Seperti kebanyakan lomba-lomba cerpen lain yang
menggaungkan istilah cerpen Islami, penulis yang mengirimkan karyanya dalam event LISAN oleh HIMIKA ini terjebak
dalam beberapa kesalahan fatal. Jujur, ihwal ini membuat saya sedikit kesulitan
menemukan cerpen-cerpen Islami yang berkualitas dalam tumpukan naskah. Saya
selaku salah satu dewan juri akan memaparkan kesan sekaligus penilaian saya
terhadap karya-karya yang masuk. Semoga dapat dimengerti oleh panitia dan oleh
dewan juri yang lain.
Jumlah keseluruhan naskah sebanyak 52 buah, peserta
terdiri dari mahasiswa dan siswa (semuanya berasal dari kabupaten Bantaeng
–mengapa?). Tidak seperti lomba cerpen lainnya, panitia LISAN secara langsung
menyerahkan naskah cerpen kepada juri dengan tidak memisahkan judul cerpen dan
penulis cerpen sehingga dewan juri mengetahui siapa sang empunya cerpen. Seharusnya, panitia hanya menyerahkan cerpen
anonim dengan nama penulis disimpan oleh panitia, seharusnya. Objektivitas
menjadi hal yang -tentu– sulit untuk dihindari jika saja dewan juri mengenal
salah satu penulis. Namun di sini, saya mencoba betul-betul objektif dengan
memperhitungkan aspek-aspek penilaian dengan matang; standar teknis dari
panitia, nilai yang dibawa, ide yang menarik dan antiarus kebanyakan, teknik
penceritaan yang mengalir, bagus, dan tidak saling menabrak logika yang
dibangun, serta hal-hal teknis seperti EYD.
Seleksi pertama saya lakukan dengan melihat cerpen yang
tidak sesuai dengan standar panitia, berupa jumlah halaman, jenis dan ukuran
huruf, dan lain-lain. Selain itu, nilai-nilai yang dibawa dan berusaha
diamanatkan dalam cerpen juga menjadi pertimbangan dalam seleksi ini. Semua
cerpen yang tidak lulus seleksi awal disebabkan karena halaman cerpen yang ‘off side’. Selain itu, entah mungkin
karena sebagian besar peserta adalah remaja SMA, tema-tema cinta dengan teknik
penulisan teenlit menjadi ihwal
mayoritas yang muncul dimana-mana, semuanya betul-betul penulis pemula (new beginner). Cerpen-cerpen yang
mengangkat kisah tentang cinta pun terjebak dalam kasus yang mana tokoh
berpacaran, atau sedang menyukai tokoh lain dan menggambarkan nilai-nilai menjalin
hubungan pranikah, hal ini berarti cerpen tersebut tidak mengandung nilai
keislaman yang berusaha diusung oleh panitia. Ihwal tersebut menjadi ihwal
paling substansial sebab berkaitan dengan ideologi yang dipahami.
Setelah naskah dipilah berdasarkan standar di atas,
terpilihlah 29 cerpen yang kemudian akan diseleksi menjadi sepuluh besar.
Cerpen-cerpen yang masuk ke dalam kategori sepuluh besar adalah cerpen dengan
ide yang ‘sedikit’ tidak lazim dengan ide kebanyakan, teknik penceritaan yang sudah
mulai bagus, dan penulisan teknis yang lebih teliti meski –yang namanya penulis
pemula-, kesalahan-kesalahan EYD masih bertebaran di sana-sini. Dari sepuluh
besar, saya lantas memilih enam cerpen yang menurut saya terbaik dalam
keseluruhan naskah yang masuk.
Cerpen dengan judul Cahaya
yang Lain saya tempatkan di posisi keenam. Cerpen ini sebenarnya sederhana,
namun teknik penceritaannya lumayan bagus. Saya berhasil mengalir ke dalam
cerpen meski di pertengahan menjelang akhir, saya lantas ‘keluar’ sebab ‘arus’
mulai terkesan ‘aneh’ dan dipaksakan. Bercerita tentang siswa SMA bernama Dimas
dan Arazee yang selalu saling sapa namun tidak saling mengenal satu sama lain.
Di pertengahan cerita, Arazee menghilang sebab ia tiba-tiba buta (di sini
cerita mulai kurang logis) namun akhirnya mereka tetap bisa bertemu lagi.
Tuhan Itu Kemana,
Ayah? merupakan cerpen yang menempati posisi kelima. Saya melihat amanatnya
begitu dalam sebab bercerita tentang seorang anak yang harus berjuang keras
bersama keluarganya agar tetap memperoleh penghidupan. Nilai-nilai kesabaran
dan rasa syukur sangat kental dalam cerpen ini, hanya saja, penulis terkesan
belum berhasil menyampaikan cerita dengan baik, kesan menggurui masih sangat
kental, pula kesalahan-kesalahan EYD masih bertebaran dimana-mana.
Cerpen yang ada di posisi keempat berjudul Maaf. Sangat sederhana, idenya tidak
terlalu unik dan terkesan biasa saja, bahkan judulnya pun terkesan tidak
menarik. Namun dibanding dengan dua cerpen sebelumnya, cerpen ini terkesan
lebih matang dari segi ide, penceritaan, dan teknik penulisan. Simply but catchy. Meski begitu,
kekurangan lain yang membuat cerpen ini gagal berada di posisi ketiga adalah
terlalu banyaknya dialog yang sedikit mengganggu estetika isi cerpen.
Menentukan cerpen yang berada di tiga peringkat teratas
sebenarnya susah-susah gampang meskipun tidak sesusah menentukan jodoh. Ketiga
cerpen yang memuncaki tangga ini bisa dibilang sangat lebih dari cerpen-cerpen
yang lain. Ide sangat menarik, penceritaan yang matang, keterkaitan
antarbagian, sampai ihwal teknis seperti EYD. Kekurangannya hanya perlu dipoles
sedikit lagi.
Cerpen berjudul Merindumu
dari Bilik Terakhir bercerita tentang jiwa (atau ruh?) seseorang yang
sejatinya akan segera menikah dengan orang yang dicintainya. Namun bencana
pesawat Aviastar yang ia tumpangi menuju Makassar jatuh dan menewaskan dirinya.
Ia lantas tak jadi naik ke pelaminan untuk bersanding kepada calon istri.
Pernikahan tetap berlangsung, Zoya, sang calon istri bersanding dengan sahabat
tokoh utama, Bora. Namun janji tokoh untuk menghadiri pernikahan dituntaskan
dengan cara yang berbeda, ia datang dengan cara yang tidak biasa, bukan sebagai
mempelai, bukan sebagai undangan, namun sebagai kenangan. Kekurangan dari
cerpen ini adalah teknik penceritaan yang masih kurang bagus ketimbang dua
cerpen kemudian, cerita yang terkesan kurang logis (seperti kenapa wasiat baru
dibuat di atas pesawat sebelum kecelakaan?) dan penulisan teknis yang masih
perlu diperbaiki.
Bahtera Rohingya dalam Dekapan
Samudera menjadi cerpen yang berhasil menempati peringkat
kedua. Idenya sangat menarik, tentang dua orang kakak-adik bersama orang-orang
etnis Rohingya yang terkatung-katung di samudera. Badai yang menerpa perahu
mereka di suatu malam menjadi petaka yang membuat orang-orang –mungkin- hilang
ditelan samudera. Tidak diceritakan apakah pasca badai tersebut sang tokoh
utama, Kemis, berhasil selamat dari badai atau tidak, yang jelas kakaknya yang
dicintai samudera meninggalkan kenangan dan pelajaran sedalam samudera itu
sendiri. Kekurangan dari cerpen ini adalah cerita yang terkesan terburu-buru
dan akhir yang kurang menggigit, selain itu penulis juga masih kurang teliti
mengenai EYD. Kekurangan-kekurangan tersebut membuat cerpen ini gagal menerobos
peringkat pertama.
Cerpen yang menempati urutan pertama menurut saya adalah
cerpen dengan judul Asy-Syifa. Cerpen
ini sangat unggul dari segi ide, teknik penceritaan, ketelitian penulis
terhadap kesalahan EYD, dan riset yang dalam. Semuanya betul-betul matang,
setiap elemen beresonansi dan tidak meninggalkan lubang. Cerpen ini bercerita
tentang sisi lain tentara zionis, seseorang yang masih memiliki hati dan
sebenarnya tidak sepakat dengan perlakuan rekan dan atasannya terhadap
kekerasan, pencaplokan wilayah, dan pelanggaran hak azasi atas warga Palestina.
Semuanya mengalir, deskripsinya membuat saya seperti betul-betul menyaksikan penderitaan
seorang Aisya dan ibundanya, kekejaman para invader
dan kebimbangan Zaen, sang tokoh utama. Cerpen ini memenangkan hati saya.
Saya kira sebagai dewan juri, banyak hal yang luput dari
pengamatan saya sebagai manusia yang tentu diliputi oleh khilaf. Saya harap,
tulisan ini memenangkan bahagia sekaligus keikhlasan di hati teman-teman juri
lain, panitia, peserta, maupun siapa-siapa. Selamat merayakan hidup dengan tulisan.
Batara al-Isra
Jumat, 23
Oktober 2015
Catatan tambahan: Ini penilaian versi saya, belum versi juri yang
lain. Saat pengumuman juara, bisa jadi pendapat saya berbeda dengan juri yang
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar