Salah satu faktor paling penting dalam
peningkatan kualitas SDM adalah faktor mentalitas. Faktor mentalitas ini oleh
sebagian orang disebut sebagai faktor “manusia” atau Human Factor (Inkeles 1966) atau disebut juga the state of mind (Harrison, 1985), faktor non-ekonomi
(Kuntjoro-Jakti, 1972), faktor psikokultural (Budiman, 1989), sikap mental
(Koentjaraningrat, 1974) pokoknya apa pun namanya, isinya tetap sama, yakni
konsep yang mengandung kombinasi aspek kejiwaan dan akal budi manusia yang
hidup di dalam satu lingkungan kultural tertentu.
Faktor tersebut menurut Porter terdiri
atas attitude, values, dan beliefs (sikap, nilai, dan kepercayaan)
namun sepertinya Amri Marzali lebih senang menggunakan istilah faktor psikokultural. Ketika faktor ini
dikaitkan dengan usaha untuk berproduksi tinggi (dalam konteks pertumbuhan
ekonomi), maka ini akan berubah menjadi daya atau energi yang disebut daya psikokultural. Yang dimaksud di sini
adalah kemampuan mental, akal-budi, atau mind
sekumpulan individu dalam mendorong diri mereka untuk terus berproduksi
tinggi.
Ada banyak teori Barat yang mengupas tentang
hubungan antara manusia yang berdaya psikokultural tinggi dengan pekembangan
ekonomi suatu bangsa, yakni:
1. Max
Weber
Bukunya
yang berjudul The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism (1958) memperlihatkan bagaimana semangat untuk
pencapaian kemajuan lebih menonjol di kalangan Orang Protestan dari Orang
Katolik. Mengapa? Sebab ada seperangkat nilai yang terkandung dalam etika Protestan
(khususnya aliran Calvinisme) yaitu: 1. asceticism
(kerja keras, hemat, jujur, rasionalitas dan sederhana), Calling (masing-masing orang memiliki kewajiban), dan Election (Tuhan telah memberkahi
orang-orang tertentu). Fakta ini membuat kita berpikir tentang pentingnya
peranan agama dalam kemajuan ekonomi. Berbeda dengan agama-agama Timur (Hindu,
Konghucu, Buddha dll) yang memiliki aspek irrationality
dimana Weber berpandangan bahwa ini adalah faktor penghambat.
2. Arthur
Lewis
Dalam
bukunya yang berjudul The Theory of
Economic Growth (1955), Arthur Lewis menghubungkan faktor-faktor
psikokultural yang mendorong kemunculan para wirausahawan dengan masalah
lingkungan sosial dan politik yang subur bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut
Arthur, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh sikap terhadap kerja, terhadap
jumlah dan pemilihan anak, terhadap penemuan baru, terhadap orang asing,
terhadap pencarian pengalaman hidup, dan lain-lain. Lebih lanjut, Lewis
berpendapat bahwa agama bisa berpengaruh buruk namun bisa pula berpengaruh baik
terhadap kemajuan ekonomi.
3. Ervett
Hagen
Dalam
bukunya On the Theory of Social Change (1962),
pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak datang secara-tiba-tiba tapi melalu
proses bertahap yang berlangsung dalam beberapa generasi yang dia sebut transition to economic growth.
4. Gunnar
Myrdal
Bagi
Myrdal, faktor-faktor psikokultural tidak hanya melahirkan perilaku
berwirausaha, tapi juga memasuki, membentuk, dan mendorong dimensi politik,
sosial, ekonomi, dan lain-lain dari seluruh sistem nasional. Myrdal juga melihat
pola-pola ideal dalam proses menuju ke masyarakat modern, seperti sikap
rasionalitas, persamaan, sosial dan ekonomi serta demokrasi politik merupakan hal
yang asing dalam kebanyakan masyarakat negara terbelakang. Hal itu bisa kita
temukan dalam bukunya yang berjudul Asian
Drama (1968).
5. David
McClelland
McClelland
berpendapat bahwa satu jenis daya mentalitas seseorang yang disebutnya sebagai
“n achievement” adalah faktor penting
bagi kemajuan usaha orang tersebut. Daya psikokultural ini berbentuk semacam
gagasan, motivasi, semangat, dorongan, untuk melakukan pekerjaan tidak hanya
dengan hasil yang baik, tapi dengan hasil yang terus-menerus berkembang lebih
baik.
6. Alex
Inkeles
Seperti
ahli-ahli lain, Inkeles juga menempatkan teorinya tentang modernisasi manusia
dalam konteks pembangunan ekonomi, yaitu dalam rangka peningkatan kehidupan
manusia melalui peningkatan produksi. Secara singkat, Ia mengatakan bahwa
manusia modern adalah manusia yang siap untuk meninggalkan pola pikir
tradisional jika diperlukan.
Sumber:
Bab
4, Antropologi & Pembangunan Indonesia oleh Amri Marzali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar