Berbicara
mengenai korupsi di Indonesia memang tidak ada habisnya. Korupsi telah mengakar
ke segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kuatnya akar korupsi ini melahirkan koruptor dari berbagai macam
kalangan, mulai dari pengusaha, anggota dewan, jaksa, hakim, polisi, mantan menteri,
duta besar, artis, bahkan komisioner Komisi Pemilihan Umum semuanya lengkap. Tidak
heran jika beberapa orang beranggapan bahwa korupsi telah menjadi budaya di
Indonesia.
Pengakuan
Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup tidak hanya datang dari masyarakat
pribumi alias Warga Negara Indonesia, namun juga datang dari warga Negara lain.
Sebut saja Michael Backman yang dalam bukunya Asia Future Shock menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang
sepertinya ‘tidak punya masa depan’. Bagaimana tidak, korupsi yang menggila ini
cukup untuk mendorong bangsa besar seperti Indonesia menuju kehancuran. Tidak
segan-segan, di salah satu judul bab dalam bukunya, Backman melontarkan pertanyaan pesimis “Apakah Indonesia Punya Masa Depan?” sebuah pertanyaan yang
berangkat dari realita dan secara pribadi sangat menusuk.
Sekarang
mari kita renungkan, apa yang salah dengan Indonesia? Mengapa korupsi begitu
merajalela? Ada dua persoalan yang terkait dengan hal ini, pertama adalah
gagalnya pendidikan berkarakter dan penanaman pemahaman kesadaran akan bahaya
korupsi sejak dini.
Masalah
kedua adalah hukum yang berlaku di Indonesia untuk para koruptor sangat tidak
tegas! UU TIPIKOR hanya memberikan batasan maksimal 20 tahun penjara dan denda
maksimal 1 miliyar untuk para koruptor denga kasus yang tergolong berat. Namun
menurut saya, hukuman maksimal 20 tahun penjara sangat tidak efektif. Fakta
lapangan berbicara, belum ada satu hakim pun yang memutuskan hukuman maksimal
ini, itu pun jika jaksa penuntut memberikan hukuman 15 tahun penjara, maka hakim
akan memutuskan hanya dua sampai lima tahun penjara saja. Dendanya pun seperti
itu, okelah jika denda maksimal telah diberikan, namun yang menjadi pertanyaan
apakah harta yang telah dikorupsi dikembalikan pada Negara? Ini yang menjadi
persoalan. Jika denda yang diberikan hanya satu milyar namun harta yang
dikorupsi mencapai puluhan bahkan ratusan milyar, maka tentu harga satu milyar
tidak ada apa-apanya. Menggiurkan bukan?
Jika
UU TIPIKOR mengenai hukuman maksimal diatas belum efektif, maka sudah saatnya
pemerintah menerapkan ancaman hukuman baru, yaitu hukuman mati. Memang terkesan
kontroversi karena masih meninggalkan pro-kontra di masyarakat, namun sebagai
warga Negara yang baik dan ingin melihat bangsa ini maju, maka saya berada di
pihak yang mendukung hukuman mati tersebut.
Memang jika kita lihat sepintas hukuman mati terlihat sadis, kejam,
brutal,dan tak berperikemanusiaan. Namun sadarkah kita bahwa yang lebih tidak
berperikemanusiaan adalah koruptor itu sendiri? Sadarkah kita bahwa karena
orang-orang seperti merekalah bangsa ini diambang kehancuran? Menghilangkan
sebuah nyawa yang memang bersalah tidak sebanding dengan puluhan, ratusan
bahkan ribuan jiwa yang siap meregang nyawa karena kelaparan di bumi Indonesia
yang seharusnya kaya.
Hukuman
mati seperti ini berfungsi untuk menimbulkan efek jera dikalangan koruptor.
Apalagi jika eksekusi dilakukan di hadapan umum dan diliput oleh media, tentu
hal ini akan menimbulkan efek psikologis bagi para ‘penonton’. Dan sebagai
ajang pembuktian bahwa inilah akibatnya jika seseorang melakukan
korupsi.Hukuman mati seperti ini tentu tidak akan digeneralisasikan untuk semua
koruptor, hanya kepada koruptor yang telah mencapai suatu batas korupsi
tertentu yang akan dieksekusi.
Yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana pemerintah memulai pelaksanaan
hukuman mati ini? Di sini saya memiliki sebuah solusi yang unik. Solusi ini
saya namakan ‘Buku Putih’. Jadi yang pertama harus dilakukan adalah KPK dan
instansi terkait mengidentifikasi
seluruh koruptor yang ada di Indonesia. Setelah teridentifikasi dan terbukti
benar mereka melakukan tindak pidana korupsi, maka seluruh harta atau aset
Negara yang telah dikorup harus dikembalikan pada Negara hingga semua koruptor
tersebut ‘bersih’. Setelah pengembalian aset Negara ini, tidak akan ada hukuman
lebih lanjut dengan kata lain para koruptor tersebut dimaafkan. Pemerintah bisa
menjadikan hari dimana ‘pemaafan’ ini terjadi sebagai Hari Bebas Korupsi
Nasional, dengan harapan tidak adanya lagi kasus korupsi setelah hari itu, inilah
makna dari ‘Buku Putih’. Pada hari itu pulalah awal diberlakukannya hukuman
mati. Yakni siapa saja yang masih melakukan tindak pidana korupsi melewati
batas yang telah ditentukan setelah hari itu, maka hukumannya jelas, eksekusi
mati di depan khalayak umum dan media.
Sekali lagi, tentu gagasan ini menghasilkan pro
dan kontra, namun kembali saya mengingatkan bahwa jika kita ingin melihat
Indonesia kembali berjaya seperti dulu lagi, jika kita ingin membuktikan bahwa
Indonesia masih punya masa depan, jika kita ingin melihat Indonesia bebas dari
sesuatu yang berbau korupsi maka satu-satunya hukuman yang tepat untuk para
koruptor adalah hukam mati. Kebanyakan dari kita menjadikan China sebagai tolak
ukur kurang efektifnya hukuman mati yang diterapkan. Hal itu karean China masih
belum bisa memberantas korupsi secara keseluruhan hingga ke akarnya. Sekedar
info, perekonomian China bisa maju setelah menerapkan hukuman mati ini. Logikanya,
jika China yang notabene menerapkan hukuman mati di negaranya saja masih kecolongan, bagaimana dengan Indonesia
yang tidak menerapkannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar