Sumber: Dokumentasi Pribadi
HARI
itu, kita berada di sana. Berlari lalu berteriak lepas seolah menantang alam.
Angin terlampau kencang, mengibarkan baju-baju kusut yang menempel pada tubuh kita.
Padang ini terlalu luas untuk kita saling berkejaran, namun terlalu sempit
untuk imajinasi bocah lugu seperti kita. Saat semua berlarian kesana kemari,
kulihat kau hanya duduk termenung dengan dagu bertumpu pada lutut. Aku meninggalkan
mereka yang kini sibuk berkejaran, lalu duduk di sampingmu.
“Suatu
hari aku akan ke sana.” kau menunjuk kaki langit.
“Tapi
itu kan ujung dunia? Mana mungkin kau bisa kesana.” Jawabku polos.
“Pasti
bisa! Hanya di sanalah kedamaian akan tercipta” Kau menatapku tajam. Aku hanya
mengangguk.
“Apa
yang kaulakukan di situ Akbar? Ayo main lagi!” Aku tersentak begitu Fifi
berteriak tepat di gerbang telinga sebelah kiriku.
“Jangan
teriak!” Aku mengejar Fifi sambil tertawa. Dari kejauhan, kulihat kau masih
saja seperti itu. Menatap kaki langit sore dengan pandangan kosong.
Kita
hanya bermain di sana bakda ashar sebab siang sepulang sekolah kita beristirahat
sambil menunggu adzan ashar berkumandang. Pun tempat itu hanya muncul di siang
hari dan kembali hilang saat maghrib merajai. Sebuah tempat berupa daratan berpasir
putih yang hanya muncul saat air laut surut, lalu tenggelam saat air laut
merangkak pasang. Orang-orang desa menyebutnya gusung.
Mentari
sedikit lagi terbenam. Saat-saat seperti inilah yang selalu kita nanti. Saat
bola besar itu berubah merah, pun laut berkilauan bak butiran amber yang terhambur sejauh mata
memandang. Kita terpesona. Namun pemandangan seperti ini tidaklah bertahan
lama, sebab kita harus bergegas kembali ke daratan utama sebelum air merangkak
pasang.
Untuk
pulang, kita harus berjalan ke ujung gusung. lalu berjuang melintasi lumpur
yang membenamkan dan mencengkeram kaki. Terasa sulit melangkah. Namun, kita
harus berjuang jika tidak ingin tenggelam oleh air pasang yang kian
mendekat.
Setelah
sampai di tepian, air sudah sepenuhnya menenggelamkan gusung. Tidak terlihat
lagi lahan tempat kita menguntai mimpi dan imajinasi. Hanya laut sejauh mata
memandang. Mesjid sudah mengeluarkan lantunan ayat suci, pertanda sebentar lagi
adzan maghrib berbunyi. Kita melangkah pulang ke rumah masing-masing. Menanti diomeli
oleh ibu dan ayah sebab pakaian tak lagi bersih.
*
HARI
itu kita kembali ke sana. Cuaca yang tadinya cerah, berubah menjadi kelam. Awan
hitam pekat menggantung di langit, menutupi mentari yang seharusnya masih
terik. Ini masih pukul 04.00 Wita, namun suasana di gusung begitu mencekam.
Angin dingin mulai berhembus. Kencang, dan semakin kencang. Gelombang mulai
tidak bersahabat. Ada riak yang semakin liar. Aku mulai berpikir ini pertanda
buruk.
Rintik
kini perlahan turun. Kulihat Fifi, dan Jamil asik bermandi rintik. Mereka
menari dan berlari ke sana kemari. Beda denganmu yang tetap duduk bertumpu pada
lutut, membiarkan rintik hujan basahi wajahmu yang selalu saja murung.
“Sebenarnya
apa yang ada dipikiranmu? Mengapa kau selalu termenung?” Akhirnya aku bertanya
padamu.
“Kedamaian.
Aku hanya ingin damai” Lagi-lagi kau berkata
hal yang sulit kumengerti.
“Selalu
saja itu! Aku tidak pernah mengerti apa yang kau maksud. Jika kau punya
masalah, mengapa kau tidak mau menceritakannya padaku?” Aku berusaha menjadi
tempatmu berbagi keluh.
“Akbar! Ayo pulang!” Jamil berteriak padaku. Mereka
berdua berencana kembali ke rumah, sebab hujan semakin deras dan guruh mulai
memekakan telinga.
Begitu
aku bangkit, kulihat gelombang mulai meninggi. Oh tidak! Badai tropis mengincar
kita. Sontak kita semua berlari. Hingga tiba di ujung gusung, padang lumpur
kembali menghambat langkah kaki. Kita tetap berjalan, selangkah demi selangkah.
Cengkeraman lumpur begitu kuat, namun kita harus cepat. Jika tidak, maka amukan
badai yang membawa gelombang akan menyeret kita ke tengah lautan.
Aku
melihat ke belakang, dan kusaksikan fenomena alam yang luar biasa indahnya.
Badai tropis yang membawa awan hitam pekat, angin kencang dengan udara dingin
menusuk tulang, guruh yang didahului oleh sambaran halilintar, hingga gelombang
tinggi yang segera menghantam pesisir. Tapi tunggu, ada yang aneh di gusung
itu. Tidak mungkin!
“Lisa..!
Apa yang kau lakukan di sana? Cepat lari..!” Aku tercengang melihatmu berdiri di
gusung, menanti hantaman badai yang segera menerpamu. Aku memberimu isyarat
untuk menjauh, namun kau tetap diam seolah tak menghiraukan peringatanku.
Kau berbalik
padaku. Menatapku, lalu untuk pertama kalinya kulihat kau tersenyum. Inikah
kedamaian yang kau maksud? Membuat dirimu hanyut dalam gelombang hanya akan
menyisakan penyesalan mendalam bagiku.
Aku
memutar arah. Aku harus kembali ke gusung untuk memaksamu ikut denganku. Dengan
kata lain, aku akan menyelamatkanmu.
“Akbar..!
Apa yang kau lakukan? Ayo cepat..!” Tata memanggilku.
“Aku
harus ke sana menyelamatkan Lisa..!” Aku berteriak.
“Lisa? Tidak ada siapa-siapa
di sana!”
Sungguminasa,
23 Desember 2013
***
Cerpen ini sudah lama saya buat dan sudah lama pula terbit di majalah Soulmkas beberapa bulan silam (Juli kalau tidak salah). Hanya saja, saya baru memiliki waktu untuk online dan memposting cerpen ini.. Iya betul, setelah sekian lama akhirnya saya memposting sesuatu...:D
Woww keren, punya kayak bgni tpi malu utk post, takut metode penulisannya salah, 😝😥😂
BalasHapusPost saja, nanti dikomentari... hehe kan belajar :D
Hapus