Konsep “pembangunan” pada mulanya, dan pada dasarnya
diacukan kepada pengertian pembangunan ekonomi, yakni “suatu proses dimana real per capita income dari satu negara
meningkat dalam sautu masa panjang dan dalam masa yang bersamaan jumlah
penduduk yang “di bawah garis kemiskinan” tidak bertambah, dan distribusi
pendapatan tidak makin senjang (Meier 1989). Namun dari sudut pandang ilmu-ilmu
sosial, pembangunan diartikan lebih umum, yakni “perubahan sosiokultural yang
direncanakan (dan menuju ke arah yang lebih baik. ed)” (Arensberg dan Niehoff 1964). Ada beberapa kasus yang diceritakan
oleh Amri Marzali dalam bab ini yakni:
1. Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik
di Malaysia
Rancangan Malaysia Kedua (1971-1975), atau Repelita Kedua
Malaysia adalah suatu ciptaan yang paling penting dalam sejarah Malaysia.
Repelita ini secara dahsyat merombak prioritas tujuan pembangunan dari
pertumbuhan ke pemerataan. Butirnya berbunyi “mengurangi dan seterusnya
menghapuskan kemiskinan…” harus dilaksanakan “…melalui peningkatan pendapatan
dan perluasan kesempatan kerja bagi semua rakyat Malaysia.” Butir yang paling
penting adalah “membangun susunan masyarakat Malaysia yang baru di mana ketidak
seimbangan ekonomi antar kaum (antar kelompok etnik dan ras) berkurang dan
seterusnya menghilang (Malaysia 1971).Kaum yang dimakasud disini adalah kaum
Melayu, Cina, India, dan lain-lain. Hasilnya? Bisa kita lihat bagaimana majunya
Malaysia saat ini.
2. Strategi Pembangunan Cagar Budaya
Condet
Kawasan Condet terkenal akan buah duku, salak dan budayanya
yang Betawi banget. Oleh karena itu,
Gubernur DKI Jakarta Bapak Ali Sadikin (1966-1977) bersama staff dan jajaran
pemerintahan waktu itu berencana untuk melestarikan budaya Betawi dan kawasan
perkebunan dukuh dan salak dengan melakukan 6 kegiatan, yakni; pembentukan
koperasi simpan pinjam, pembangunan jalan raya dan jalan setapak, renovasi
rumah tradisional Betawi, penghijauan, penggalakan kegiatan kebudayaan, dan
pembangunan industri kerajinan tangan, kolam ikan, dan cara pertanian modern.
Oh yah, khusus untuk yang melanggar aturan memotong pohon salak, maka akan
DISUNAT oleh Pak Gubernur (serius). Hasilnya? Memang pada mulanya berjalan
mulus, namun dampak negatif dari proyek pembangunan ini adalah masuknya sarana
dan prasarana modern di wilayah tersebut (yang tersebar di sepanjang jalan yang
baru dibangun) dan makin banyaknya warga Jakarta yang berpindah ke Condet
seiring dengan mudahnya akses transportasi. Warga baru tersebut kemudian
mendirikan rumah-rumah dan bangunan-bangunan di atas kebun salak (termasuk
investor) akibatnya para pemuda Condet ta’bangka
gehol, dan lahan kebun salak pun semakin menyempit. Oh yah, dan bagaimana
dengan hukuman akan disunat? Pak Gubernur pensiun duluan.
3. Persebaran Teknologi Tepat Guna
Kasus ini melibatkan 3 pesantren dimana di tiap pesantren
diberikan pelatihan cara membuat beberapa jenis peralatan teknologi tepat guna
oleh klien LP3ES yang ujung-ujungnya “Gatot” alias Gagal Total. 1) Alat
perontok padi yang diberikan kepada pesantren Darunnajah di desa Pondok Pinang
dan Pondok Kacang di Tangerang sukar diterima karena masyarakat disana sudah
tidak bersemangat lagi bertani (pindah pekerjaan), bahkan tanah mereka sudah
dijual kepada investor yang ingin membangun real
estate. 2) Di daerah Madura, diperkenalkan tungku lorena yang memudahkan
mereka dalam memasak makanan. Namun makanan utama mereka ternyata adalah jagung
yang dikeringkan diatas para-para yang disimpan di dapur dengan harapan panas
dan asap hasil pembangkaran merayau ke arah jagung tersebut. Masalahnya tungku
lorena mengalirkan asap keluar rumah melalui cerobong, jadinya jagung mereka
tidak bisa dipanasi dan tidak bisa dipanasi. 3) Beberapa pesantren menghadapi
persoalan organisasional yang berkaitan dengan tradisi. Pesantren memiliki
tujuan untuk meningkatkan pendidikan agama di suatu masyarakat namun kini
pesantren dihadapkan pada tujuan baru yakni pembangunan masyarakat dan
penyebaran teknologi tepat guna. Namun hal ini ternyata mendatangkan konflik
internal antara kyai yang mendukung tujuan baru tersebut (kyai progresif)
dengan kyai yang menolak (kyai tradisional).
4. Ketegangan Sosial di Cilegon
Ini adalah pengalaman Amri Marzali bersama trainee LP3ES yang meneliti masyarakat
desa di sekitar pabrik waja PT. Kratakau Steel, Cilegon. Survey dijalankan dan
hasilnya sekitar 80% anggota masyarakat menyambut gembira kehadiran pabrik
tersebut. Selesai? Tidak, Hasil ini menyesatkan! Karena setelah ini, Amri
Marzali melakukan penelitian khas Antropologi, yakni observasi partisipasi dan
wawancara mendalam. Hasilnya? Yang 80% tadi ternyata sangat tidak suka dengan
cara pabrik membebaskan tanah penduduk (dengan setengah memaksa) dan mengangkat
pegawai (yang bukan orang Banten). Sedangkan kaum ulama mengkhawatirkan efek negative
dari pabrik ini dalam perkembangan pelacuran. Rupanya mereka khawatir (baca:
takut) dengan keadaan mereka jika menjawab “tidak senang” terpaksalah mereka
menjawab “senang” agar kehidupan mereka aman-aman saja. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa: 1) faktor kultural (solidaritas antar etnik) dalam hubungan
sosial harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan daerah. 2) Pentingnya
teknik penelitian antropologis dalam menggali dimensi cultural dalam
pelaksanaan pembangunan.
Sumber:
Resume dari Bab 3 buku Antropologi dan Pembangunan Indonesia oleh Amri
Marzali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar