HARI ini adalah hari pertama PMB Universitas
Hasanuddin.Nampak Dina dan Ryan berlari menuju Baruga A.P Pettarani tempat PMB
dimulai. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 wita.
“Sial,
kita telat sejam” gumam Dina.
Saat
mereka tiba, baruga riuh dengan tepuk tangan 5.000 mahasiswa baru dengan kostum
khas putih-hitam. Mereka berdua berdecak kagum.Baruga yang super luas itu penuh.
Saking penuhnya, mereka terpaksa duduk di tangga. Konsekuensi sebuah keterlambatan.
Rantepao,
Toraja Utara merupakan tempat dimana Dina dan Ryan dibesarkan. Mereka bersahabat
sejak kecil. Maklum, rumah Dina bersebelahan dengan rumah Ryan. Dari dulu mereka
sepertinya tidak dapat dipisahkan. Mereka TK sama-sama, SD sama-sama, SMP
sama-sama, SMA sama-sama, bahkan di UNHAS mereka masuk di jurusan yang sama, Antropologi. Saat SNMPTN, Dina dan Ryan memang
memilih Antropologi pada pilihan pertama karena mereka tertarik mengkaji budaya
yang ada di daerah asal mereka, Toraja Utara.
Walaupun
banyak hal yang telah mereka lalui bersama, bukan berarti mereka sama dalam segala
hal. Sebut saja kepribadian, Dina merupakan orang yang periang dan ceplas-ceplos dalam berbicara. Sedangkan
Ryan adalah orang yang cool dan bicara
seperlunya.
Soal
fisik, Dina mirip orang Korea. Kulitnya putih bersih terawat dengan wajah yang
manis dan potongan rambut pendek. Manis sekali. Berbeda dengan Dina yang mirip
orang Korea, Ryan berwajahToraja tulen dengan rahang yang besar. Kulitnya coklat
dengan potongan rambut super pendek khas mahasiswa baru, 2cm. Walaupun begitu, wajah
Ryan bisadikategorikan tampan.
Perbedaan
yang paling mencolok diantara mereka ada pada soal keyakinan. Ryan adalah seorang
Muslim sedangkan Dina merupakan seorang Kristen Protestan.Walaupun Ryan
merupakan seorang muallaf mengikuti ibunya,
namun ia berusaha menjadi muslim yang taat. Begitu pula dengan Dina. Dalam konteks
berbeda, Dina merupakan seorang Kristiani yang taat pula.
Pak
Fiyan, ayah Ryan adalah seorang pemilik sawah. Saat masih SD dulu, Dina dan Ryan
sering bermain di sawah milik Pak Fiyan.Hobi mereka bergelut dengan lumpur sawah.
Meski begitu, pak Fiyan tidak pernah marah. Malah terkadang beliau ikut bermain
bersama mereka berdua. Katanya, berani kotor itu baik Pak Fiyan adalah contoh ayah
idaman. Meskipun istri dan anak satu-satunya berbeda keyakinan dengannya, namun
beliau tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Akumulasi dari hal-hal itulah
yang membuat Ryan sangat bangga terhadap ayahnya! Sekaligus sangat sayang.
PLAKK!
Sebuah buku menghantam wajah Ryan dan melebur lamunan panjangnya.
“Woooiii…! Dilarang melamun!” teriak
Dina tepat di depan lubang telinga Ryan. Ryan hanya tersenyum. Sepertinya dia akan
menikmati masa-masa nya sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa Antropologi.
*
HARI ini hujan turun dengan derasnya. Ryan
yang sedang berada di kelas hanya melihat keluar jendela. Tidak fokus. Tadi pagi
ia dihubungi oleh sang ibu bahwa Ayahnya meninggal dunia. Sebuah pukulan teramat
sakit yang menghantam dadanya. Ia menyandarkan kepalanya di jendela, berharap hujan
jangan berhenti. Please, jangan berhenti.
Saat
malam menjelang, Ryan dan Dina
bergegaskeToraja Utara menggunakan Bus. Hujan belum berhenti menemani hati Ryan
yang sedih.Selama perjalanan, Ryan hanya melamun dan lagi-lagi menyandarkan kepalanya
di jendela bus menatap tiap tetes rinai yang terhambur. Dina yang duduk disampingnya
juga ikut bersedih. “Tahukah kau? Saat kau bersedih, aku pun sedih.” Gumam Dina
dalam hati.
Keesokan
paginya, Dina dan Ryan telah tiba di kampung halaman tercinta. Tongkonan yang berbaris menyambut kedatangan
mereka berdua. Ryan menangis sejadi-jadinya begitu melihat wajah ayahnya yang sudah
tak bernyawa. Dina ikut menangis.
Ayah
Ryan memang seorang Kristiani, namun beliau beserta keluarga besar fam Kendek masih menganut kepercayaan para leluhur
Toraja yakni Aluk Todolo, sehingga jenazah
Pak Fiyan belum bisa dikuburkan sebelum diadakan upacara Rambu Solo.
“Ryan,
om dan keluarga besar Kendek sepakat bahwa
kami akan mengadakan Rambu Solo pertengahan
Desember nanti. Ibumu juga setuju akan hal itu.”Kata Om Victor kepada Ryan.
“Kenapa
harus bulan Desember om? Bukankah biasanya dilakukan di pertengahan tahun?”Tanya
Ryan heran.
