PERNAHKAH kita berpikir mengapa manusia
diciptakan berbeda satu sama lain? Ada milyaran manusia, namun tidak ada
satupun yang sama diantara kita. Tak satupun. Sebuah keajaiban genetika, yang
berarti sebuah tanda betapa ajaibnya kehidupan. Setidaknya itu yang kupikirkan
saat melihat jutaan wajah yang tak pernah sama. Termasuk wajah cantik di
sampingku yang sedang menyantap es krim cokelat dengan lahapnya. Wajah yang
sudah belasan tahun kutatap namun tak jemu jua.
Dina adalah teman semasa kecilku, kami melakukan banyak hal
bersama, mulai dari bermain layangan, hingga naik sepeda. Tidak hanya di rumah,
di bangku pendidikan pun kami selalu bersama. Mulai dari bangku Sekolah Dasar
hingga di bangku kuliah semester delapan ini, aku dan Dina menjadi dualitas
yang tak terpisahkan, duduk di kelas yang sama.
Melakukan banyak hal bersama bukan berarti kami tidak
memiliki perbedaan. Sebut saja dari segi fisik, Dina orangnya putih seperti
aktris Korea dengan potongan rambut sebahu dan mata yang berbinar. Sedangkan
aku memiliki kulit sawo matang, dengan rambut yang sedikit ikal dan sorotan
mata yang tajam. Selain fisik, perbedaan keyakinan merupakan hal yang mendasar
antara aku dan Dina. Aku seorang muslim yang taat, sedangkan Dina seorang
kristian. Namun perbedaan-perbedaan itu tidak menghalangi kami untuk selalu
bersama. Banyak teman yang terheran-heran dengan hal ini seolah-olah aku tak bisa hidup tanpa Dina.
Namun mereka tidak tahu, dan mungkin takkan pernah tahu, bahwa Dina
satu-satunya orang yang paling mengerti diriku lebih dari siapa pun.
Aku termasuk tipe orang yang ingin mengetahui banyak hal.
Sifatku yang seperti itu, membuat aku menjadi orang yang sedikit cerewet.
Sewaktu kecil, Dina mungkin bosan mendengar pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang terlontar dari mulutku
sambil mengemut lolipop.
“Dina, mengapa rambutku keriting seperti gulungan benang
sedangkan rambutmu lurus seperti di iklan shampo? Mengapa warna kulitku seperti
es krim coklat dan kulitmu seperti es krim vanila?”
“Karena memang!”. Jawab Dina simpel tapi ikutan nyeleneh. Kami pun tertawa, tertawa
bahagia masa kecil.
Jujur, saat bersama Dina, aku merasa tenang dan nyaman. Dia
selalu ada saat aku membutuhkannya. Saat dia disampingku, seolah-olah aku bisa
melakukan apa pun. Termasuk saat ini, aku menyukai seorang gadis. Gadis yang
sudah cukup lama kukenal. Dia teman sekelasku dan aku tidak tahu harus
bagaimana, apakah aku harus mengungkapkan perasaan ini atau terus memendamnya,
entahlah. Namun semakin dipendam, perasaan ini kian hari kian membuncah.
Bagaikan volcano yang siap
mengeluarkan lava dan aliran magmanya. Atau bagaikan kue pie dalam oven yang sedang dipanggang dan siap untuk meletupkan
isinya, kira-kira seperti itu. Dan lagi-lagi, Dina menjadi pendengar setia
radio hatiku yang siarannya kembali menggalau.
“Din, menurutmu aku harus bagaimana? Apakah aku harus nembak Fatin atau tidak?” tanyaku dengan
intonasi sedikit berbisik di taman yang rimbun dengan pepohonan ini.
“Kalau kamu suka yaah
tembak, masa biar nyatakan perasaan kamu nggak
bisa sih? Kamu kan laki-laki,
atau lebih tepatnya pria!” Jawab Dina berusaha meyakinkan diriku sambil memetik
daun dari ranting yang terjangkau oleh tangan mulusnya.
“Tapi kan kamu tahu sendiri aku belum pernah pacaran, Fatin
juga orangnya berselera high class, nah
aku? Ndeso begini mau mencoba menyet dengan Fatin? Ibarat gelandangan
yang jatuh cinta terhadap putri.” Aku tambah galau memikirkan nasib perasaanku
yang mungkin tidak akan kesampaian hanya karena faktor finansial.
“Lagi-lagi merendah, mungkin saat ini kamu belum punya
apa-apa, tapi aku yakin lima tahun kedepan kamu bakalan berhasil Fauzan. Orang
secerdas, se-supel. dan se-bejo kamu mana mungkin tidak berhasil!”
Dina kembali meyakinkan. Kali ini dengna
nada yang sedikit tegas.
“Tapi agamaku melarang pacaran, takutnya malah mendekati
zina” kataku sambil menggerakkan jari jari tangan kiriku tak tentu arah diatas
tempat duduk merah yang cukup untuk kami berdua.
“Dinaa! Sekarang kan waktunya kerja kelompok untuk persiapan
presentasi materi gender besok, kamu malah asyik cerita sama Fauzan. Ayo!”
Suara asing mengganggu sinyal radio hatiku ke Dina, suara cempreng itu milik
teman kelasku yang memang judes, Ika.
“Sebentar lagi yah, please!
Nanggung nih… Kamu duluan aja yah…” Dina memelas dengan memasang
wajah imut khas wondering something.
“Ok, waktu kamu lima menit untuk curhat-curhatan bareng
Fauzan” Ika pun berlalu bersama daun daun yang berjatuhan diterpa hembusan
angin sepoi.
“Ehm Ok, kalau begitu jangan tembak! Mending kamu simpan
perasaan kamu. Dalam Islam kan dikenal konsep Ta’aruf, yah tiga bulan sebelum nikah kamu ta’aruf-an deh sama Fatin, abis itu nikah. Begini-begini aku tahu
banyak loh tentang Islam dan menurutku Islam itu agama yang sempurna. tak
bercelah!” Dina nyengir. memperlihatkan
barisan giginya yang putih dan rapi
meski tanpa behel.
“Rese’ yah kamu,
kenapa tiba-tiba bahas agama? Tapi betul juga sih, mungkin itu cara terbaik yang harus kulakukan saat ini. Waiting.” Aku tertegun mendengar jawaban
Dina. Hening. Seolah-olah aku
tercerahkan. Tercerahkan tentang aturan agama oleh seseorang yang justru berada
di luar garis keimananku.
“Eem… Fauzan, bagaiman jika Tuhan berkehendak lain?
Bagaimana jika ternyata nanti kamu mencintaiku dan ternyata kita ini jodoh?” Dina
memecah keheningan kemudian menatapku sendu, seolah ada pengharapan dalam raut
wajahnya yang begitu rindang. Damai.
“Kau adalah sahabatku, oleh karena itu aku tidak mencintaimu” Aku berkata lirih, kemudian tersenyum.
“I see…” Dina
kembali nyengir. Angin berhembus
kencang. Kulihat Dina megucek matanya yang kemasukan debu. Dina kemudian
bangkit lalu pergi meninggalkan jejak daun kering yang terinjak sepatu Machbeth miliknya.
Aku masih duduk memikirkan petuah Dina. Kata-katanya yang
berlalu lalang di dalam otakku menjadi sebuah lalu lintas kognisi yang begitu
padat. Tersadar, aku menuju sekretariat HMJ untuk mengambil tas ku yang
tersimpan sedari siang kemudian berlalu meninggalkan kampus menuju ke suatu
tempat privasi tanpa gangguan siapa pun. Kamar.
***
MALAM menjelang. Aku berniat me-review materi minggu lalu untuk persiapan kuliah besok. Namun aku terkejut.
Saat menggeledah tas, aku menemukan bingkisan kado berbentuk kotak kecil dengan
motif hitam putih.
“Apa ini? Eh, maksudnya siapa yang memberiku ini? Mengapa ia
tahu bahwa besok adalah peringatan hari lahirku?” Aku tersenyum keheranan,
tertawa dalam hati. Saat aku membuka kertas bingkisan itu selembar demi
selembar, aku menemukan sebuah jam tangan.
“Waw, dari mana ia
tahu bahwa aku sangat ingin jam tangan? Dan… Dan dari mana ia tahu bahwa aku
sangat menginginkan jam tangan dengan merek dan model yang seperti ini?” Aku
merasa menjadi objek stalking
seseorang. Seseorang yang fans… Tidak,
seorang pengagum rahasia. Sekali
lagi, aku tak mampu menahan perasaan senang bercampur rasa ingin tertawa. Di
kepala ku telah menari wajah-wajah orang yang kemungkinan besar merupakan secret admirer tersebut. Namun
sepertinya aku menemukan titik terang. Bersama dengan jam itu, terdapat secarik
kertas bertuliskan:
“Bukankah pelangi tidak akan indah jika
hanya satu warna? Bukankah es krim coklat akan terasa lebih nikmat jika
disantap bersama es krim vanila? Jangan pernah pikirkan perbedaan. Karena semua
perbedaan ini membuat harmonisasi yang lebih indah.”
Aku yakin hadiah ini dari Fatin. Gaya tulisannya mirip dengan gaya tulisan Fatin. Selain itu,
kami memang memiliki banyak perbedaan. Aku hanya laki-laki biasa sedangkan
Fatin begitu jelita, cerdas, kaya dan berselera high class. Berkali-kali aku mengirimkan sinyal ke hatinya.
Termasuk saat dia berulang tahun, aku memberinya boneka Winnie the Pooh. Boneka kesukaannya. Dan akhirnya, aku menganggap
jam tangan bersama secarik kertas ini sebagai jawaban. Aku bahagia. Aku senang
bukan kepalang. Sepertinya malam ini aku akan mimpi indah.
***
HAL pertama yang kulakukan saat tiba di kampus keesokan
paginya adalah mencari Fatin. Saat bertemu, ada perasaaan aneh yang menjalar di
dadaku. Aneh sekali. Adrenalinku semakin kencang dan….
“Fauzan, selamat ulang tahun. Ini hadiah buat kamu.” Sembari
memberikan bingkisan dengan motif polkadot. Saat kugenggam aku bisa menebak
bahwa isinya adalah baju.
“Terima kasih atas hadiahnya lagi Fatin.” Aku mengembangkan
senyum termanisku yang pernah ada.
“Lagi? Maksudnya?” Fatin terheran
“Iya, lagi. Bukannya kemarin kamu sudah memberiku hadiah?”
Aku juga terheran.
“Eem, Fauzan… Hadiah apa? Aku tidak mengerti sama sekali.
Serius!” Wajah Fatin benar-benar serius kali ini.
“Ohaha maaf, aku semalam cuma mimpi” Mendengar itu Fatin pun
berlalu meninggalkanku sendiri di taman ini. Kalau hadiah itu bukan dari Fatin,
berarti…
Spontan aku mencari Dina. Jika asumsi ku benar maka yang
memberiku hadiah jam semalam adalah dia. Sahabat terbaik yang pernah kumiliki
selama ini, Dina. Mungkinkah seorang sahabat terbaik jatuh cinta terhadap
sahabatnya sendiri? Aku tak habis pikir jika selama ini Dina menyimpan
perasaannya yang begitu dalam. Aku merasa bersalah, selama ini aku terus
membicarakan gadis lain di depannya. Membicarakan perasaan orang lain di
hadapannya. Sungguh betapa tidak pekanya aku. Sugguh betapa bodohnya aku. Mulai
detik ini kuputuskan tidak akan membicarakan kisah gadis itu lagi. Hadiah
kemarin menyadarkan diriku untuk membuang perasaan ini jauh. Jauh ke suatu
tempat yang aku pun tidak akan tahu.
“Fauzan! Selamat
ulang tahun, ciee yang sudah tua… Ini
hadiah buat kamu… Pakai yah, awas kalau tidak, hidungmu nanti aku tusuk!” Aku
menemukan Dina duduk sendiri di dalam ruang kelas yang kosong.
“Hadiah lagi?” Aku salah
tingkah, Wajahku memerah. Ini tidak seperti ribuan pertemuanku sebelumnya
dengan dia. Ada resonansi yang berbeda. Mungkinkah dia tahu bahwa aku telah
tahu perasaanya yang tersimpan rapat dalam kotak masa kecil yang dikubur dalam
kenangan belasan tahun silam? Entahlah. Namun aku melihat wajahnya begitu
tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
“Lagi? Maksudnya? Oh aku tahu, pasti kamu sudah dapat hadiah
dari Fatin… Iya kan? ciee…”Dina
berusaha menggodaku.
“Eh? Maksudnya? Bukannya kamu sudah memberiku hadiah
kemarin? Iya kan?” Aku terheran.
“Kamu mimpi yah? Hadiah yang kedua kali? Mana mungkin aku
mau memberimu. Satu saja sudah cukup. Lagian beberapa hari belakangan dompetku
menipis. Kemarin saja kamu yang bayarkan es krim waktu di taman.”
Mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Dina barusan,
aku semakin pusing. Jika orang itu bukan Fatin dan bukan pula Dina, lalu siapa
pengagum rahasia yang memasukkan bingkisan kado ke dalam tas ku kemarin? Aku es
krim cokelat yang siap meleleh dilanda udara kebingungan.
***
apa tidak ada es krim yang bercerita lagi? es krim bawang merah, maybe? seseorang yang tiba-tiba mengaku-ngaku jika dia yang memberikan kado kepada si Fauzan? hahaks
BalasHapusHahananti kau mi saja es krim bawang bombay :D
BalasHapus