Konstelasi Imajinasi

Senin, 26 Oktober 2015

Selalu Ada Kenangan di Setiap Tempat dan Peristiwa -Live Report Blogger Camp Makassar 2015-

Begitu tahu bahwa Forum Lingkar Pena Makassar mendapat undangan untuk mengirimkan dua orang utusannya mengikuti Blogger Camp Indonesia 2015 di PPLH Puntondo, saya langsung melupakan skripsi yang tak kunjung selesai direvisi. Menjadi mahasiswa semester tua berarti siap menerima pertanyaan kapan wisuda, kapan nikah, dan kapan-kapan lainnya. Hilang sejenak dari kota, menulis dalam kesunyian, dan larut bersama para Blogger mungkin menjadi opsi menarik yang mampu melupakan rutinitas dan teror pertanyaan-pertanyaan horor di atas.

Meski senin sedang sibuk-sibuknya dan matahari 26 Oktober bersinar terlalu semangat, peserta tetap antusias berkumpul di Café Pojok Adhyaksa sebelum rombongan yang terdiri dari sebuah bus dan sebuah minibus menuju lokasi kamp, tidak ada yang terlambat. Selepas bersama-sama melarung doa ke langit, rombongan lantas menuju Takalar.

Sepanjang perjalanan, semua peserta terlihat antusias. Saya antusias pula melihat mereka. Blogger-Blogger keren dari berbagai komunitas di beberapa kota berkumpul bersama. Ada dari komunitas Blogger Makassar, Blogger Maros, Blogger Sinjai (yang dijemput di tengah jalan), Blogger Kompasiana, dan teman Blogger dari Kalimantan Barat. Ini seperti The Avengers, yang mana semua superhero  atau para jagoan (orang Makassar menyebutnya tolo’) berkumpul dalam satu kegiatan keren nan bermanfaat. Sepanjang perjalanan pula, begitu mulai masuk desa-desa pesisir Takalar, kami disambut lambaian tangan anak-anak. Dari balik kaca bus, saya menangkap tangan, mata, dan tawa mereka berbicara “Selamat datang, semoga hari-hari kalian menyenangkan.

Entah sudah kali keberapa saya menginjak tempat ini, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo. Sejak duduk di bangku Madrasah Aliyah, tempat ini selalu saja membuat saya rindu. Angin laut sejak dari dulu bertiup sejuk. Pepohonan, pasir putih, dan bangunan-bangunan kayu selalu saja menyambut para tamu. Maghrib telah merajai langit, beberapa peserta mulai menuju asrama untuk bersiap-siap sebelum kami menghabiskan malam bersama.



Jaringan dari smartphone saya awalnya hanya sekarat di daerah ini, namun lantas mati sebab operator selulernya mungkin belum menjangkau pelosok-pelosok negeri. Untungnya, jauh-jauh sebelumnya, saya meminta kepada salah seorang teman yang menggunakan SIM card Indosat untuk membeli banyak-banyak paket data sebab berdasarkan informasi dan pengalaman, jaringan Indosat berkuasa di daerah Puntondo. Dia memang setia pada Indosat, dan berencana mengaktifkan IndosatLove begitu tahu kabar ihwal aplikasi ini.

Malam masih berlanjut, setelah makan malam, para peserta mulai saling berbagi tentang kisah-kesah mereka selama menjadi Blogger, dan perkembangan blog-blog di daerah mereka masing-masing. Saya terpaksa melewatkan malam tanpa menyaksikan acara-acara favorit saya di Net Tv demi ihwal ilmu dan kebersamaan seperti ini. Ada yang bercerita tentang semangat para blogger yang menurun, perubahan arah tulisan para Blogger, dan kekhawatiran-kekhawatiran yang lain.

Namun menariknya, para Blogger di beberapa tempat tetap eksis dengan menjalin relasi dan jaringan di luar dunia digital. Beberapa blogger yang rajin bertemu di dunia nyata dan intens berinteraksi akhirnya menjadi seperti keluarga, sebab meminjam istilah Prof. Mattulada, keluarga itu ada tiga: Perkawinan, Keturunan, dan relasi sosial.  

Hari pertama lantas ditutup dengan materi mengenai photoblogging. Pembicara memberikan teknik-teknik jitu, bagaimana mengambil gambar yang keren dengan teknik Entire, Small, Frame, Angle, dan Time. Materi ini menambah pengetahuan kami sekaligus mengubah kebiasaan kami yang senang ambil gambar biasa-biasa saja (yang penting ada), dan kebiasaan mengambil gambar dari web atau blog orang lain.

Hari kedua menjadi hari yang paling seru selama Blogger Camp ini dilaksanakan. Setelah sarapan dan menikmati udara pesisir dari laut yang telah surut, seluruh peserta riuh dan larut dalam keseruan ber-outbond. Dibagi menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari enam sampai tujuh orang, setiap kelompok harus menyelesaikan empat games yang luar biasa serunya. Kedekatan emosi lantas terbangun dari games seru yang kami lakukan. Bukan soal menang-kalahnya atau pakaian yang kotor karena kejahilan teman-teman, tapi ini soal keseruan. Tertawa dan bahagia bersama itu selalu paling berharga.




Para peserta kemudian sibuk membersihkan diri dan menyegerakan langkah menuju aula pertemuan, tempat diskusi terakhir dimulai. Setelah anggota dari Blue Bird Group menyampaikan keunggulan mereka dibanding perusahaan lain yang bergerak di bidang transportasi, materi digital marketing betul-betul membuka mata saya bahwa dunia digital bukan hanya sekadar pelampiasan dari kekecewaan di dunia nyata, ajang curhat di media sosial, tempat pencarian teman-teman baru, atau tempat memperoleh pengetahuan dan informasi terbaru, tapi lebih dari itu. Dunia digital mampu menyambung kehidupan kita dengan memperoleh penghasilan tambahan. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Saya lantas berpikir bahwa untuk melamar seseorang yang saya cintai, digital marketing menjadi alternatif untuk mengumpulkan mahar (panai’ dalam bahasa Bugis-Makassar) yang mungkin harus dicoba.




Setelah materi berakhir, makan siang menyambut kami sebelum meninggalkan tempat yang indah ini. Sepanjang perjalanan pulang nanti, saya yakin, anak-anak desa akan melambaikan tangan dengan sumringah dan seolah berkata “selamat tinggal, sampai jumpa, saya yakin hari-hari kalian menyenangkan.”

Seseorang pernah berkata bahwa meninggalkan suatu tempat sama halnya dengan kepergian kita dari hati seseorang, kita tidak akan betul-betul pergi dari sana, akan selalu ada yang tertinggal, sesuatu yang kita sebut kenangan.



Puntondo, 27 Oktober 2015

Minggu, 25 Oktober 2015

Menulis Cerpen Islami, Perhatikan Nilai-Nilainya -Catatan Dewan Juri Lomba Cerpen LISAN HIMIKA


            Seperti kebanyakan lomba-lomba cerpen lain yang menggaungkan istilah cerpen Islami, penulis yang mengirimkan karyanya dalam event LISAN oleh HIMIKA ini terjebak dalam beberapa kesalahan fatal. Jujur, ihwal ini membuat saya sedikit kesulitan menemukan cerpen-cerpen Islami yang berkualitas dalam tumpukan naskah. Saya selaku salah satu dewan juri akan memaparkan kesan sekaligus penilaian saya terhadap karya-karya yang masuk. Semoga dapat dimengerti oleh panitia dan oleh dewan juri yang lain.
            Jumlah keseluruhan naskah sebanyak 52 buah, peserta terdiri dari mahasiswa dan siswa (semuanya berasal dari kabupaten Bantaeng –mengapa?). Tidak seperti lomba cerpen lainnya, panitia LISAN secara langsung menyerahkan naskah cerpen kepada juri dengan tidak memisahkan judul cerpen dan penulis cerpen sehingga dewan juri mengetahui siapa sang empunya cerpen.  Seharusnya, panitia hanya menyerahkan cerpen anonim dengan nama penulis disimpan oleh panitia, seharusnya. Objektivitas menjadi hal yang -tentu– sulit untuk dihindari jika saja dewan juri mengenal salah satu penulis. Namun di sini, saya mencoba betul-betul objektif dengan memperhitungkan aspek-aspek penilaian dengan matang; standar teknis dari panitia, nilai yang dibawa, ide yang menarik dan antiarus kebanyakan, teknik penceritaan yang mengalir, bagus, dan tidak saling menabrak logika yang dibangun, serta hal-hal teknis seperti EYD.
            Seleksi pertama saya lakukan dengan melihat cerpen yang tidak sesuai dengan standar panitia, berupa jumlah halaman, jenis dan ukuran huruf, dan lain-lain. Selain itu, nilai-nilai yang dibawa dan berusaha diamanatkan dalam cerpen juga menjadi pertimbangan dalam seleksi ini. Semua cerpen yang tidak lulus seleksi awal disebabkan karena halaman cerpen yang ‘off side’. Selain itu, entah mungkin karena sebagian besar peserta adalah remaja SMA, tema-tema cinta dengan teknik penulisan teenlit menjadi ihwal mayoritas yang muncul dimana-mana, semuanya betul-betul penulis pemula (new beginner). Cerpen-cerpen yang mengangkat kisah tentang cinta pun terjebak dalam kasus yang mana tokoh berpacaran, atau sedang menyukai tokoh lain dan menggambarkan nilai-nilai menjalin hubungan pranikah, hal ini berarti cerpen tersebut tidak mengandung nilai keislaman yang berusaha diusung oleh panitia. Ihwal tersebut menjadi ihwal paling substansial sebab berkaitan dengan ideologi yang dipahami.
            Setelah naskah dipilah berdasarkan standar di atas, terpilihlah 29 cerpen yang kemudian akan diseleksi menjadi sepuluh besar. Cerpen-cerpen yang masuk ke dalam kategori sepuluh besar adalah cerpen dengan ide yang ‘sedikit’ tidak lazim dengan ide kebanyakan, teknik penceritaan yang sudah mulai bagus, dan penulisan teknis yang lebih teliti meski –yang namanya penulis pemula-, kesalahan-kesalahan EYD masih bertebaran di sana-sini. Dari sepuluh besar, saya lantas memilih enam cerpen yang menurut saya terbaik dalam keseluruhan naskah yang masuk.
            Cerpen dengan judul Cahaya yang Lain saya tempatkan di posisi keenam. Cerpen ini sebenarnya sederhana, namun teknik penceritaannya lumayan bagus. Saya berhasil mengalir ke dalam cerpen meski di pertengahan menjelang akhir, saya lantas ‘keluar’ sebab ‘arus’ mulai terkesan ‘aneh’ dan dipaksakan. Bercerita tentang siswa SMA bernama Dimas dan Arazee yang selalu saling sapa namun tidak saling mengenal satu sama lain. Di pertengahan cerita, Arazee menghilang sebab ia tiba-tiba buta (di sini cerita mulai kurang logis) namun akhirnya mereka tetap bisa bertemu lagi.
            Tuhan Itu Kemana, Ayah? merupakan cerpen yang menempati posisi kelima. Saya melihat amanatnya begitu dalam sebab bercerita tentang seorang anak yang harus berjuang keras bersama keluarganya agar tetap memperoleh penghidupan. Nilai-nilai kesabaran dan rasa syukur sangat kental dalam cerpen ini, hanya saja, penulis terkesan belum berhasil menyampaikan cerita dengan baik, kesan menggurui masih sangat kental, pula kesalahan-kesalahan EYD masih bertebaran dimana-mana.
            Cerpen yang ada di posisi keempat berjudul Maaf. Sangat sederhana, idenya tidak terlalu unik dan terkesan biasa saja, bahkan judulnya pun terkesan tidak menarik. Namun dibanding dengan dua cerpen sebelumnya, cerpen ini terkesan lebih matang dari segi ide, penceritaan, dan teknik penulisan. Simply but catchy. Meski begitu, kekurangan lain yang membuat cerpen ini gagal berada di posisi ketiga adalah terlalu banyaknya dialog yang sedikit mengganggu estetika isi cerpen.
            Menentukan cerpen yang berada di tiga peringkat teratas sebenarnya susah-susah gampang meskipun tidak sesusah menentukan jodoh. Ketiga cerpen yang memuncaki tangga ini bisa dibilang sangat lebih dari cerpen-cerpen yang lain. Ide sangat menarik, penceritaan yang matang, keterkaitan antarbagian, sampai ihwal teknis seperti EYD. Kekurangannya hanya perlu dipoles sedikit lagi.
            Cerpen berjudul Merindumu dari Bilik Terakhir bercerita tentang jiwa (atau ruh?) seseorang yang sejatinya akan segera menikah dengan orang yang dicintainya. Namun bencana pesawat Aviastar yang ia tumpangi menuju Makassar jatuh dan menewaskan dirinya. Ia lantas tak jadi naik ke pelaminan untuk bersanding kepada calon istri. Pernikahan tetap berlangsung, Zoya, sang calon istri bersanding dengan sahabat tokoh utama, Bora. Namun janji tokoh untuk menghadiri pernikahan dituntaskan dengan cara yang berbeda, ia datang dengan cara yang tidak biasa, bukan sebagai mempelai, bukan sebagai undangan, namun sebagai kenangan. Kekurangan dari cerpen ini adalah teknik penceritaan yang masih kurang bagus ketimbang dua cerpen kemudian, cerita yang terkesan kurang logis (seperti kenapa wasiat baru dibuat di atas pesawat sebelum kecelakaan?) dan penulisan teknis yang masih perlu diperbaiki.
            Bahtera Rohingya dalam Dekapan Samudera menjadi cerpen yang berhasil menempati peringkat kedua. Idenya sangat menarik, tentang dua orang kakak-adik bersama orang-orang etnis Rohingya yang terkatung-katung di samudera. Badai yang menerpa perahu mereka di suatu malam menjadi petaka yang membuat orang-orang –mungkin- hilang ditelan samudera. Tidak diceritakan apakah pasca badai tersebut sang tokoh utama, Kemis, berhasil selamat dari badai atau tidak, yang jelas kakaknya yang dicintai samudera meninggalkan kenangan dan pelajaran sedalam samudera itu sendiri. Kekurangan dari cerpen ini adalah cerita yang terkesan terburu-buru dan akhir yang kurang menggigit, selain itu penulis juga masih kurang teliti mengenai EYD. Kekurangan-kekurangan tersebut membuat cerpen ini gagal menerobos peringkat pertama.
            Cerpen yang menempati urutan pertama menurut saya adalah cerpen dengan judul Asy-Syifa. Cerpen ini sangat unggul dari segi ide, teknik penceritaan, ketelitian penulis terhadap kesalahan EYD, dan riset yang dalam. Semuanya betul-betul matang, setiap elemen beresonansi dan tidak meninggalkan lubang. Cerpen ini bercerita tentang sisi lain tentara zionis, seseorang yang masih memiliki hati dan sebenarnya tidak sepakat dengan perlakuan rekan dan atasannya terhadap kekerasan, pencaplokan wilayah, dan pelanggaran hak azasi atas warga Palestina. Semuanya mengalir, deskripsinya membuat saya seperti betul-betul menyaksikan penderitaan seorang Aisya dan ibundanya, kekejaman para invader dan kebimbangan Zaen, sang tokoh utama. Cerpen ini memenangkan hati saya.
            Saya kira sebagai dewan juri, banyak hal yang luput dari pengamatan saya sebagai manusia yang tentu diliputi oleh khilaf. Saya harap, tulisan ini memenangkan bahagia sekaligus keikhlasan di hati teman-teman juri lain, panitia, peserta, maupun siapa-siapa. Selamat merayakan hidup dengan tulisan.

Batara al-Isra
Jumat, 23 Oktober 2015


Catatan tambahan: Ini penilaian versi saya, belum versi juri yang lain. Saat pengumuman juara, bisa jadi pendapat saya berbeda dengan juri yang lain.