Beda ladang, beda
belalang. Ramadan di Jerman tidak semeriah Ramadan di Indonesia. Semuanya biasa
saja, tidak ada panggilan sahur yang membangunkan orang-orang, tidak ada
doa-doa menjelang berbuka yang ditampilkan di siaran TV lokal, tidak ada
petasan, tidak ada yang istimewa. Itu yang saya alami tahun ini, mengikuti
sebuah summer school di Freiburg, kota
bagian selatan Jerman- membuat saya –akhirnya untuk pertama kali dalam hidup- menjalankan
Ramadan jauh dari tanah kelahiran.
Jika di Indonesia puasa
berlangsung selama kurang lebih 14 jam, maka di Jerman, puasa bisa sampai 19
jam. Hal itu karena jika Ramadan bertepatan dengan musim panas, maka siang akan
sangat panjang. Bayangkan saja, matahari sudah terbit pukul 2.30 am dan baru
terbenam pukul 9.30 pm. Sebagai orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan hal
seperti ini, tentu hanya niat dan semangat yang membuat saya masih bertahan
puasa sampai saat ini.
Malam terlampau
singkat, alokasi waktu ibadah saat matahari terbenam harus diatur sedemikian
rupa. Waktu antara berbuka,makan malam, shalat tarawih, tahajjud, dan sahur
betul-betul seperti dilakukan dalam satu waktu, belum lagi waktu untuk tidur.
Terkadang saya menggabung waktu antara makan malam dan sahur sebab jika harus
bangun lagi akan sangat sulit. Saya pernah mencobanya tapi selalu saja
kesiangan. Maklum, belum terbiasa.
Sebagai negara yang
mayoritas penduduknya adalah nonmuslim, Ramadan menjadi hal yang begitu asing
di telinga Freiburger bahkan meski Islamische Zentrum telah mengadakan
festival menyambut bulan penuh berkah ini. Karena orang-orang tidak sadar,
tidak tahu, atau mungkin berprinsip EGP (Emang
Gue Pikirin), warga muslim menerima banyak sekali tantangan selama Ramadan,
termasuk saya dan beberapa teman lain dari Indonesia yang mencoba untuk puasa.
Suhu mempengaruhi
sulitnya berpuasa di negara-negara utara. Suhu di siang hari bisa mencapai 16°C
sehingga rasa haus terkadang tidak mengetuk tenggorokan. Namun konsekuensinya,
lapar sekonyong-konyongnya datang begitu saja. Hal yang sebaliknya terjadi jika
suhu di atas 22°C, lapar memang bisa diatur, tapi haus menjadi hal yang susah
dikompromikan.
Keadaan sosio-kultural
juga berdampak pada sulitnya berpuasa di negara nonmuslim. Meski tidak sulit
menemukan perempuan berhijab di kota ini, tapi tetap saja lebih banyak
perempuan-perempuan yang pintar sekali
mengumbar aurat -seperti kebanyakan perempuan lain di ‘dunia barat’-. Apalagi
ini summer, waktunya untuk berpakaian
semini mungkin agar matahari mampu merubah kulit putih menjadi lebih cokelat
secara merata. Ini adalah tantangan yang sangat sulit. Setiap hari saya harus
beraktivitas di pusat kota tempat orang-orang berlalu-lalang dan hal-hal
seperti itu tidak bisa saya hindari. Perempuan-perempuan berpakaian tapi
telanjang ada di mana-mana. