Sumber: dok. Ulfiani Rahmi
Dulu
sebelum merah putih kawin dengan langit,
para
leluhur terlampau percaya bahwa
nasi
akan muncul sendiri memenuhi panci,
tak
perlu dibeli dengan harga setinggi
tiang
pinang yang dipanjat setengah mati.
Dulu
saat merah putih dan langit masih baru sebagai
sepasang
pengantin, doa-doa dengan puluhan semoga
dilarung
saban malam saban hari. Semoga percumbuan mereka
membawa
bahagia bagi anak cucu pertiwi, semoga kita berdiri
di
atas kaki sendiri, semoga kita terus hidup dari tanah dan air,
semoga
ada tempat indah untuk meminang kekasih, semoga
tercipta
surga tempat menimang bayi, dan semoga-semoga yang lain.
Tapi
merah putih dan langit mungkin sudah tua saat ini,
para
pendahulu telah pergi, kita sebagai penerus generasi
tidak
berbahagia dengan mata uang asing yang menginjak
mata
uang negeri, kita punya kaki tapi lumpuh dan hampir
diamputasi,
kita punya tanah dan air tapi harus mengemis
pada
orang lain, kita kehilangan kekasih dan tidak punya bayi,
kita
adalah anak cucu merah putih dan langit yang secara
tidak
langsung berharap hubungan romantis mereka berakhir.
Orang
lain akan mengganti puluhan ucapan selamat berbahagia atas
hidup
baru dengan selamat menjadi anak cucu yang tidak tahu malu.
Ya,
kita anak cucu yang lupa leluhur dan sudah tidak punya malu.
(Makassar,
Agustus 2015)
*
Terbit di Fajar, edisi 16 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar