. Isra / Sra (baca: Isro / Sro) : Panggilan ini pertama terdengar saat kak Nukman (seorang anggota FLP) memanggilku seperti ini dan akhirnya beberapa anak FLP ikut-ikutan pula.
14.  Icca : Ada yang tahu panggilan apa ini? Tepat, panggilan kecil saya. Semua keluarga saya, orang di kampung, orang kompleks, teman sepermainan, dan teman SD mengenal saya dengan nama yang unyu ini sebab panggilan ini berasal dari kata Isra yang diper-unyu. Ini juga sama dengan nama kakaknya kak Riy.
15.  Gaganesvara : Nama blog ini! Dan merupakan nama pena saya kadang-kadang. Saya sangat suka nama ini sebab berasal dari bahasa Sansekerta berarti ‘Raja Langit’ (secara saya cinta langit), sebuah gelar yang disematkan pada burung Garuda.
16.  Nobita : Ini panggilan yang diberikan Raditya Dika sewaktu bertemu langsung dengan dia di suatu kesempatan. Selain dia, beberapa senior, junior dan teman angkatan di Antropologi juga memanggilku seperti itu. Mungkin karena saya mirip Nobita yah? Hahaha
17. Bapak : Ini panggilan khusus untuk satu orang yang menganggapku bapaknya dan dia adalah anakku. Patio, anak Respect yang sampai saat ini masih menganggapku sebagai bapaknya dalam silsilah keluarga Respect hahaha
18. Asisten : Ini panggilan dari Waddah sewaktu SMA dulu. Waktu itu kami membuat sebuah komunitas curhat dimana dia adalah Master dan saya asistennya. Nama komunitasnya adalah A-Z, mengatasi masalah dari A sampai Z.
19. Ketos : Ini panggilan umum sewaktu saya masih menjadi Ketua OSIS di MAN 2 Model Makassar
20. Bebek : Sumpah, ini panggilan paling tidak amsuk akal bagi saya. Suatu hari Ummul (teman Respect) mengirimi saya pesan singkat "Selamat ulang tahun Bebek..." Ini maksudnya apa coba?
21.Cing : Ini panggilan saat saya masih duduk di bangku SMP (MTs), waktu itu beberapa teman kelas memanggilku 'Cing' entah kenapa --" mungkin karena mata saya sipit yaah jadi agak mirip etnis Tionghoa gitu hehehe
22. Icca Battala' (kadang-kadang Icca Gendu'): Battala dalam bahasa Makassar berarti 'gendut' atau 'gemuk' atau 'berat'. Memang waktu SD, berat badan saya sempat 'membengkak', jadilah saya dipanggil seperti itu, fuh!
23. Bondeng : Bagi beberapa orang, sejak pertengahan tahun 2012 berat badang saya kembali naik hingga dapat panggilan seperti ini... Bondeng dalam bahasa keseharian orang di Makassar berarti 'bertubuh subur' asik. Dekat-dekat dari kata Battala' ini kayaknya.
24.Terserah : Ini panggilan saat saya baru masuk SMA, waktu itu MOS dan saya memperkenalkan diri lalu saya bilang "Kalian bisa memanggilku terserah." Jadilah saya dipanggil terserah oleh beberapa kakak kelas --"

    Saya saat berada di Bili-Bili (Pentingnya --")

Baiklah, demikian nama-nama saya :D Siapa tahu ada yang terinspirasi untuk menamakan anaknya sesuai dengan daftar nama di atas, silakan. :) 



21, Aku!

Hari ini (9 Januari 2014) saya genap berusia 21 tahun *jeng jeng! sebuah angka cantik yang sangat saya suka. Di usia saya yang ke-21 ini, ada banyak sekali harapan dan cita-cita, yah anggaplah sebuah resolusi dalam hidup saya :D hehehe. Angka 21 memang angka 'andalan', ada banyak hal-hal yang berasosiasi dalam hidupku dengan angka 21, seperti hobi saya yang nonton di bioskop 21, hingga suka baca komik Eyeshield 21, suka dengar lagunya Greend Day yang 21 Guns, dan 21st Century Breakdown (dalam albumnya yang berjudul 21st Century Breakdown) sebuah lagu yang memiliki banyak sekali kenangan *yup, banyak sekali, kapan-kapan saya posting deeh! Sudahlah, sebenarnya dalam postingan kali ini saya hanya akan mengucapkan selamat datang di usia ke-21 diriku! Selamat berkurang usia. Semoga usia ke-21 ini menjadi salah satu usia terindah dalam hidupku. Yup,semoga. :) 


Ini saya dengan rambut agak gondrong menjelang usia saya yang ke 21. Foto diambil saat Dies Natalis koran kampus Identitas yang ke 40. Bukan umurku yang ke-40 looh... :D 

Jumat, 02 Januari 2015

Tautan

                                          Sumber: blog-aos.blogspot.com

Kejadian adalah mula segala.

Ingatan adalah coretan dalam kertas lusuh kejadian
hingga waktu membuatnya hilang.

Kenangan adalah setumpuk coretan yang selamat,
lalu dibukukan dalam  perpustakaan ingatan.

Tulisan adalah buku kenangan yang melompati matra.


(Makassar, September 2014)



*

Kisah Puisi

Ini adalah salah satu puisi yang sangat rumit pembuatannya. Bagaimana tidak, kata-kata seperti 'Kejadian', 'Ingatan', 'Kenangan', dan 'Tulisan' adalah kata-kata yang selalu terlintas dalam kepalaku dan saya berpikir "Sepertinya kata-kata tersebut memiliki hubungan" dan voila! Kata-kata tersebut merupakan empat serangkai yang saling berkolerasi satu sama lain, mereka adalah sebuah rangkaian dari proses yang dialami oleh semua manusia. Proses yang dimulai dari sebuah 'kejadian (sesuatu yang terjadi)'. Kemudian kejadian tersebut diingat oleh otak dan jika dia istimewa, 'ingatan' tersebut akan dilabel sebagai sebuah 'kenangan'. Pada dasarnya, semua manusia akan sampai pada tahap ini, tapi hanya segelintir orang yang mampu menyelesaikan proses terakhir, orang tersebut harus mampu bergelut lalu meramu hasil dari ketiga proses sebelumnya untuk melakukan proses terakhir, 'menulis'.

Oh iya, tulisan ini terbit di majalah Saksi, sebuah majalah terbitan BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. :D *Skefo

Kamis, 01 Januari 2015

Di Atas Panggung Sandiwara



 
    Sumber: tulisantulisansatyo.wordpress.com


Di suatu masa yang entah, 
aku pernah berada di ruang gelap tanpa kesadaran.
Ketika lampu dinyalakan tangis bahagia penonton mulai terdengar
sebab aktor yang ditunggu telah berdiri di atas panggung sandiwara.

Tanpa membaca naskah, aku melakonkan peran jahat
mencuri alam, jiwa, bahkan senyuman. Lawanku adalah siapa saja
yang naik ke panggung dan melakonkan peran sebagai pahlawan.

Aku ingin mata penonton melihat aksiku yang gagah
sehingga mereka mengakui bahwa peranku sempurna.
Akulah yang terhebat, akulah yang terkuat.
Aku berganti peran menjadi tuhan!

Namun sorak-sorai penonton berubah cacian dan cemoohan
seolah aku tokoh yang tidak diharapkan.
“Mati saja! Mati saja!”  
Hanya itu yang terdengar di seantero tempat pertunjukan.
Oh, teriakan kebencian seperti itu menandakan
bahwa kebahagiaan telah kucuri dari hati mereka.
Aku senang sebab aku orang jahat.

Di ujung pertunjukan kulihat tanganku berlumuran darah,
Bangkai pahlawan berserakan bersama bangkai penjahat lain,
saling tumpuk dengan jasad penonton yang bukan hanya
kehilangan kebahagiannya, tapi juga kepalanya.

Pertunjukan berakhir,
aku berdiri sendiri di tengah panggung yang menjadi puing.
Sepi kini menghampiri sebab bukan ini yang aku cari.
“Sutradara, aku berhenti memerankan tuhan!”
Teriakku menunjuk langit-langit yang retak berjelaga.

Air mataku menjadi hujan di panggung sandiwara.
Karena sejak awal aku hanya menunggu sesuatu yang sebenarnya
telah lewat dan mustahil lagi terulang:
tangis bahagia penonton tepat seperti saat pertama kali 
aku lahir ke dunia.

(Jogjakarta, Agustus 2014)

*

Kisah Puisi 

Puisi ini merupakan salah satu jenis puisi prosaik yang entah mengapa pada masa saya membuat puisi ini memang masa-masa dimana saya sedang suga jenis puisi seperti ini, bercerita panjang laiknya sebuah cerpen tapi penuh dengan metafora dan makna yang cukup dalam. Well, puisi ini berhasil terbit di majalah Saksi, sebuah majalah untuk mahasiswa yang dicetak oleh BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, yah mungkin karena isinya yang agak 'melawan' dan 'menyinggung' segelintir orang (baca: perusak). 

Puisi ini saya buat disela-sela kesibukan saya selama melakukan penelitian di Jogja tempo hari. Saat itu saya ngebet sekali ingin membuat puisi dan akhirnya setiap menjelang tidur, saya catat sedikit demi sedikit dalam memo HP hingga akhirnya menjadi sebuah puisi *Jengjeng (mencatat bait-bait puisi dalam memo HP menjadi kebiasaan baru bagi saya). D
an harus kuakui bahwa inspirasi puisi ini berasal dari lagu milik Linkin Park, Final Masquerade.