“Biasanya
memang seperti itu, tapi mulai tahun ini tidak lagi, upacara Rambu Solo dipindahkan keakhir tahun untuk
kepentingan pariwisata! Saat Lovely December”
Deg-deg!
Sesuatu yang keras menghantam hati Ryan. Sebagai mahasiswa Antropologi, Ryan tahu
dampak yang akan ditimbulkan jika Rambu
Solo dipindahkan kebulan Desember. Fatal!
*
JELANG sehari sebelum berangkat kembali
ke Toraja menyaksikan Rambu Solo ayahnya,
Ryan, Dina, dan beberapa teman sekelasnya duduk menikmati secangkir kopi dan
teh hangat di kantin kampus.
“Ini pasti bakalan seru!” gumam Dina
bersemangat.
Di
tengah canda-tawa dan riuh sorak sorai temannya yang bersemangat, Ryan tetap duduk
termenung.
“Semangat
dong… Sebentar lagi kan pulang kampung hehe” bujukDina
“Aku
nggak ikut!” dengan tatapan tajam
Ryan mengeluarkan statement mengejutkan.
“Ha?
Maksudmu?Kau nggak mau ikut?” Tanya
Dina.
“Tidak!”tegas
Ryan.
“Kenapa Ryan? Kau tahu? Akhir-akhir ini
kau aneh! Sangat aneh! Dan sekarang kau membuat
sensasi dengan tidak mau hadir di upacara Rambu
Solo yang merupakan upacara pemakaman ayahmu sendiri? Apa yang akan dikatakan
orang-orang dikampung nanti? Kau mau di cap sebagai anak yang tidak berbakti?”
Kali ini Dina benar-benar kesal dengan kelakuan Ryan yang menurutnya keterlaluan.
“Atau,
mungkin karena kau seorang muslim sehingga kau tidak suka jika ayahmu dimakamkan
berdasarkan ajaran Aluk Todolo? Ibumu
saja yang muslim datang kenapa kau tidak? Aku kecewa Ryan, Aku kecewa!” Dina
sedikit berkaca.
“Ini
bukan soal keyakinan Dina. Tidak masalah jika ayahku dimakamkan berdasarkan ajaran
Aluk Todolo. Itu karena dia memang masih
menganut kepercayaan itu dan aku adalah seorang muslim. Namun yang menjadi masalah
adalah ketika upacara Rambu Solo yang
seharusnya berjalan khidmat dan sakral tiba-tiba
berubah menjadi ajang pariwisata dimana para pelancong foto bersama, bersorak,
bahkan tertawa. Dimana letak kepekaan kalian? Bayangkan saat pemakaman ayah
kalian dijadikan ajang komersialisasi pariwisata. Itu yang tidak bisa kuterima!”
Seluruh kantin yang dipenuhi teman-teman Ryan hening.
“Kalau
kalian pernah membaca Etnografi Toraja,
kalian tidak akan menemukan upacara Rambu
Solo yang diadakan di akhir tahun. Pasti di pertengahan tahun. Kenapa? Karena dipertengahan tahunlah panen padi
dilakukan, sehingga keuntungan hasil panen
pulalah yang akan digunakan sebagai sumber dana utama untuk melaksanakan Rambu Solo. Kalau Rambu Solo dilakukan di akhir tahun, berarti padi masih sangat kecil-kecilnya.
Dana yang digunakan darimana? Utang!” Tegas
Ryan meyakinkan teman-temannya.
“Asal
kalian tahu, keluarga besarku sibuk mencari pinjaman sana-sini untuk menutupi dana
Rambu Solo. Kalau beginikan rakyat juga
yang susah. Apanya yang Lovely December?
Program itu hanya merupakan sebuah bentuk mutilasi dan kanibalisme budaya!”
kali ini Ryan mulai kesal.
“Maksudnya
mutilasi dan kanibalisme?” Dina begitu ingin tahu.
“Mutilasi,
karena pemerintah seenaknya ‘memotong’ Rambu
Solo yang seharusnya diadakan di pertengahan tahun dipindahkan keakhir tahun.
Kanibalisme, karena tujuan dari Lovely
December adalah mencari keuntungan ekonomi pada sektor pariwisata. Bayangkan,
ketika sebuah budaya di komersilkan. Tidakkah kalian berpikir bahwa Lovely December sebenarnya merusak budaya
asli Toraja?”Kali ini teman-teman Ryan tertunduk.
“Tapi
kan itu mendatangkan keuntungan bagi pemerintah, jadi kenapa tidak?” Tomo,
salah seorang teman Ryan masih belum paham.
“Kita
selalu mendengar isu dilarang merusak lingkungan demi kepentingan ekonomi. Lantas bolehkah kita merusak
sebuah kebudayaan demi kepentingan ekonomi? Ini bukan soal uang teman, ini
bukan soal uang!”tatapan Ryan kembali
tajam.
Cakrawala
pemikiran teman-teman Ryan kembali terbuka.
“What an Unlovely December…”
*
Catatan kecil:
Bagi kalian yang sudah membaca cerpen
“Es Krim Vanila Bercerita” atau “Es Krim Coklat Bercerita”, maka kalian pasti
berpikir ada beberapa kesamaan motif dari cerita diatas. Baiklah aku mengaku,
sebenarnya cerpen diatas merupakan versi awal dari kedua cerpen ‘Es Krim’ yang
kubuat. Hehe :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar