Tulisan ini bermula dari kekhawtiran
saya terhadap keadaan Indonesia yang ‘rusak’ saat ini. Terlebih, ketika suatu
siang saya membaca buku tulisan Amri Marzali (Antropologi & Pembangunan
Indonesia) di mana dalam buku itu ada penggambaran sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Edward Banfield di desa Montegranesi di Italia bagian selatan.
Penelitian tersebut mencatat satu kondisi psikokultural negatif yang tidak
mendukung ke arah kemajuan ekonomi masyarakat, yaitu sikap iri hati kepada
orang lain (1958). Masyarakat Montegranesi berperilaku bagai mengikuti aturan
yang berbunyi “Maksimalkan keuntungan materi jangka pendek keluarga batih,
anggaplah bahwa orang lain juga akan berbuat seperti itu.”
Mereka yang berperilaku seperti ini
disebut sebagai “amoral familist”
(Sifat keluarga yang Tidak Bermoral). Persoalannya, Indonesia menurut Amri
Marzali (dan saya juga sepakat) merupakan negara dengan penduduk yang menderita
‘penyakit’ ini, ciri-cirinya:
1. Tidak
ada orang yang mendahulukan kepentingan kelompok, kecuali kalau kepentingannya
sendiri sudah terpenuhi.
2. Hanya para pegawai negeri yang peduli
akan masalah-masalah umum. Orang biasa tidak peduli.
3. Hanaya ada sedikit pengawasan atas
kegiatan pegawai negeri.
4. Organisasi sulit untuk dibangun dan
dibina, karena masin-masing orang hanya memikirkan kepentingan sendiri-sendiri.
5. Pekerja kantor hanya akan bekerja keras
sepanjang hal itu diperlukan agar dia tidak dipecat.
6. Kepatuhan pada hukum hanya karena takut
akan dihukum. Kalau tidak ada alasan karena takut hukuman, maka undang-undang
tidak akan dipedulikan.
7. Pegawai akan korupsi sepanjang dia bisa
mengerjakannya.
8. Mereka yang lemah akan menyenangi rezim
tangan besi.
9. Barang siapa yang membangkitkan semangat
pelayanan umum sebagai motif kerja akan dianggap sebagai penipuan omong kosong.
10. Prinsip
politik yang abstrak tidak sesuai dengan perilaku konkret setiap hari.
11.Tidak
ada pemimpin dan tidak ada pengikut. Masing-masing jalan sendiri-sendiri.
12.Orang
hanya akan ikut PEMILU untuk mencapai tujuan kepentingan jangka pendek.
13.Individu-individu
akan menyokong kegiatan bersama hanya jika ada keuntungan-keuntungan langsung
bagi dirinya.
14.Janji-janji
Parpol hanya dipercaya sedikit sekali.
15.Para
penguasa dianggap hanya mementingkan diri sendiri dan korup.
16.Tidak
ada perilaku organisasi politik yang sesuai dengan namanya.
17.Pekerja
partai akan menjual jasanya kepada pembayar yang tertinggi.
Bagaimana? Poin-poin di atas dapat kita
temukan dengan mudah di sekitar kita bukan? Jangan salahkan diri anda jika
hal-hal di atas merupakan santapan sehari-hari di negeri ini. Kita adalah
sebuah Amoral familist! Lantas apakah
kita hanya akan tinggal diam sebagai penonton saja? Melihat “keluarga besar”
kita ini seterusnya menjadi keluarga yang tidak bermoral? Tentu kita ingin
sebuah perubahan. Lebih tepatnay perubahan sosiokultural.
Banyak ahli Sosiologi dan Antropologi
yang mengkaji perubahan sosiokultural ini, tapi sedikit dari mereka yang
memikirkan secara sadar bagaimana perubahan sosiokultural tersebut sebaiknya
diarahkan dan dipercepat. Ideologi cultural
relativism lah yang menjadi penghambat hal tersebut. Sebab pemahaman ini
menganggap tidak ada budaya yang buruk, semuanya baik berdasarkan pemahaman
masyarakatnya, jadi tidak perlu kita campuri. Namun sebenarnya, terdapat
institusi yang mampu memperbaiki daya psikokultural masyarakat Indonesia,
yakni:
1.
Kepemimpinan
2.
Pernafsiran
baru terhadap ajaran agama
3.
Pendidikan
dan peralatan
4.
Media
Massa
5.
Pembangunan
organisasi dan norma
6.
Perilaku
manajemen
7.
Pola-pola
pengasuhan anak.
Mari kita ubah keluarga kita yang tidak
bermoral ini menjadi keluarga besar yang bermoral, tentunya ketujuh poin diatas
merupakan pilar-pilar perubahan yang akan membawa harapan. Setidaknya jangan
pernah bermimpi untuk merubah negeri ini jika belum melakukan sebuah tindakan
nyata yang mampu merubah lingkungan di sekitar kita. Atau dalam lingkup lebih
kecil, ubah dulu orang-orang terdekat kita (keluarga, teman, sahabat, bahkan
mungkin pacar). Dan, semua itu mustahil jika tidak kita mulai dari diri kita.
Mulailah dengan hal-hal kecil yang sederhana. Setidaknya, hal-hal kecil itu
(yang tentunya dimulai dari diri kita juga ‘yang kecil’ ini) akan menjadi
titik-titik kecil cahaya yang saling menyatu dan menjadi lentera penerang
negeri yang –sebenarnya- telah rusak ini.
I
Ching pernah
berkata “Setelah sebuah masa kehancuran datanglah titik balik. Cahaya penuh
daya yang dahulu hilang kini bersinar kembali… Yang lama berakhir, yang baru
terlahir.
***
Sumber:
Antropologi
& Pembangunan Indonesia oleh Amri Marzali (dengan banyak perubahan disana
sini)
agreed (y)
BalasHapusboleh copas/share ?
boleh Mas.. monggo...
Hapus