Sumber: boemisayekti.files.wordpress.com
Nak, akan kuceritakan padamu kisah cinta yang tidak
akan kau temukan pada siapa pun di generasimu
SEORANG
perempuan paruh baya terjatuh saat hendak menaiki tangga sebuah rumah panggung.
Perempuan itu tak sanggup bangkit, dadanya teramat sakit. Ia teriak, namun
tenggorokannya seolah tercekik.
Aminah
yang kala itu sedang menyapu halaman, bergegas menuju ke arah ibunya yang
sedang tergeletak tak berdaya. Segera ia menopang tubuh perempuan itu ke kamar
lalu dibaringkannya di sebuah ranjang berkelambu.
Napasnya
masih terengah, keringat mengucur dari jidatnya yang keriput. Aminah duduk di
samping ibunya yang sedang berusaha memejamkan mata. Tangannya menggenggam erat
tangan ibu yang dicintainya.
Begitu
sang ibu tertidur, Aminah segera menuntaskan pekerjaannya yang tertunda. Angin
yang bertiup kencang menerbangkan dedaunan yang menguning di ujung ranting
pepohonan. Terlihat bulir air menetes dari mata Aminah. Kejadian beberapa menit
lalu masih terbayang di benaknya.
Dari
jalan setapak desa, terlihat dua orang pemuda memperhatikan Aminah yang sedang
menyapu halaman rumahnya. Jelang sesaat, kedua orang itu berlalu. Aminah tetap
melanjutkan pekerjaannya hingga tak ada lagi dedaunan yang menumpuk.
Keesokan
harinya, semua kembali seperti biasa. Memang semenjak Sang ayah meninggal,
Aminah lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia tak ingin Sang ibu yang
menderita sakit parah menyusul ayahnya begitu cepat. Jadi atas kesadaran dan
baktinya pada orang tua, ia lah yang mengurus kebutuhan sehari-hari mereka.
Mulai dari bekerja di kebun orang, menyelesaikan pekerjaan rumah, hingga
merawat sang ibu yang menghabiskan waktunya di pembaringan.
*
AWAN
menutupi desa pagi itu saat Aminah sedang berada di kali untuk sekadar
membersihkan diri dan mencuci. Ia tak sendiri, seorang gadis desa yang sebaya
dengannya menemani Aminah bak seekor anak itik. Mereka mandi dan bermain air.
Tapi sadar akan lokasi kali yang selalu dilalui oleh orang-orang desa, mereka
tetap menggenakan sarung sebagai penutup tubuh. Dan benar saja, dari atas
jembatan kayu yang menggantung indah di atas kali, nampak dua orang pemuda
memperhatikan mereka.
“Sepertinya
ada orang yang mengikutimu.” Fatimah berbisik pada Aminah seraya menunjuk ke
arah jembatan.
Aminah
langsung mengalihkan pandangannya ke arah jembatan kayu yang bergoyang itu, tapi
kedua pemuda tadi sudah tak disana. Dan
bagai angin lalu, Aminah mengabaikan kejadian itu. Kini ia mulai mencuci
pakaian yang dibawanya dari rumah pagi ini.
“Mengingat
usiamu yang sekarang, pernahkah kau berpikir untuk menikah?” Tetiba saja
Fatimah melontarkan pertanyaan yang membuat Aminah tertawa.
“Belum
ada yang cocok. Mungkin suatu hari akan ada yang pas di hati.” Aminah kini
tersenyum pada Fatimah sembari mengucek pakaian yang kali ini adalah pakaian
ibunya.
“Bagaimana
dengan Umar? Bukankah dia begitu menyukaimu. Lagian kalian berdua terlihat
cocok untuk membangun sebuah keluarga yang purna.” Fatimah menggoda Aminah
dengan alisnya yang naik turun.
“Tidak
Fatimah, dia sudah seperti sahabat bagiku.” Aminah tersenyum.
“Kalau
Rafli? Bukankah sedari dulu kau dimabuk kepayang oleh sosoknya?” Mendengar
pertanyaan itu, Aminah menghela napas panjang, kemudian menatap sahabat
karibnya.
“Kau
tahu lah, ia tidak sepadan denganku. Ia seorang tuan tanah, sedangkan aku hanya
seorang buruh petik, mana mungkin ia jatuh cinta padaku.” Aminah terlihat lesu.
“Ada
banyak cara cinta mempertemukan seseorang. Tanpa memandang apa dan siapa, tetiba
cinta telah bersarang di hati dua insan. Yah,
kita tidak pernah tahu bagaimana cinta memainkan perannya.” Tutur Fatimah
sambil tersenyum seolah memberi semangat.
Tak
ada pembicaran lagi sehabis itu. Mereka berdua diam. Yang terdengar hanya bunyi
pakaian yang sedang dikucek, bunyi kayu jembatan yang berdecit, bunyi ranting
dan daun yang diterpa angin, serta bunyi riak-riak air yang mengalir dan
menghantam bebatuan besar di sepanjang kali.
*
DUA
orang pemuda memandang lekat sosok Aminah dari balik pepohonan. Dengan
keranjang di pundaknya, Aminah nampak sibuk memetik kopi Robusta yang siap
panen.
“Sampai
kapan kalian akan mengikutiku? Tunjukkan saja diri kalian.” Ucap Aminah dengan
santainya sambil meraih buah kopi dengan jemarinya yang mulus.
“Ini
aku.” Seorang pemuda menampakkan diri dari balik pohon.
“Kupikir
aku telah menjadi sasaran tindak kejahatan, ternyata kau Umar.” Aminah nampak
lega, sebab sosok mencurigakan selama ini hanyalah pemuda desa yang merupakan
teman semasa kecil Aminah. “Aku tahu masih ada satu lagi yang selalu
mengikutiku. Tunjukkan dirimu!” Aminah mengeraskan suaranya.
Mendengar
suara Aminah yang seolah menggerebek pelaku kriminal, sosok itu muncul dari lebatnya
pepohonan kopi. Aminah terperanjat dan nampak tak percaya akan siapa yang
berdiri di hadapannya.
“Rafli?”
“Maaf
Aminah. Aku hanya ingin tahu kehidupanmu lebih dalam. Itulah mengapa tiap hari,
aku mengikutimu kemana saja. Aku mengajak Umar sebab tidak ada yang lebih tahu
dirimu selain sahabat masa kecilmu.” Rafli mengutarakan kalimat yang
menunjukkan bahwa ia begitu penasaran dengan sosok Aminah.
“Maksudnya?”
Aminah seolah tak tahu, padahal hatinya tersipu malu. Ia tak menyangka seorang
Rafli menaruh perhatian lebih padanya.
“Empat
tahun lalu, saat pertama kali aku menginjakkan kaki di desa ini dan menjadi
seorang tuan tanah, kau satu-satunya sosok yang mengalihkan duniaku. Bukan
hanya fisikmu yang laksmi, tapi ketulusan hati dan keluhuran pekertimu membuat
siapa saja pasti jatuh hati. Termasuk aku Aminah.” Pemuda itu mengungkapkan
perasaannya ke Aminah.
“Sejujurnya
aku pun merasakan hal serupa. Namun jika kau memang mencintaiku, datanglah ke
rumah untuk membicarakan hal yang lebih serius.” Aminah tertunduk. Ia malu setengah
mati.
Mendengar
perkataan dan laku Aminah yang mengisyaratkan sebuah penerimaan, Rafli lompat
kegirangan. Jawaban Aminah tidak meleset dari tebakannya. Ia sudah
mempersiapkan semuanya. Bekal untuk sebuah perjalanan panjang antara ia dan
Aminah.
*
SELURUH
desa riuh begitu pernikahan seorang tuan tanah dengan seorang buruh pemetik
kopi diumumkan. Tetangga dan sanak famili sudah berkumpul di rumah Aminah untuk
membantu kelancaran acara tersebut, pun janur kuning telah terpasang di depan
rumah. Jantung Aminah berdebar menanti momen bahagia yang akan berlangsung
empat hari kemudian. Ia tidak habis pikir, kisah cintanya bagaikan dongeng
pernikahan antara rakyat jelata dan seorang pangeran.
Namun
di tengah suka cita Aminah, penyakit ibunya kembali datang. Tetiba ia tak
sadarkan diri saat asyik bercengkerama di dapur bersama keluarga yang lain.
Seisi rumah panik. Tak terkecuali Aminah, ia berharap Sang ibu kembali membuka
matanya.
Seorang
mantri berkata bahwa perempuan yang melahirkan Aminah itu hanya butuh dirawat
dengan baik. Mendengar perkataan mantri tadi, muncul keraguan di hati Aminah.
Kini ia dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit.
Apakah
ia harus melanjutkan pernikahannya dengan Rafli? Sebab jika demikian, maka ia
harus melakukan kewajibannya sebagai istri. Dan, tentu saja kasih terhadap
ibunya akan terbagi. Atau apakah ia harus membatalkan pernikahan itu demi
merawat Sang ibu dengan sepenuh hati? Aminah dilema setengah mati. Satu-satunya
cara adalah meminta pertimbangan Sang calon suami.
“Ibu
adalah orang terpenting dalam hidupmu. Rawatlah ia dengan setulus hatimu. Soal
pernikahan bisa kita tunda dan diselenggarakan di lain waktu. Tenang saja, aku
akan setia menunggumu sampai kapan pun.” Jawaban calon suami tercinta membuat
hati Aminah tersentuh. Betapa beruntungnya ia mendapatkan lelaki seperti Rafli.
“Tapi,
apa itu tidak masalah buatmu?” Aminah meminta keyakinan dari hati Rafli sekali
lagi.
“Tidak masalah, karena aku mencintaimu.”
*
HARI
itu, mereka menunda pernikahan tersebut. Dan kau tahu apa yang terjadi? Takdir
berkata lain. Semuanya tak seindah kisah pernikahan dalam dongeng yang selalu
kubacakan padamu sebelum tidur saat kau kecil dulu, Nak.
Bisa
kau lihat dari tiga makam yang ada di depan matamu saat ini. Ketiga makam itu
saling berdampingan. Yang paling kiri
adalah makam calon kakekmu, Rafli, yang di tengah adalah makam nenekmu, dan
yang paling kanan adalah makam kakekmu, Umar.
Beberapa
bulan setelah ditundanya pernikahan itu, Rafli kecelakaan saat hendak ke kebun
untuk melihat patok tanahnya. Ia terpeleset dan terjatuh di lereng bukit.
Kepalanya terbentur bebatuan yang membuatnya cedera kepala berat dan tak
tertolong lagi. Nenekmu yang mendengar berita itu terpuruk dalam kesedihan
mendalam. Seseorang yang seharusnya sudah menjadi suaminya kini tinggal
kenangan.
Belum
juga hilang duka yang nenekmu derita, nenek buyutmu meninggal di tahun yang
sama. Jelang dua bulan setelah meninggalnya Rafli. Sejak hari itu, tak ada lagi
senyum indah dari wajah nenekmu yang ayu.
Kau
bertanya tentang kakekmu? Baiklah, Umar bisa menjadi kakekmu sebab nenekmu
menerima lamarannya delapan tahun kemudian. Waktu yang cukup lama bagi sebuah
penantian cinta yang berawal dari persahabatan.
Dan,
kakekmu pantas memperoleh imbalan yang setimpal. Hati nenekmu. Yah, meskipun kakekmu tahu hati yang
nenekmu berikan hanyalah serpihan kecil dari hati yang telah dimiliki oleh
Rafli, kakekmu tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Baginya, selama itu
adalah cinta, itu sudah cukup.
Nak,
sebelum kita meninggalkan pemakaman ini, tidakkah kau perhatikan kamboja yang
tumbuh di antara makam Rafli dan nenekmu? Beberapa orang bilang tumbuhan itu
laiknya dinding pembatas antara Rafli dan nenekmu. Sebuah tanda bahwa cinta
mereka tidak akan pernah bersatu. Mungkin itu benar, tapi ibumu ini punya
pendapat lain.
Perhatikan
akar kamboja itu, tidakkah kau lihat dari mana ia berasal? Ya, dari dalam
kuburan Rafli dan nenekmu. Akarnya yang menghunjam tanah adalah sebuah media
penyalur cinta di antara mereka. Cinta yang tersalur melalui akar, batang dan
jaringan tumbuhan itu menghasilkan bunga berkelopak putih yang bermekaran di
tiap ujung ranting kamboja tersebut.
Indah
bukan? Tentu saja. Cinta mereka yang kembali bersemi di alam sana menjelma
bunga di dunia fana. Bunga yang mekar
dari sebuah keabadian.
(Pare - Makassar, Januari-Maret 2014)
***
Kisah Cerpen
Cerpen ini diangkat dari kisah nyata dari kakek-nenek seorang teman yang tinggal di Sumatera. Waktu itu, awal Januari 2014 saya berada di kampung Inggris Pare dan punya teman di suatu tempat kursus, saat senggang ia menceritakan kisah cinta (sejati) neneknya yang (masih) mencintai calon suaminya. Sewaktu ia cerita, entah kenapa saya berpikir "Gila! Mungkin di generasi kita sudah tidak ada lagi kisah cinta seperti ini." Jadilah saya abadikan dalam cerpen di atas dengan perubahan di sana-sini, yah namanya kan fiksi hehehe tapi substansinya tidak berubah dan beberapa 'motif' cerita tetap sama, misalnya 'dua orang yang akan menikah lalu gagal karena si perempuan memilih untuk merawat orang tua' dan 'di pemakaman muncul pohon kamboja di antara makam mereka'. That's it! Amazing right?
Cerpen ini dimuat di majalah fakultas 'Saksi' looh :D hehehe (terus?). Nah, sekadar refleksi dan berbagi perasaan, saya ingin menanyakan pertanyaan sederhana, masih adakah cinta sejati seperti kisah di atas? Atau mungkin sudah punah? Maybe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar