Pengantar
Kota
Makassar merupakan kota metropolitan yang menjadi pintu gerbang menuju Kawasan Indonesia Timur.
Sebagai kota Metropolitan, Makassar tumbuh dan berkembang dengan ditunjang
berbagai fasilitas “modern” yang mendukung seperti sarana hiburan, mall, hotel berbintang,
apartemen mewah, mart, ruko-ruko, serta perumahan mewah turut menyemarakkan
pembangunan Makassar . Melihat hal itu, Pemerintah kota Makassar berniat
menjadikan kota Makassar sebagai Kota Dunia (World City). Pertanyaannya, apakah Makassar siap menjadi kota
dunia? Paper ini bertujuan untuk memberikan sedikit “pencerahan” kepada
teman-teman mengenai kota Makassar yang katanya siap menjadi kota dunia.
Sebelum
melangkah lebih jauh, ada baiknya jika kita “berkenalan” dengan yang namanya
Kota Dunia. Kota Dunia (World City), atau kota Global (Global City)
biasa juga disebut kota Alfa (Alpha City) diperkenalkan oleh Patrick Geddes seorang biolog,
sosiolog, geografer, filantropis, dan seorang
Pioneering Town Planner yang
sezaman dengan Herbert Spencer. sedangkan
konsepnya diperkenalkan oleh Departemen
Geografi Loughborough University. Konsep ini bersandar pada gagasan bahwa
globalisasi dapat diciptakan, difasilitasi dan diundang ke tempat yang
strategis.
Makassar Sebagai Kota Dunia
Syarat
sebuah kota Untuk menuju Kota Dunia terlebih dahulu harus di dukung oleh
beberapa aspek, diantaranya aspek ekonomi, politik, infrastruktur, dan
sosial-budaya.
Dari
segi ekonomi, Kota dunia harus memiliki perusahaan multinasional, lembaga
keuangan nasional, memiliki kemampuan keuangan yang kuat, dan memiliki penyedia
jasa keuangan. Kota Makassar telah
mempersiapkan hal ini, adanya perusahaan
multinasional seperti Kalla Group dan Bosowa membuktikan bahwa Makassar sudah
sedikit matang dalam persoalan ekonomi.
Dari segi politik, Kota dunia harus
berpartisipasi aktif dan memiliki pengaruh dalam kegiatan internasional. Kota
Makassar sudah membuktikan hal tersebut dengan adanya kerjasama antar beberapa
kota seperti adanya program From Melbourne to Makassar yakni kerjasama
antara Pemkot Makassar dengan pemerintah kota Melbourne di Australia.
Dari
segi infrastruktur, kota dunia harus
menyediakan sistem transportasi cepat dan internasional, skyscraper (Gedung
Pencakar Langit), dan percepatan pembangunan yang luar biasa. Makassar sudah
hampir memenuhi persyaratan ini. Adanya Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin, serta dibangunnya sistem transportasi monorail menunjukkan kesiapan infrastruktur menuju kota dunia.
Dari
segi budaya, Kota Dunia harus menjadi pusat seni, media, film, televisi, musik
dan dokumen-dokumen sastra. Makassar juga sudah setengah jalan dalam
mempersiapkan hal ini. Berkembangnya media lokal dan dokumen sastra yang telah
mendunia menjadi bukti bahwa Makassar
telah siap menjadi Kota Dunia.
Kota Dunia sebagai Wacana
Modernisme
Namun
sepertinya Kota Makassar belum terlalu siap. Masih banyak hal yang perlu
dipikirkan sebelum bermimpi untuk menuju kota Dunia. Jika kita tinjau secara
kritis, maka kita akan menemukan bahwa konsep Kota Dunia (World City) merupakan sebuah produk dunia modern. Kota Dunia yang
merupakan hasil dari sebuah gagasan bahwa globalisasi dapat diciptakan,
difasilitasi dan diundang ke tempat strategis merupakan sebuah gagasan yang
modernistis. Efek yang dihasilkan dari proses tersebut tentu saja seperangkat
bentuk budaya konsumeristis. Bisa dibayangkan jika globalisasi benar-benar
telah “hadir” ditengah-tengah kita, maka perilaku konsumeris akan menjamur di
seluruh lapisan masyarakat kota Makassar.
Jean Baudrillard dalam
bukunya The Consumer Society: Structure
and Myth sependapat dengan Emile Durkheim bahwa konsumsi bukanlah
perilaku individu, tetapi ‘perilaku
kolektif’ atau sesuatu yang dipaksakan oleh moralitas dan keseluruhan sistem
nilai. Jika seperti ini, maka budaya konsumeris yang berasal dari proses
globalisasi yang “katanya” dapat diciptakan, difasilitasi, dan diundang hanya
menguntungkan beberapa pihak saja atau kita sering menyebutnya pihak kapitalis.
Jika sudah seperti ini maka jelas, wacana Kota Dunia atau World City hanyalah sebuah wacana modernisme.
Seperti
yang telah disampaikan sebelumnya, pembangunan-pembangunan dari aspek diatas
sebenarnya hanya dinikmati oleh kalangan elit semata. Rakyat miskin kota belum
bisa menikmati hal-hal tersebut. Siapa yang
bekerja pada perusahaan multinasional dan lembaga keuangan negara? Siapa yang
ke RS Awal Bros untuk memperoleh perawatan yang ‘layak’? Siapa yang ke Mall
Mall untuk shopping barang-barang kebutuhan tersier? Siapa yang
berpartisipasi dalam pergulatan politik nasional maupun internasional? Siapa
yang selalu berlalu lalang di lantai-lantai tinggi skyscrapers? Siapa
yang selalu ke bandara untuk naik pesawat kemudian traveling keliling dunia? Mereka
adalah para ‘orang kaya’ atau ‘orang-orang elit’atau bahasa yang selalu kita
gunakan Kaum Kapitalis. Rakyat miskin kota dan orang-orag yang tidak mampu pada
kemana? Lagi-lagi konsep Kota Dunia hanyalah sebuah konsep modern bernuansa
kapitalis belaka.
Menurut
Amri Marzali (2006), teori-teori pembangunan tidak akan pernah lepas
dari teori-teori ekonomi. Begitupun pembangunan kota Makassar untuk menuju kota
dunia, tidak akan pernah lepas dengan yang namanya teori dan kebijakan ekonomi
pembangunan. Namun yang perlu kita renungkan adalah, negara-negara Dunia Ketiga
termasuk Indonesia memiliki kebijakan dan arah pembangunan yang didominasi oleh
model-model pemikiran ekonomi liberal kapitalis gaya Amerika.
Jika Indonesia pada umumnya dan kota Makassar pada
khususnya terus membangun dengan cara seperti ini untuk menjadi kota dunia,
maka selain budaya konsumeris, dampak negatif dari pembangunan tersebut adalah konflik
antar golongan dan degradasi moral. Beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat
suburnya perilaku, nepotisme, sadistis, agresif, materialistis,
individualistis, dan hedonistis. Perilaku-perilaku ini merupakan konsekuensi
logis dari globalisasi dan pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan. Bukankah
kita resah dengan hal-hal seperti ini? Namun bukankah ini yang kita harapkan?
Makassar menjadi kota dunia.Terkesan paradoks memang, karena wacana Kota Dunia
hanya akan menjadi pedang bermata dua yang salah satu matanya menusuk sang
empunya sendiri.
Penutup
Melihat
kenyataan bahwa globalisasi memang tidak bisa dihindari, maka yang perlu kita
lakukan adalah mengambil manfaat dari globalisasi itu secara simbiosis
mutualisme (menguntungkan semua pihak) tidak dengan simbiosis parasitisme yang
hanya menguntungkan beberapa pihak saja (kapitalis) sedangkan pihak lain
dirugikan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mendahulukan pembangunan
mental dibandingkan pembangunan Fisik.
Seperti peningkatan kualitas pendidikan, yakni pendidikan formal dan khususnya
pendidikan non-formal (alternatif). Percuma kita membangun fasilitas-fasilitas
modern yang ujung-ujungnya hanya dinikmati oleh kelompok elit semata sedangkan
golongan miskin belum bisa menikmatinya.
Selain
itu, pembangunan fisik sebaiknya dilandaskan pada pembangunan yang bersifat kelokalan. Kota-kota di dunia bisa
menjadi world city karena kota tersebut unik dan memiliki karakteristik
serta ciri khas masing-masing. Misalnya kota Jogjakarta yang terkenal dengan
artsitektur khas Keratonnya, Denpasar yang terkenal dengan arsitektur khas
Hindu Balinya, London yang terkenal dengan arsitektur Victorian nya dan Roma dengan arsitektur khas abad pertengahannnya.
Sedangkan Makassar? Sudah seharusnya arsitektur bangunan dipermak sedemikian
rupa sehingga bercirikan khas Makassar bukan ruko yang bertebaran dimana-mana
dengan arsitektur yang sok minimalis.
Sebagai
penutup dari artikel ini, saya hanya ingin berkata bahwa kota dunia hanyalah
sebuah wacana modernisme yang berasal dari gagasan bahwa globalisasi dapat
diciptakan, difasilitasi, dan diundang ke tempat yang strategis. Proses ini
membuat masyarakat terinfeksi virus konsumeris yang ujung-ujungnya hanya
menguntungkan pihak kapitalis. Sudah saatnya kita kembali pada pola hidup
sederhana seperti yang diajarkan oleh leluhur kita dan ajaran agama kita yang
penuh dengan nilai-nilai kearifan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar