Selalu ada kejadian-kejadian yang
disembunyikan. Di balik nasib, di balik rinai hujan yang membasahi
lembaran-lembaran buku, bahkan di balik tempat makanan kucing yang tiap pagi
dan petang kau isi. Pernahkah kau pikirkan hal itu?
*
Suatu
sore, aku berteduh di rumahmu sebab hujan dengan derasnya membasahi bumi yang
selama ini kering. Aku menatapmu, kau menatapku. Lalu kau membuka percakapan
singkat yang akan membawa kisah kita menuju lembaran-lembaran panjang hidup.
“Mungkin
nasib membawamu kemari, memandang air langit bersamaku. Apalagi yang lebih
indah dari momen ini?” Kau berkata padaku.
Aku
hanya tersipu mendengarmu mengucapkan kalimat itu padaku. Hati perempuan mana
yang tak berbunga saat mendengar untaian kalimat indah dari seseorang yang
dicintainya?
Sesaat
kemudian, kau merapikan buku-bukumu yang basah terkena hujan. Itu salahmu. Kita
hanya ke taman untuk sekadar berjalan-jalan, tapi kau selalu merasa tidak
nyaman jika tidak membawa buku bacaan. Akibatnya, buku-buku itu basah ketika
langit cerah tiba-tiba berganti hujan.
Habis
kau gelar buku-buku itu di lantai teras rumah, kau beranjak masuk untuk
mengganti pakaian yang kuyup. Dari balik pintu, kulihat kau menuang makanan di
sebuah wadah plastik berwarna jingga tua. Aku pikir itu makanan untuk kucing
kesayangan yang selalu kau ceritakan padaku. Aku hanya tersenyum melihat
tingkah laku manismu.
Meski sudah lama bersamamu, ada satu hal yang membuatku
heran terhadapmu. Kau tidak pernah mengizinkanku masuk lebih jauh ke rumahmu.
Jika hal itu kutanyakan padamu, maka jawabanmu hanya satu, aku belum halal
untukmu. Aku sepakat, lagian apa juga kata orang jika melihat seorang wanita
berada di dalam rumah seorang pria. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum begitu
mengingat jawabanmu kala itu.
Hujan
yang membuatku kedinginan sore itu, memaksa urin menumpuk di kandung kemihku. Aku
teriak memanggilmu dari luar pintu, tapi tak ada jawaban darimu. Kakiku gemetar
menahan gejolak biologis yang semakin tak terbendung. Aku sudah tak mampu!
Tanpa melepas sepatu yang menghiasi kakiku, aku menerobos rumahmu. Kalang kabut
mencari toilet yang kadang kita sebut bilik renung.
Setelah melepas beban itu, aku berniat kembali ke teras
rumah. Namun aku tak percaya akan apa yang dipersepsikan panca inderaku sore
itu.
Hidungku
membau aroma khas minuman keras yang tersebar di seantero ruangan yang bercat
abuabu. Botolnya tergeletak bersama alat suntik dan tumpukan kartu. Di dinding,
tertempel poster-poster dengan gambar tak senonoh. Pun buku-buku bergenre
sastra selangkangan menghiasi rakmu yang penuh. Ada apa dengan rumahmu?
Pikiranku mulai melayang kesana kemari. Aku mulai merasakan sesuatu yang tidak
beres.
Hatiku hancur saat kubuka salah satu pintu kamar yang ada
di hadapanku. Kusaksikan pemandangan yang tidak akan pernah kulupa seumur hidup.
Kau bercanda mesra dengan perempuan
lain!
Oksigen
menghilang dari pembuluh darah di otakku. Tubuhku gemetar terpaku. Baru saja
aku kau ajak terbang ke langit jauh, kini dari ketinggian, kau menghempasku.
Aku
pasti sudah menamparmu kalau saja seekor anak anjing –yang ternyata adalah
peliharaanmu- tidak menjilat kakiku. Kau dan kekasih lainmu -yang panik-
mencoba menjelaskan semuanya. Tapi aku menolak. Apa lagi yang harus kau
jelaskan? Kau tak ubahnya seorang munafik yang berusaha menjerat dan
menyesatkan wanita. Tak kusangka aku pernah mencintai orang sepertimu. Topengmu
terbongkar sudah. Rumah ini adalah sarang pendosa, dan kau adalah pemimpin mereka.
Sejak sore itu, aku bersumpah tak akan ada lagi kisah tentangmu
***
Di
lain sore, aku menemukanmu! Kita berteduh di sebuah ruko sebab rinai hujan
kembali turun. Dan, bak tak punya rasa malu, kau kembali memulai percakapan
denganku.
“Mungkin
nasib membawaku kesini, memandang air langit yang selalu saja menyejukkan hati.
Siapa namamu wahai gadis penunggu hujan?” Kau berkata padaku.
“Bukankah
empat tahun lalu kita pernah bertemu di bawah kanopi pohon, lalu kau berkenalan
denganku? Aku dan kau melebur dalam
percakapan cair, membuatku terjebak dalam cinta semu yang sebenarnya hanya
nafsu. Bukankah kau ingat itu?”
Kau
terdiam,
“Kau
juga pasti ingat saat lembaran-lembaran bukumu yang basah menipuku seolah kau
orang yang cerdas, padahal kau tak lebih seorang munafik nan pandir.”
Kau
masih terdiam.
“Kau
juga tentu ingat bagaimana kau mengarang cerita tentang tempat makanan kucingmu
yang tiap pagi dan petang kau isi, padahal kau hanya pembual belaka.” Aku
menatapmu nanar, kau tetap terdiam.
“Maaf,
aku tidak mengerti maksudmu nona.” kau seolah tak tahu apa-apa.
“Evan,
berhentilah berlaku bodoh!”
PLAK!
Akhirnya
aku menamparmu. Tamparan yang tertunda empat tahun lalu kini benar-benar
membekas di pipimu. Pun suaranya mengalahkan gemuruh rinai yang menghantam atap
ruko tempat kita bertemu.
“Kak
Rina! Apa yang kakak lakukan?” Adikku seolah tidak sepakat dengan perlakuanku
pada lekaki munafik itu.
“Orang
ini yang membuat hati kakak remuk. Dialah alasan mengapa kakak terkena Skizofrenia.” Aku menjelaskan
perbuatanku pada Nia yang selama empat tahun ini –saat aku sakit- setia
menemani kemana pun aku pergi.
“Kakak,
perhatikan orang itu baik-baik.” Nia memelukku erat. Air matanya mengalir dari
pipinya yang tembem. Sontak kuperhatikan baik-baik sosok yang kutampar tadi,
lalu kulontarkan sebuah pertanyaan sederhana.
“Maaf,
anda siapa?”
***
Makassar,
12 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar