“Eh?”
Setidaknya
itulah ekspresi beberapa orang ketika mendapati dirinya terjebak dalam sebuah clumsy moment atau momen yang membuat
seseorang menjadi kikuk, keki, atau istilah kerennya ‘salting’ alias ‘salah
tingkah’.
Clumsy moment dapat
menimpa siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Itulah yang selalu kualami
bersama teman-teman dari jurusan Antropologi saat melakukan penelitian lapangan
terhadap sebuah fenomena sosial. Jebakan clumsy
moment ada dimana-mana bro! sekali
lagi, jebakan clumsy moment ada
dimana-mana bro! Seperti yang dialami salah seorang senior saat melakukan
penelitian di dusun Puntondo kabupaten Takalar.
Saat
itu kak Aliyah sedang mengantri disebuah WC umum. Ia tidak sendiri karena
disana ada seorang ibu yang sedang mencuci pakaian di sumur. Aliyah hendak
memecah keheningan dengan bertanya.
Aliyah : “Ibu sedang apa?”
Ibu : “Mencuci lah!”
Aliyah : Jlebbbb *bunyi sesuatu yang menusuk
di dalam hati
Maksud
hati mencairkan suasana, yang ada malah kikuk tanpa rencana. Sudah tahu ibu itu
sedang mencuci ngapain ditanya lagi? Hal ini membuat kak Aliyah malu setengah
mati sampai-sampai nggak mau lagi mencari informan.
Kalau
itu yang dialami kak Aliyah, lain lagi yang dialami Ayat. Kami pernah melakukan
penelitian di pulau Sabutung kabupaten Pangkep. Sore itu Ayat berjalan mencari
mangsa (ups, maksud kami informan). Dia kemudian menemukan seorang ibu yang
sedang mengangkat kayu bakar. Berniat basa-basi, Ayat pun memulai percakapan.
Ayat : “Apa itu bu?”
Ibu : “Kayu bakar nak”
Ayat : “Oh… Kayu bakarnya mau diapain bu?”
Ibu : “Mau dibakar nak!”
Ayat : “Oh iya, makasih bu”
Dengan
wajah malu, Ayat meninggalkan ibu itu terheran seorang diri. Ini informannya
yang rese atau penelitinya yang tidak
tahu konteks sih? Sudah tahu ibu itu membawa kayu bakar, kok ditanya lagi? Yang
lebih parah , sudah tahu itu KAYU BAKAR ngapain ditanya mau diapain? Yaa
dibakarlah! Emangnya mau dimasak terus dijadiin lauk gitu? Walhasil rencana
mengorek informasi sore itu gagal total. Hal ini juga membuat Ayat taubat untuk
mencari informan.
Clumsy moment seperti itu tidak hanya
terjadi saat peneliti melakukan kontak dengan masyarakat. Bahkan sesama
peneliti hal itu biasa terjadi. Masih di Sabutung, saat itu rambutku masih
gondrong sebahu. Aku baru selesai mandi pagi dan berniat menyisir rambut namun
aku tidak membawa sisir. Ya udah, aku pinjam aja sisirnya temanku.
Aku : “Kendek pinjam sisir dong…”
Kendek : “Buat apa?”
Aku : “Buat garuk pantat!”
Kali
ini temanku yang eror. Emangnya kegunaan sisir selain nyisir rambut apa lagi
coba? Nyisir bulu ketek? Atau jangan-jangan nyisir bulu hidung? Hal ini membuat
Kendek Taubat pinjamin sisirnya ke orang lain lagi. Ini yang salah siapa hah?
Masih
dari Sabutung, aku teringat sebuah kejadian yang menurutku adalah sebuah
kutukan. Bagaimana tidak, pagi itu sehabis insiden sisir tadi, aku bersama
teman sejawatku Basri mengelilingi desa untuk mencari informan. Langkah kami
berhenti disebuah makam yang dikeramatkan oleh penduduk pulau tersebut. Disana
kami melihat seorang kakek tua yang sedang duduk. Sontak aku menyuruh Basri
untuk mengorek informasi dari kakek itu. Tanpa pikir panjang Basri pun kesana
dan memulai percakapan. Dari jarak beberapa meter aku dapat mendengar apa yang
mereka berdua bicarakan, aku berusaha menahan tawa. Bagaimana tidak, Basri
melontarkan pertanyaan dalam bahasa Makassar sedangkan kakek itu menjawab
pertanyaan dengan bahasa Bugis. Sungguh sangat tidak konek saudara-saudara! Hingga
sampai kesebuah titik dimana kakek itu berbahasa Indonesia.
Kakek : “Begini saja nak, kau datang kerumah
bawa uang Rp. 1.500.000 terus kau
kawin sama cucuku”
Basri : “Alamak, luar biasa…”
Mendengar
hal itu Basri lari kepadaku, aku hanya tertawa geli. Hingga seorang bapak
mendekati kami dan berkata
Bapak : “Maaf dek, kakek itu otaknya
agak miring alias kurang waras.”
Hahahahahaha……!
Aku
tertawa terbahak. Ternyata Basri mewawancarai seorang informan yang kurang
waras. Pantasan nggak nyambung! Aku teringat kata salah seorang dosen bahwa di
setiap angkatan, akan ada anak Antro yang akan terkena kutukan, yakni mewawancari
orang gila. Ini membuat Basri merenung selama seminggu dan selalu meracau “Aku
dikutuk, aku dikutuk!!”
Clumsy moment juga dialami oleh para
dosen. Sewaktu penelitian di sebuah masyarakat pesisir, empat orang dosen
sedang duduk bercengkerama sambil menikmati dinginnya udara pesisir di malam
hari. Masing-masing dosen menceritakan kisah-kisah lucu mereka, hingga Pak
Sekretaris Jurusan menceritakan sebuah kisah yang sangat lucu hingga membuat
semua dosen dan mahasiswa yang mendengarnya tertawa terpingkal-pingkal. Namun
Pak Jon (nama disamarkan) salah seorang dosen terdiam dan merasa cerita
tersebut sangat didak lucu.
Siang
harinya saat Pak Jon buang air kecil dalam WC, ia tertawa terbahak-bahak. Para
dosen dan mahasiswa yang sedang makan siang terheran-heran dengan suara tawa
yang membahana itu. Setelah kembali dari WC Pak Sekretaris Jurusan bertanya
PSJ : “Apa yang lucu sehingga anda
tertawa keras dalam WC?”
Pak
Jon : “Setelah kupikir, ternyata
ceritamu semalam sangat lucu! hahaha”
PSJ : “Buset, impuls sarafmu lambat
banget bro!”
“Hahahahahahaha……..!!”
semua tertawa.
Pak
Sekretaris Jurusan ternyata anak gehol getoh!! Terlebih Pak Jon yang
impuls sarafnya super duper lalod. Clumsy
moment MAX! Bayangkan betapa malunya Pak Jon ditertawankan seperti itu.
ckckck
Itulah
kisah-kisah clumsy moment yang
terjadi saat kami turun lapangan.. setelah kejadian-kejadian tadi kini aku
sadar bahwa clumsy moment sebenarnya
lebih berbahaya dari galau. Galau hanya
berdampak pada dua insane yang terlibat, sedangkan clumsy moment impact-nya bisa sampai ke masyarakat. Penelitian
lapangan memang seru dan mengasyikkan, tapi
waspadalah terhadap jebakan-jebakan clumsy
moment, waspadalah!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar