PERNAHKAH kita berpikir mengapa manusia
diciptakan berbeda satu sama lain? Ada milyaran manusia, namun tidak ada
satupun yang sama diantara kita. Tak satupun. Sebuah keajaiban genetika, yang
berarti sebuah tanda betapa ajaibnya kehidupan. Setidaknya itu yang kupikirkan
saat melihat jutaan wajah yang tak pernah sama. Termasuk wajah tampan yang
sedang menyantap es krim vanila dengan lahapnya. Wajah yang sudah belasan tahun
kutatap namun tak jemu jua.
Fauzan adalah teman semasa kecilku, kami melakukan banyak
hal bersama, mulai dari bermain layangan, hingga naik sepeda. Tidak hanya di
rumah, di bangku pendidikan pun kami selalu bersama. Mulai dari bangku Sekolah
Dasar hingga di bangku kuliah semester delapan ini, aku dan Fauzan menjadi
dualitas yang tak terpisahkan, duduk di kelas yang sama.
Melakukan banyak hal bersama bukan berarti kami tidak
memiliki perbedaan. Sebut saja dari segi fisik, Fauzan memiliki kulit sawo
matang, dengan rambut yang sedikit ikal dan sorotan mata yang tajam. Sedangkan
Aku orangnya putih seperti aktris Korea dengan potongan rambut sebahu dan mata
yang berbinar. Selain fisik, perbedaan keyakinan merupakan hal yang mendasar
antara aku dan Fauzan. Aku seorang kristian, sedangkan Fauzan adalah seorang
muslim yang taat. Namun perbedaan-perbedaan itu tidak menghalangi kami untuk
selalu bersama. Banyak teman yang terheran-heran dengan hal ini seolah-olah aku tak bisa hidup tanpa Fauzan.
Namun mereka tidak tahu, dan mungkin takkan pernah tahu, bahwa Fauzan
satu-satunya orang yang paling mengerti diriku lebih dari siapa pun.
Fauzan termasuk tipe orang yang ingin mengetahui banyak hal.
Sifatnya yang seperti itu, membuat Fauzan menjadi orang yang sedikit cerewet.
Meski begitu, aku tidak pernah bosan mendengar pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang terlontar dari mulutnya
sambil mengemut lolipop.
“Dina, mengapa rambutku keriting seperti gulungan benang
sedangkan rambutmu lurus seperti di iklan shampo? Mengapa warna kulitku seperti
es krim coklat dan kulitmu seperti es krim vanila?”
“Karena memang!” Jawabku simpel tapi ikutan nyeleneh. Kami pun tertawa, tertawa
bahagia masa kecil.
Jujur, saat bersama Fauzan, aku merasa tenang dan nyaman.
Dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Begitu pun denganku. Aku akan selalu
ada saat dia membutuhkan sosok diriku. Termasuk saat ini, Fauzan menyukai
seorang gadis. Gadis yang sudah cukup lama dia kenal. Fauzan tidak tahu harus
bagaimana, apakah harus mengungkapkan perasaannya atau terus memendamnya,
entahlah. Namun aku tahu, semakin dipendam, perasaan Fauzan kian hari kian
membuncah. Bagaikan volcano yang siap
mengeluarkan lava dan aliran magmanya. Atau bagaikan kue pie dalam oven yang sedang dipanggang dan siap untuk meletupkan
isinya, kira-kira seperti itu. Dan lagi-lagi, Aku menjadi pendengar setia radio
hati Fauzan yang siarannya kembali menggalau.
“Din, menurutmu aku harus bagaimana? Apakah aku harus nembak Fatin atau tidak?” Tanya Fauzan dengan
intonasi sedikit berbisik di taman yang rimbun dengan pepohonan ini.
“Kalau kamu suka yaah
tembak, masa biar nyatakan perasaan kamu nggak
bisa sih? Kamu kan laki-laki,
atau lebih tepatnya pria!” Jawabku berusaha meyakinkan Fauzan sambil memetik
daun dari ranting yang terjangkau oleh tangan jenjangku yang mulus.
“Tapi kan kamu tahu sendiri aku belum pernah pacaran, Fatin
juga orangnya berselera high class, nah
aku? Ndeso begini mau mencoba menyet dengan Fatin? Ibarat gelandangan
yang jatuh cinta terhadap putri.” Fauzan nampak galau memikirkan nasib
perasaannya yang mungkin tidak akan kesampaian hanya karena faktor finansial.
“Lagi-lagi merendah, mungkin saat ini kamu belum punya
apa-apa, tapi aku yakin lima tahun kedepan kamu bakalan berhasil Fauzan. Orang
secerdas, se-supel. dan se-bejo kamu mana mungkin tidak berhasil!”
Aku kembali meyakinkan Fauzan. Kali ini dengan nada yang sedikit tegas.
“Tapi agamaku melarang pacaran, takutnya malah mendekati
zina” kata Fauzan sambil menggerakkan jari jari tangan kirinya tak tentu arah
diatas tempat duduk merah yang cukup untuk kami berdua.
“Dinaa! Sekarang kan waktunya kerja kelompok untuk persiapan
presentasi materi gender besok, kamu malah asyik cerita sama Fauzan. Ayo!”
Suara asing mengganggu sinyal radio hati Fauzan yang mengudara, suara cempreng
itu milik teman kelasku yang memang judes, Ika.
“Sebentar lagi yah, please!
Nanggung nih… Kamu duluan aja yah…” Aku memelas dengan memasang
wajah imut khas wondering something.
“Ok, waktu kamu lima menit untuk curhat-curhatan bareng
Fauzan” Ika pun berlalu bersama daun daun yang berjatuhan diterpa hembusan
angin sepoi.
“Ehm Ok, kalau begitu jangan tembak! Mending kamu simpan
perasaan kamu. Dalam Islam kan dikenal konsep Ta’aruf, yah tiga bulan sebelum nikah kamu ta’aruf-an deh sama Fatin, abis itu nikah. Begini-begini aku tahu banyak
loh tentang Islam dan menurutku Islam itu agama yang sempurna. tak bercelah!”
Aku nyengir. Memperlihatkan barisan
gigiku yang putih dan rapi meski
tanpa behel.
“Rese’ yah kamu,
kenapa tiba-tiba bahas agama? Tapi betul juga sih, mungkin itu cara terbaik yang harus kulakukan saat ini. Waiting.” Fauzan tertegun mendengar
jawabanku. Hening. Aku melihat mata
Fauzan yang kosong. Seolah dia tercerahkan. Tercerahkan tentang aturan agama
oleh seseorang yang justru berada di luar garis keimanannya.
“Eem… Fauzan, bagaiman jika Tuhan berkehendak lain?
Bagaimana jika ternyata nanti kamu mencintaiku dan ternyata kita ini jodoh?” Aku
memecah keheningan sembari menatapnya sendu, ada pengharapan dalam raut wajahku
yang begitu rindang. Damai.
“Kau adalah sahabatku, oleh karena itu aku tidak mencintaimu” Fauzan berkata lirih kemudian
tersenyum.
“I see…” Aku
kembali nyengir. Angin berhembus
kencang. Mataku berkaca bukan karena
kemasukan debu yang dibawa angin, tapi karena aku sedih mendengar jawaban
Fauzan. Sedih karena ternyata persahabatan tidak meninggalkan jejak cinta di
hati Fauzan. Sedih karena ternyata hanya aku yang merasakan pereasaan aneh ini. Mungkinkah aku telah berharap
lebih? Atau salahkah jika aku berharap lebih? Meskipun dibalut aneka perbedaan,
namun jika tujuh belas tahun menghabiskan waktu bersama, mungkinkah cinta tidak
bertumbuh dan bersemi? Tersadar dari lamunan itu, aku bangkit lalu pergi
meninggalkan jejak daun kering yang terinjak sepatu Machbeth milikku.
Aku menuju sekretariat HMJ yang waktu itu sedang sepi. Tak
ada seorang pun. Kucari tas milik Fauzan lalu kumasukkan bingkisan kado
bermotif hitam putih. Kado itu berisi jam tangan yang sangat dia idamkan sejak
beberapa bulan lalu, namun karena kendala finansial Fauzan belum bisa
menggenakan jam tangan indah merek Ripcurl
di tangannya. Bersama dengan jam itu, kuselipkan secarik kertas
bertuliskan:
“Bukankah pelangi tidak akan indah jika
hanya satu warna? Bukankah es krim cokelat akan terasa lebih nikmat jika
disantap bersama es krim vanila? Jangan pernah pikirkan perbedaan. Karena semua
perbedaan ini membuat harmonisasi yang lebih indah.”
Aku seorang yang kidal, namun aku menulis catatan itu
menggunakan tangan kanan. Hal itu untuk menghilangkan jejak tulisanku yang
mungkin terbaca oleh Fauzan. Aku berharap
dia senang akan pemberianku, meskipun pada bingkisan kado itu tidak kucantumkan
nama dan meskipun aku tidak akan memberitahu Fauzan tentang ini. Tentang
pengagum rahasia yang ternyata adalah sahabatnya sendiri. Atau tentang cinta
yang sebenarnya telah bersemi.
***
HAL pertama yang kulakukan saat tiba di kampus keesokan
paginya adalah menunggu Fauzan. Jika asumsiku benar, maka aku yakin, setelah
membuka bingkisan kado itu dan membaca pesan dalam secarik kertas tersebut,
Fauzan pasti akan mencari Fatin. Hingga Fauzan memperoleh jawaban yang tidak
memuaskan, dia pasti akan mencariku. Namun semakin menunggu, semakin ada
perasaaan aneh yang menjalar di dadaku. Aneh sekali. Adrenalinku semakin
kencang. Baru kali ini aku benar-benar mencintai seseorang. Ini yang membuat
diriku belum pernah pacaran sekali pun, aku menunggu. Menunggu saat dimana
sahabatku jatuh cinta kepadaku. Namun, mungkinkah itu?
“Fauzan! Selamat
ulang tahun, ciee yang sudah tua… Ini
hadiah buat kamu… Pakai yah, awas kalau tidak, hidungmu nanti aku tusuk!” Aku
berteriak kemudian berlari meraih sosok Fauzan yang melintas dari luar kelas
sembari menyodorkan bingkisan hadiah untuk melengkapi sandiwara diriku sebagai
pengagum rahasia.
“Hadiah lagi?” Fauzan salah tingkah, wajahnya memerah. Ini
tidak seperti ribuan pertemuanku sebelumnya dengan dia. Ada resonansi yang
berbeda. Mungkinkah dia telah tahu perasaanku yang tersimpan rapat dalam kotak
masa kecil belasan tahun silam? Entahlah. Aku melihat wajahnya begitu girang.
“Lagi? Maksudnya? Oh aku tahu, pasti kamu sudah dapat hadiah
dari Fatin… Iya kan? ciee…” Aku
berusaha mengeluarkan mimik wajah normal seolah tidak terjadi apa-apa.
“Eh? Maksudnya? Bukannya kamu sudah memberiku hadiah
kemarin? Iya kan?” Fauzan terheran.
“Kamu mimpi yah? Hadiah yang kedua kali? Mana mungkin aku
mau memberimu. Satu saja sudah cukup. Lagian beberapa hari belakangan dompetku
menipis. Kemarin saja kamu yang bayarkan es krim vanila waktu di taman.”
Mendengar pernyataan tersebut, aku yakin Fauzan semakin
pusing. Dia pasti memikirkan bingkisan kado yang berada di tasnya kemarin. Aku
hanya tersenyum melihat ekspresi wajah Fauzan yang kebingungan. Dalam hati aku
hanya bergumam,
Kau adalah sahabatku, oleh karena itu
aku mencintaimu.
Ya, aku adalah es krim vanila yang sedang jatuh cinta.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar