MATAHARI
Pertengahan Oktober masih terlalu bersemangat mengambil jatah milik hujan yang
sudah hampir enam bulan lupa arah jatuh pulang. Unru baru saja menyalakan motor
Honda hitam keluaran tahun 1998 di halaman rumah yang rimbun dipayungi kanopi
pohon mangga. Starter tangan yang
sudah tidak lagi berfungsi membuat pemuda itu setengah mati memainkan starter kaki motor warisan ayahnya itu dengan
sedikit emosi. Celana dari bahan jeans biru yang ia kenakan terlihat serasi dengan jaket
dari bahan dan warna yang sama. Ditambah rambut gondrong sebahu dan scarf yang digunakan, membuat penampilan
pemuda umur 21 tahun ini terlihat keren.
“Unru! Pegang nasi dulu baru pergi!”
Suara perempuan terdengar agak keras dari dalam rumah.
“Dosen sudah hampir masuk, Bu. Pintu
ruangan mungkin telah ditutup kalau saya harus ke dapur untuk hanya sekadar
memegang nasi,” Unru berteriak dari luar, suaranya mengalahkan bunyi knalpot
motornya.
Baru saja ia akan menancap gas,
terdengar derap langkah kaki yang cukup keras dan terburu-buru. Ibunya menuruni
tangga rumah panggung dengan sebakul nasi, lalu disodorkan langsung ke hadapan
Unru.
“Pegang sekarang, nanti kamu sial di
perjalanan,” Ibu menajamkan mata.
Unru yang melihat tingkah aneh
ibunya hanya memasang wajah datar. Ia mengembuskan napas kuat-kuat, melepas
kaos tangan kanannya, lalu menyentuh dua butir nasi yang ada di bakuI.
“Tunggu, kau berkendara pakai headset?” Tanya Ibu setelah melihat
kabel hitam menggantung dari balik helm, turun ke dada dan masuk ke saku tempat
HP Unru tersimpan.
“Orang-orang selalu butuh hiburan
ketika melakukan hal membosankan,” Jawab Unru seadanya. Ia lantas berlalu
setelah mencium tangan ibunya.
*
RUMAH
Unru berada di pinggiran kota, dan jalanan sedang macet-macetnya sebab proyek
akhir tahun sedang berjalan. Perbaikan jalan dimana-mana, beton-beton mulai
menggantikan aspal, meskipun masih setengah-setengah. Besi-besi masih mencuat
keluar dari jalur beton yang belum tertutup sempurna, mengambil jatah area
jalan aspal yang tidak lama lagi benar-benar kalah sepenuhnya.
Ihwal inilah yang akhir-akhir ini membuat
jalanan begitu padat, dan Unru merasa sangat bosan jika harus menghabiskan
waktu sia-sia di tengah hiruk-pikuk suara kendaraan yang bercampur dengan suara
klakson orang-orang yang tidak mengerti keadaan. Unru sebenarnya orang yang
taat pada peraturan lalu-lintas dan mengerti bagaimana caranya berkendara
dengan aman agar selamat. Namun jengah betul-betul menguasainya beberapa hari
ini, ia lantas melanggar janjinya
sendiri, memakai headset untuk menyejukkan
telinganya dari sahut-sahutan suara yang jadi polusi
Sepanjang perjalanan, Unru tidak fokus
pada lagu-lagu yang terputar dari smartphone
miliknya. Ia terus saja memikirkan perkataan ibunya. Sudah sejak lama
sebenarnya Unru gelisah, ibunya yang meski telah pindah ke ibu kota provinsi,
masih saja percaya dengan pantangan-pantangan. Bagi orang Bugis, dunia dibangun
oleh pantangan-pantangan dan cerita-cerita orang tentang citra keluarga. Orang
yang melanggar pantangan lalu celaka akan menjadi buah bibir yang ranum
dimana-mana.
Pantangan tentang makanan adalah
ihwal yang paling sering bergema di rumah Unru. Orang Bugis sangat menghargai
makanan, sebab makananlah sumber penggerak kehidupan. Makanan sejatinya adalah
kumpulan energi yang menyatu dengan manusia.
Masih jelas di ingatan Unru
bagaimana ibunya selalu memberikan petuah untuk jangan membuang-buang makanan,
ambil secukupnya lalu habiskan, bukan mengambil banyak namun akhirnya tersisa.
“Nasi di piringmu masih ada beberapa
butir, nanti nasinya menangis dan rezekimu lari, kalau kau keluar rumah dengan
menyisakan nasi, kau bisa sial,” petuah ibunya di suatu waktu menjelang isya.
Unru masih mengingat kejadian tadi
pagi. Ia terlambat bangun padahal kuliahnya dengan dosen killer akan dimulai 30 menit lagi, sama dengan waktu tempuh yang ia
butuhkan untuk sampai ke kampus. Dengan
tergesa-gesa, ia hanya mencuci muka, menggosok barisan gigi rapinya, mengganti
pakaian, mengambil tas lalu sekonyong-konyongnya menuju pintu. Ibunya yang
sedang berada di dapur mengajak Unru untuk sarapan dulu, tapi ia tolak dengan
alasan keterlambatan. Saat itulah ibunya berteriak agak keras agar Unru
memegang nasi terlebih dahulu. Bagi orang Bugis, pantang tidak mencicipi
makanan jika telah ditawari. Terlebih jika akan keluar rumah, setidaknya,
makanan tersebut harus dipegang, sebab apabila tidak, kesialan akan menimpa
orang tersebut di perjalanan.
Hari ini Unru tidak masuk kelas. Ia
betul-betul terlambat, dosen telah masuk dan pintu telah ditutup. Ia berupaya
melobi dosen agar diizinkan masuk dengan alasan klasik. Namun gelengan kepala
dari dosen membuat Unru hanya bisa mengelus dada, sebab seperti kebanyakan
orang, alasan jalanan macet hanyalah salah satu mitos manusia Indonesia bersama
dengan frase “sudah OTW” atau “lima menit lagi sampai”.
*
UNRU
berhasil bangun 30 menit lebih awal dari biasanya sebab ini adalah hari selasa
yang sama menjengkelkannya dengan hari senin: sama-sama kuliah pagi dan dosennya
killer. Setelah kemarin memperoleh
kecewa sehabis bertempur dengan hiruk-pikuk jalanan, hari ini ia bertekad untuk
hadir di mata kuliah pagi, apapun alasannya.
“Sarapan dulu, Unru. Supaya
kaumenangkan pagi,” Ibu menawari Unru nasi goreng yang ia buat dua porsi. Untuk
dirinya, dan untuk anak satu-satunya.
“Saya akan menangkan pagi jika
berada di kampus tiga puluh menit lagi, Bu. Sarapan akan menyita setengah waktu
itu dan hasilnya akan seperti kemarin, saya kalah oleh pagi,” jawab Unru dengan
terburu-buru.
“Setidaknya kaupegang nasi ini agar
tidak sial di jalan, juga supaya kau betul-betul menangkan pagi,” Ibu tersenyum saat menyilakan Unru setidaknya
sedikit mencicipi masakannya.
Langkah Unru yang tadinya
tergesa-gesa menuju pintu akhirnya terhenti. Ia menarik napas dalam-dalam lalu
mengembuskannya dengan kencang.
“Sampai kapan Ibu percaya hal
seperti itu?” Tanya Unru sambil menatap wajah Ibunya.
“Sampai kapan pun. Kau tahu sendiri
kan, itu pemali, orang-orang percaya sebab itu semua terjadi,” Ibu berusaha menjelaskan pada anaknya akan apa
yang ia yakini.
“Tidak ada hubungan antara tidak
memegang makanan dengan kesialan-kesialan, semuanya punya alasan logis, lantas yang
atur itu Tuhan, bukan pantangan-pantangan,” Unru sedikit meninggikan suaranya
sambil mengernyitkan dahi dan mengembuskan napas kuat-kuat begitu mendengar
perkataan ibunya.
Kesabaran Unru mengenai ibunya yang
terlampau percaya pada pemali-pemali membuat ia akhirnya mengungkapkan apa yang
selama ini tersimpan di dada dan kepalanya. Ia sedikit emosi dan sebagai
akademisi, pemali-pemali yang diyakini ibunya terasa tidak masuk akal.
Ibu yang mendengar Unru berkata
seperti itu menggelengkan kepala. Anak kesayangan satu-satunya mulai berani
mendebat orang tua. Nada suara Unru yang lebih tinggi dari ibunya adalah suatu
hal yang juga pantang bagi orang Bugis. Unru tidak sopan, sedikit lagi ia akan
dicap sebagai anak yang tidak paham adat dan durhaka pada orang tua.
“Kau mau pegang nasinya atau tidak?”
Ibu lebih mengeraskan suaranya. Tidak
seperti hari-hari lain saat Unru disuruh memegang nasi sebelum keluar rumah,
hari ini hati Ibu terasa sakit.
“Untuk kali ini, Bu, saya akan
pulang dengan selamat tanpa memegang nasi,” sahut Unru sebelum melengos dan
meninggalkan Ibunya yang geram.
*
UNRU
sebenarnya merasa bersalah terhadap apa yang telah ia lakukan pada ibunya. Ia
sadar telah berlaku tidak sopan. Ia berkendara sambil mendengarkan musik
melalui Headset yang terpasang ke samrtphone-nya, ia biarkan musik itu
menghilangkan pikiran-pikiran negatif tentang apa yang baru saja ia lakukan
pada ibunya. Unru betul-betul hanyut, musik seperti membawanya ke dunia berbeda
tanpa beban.
Setelah melewati perbaikan-perbaikan
jalan yang mengundang macet dan mendapati jalanan sedang tidak padat-padatnya,
ia menancap gas sambil bernyanyi keras-keras mengikuti lagu yang terputar dari samrtphone-nya, berlomba apakah yang
duluan mengetuk pintu kelas adalah waktu atau dirinya.
Gabruk!
Sebuah pete-pete[1]
berhenti tiba-tiba untuk mengambil penumpang di pinggir jalan. Unru
menghantam belakang mobil berwarna biru itu dengan sangat keras. Ia terlempar
tidak jauh dari motornya yang rusak di bagian depan, sedangkan pete-pete tersebut ringsek di bagian
belakang. Orang-orang lantas berkerumun, mengamankan kedua kendaraan yang baru
saja beradu. Sopir pete-pete berusaha
mendinginkan kepalanya yang emosi, sementara Unru dibawa ke rumah sakit.
*
IBU
tidak henti menatap wajah Unru yang baru saja siuman. Air matanya menetes, ia
menyesal kenapa tidak memaksa anak kesayangannya memegang sebutir nasi saja. Ia
percaya, kecelakaan sial ini karena Unru mengabaikan pemali.
“Kamu
lupa bahwa orang yang sangat kita cintai meninggal karena kecelakaan. Waktu itu
ayahmu pergi tanpa memegang nasi setelah kutawari makan malam. Dan sekarang kau
mengulangi kesalahan yang sama, kau juga tidak pikirkan penilaian orang
terhadap kita,” Ibu mulai menangis.
“Sepertinya
Ibu belum belajar sesuatu.”
Unru
benar, ini bukan persoalan pemali, semuanya salah Unru. Ia mendengarkan musik
sambil berkendara, mengurangi fokusnya pada jalanan. Ihwal ayah Unru, dia
meninggal karena kepalanya yang tak dilindungi helm terbentur aspal.
***.
Makassar, Oktober 2015
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Semoga lolos kak ^_^.
BalasHapusKeep writing.