Konstelasi Imajinasi

Selasa, 16 Juni 2015

Keberangkatan

Aku berdiri dari balik kaca bandara hatimu,
melambaikan tangan dengan mesra dan melihat
dengan pasrah pesawat yang kautumpangi
menerbangkanmu menuju seseorang di masa lalu.


(Makassar, Mei 2015)

Kau adalah Laut yang Terlalu Mencintaiku

                                                   Sumber: scontent.cdninstagram.com

Kautinggalkan rahasia-rahasia pada kedalaman
dan terburu-buru menghempaskan tubuhmu
untuk memeluk tebing geming yang memandang kaku.
Tebing yang tidak tahu cara melingkarkan lengan pada laut.

Orang-orang yang saling kawin di atas kepalaku cukup
untuk membuat ombak bersungut-sungut. Tapi, aku adalah saksi
bagaimana patah hati menjadi sebab orang-orang meluncur terjun
dan kau memeluknya lebih mesra menuju maut.

Pada suatu waktu, dekapan-dekapan dan rasa cemburu
membuatku runtuh lalu bebatuan dan unsur-unsur dalam tubuh
larut menyatu bersamamu. Kau mungkin bahagia,
tapi itu berarti tidak ada lagi daratan yang bisa kaupeluk.

(Apparalang, Mei 2015)

Senin, 15 Juni 2015

To Marege' yang Menemukan Mimpinya dalam Ikatan Punggawa-Sawi

Sumber: Wikipedia.org 

Makassar, Januari 1904

LAKKOY, pemuda Aborigin berusia 22 tahun, sedang sibuk mengangkat belasan jerigen penuh air ke kapal kayu milik Daeng Haji di suatu siang yang sunyi. Kapal yang terparkir tenang di pelabuhan Paotere itu bernama Mimpi Marege, sebuah kapal pencari teripang bernuansa putih dengan satu tiang layar yang siap menaklukkan laut-laut selatan.
            Lakkoy yang berkulit hitam pekat dengan rambut ikal serabut telah menjadi objek gosip dan desas-desus orang-orang di Makassar. Bagaimana tidak, di saat sawi-sawi[1] yang lain berteduh dari tengah hari yang membakar, ia tanpa mengenakan baju tetap melanjutkan pekerjaannya seolah kulit telah bersahabat dengan sengatan matahari pesisir.
            Lepas mengangkat semua jerigen, Lakkoy mengusap peluh dari dahinya sembari duduk bersila di bagian belakang kapal. Sambil merasakan angin melewati tiap senti tubuhnya, ia menatap langit siang yang cerah. Kaki langit yang menyatu dengan laut menjadi garis pemisah imajiner antara ia dengan keluarganya di Australia. 
            Puas memanggil kembali ingatan-ingatan dari seberang lautan, ia menuju ke sebuah dipan yang diberi atap terpal tidak jauh dari dermaga. Di tempat itu sudah menunggu tumpukan karung beras yang harus ia angkat ke kapal. Daeng Haji yang merupakan punggawa[2] kapal berusia hampir 70 tahun, duduk di dipan sambil menghitung uang dan menyeruput kopi hitam dalam gelas kaca. Sesekali ia perhatikan gerak-gerik Lakkoy, memastikan apakah sawi tersebut tetap kuat mengangkat karung beras yang bahkan ia sendiri mungkin sudah tidak sanggup melakukan hal yang sama.
            Sawi yang kehausan bekerja tanpa henti dan punggawa yang duduk santai menghitung uang, membuat orang berpikir bahwa Daeng Haji telah mencuci otak Lakkoy sedemikian rupa sehingga ia rela diperlakukan seperti budak.
            “To Marege’, kau bisa mati kalau begitu terus!” Teriak salah seorang sawi dari kapal sebelah.
            Lakkoy yang mendengar itu hanya diam dan terus melanjutkan pekerjaannya, mondar-mandir mengangkat barang dari dermaga ke kapal. Ia sudah terbiasa dengan sebutan orang-orang Makassar terhadap manusia berkulit hitam dan berambut ikal sepertinya, To Marege’.
            Lakkoy memang pekerja keras dan memiliki etos kerja yang patut dicontoh sawi-sawi lain. Ia tidak akan istirahat sebelum semua pekerjaannya selesai. Kesetiaan dan kecakapannya itu membuat banyak punggawa menginginkan Lakkoy bekerja pada mereka. Ada yang menawarkan upah lebih tinggi dan ada pula yang menawarkan pekerjaan yang lebih baik. Tapi semua itu ditolak oleh Lakkoy.
            “To Marege’, lebih baik kaupindah saja ke punggawa lain yang menawari upah lebih tinggi dan tidak memperlakukanmu seperti budak. Kau belum istirahat dan belum minum seharian!” Orang dari kapal sebelah kembali memulai pembicaraan, kali ini dengan nada prihatin.
            “Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan,” Lakkoy tersenyum sambil berlalu dari kapal sebab semua barang telah pada posisinya, meninggalkan sawi kapal sebelah yang terheran-heran.
*
BAYANG-BAYANG tiang kapal menunjukkan waktu asar telah tiba. Lakkoy menuju masjid yang tidak jauh dari pelabuhan, membersihkan dirinya, lalu mengenakan kemeja cokelat dan sarung motif kotak-kotak. Ia masuk ke masjid yang masih kosong, mengambil corong suara, dan mulai melantunkan azan. Orang yang mendengar azan Lakkoy akan mengorek telinganya dalam-dalam untuk memastikan bahwa manusia baru saja mendengar nyanyian surga. Suara emas ini pulalah yang membuat namanya menjadi pembicaraan seantero Makassar.
            Orang-orang memenuhi masjid seketika karena azan yang berkumandang membuat hati siapapun bergetar. Orang akan langsung teringat pada sosok Bilal jika melihat Lakkoy sedang memanggil para jamaah. Ini juga yang menjadi alasan mengapa banyak punggawa menginginkan Lakkoy menjadi sawinya. Sebab Lakkoy tidak hanya akan mendatangkan keuntungan dari segi jasa, tapi status punggawa akan naik di mata orang-orang.
            Selepas salat asar yang diimami oleh Daeng Haji, Lakkoy duduk di atas dipan dekat dermaga untuk memandang peralihan hari menuju sore. Pikirannya kembali menerawang jauh ke tempat pertama ia dilahirkan. Melewati selat Makassar, laut Flores, laut Timor, Malayan Road, hingga tiba di pantai barat laut Australia, daerah milik suku Yolngu. Orang-orang berkulit putih menyebutnya Arnhem Land.
            Baru saja ia berkhayal bertemu sanak famili nun jauh di sana, seseorang menepuk bahunya. Ia kaget bukan kepalang dan menoleh pada seseorang yang membuyarkan lamunannya. Orang itu adalah Haji Hasan Daeng Bora, salah satu punggawa terkenal di Paotere. Ia memiliki banyak kapal dan juga banyak sawi yang semuanya sejahtera secara finansial, termasuk laki-laki dari kapal sebelah yang tadi siang banyak bicara.
            “Aku selalu memperhatikanmu, To Marege’. Setiap waktu kau selalu menatap laut dan membayangkan dirimu pulang ke kampung,” Haji Hasan tersenyum kecil sambil menyuguhkan gelas kaca bening dan cerek keemasan yang ia peroleh dari tanah suci. “Minumlah, kau pasti kehausan setelah seharian bekerja dan tidak seorang pun memberimu air, termasuk punggawa-mu sendiri.”
            Lakkoy mengabaikan suguhan tersebut dan malah menatap Haji Hasan dengan sedikit mengernyitkan alis seolah tidak sepakat dengan sindiran yang baru saja diutarakan oleh laki-laki berusia 60 tahun itu.
            “Tidak usah tersinggung, To Marege’. Aku hanya menyampaikan keresahanku. Aku terus melihatmu bekerja sepanjang siang di bawah panas matahari,” Haji Hasan memegang pundak Lakkoy seolah tahu beban yang ia pikul.
            Sebagai seorang punggawa, Haji Hasan tahu bagaimana pekerjaan sawi. Berat dan melelahkan. Ia memang tidak bisa menerima perlakuan Daeng Haji siang tadi. Lakkoy telah sangat kehausan memikul barang-barang sementara Daeng Haji hanya duduk bersantai di atas dipan membilang keuntungan, tidak menyuruhnya istirahat, tidak pula menyuguhkan segelas kopi yang ia tenggak dengan penuh bahagia.
            “Kalau kau lelah, To Marege’, kau bisa pindah kepadaku. Akan kuberi upah yang lebih banyak dan semua utangmu pada Daeng Haji akan kulunasi. Lalu setelah bekerja selama beberapa tahun, akan kupulangkan kau pada keluargamu di Arnhem Land,” Haji Hasan memberikan penawaran yang sangat menarik.
            Tidak ada sawi yang mampu menolak tawaran seperti itu, kecuali dia adalah orang bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan untuk hidup yang lebih baik. Lakkoy menatap mata Haji Hasan dalam-dalam sebelum ia tersenyum dan tertawa kecil sampai-sampai giginya sedikit terlihat.
            Haji Hasan juga ikut tertawa melihat Lakkoy yang sepertinya bahagia mendengar penawaran menggiurkan tersebut. Ia memang sangat mendambakan Lakkoy menjadi sawinya. Sebuah kebanggaan tersendiri jika memiliki sawi seorang muazin bersuara emas. Seantero kota akan mengabadikan namanya sebagai punggawa dari sawi yang tak kenal lelah dan majikan dari sang Suara Emas. Orang akan menaruh hormat padanya.
            “Tawarkan hal menggiurkan itu pada sawimu yang paling setia saja,” Lakkoy memberi pernyataan yang membuat Haji Hasan heran bukan kepalang.
            “Apa masih kurang? Kau bahkan tidak akan kupekerjakan secara penuh. Kau cukup mengawasi kerja sawi-sawi yang lain,” Haji Hasan berusaha menaikkan penawarannya,
            Lakkoy kembali tersenyum dan menolak dengan sopan tawaran yang tidak tanggung-tanggung itu. Ini kali pertama Haji Hasan mendapatkan penolakan dalam hidup. Penolakan yang justru datang dari orang yang tidak ia duga, seorang sawi.
            Untung saja saat itu tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. Jika ada, sudah pasti Haji Hasan akan siri’[3] bukan kepalang. Di sore hari, pelabuhan Paotere memang dipenuhi oleh aktivitas bongkar-muat ikan, sehingga orang-orang akan sibuk dengan masing-masing pekerjaannya.
            “Kau rela membuang niat baikku demi sebuah pengabdian pada punggawa yang tidak berperikemanusiaan?” Giliran Haji Hasan yang menatap tajam Lakkoy.
            Tidak masuk akal bagaimana sawi yang satu ini tetap setia pada orang yang telah memperlakukannya seperti budak: memisahkannya dari keluarga, membiarkannya kerja kepanasan tanpa istirahat, dan tidak memberinya minuman.
*
MATAHARI akan segera merangkak turun. Burung-burung petang mulai beterbangan mencari peristirahatan. Langit mulai sepi, tapi pelabuhan semakin ramai. Cahaya matahari bersinar lembut di permukaan laut. Lakkoy menerbitkan senyum, lalu tidak lama tertawa membayangkan bagaimana orang-orang selalu mengira ia sangat bodoh sebab diperlakukan seperti budak.
            “Anda masih terlalu muda untuk menjadi punggawa,” Lakkoy menggaruk kepalanya.
            “To Marege’ yang tidak tahu berterima kasih!” Haji Hasan yang mendengar itu tidak terima. Ia sudah cukup menerima penolakan, dan telinganya sangat panas untuk sebuah nasihat. Hampir saja cerek penuh air itu melayang di kepala Lakkoy.
            “Berlayar ke Makassar dengan kapal para pencari teripang adalah impian orang-orang Arnhem Land,” Lakkoy mengungkapkan sebuah kebenaran.
            Para pemuda Yolngu memang selalu berharap bisa melihat bagaimana besarnya kota pelabuhan di semenanjung Sulawesi. Mereka menyebutnya Mangathara, sebutan lain untuk Makassar. Kota dengan rumah-rumah kayu yang megah dan indah, serta kapal-kapal kayu tangguh yang telah menaklukkan entah berapa puluh lautan. Ayah Lakkoy yang seorang kepala suku, suka sekali menggambar kapal dan rumah kayu di dinding-dinding rumahnya –yang hanyalah sebuah gua-.  Ia berpesan bahwa suatu hari, Lakkoy harus menuntut ilmu dari orang-orang Mangathara yang datang untuk mencari teripang.
            Sepuluh tahun lalu, Daeng Haji menginjakkan kakinya di Arnhem Land dengan beberapa armada kapal melalui Malayan Road. Lakkoy yang telah terobsesi dengan pelayar-pelayar tangguh pencari teripang tersebut bersedia menjadi pengikut setia Daeng Haji asalkan diizinkan ikut berlayar ke Makassar.
            Permintaan itu disanggupi oleh Daeng Haji dan melatih Lakkoy berbagai macam keterampilan orang-orang Makassar: diajarkan bahasa, berhitung, dan ilmu navigasi. Tidak hanya itu, Daeng Haji yang memang dikenal sebagai imam di daerah Paotere bahkan berhasil membujuk Lakkoy untuk memeluk Islam, meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya yang menyembah A-ha-la. Lakkoy pun diajar mengaji, diberi pelajaran bahasa Arab, fikih, dan yang paling penting penguatan akidah. Saat belajar Islam itulah, ia dipercaya menjadi penjaga masjid dan sebagai tukang azan bersuara emas. 
            Setiap tahun di penghujung Januari, Lakkoy akan ikut berlayar ke Arnhem Land untuk mencari teripang. Kesempatan itu ia gunakan untuk bertemu orang-orang di kampungnya, menceritakan pengalaman yang ia peroleh dan menitipkan mimpi-mimpi pada anak kecil di sukunya sebelum ia kembali ke Makassar.
            Haji Hasan yang mendengar cerita Lakkoy memalingkan wajahnya sambil membuang napas keras-keras. Ia tidak habis pikir, alasan Lakkoy tidak kembali menetap di kampungnya dan tetap setia pada punggawa-nya bukan karena persoalan materi, tapi karena Daeng Haji telah menjadi guru sekaligus orang tua Lakkoy. Ikatan yang terbangun melebihi ikatan pungawa-sawi manapun.
            “Jika ia telah menjadi guru sekaligus orang tuamu, mengapa ia tidak menyuruhmu istirahat tadi siang?” Haji Hasan masih heran dengan peristiwa tengah hari tadi. Seharusnya, justru karena sudah menjadi guru dan orang tua, Daeng Haji harus lebih perhatian padanya. 
            “Aku benar-benar bersemangat sebab besok bakda jumat, aku akan kembali mencari teripang di Arnhem Land,” tutur Lakkoy. “Kalau tadi Daeng Haji menyuruhku istirahat,” lanjutnya, “aku tetap tidak akan berhenti sampai pekerjaanku selesai. Beliau tahu itu, jadi beliau lebih memilih untuk diam,” Lakkoy tertawa. Haji Hasan menganggukkan kepala. Mulai paham bahwa prasangkanya selama ini benar-benar keliru.
            Panas di hati Haji Hasan kini telah hilang bersama hilangnya matahari di kaki langit. Lakkoy mengambil cerek di sampingnya dan menuang isinya ke dalam gelas kaca bening hingga penuh. Ia meneguk air segar itu sampai habis. Bahkan ia tambah lagi hingga tiga kali. Dahaga Lakkoy telah terpuaskan.
            “Terima kasih airnya, Haji Hasan. Buka puasa yang sangat menyegarkan!” Lakkoy tersenyum sebelum berdiri dari dipan tempatnya menghabiskan petang, lalu menuju masjid untuk melantunkan azan maghrib.
            Haji Hasan baru ingat bahwa ini adalah hari kamis, dan sebagai murid seorang imam terpandang, wajar saja kalau Lakkoy menjaga puasa sunahnya.
            “Maaf, To Marege’, saya sudah menyakiti perasaanmu dan perasaan Daeng Haji!” Haji Hasan berteriak dari kejauhan, meminta maaf atas kesalahannya.
            “Daeng Haji selalu memanggil namaku, Lakkoy. Bukan dengan sebutan To Marege’.”

***

Di Balik Cerpen 

                                                              Sumber: press.anu.edu.au

INI adalah salah satu cerpen saya yang menjuarai lomba menulis cerpen Islami oleh LDM Al-Aqsa Unhas. Saya berterima kasih pada dewan juri sebab (katanya) mereka dengan mudah mampu menemukan pemenangnya. Di dalam salah satu catatan dewan juri mengenai lomba tersebut, kanda Fitrawan Umar menulis bahwa cerpen ini ditulis dengan riset yang yang mendalam (selain kanda FU, juri lainnya adalah kanda S. Gegge Mappangewa dan kanda Aida Radar). Memang benar, saya sudah lama ingin menulis cerpen tentang para pencari teripang, dan baru saja menemukan konsep dan konteks yang tepat. 

Demi menghasilkan cerpen yang tidak jauh dari kenyataan sejarah (karena ini cerpen yang diangkat dari peristiwa sejarah), saya melakukan riset yang cukup lama untuk sebuah cerpen. Riset mengenai para pencari teripang ini saya mulai tepat pertengahan kemarau 2014 lalu, dan betul-betul intens mempelajari literatur sebulan sebelum cerpen ini saya kirim. Banyak artikel yang saya tandaskan dan beberapa buku bacaan tentang Makassar serta kemaritiman nusantara. Buku paling menarik yang saya tandaskan secara keseluruhan adalah Macassan History and Heritage: Journeys, Encounters, and Infuences (Editor: Marshall Clark dan Sally K. May, 2014) . Sebuah referensi lengkap kumpulan hasil penelitian paling mutakhir mengenai Macassan (Orang Makassar) yang mencari teripang sampai ke Australia. Banyak sekali hasil-hasil penelitian menarik dalam buku tersebut, seperti: Bagaimana para Macassan trepangers membawa serta budaya seperti bahasa, perkakas, pengetahuan, bahasa, dan agama (Islam) ke orang-orang Aborigin di kawasan Arnhem Land, Mereka betul-betul terpengaruh dengan Makassar. 

                                                              Sumber: press.anu.edu.au



[1] Sawi dalam masyarakat Sulawesi Selatan dan juga dalam KBBI adalah awak perahu nelayan.
[2] Punggawa  merupakan istilah lokal di kawasan Sulawesi Selatan untuk pemilik atau juragan kapal.
[3] Dalam kebudayaan Sulawesi Selatan, siri’ berarti malu.