Konstelasi Imajinasi

Sabtu, 14 Oktober 2017

Tiga Penyebab Rendahnya Minat Membaca dan Berliterasi Siswa Sekolah Dasar di Indonesia

John W Miller dan Michael C. McKenna dari Central Connecticut State University di New Britain melakukan penelitian mengenai the world’s most literate nation, negara mana saja yang tergolong ke dalam negara-negara melek literasi. Hasilnya mengejutkan, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang melek dan menjadikan literasi sebagai tren. Sebagai pembanding, tiga negara tetangga berada di atas kita; Singapura, Malaysia, Thailand. Rata-rata dalam setahun, orang Indonesia hanya menghabiskan satu buku saja untuk ditamatkan. Ini berarti, kesadaran membaca dan berliterasi di negara kita sangat rendah.

Tidak akrabnya kita dengan bacaan sejak kecil menjadi bukti bahwa masyarakat belum menjadikan membaca sebagai kebutuhan. Seandainya membaca adalah kebutuhan sebagaimana juga minum dan makan, tentu membaca telah diperkenalkan pada kita secara masif dan terencana sejak dini. Saya masih ingat bagaimana sepinya perpustakaan sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Buku-bukunya berdebu dan rak-raknya penuh sarang laba-laba. Setiap istirahat, teman-teman saya hanya bermain di luar atau belanja ke kantin. Mereka tidak pernah ada niat untuk membuka buku apalagi menyambangi perpustakaan, hampir tidak pernah siswa menginjaknya. Bahkan hingga beberapa tahun setelahnya, perpustakaan di sana masih seperti dulu: kusam dan terlupakan.

Sama dengan kondisi perpustakaan yang sepi pengunjung, buku-buku penunjang pembelajaran pun kesepian sebab jarang dibuka pemiliknya kecuali saat guru memberi tugas.  Para siswa lebih asyik bermain saat istirahat di sekolah. Begitu pulang, mereka kembali bermain. Sangat sedikit dari mereka yang menyisihkan waktu untuk membaca buku penambah wawasan khas anak-anak atau sekadar buku cerita. Begitulah, bagaimana membaca merupakan hal sederhana yang kerap dianggap remeh. Kalau pun kita tanya para siswa, mereka pasti tahu membaca itu penting, membaca itu jendela dunia, tapi rasa-rasanya, kalimat tersebut kerap jadi slogan belaka. Tertulis indah di dinding sekolah, selalu dibaca, tetapi sangat jarang diamalkan.

Saya yakin, kasus di atas bukan hanya terjadi di sekolah dasar yang telah lama saya tamatkan. Hal itu juga terjadi di hampir seluruh SD di tanah air. Apalagi sekarang, era saat teknologi serba instan dan hiburan menggempur dari segala arah, minat baca dan bertandang ke perpustakaan semakin mendekati tandas. Anak-anak SD lebih senang menggunakan aplikasi permainan dalam gawai –orang tua- mereka ketimbang menggunakannya untuk mencari konten-konten yang sifatnya bahan bacaan, entah mungkin dalam bentuk cerita bergambar atau lainnya.

Jika ditelisik lebih jauh, setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi penyebab persoalan mengapa budaya baca dan berliterasi siswa sekolah dasar di Indonesia sangat rendah. Ketiga hal dasar ini, jika ditemukan solusi yang tepat, bukan tidak mungkin minat baca masyarakat kita bisa meningkat. Ihwal tersebut yakni; dominasi budaya tutur ketimbang budaya literasi, kurangnya optimalisasi perpustakaan dan akses bacaan, serta kurangnya teladan dari orang dewasa.

Dominasi Budaya Tutur

Di negara kita, dominasi budaya tutur sangat susah digantikan dengan budaya tulis. Proses penyampaian informasi di antara masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya dilakukan melalui bahasa lisan, bukan dengan tulisan. Nenek moyang bangsa Indonesia baru mengenal budaya tulis kurang lebih 1600 tahun lalu yang ditandai dengan usia yupa prasasti tertua peninggalan Kerajaan Kutai. Itu pun masih sangat partikular karena di antara ribuan suku-bangsa, hanya orang Kutai yang baru mengenal huruf. Barulah beberapa puluh bahkan ratus tahun setelah itu, aksara-aksara menghiasi beberapa kerajaan di Nusantara. Tapi, tetap saja, bahkan sampai Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi negara, beberapa suku-bangsa sama sekali belum mengenal aksara.
Melihat fakta bahwa membaca dan berliterasi belum seutuhnya membudaya dalam masyarakat kita, maka saya yakin apa yang disebut Thomas Kuhn sebagai paradigm shift atau pergeseran paradigma perlu dilakukan.  Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan agar budaya baca-tulis mendominasi budaya tutur bisa kita contoh dari Finlandia. Di negara peringkat pertama the world’s most literate nation ini, kebiasaan membaca mulai dibangun sejak dini, bahkan sejak bayi.

Ketika orang tua baru memiliki anak, pemerintah akan memberi maternity package (paket perkembangan anak). Paket tersebut berisi keperluan bayi juga buku bacaan bagi anak dan orang tuanya. Cara ini terbukti ampuh mendekatkan bayi dengan literasi. Ketika tumbuh, anak-anak sudah tidak menganggap buku sebagai sesuatu yang asing.
Selain itu, kebiasaan mendongengkan anak dengan membacakan buku cerita diwariskan turun-temurun dalam keluarga masyarakat Finlandia. Di Indonesia, tradisi mendongeng juga telah dilakukan sejak jauh kala, namun dengan cara yang berbeda. Orang tua Indonesia berdongeng dengan cara ‘bercerita’ (tanpa melihat teks), bukan ‘membaca’. Memang, kedua cara tersebut memiliki substansi yang sama selama nilai-nilainya bisa tersampaikan, tapi, ada keuntungan lebih bila dongeng disampaikan dengan cara dibaca, yakni secara tidak langsung, anak akan akrab dengan buku bacaan, juga akan mencontoh orang tuanya untuk rajin membaca.

Hal menarik lain yang mungkin bisa dicontoh adalah adanya aturan penggunaan subtitle bahasa bagi film asing untuk anak-anak. Di beberapa negara, film dengan segmentasi pemirsa khusus anak-anak kebanyakan dialihbahasakan (dubbing) dengan harapan, anak-anak akan mudah mengerti pembicaraan dalam film. Namun di Finlandia, regulasi pemerintah mengharuskan film anak juga menggunakan subtitle layaknya film untuk remaja dan dewasa. Hal ini bertujuan agar anak sejak dini sudah terbiasa dengan kegiatan membaca, atau setidaknya terbiasa dengan teks-teks bacaan.
Kurangnya Optimalisasi Perpustakaan dan Akses Bacaan

Berdasarkan teori generasi yang dicetuskan Karl Mannheim pada 1923, para sosiolog masa kini membagi manusia menjadi beberapa generasi. Dua generasi paling mutakhir adalah generasi Z (gen Z) yang lahir pertengahan 90an hingga 2010, dan generasi Alfa (gen Alfa) yang lahir di atas tahun 2010. Anak-anak yang sedang dan akan duduk di bangku Sekolah Dasar saat ini adalah anak-anak yang lahir di rentang tahun 2005 hingga 2012 yang berarti siswa SD sekarang berasal dari generasi Z dan generasi Alfa. Oleh karena itu, untuk meningkatkan minat baca mereka, orang dewasa harus memahami pola pikir generasi mutakhir ini. Meski keduanya punya ciri khas masing-masing, gen Z dan gen Alfa punya kesamaan, yakni melek teknologi dan penuh kreativitas.

Saat ini, perpustakaan sekolah masih menjadi satu-satunya tempat siswa memperoleh bahan bacaan dalam bentuk buku. Tidak bisa dipungkiri bahwa perpustakaan sangat menentukan minat baca siswa Sekolah Dasar. Berdasarkan keputusan menteri pendidikan tanggal 11 Maret No. 0103/0/1981, perpustakaan sekolah memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar, pusat penelitian sederhana, pusat baca guna menambah ilmu pengetahuan, dan rekreasi. Fungsi-fungsi perpustakaan ini akan lebih optimal dijalankan jika guru dan orang tua mengerti pola pikir gen Z dan gen Alfa.

Seorang siswa SD kelas IV pernah bercerita bahwa dia sangat jarang ke perpustakaan karena perpustakaannya kurang menarik. Selain itu, guru juga jarang menyuruh dia dan teman-temannya untuk bertandang ke perpustakaan. Cerita ini keluar dari mulut seorang anak kecil yang masih polos dan jujur dalam berkata. Oleh karena itu, agar fungsi perpustakaan bisa dijalankan dengan baik, ihwal yang bisa dilakukan pertama adalah membuat para siswa nyaman dengan perpustakaan, misalnya mendesain perpustakaan sekreatif mungkin dan sedemikian rupa khas anak-anak sehingga siswa menyukai suasana perpustakaan. Selanjutnya, lakukan pembiasaan berkunjung ke perpustakaan dengan membuat jadwal-jadwal khusus setiap hari agar siswa merasa tiada hari tanpa tidak menginjak perpustakaan. Begitu berada di dalam, guru sebaiknya menggunakan metode pembelajaran kreatif yang melibatkan buku bacaan sebagai instrumen, seperti mengadakan ‘lomba temukan judul buku’, ‘temukan kata’, dan lain-lain.

Selain mengoptimalkan fungsi perpustakaan, ketersediaan bahan bacaan khusus anak juga perlu diperhatikan, kalau perlu, bahan bacaan tersebut ditulis oleh kalangan anak-anak sendiri. Hal itu juga mampu meningkatkan kreativitas siswa dalam bidang literasi. Memang saat ini banyak ditemukan buku bacaan khusus anak-anak dengan segala jenis dan genrenya, namun hampir semuanya ditulis oleh orang dewasa, baik cerita anak, dongeng, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Sangat jarang buku khusus anak ditulis oleh anak seusianya. Sejauh ini, baru penerbit Mizan yang memiliki bagian khusus untuk menerbitkan buku hasil karya anak-anak, yakni Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). Apa yang dilakukan penerbit Mizan sangat patut diikuti oleh penerbit-penerbit lain karena selain meningkatkan kreativitas dan semangat anak, segmentasi pasarnya pun jelas.

Senada dengan tujuan penerbit Mizan, salah satu organisasi penulis terbesar di Indonesia, Forum Lingkar Pena juga memiliki program FLP Kids, sebuah wadah untuk mengedukasi anak-anak agar mencintai dunia literasi sejak kecil. Mereka yang tergabung dalam program FLP Kids ini diajar dan dilatih agar gemar membaca dan mampu menghasilkan karya berupa tulisan di media massa atau pun buku. Apa yang juga dilakukan oleh organisasi FLP ini patut ditiru oleh komunitas-komunitas menulis di seluruh Indonesia yang sedang menjamur. Semangat inilah yang perlu terus dijaga dan dipupuk agar generasi Indonesia mendatang dipenuhi penulis-penulis produktif dengan karya-karya kreatif ala gen Z dan gen Alfa.

Kurangnya Teladan dari Orang Dewasa

Salah satu sifat kebudayaan adalah diwariskan. Proses pewarisan kebudayaan dilakukan dengan berbagai bentuk pembudayaan, salah satu yang paling efektif adalah dengan memberikan teladan kepada penerus kebudayaan tersebut. Begitu juga dengan pembudayaan literasi. Para siswa akan rajin membaca ketika mendapati guru di sekolah juga membaca. Sama halnya di rumah, jika anak sering mendapati orang tua mereka selalu membaca, maka secara tidak langsung, anak akan meniru perilaku tersebut.

Anak adalah peniru yang ulung. George Herbert Mead dalam teori pengembangan diri manusianya menjelaskan bahwa seumur hidup, manusia akan terus belajar melalui pengembangan diri yang bertahap-tahap. Dimulai dari tahap persiapan (preparatory stage), tahap meniru (play stage), tahap siap bertindak (game stage), dan tahap penerimaan norma kolektif (generalizing stage). Jika dilihat berdasarkan usia dan kecenderungannya berinteraksi, tahap meniru dan bertindak merupakan tahapan usia siswa Sekolah Dasar. Pada kedua tahap itu, proses peniruan merupakan cara anak untuk mempelajari kebudayaan masyarakatnya. Anak-anak di masa ini perlu teladan dan ditunjukkan contoh-contoh yang baik, misalnya membaca.

Ketimpangan sering terjadi ketika guru di sekolah dan orang tua di rumah selalu menyuruh anak-anaknya agar rajin membaca, padahal mereka sendiri jarang dan malas melakukan hal tersebut. Apa yang didengar oleh anak tidak sesuai dengan apa yang dia lihat. Jika guru dan orang tua hanya memberikan instruksi tanpa contoh langsung, kebanyakan siswa tidak akan mengindahkan metode seperti itu. Oleh karena itu, cara paling efektif agar membaca dan berliterasi ini betul-betul membudaya adalah dengan menjadikannya milik bersama, bukan hanya diwajibkan bagi siswa, tapi juga bagi orang dewasa. Pemberian teladan merupakan kunci perbaikan generasi mendatang agar membaca dan berliterasi betul-betul membudaya pada masyarakat.

Pada akhirnya, tiga persoalan yang menjadi penyebab rendahnya minat membaca dan berliterasi siswa sekolah dasar bisa ditemukan solusinya. Menjadikan budaya tulis lebih utama ketimbang budaya tutur dengan melakukan pergeseran paradigma, mengoptimalkan perpustakaan dan akses bacaan dengan memahami pola pikir genereasi Z dan generasi Alfa, serta pemberian teladan dari orang dewasa merupakan solusi yang sangat mungkin dilakukan agar membaca dan berliterasi dapat membudaya. Solusi-solusi tersebut perlu implementasi riil secara bertahap agar tidak ada lagi ketimpangan antara kebudayaan ideal dengan kebudayaan nyata.


Sumber: dokumentasi pribadi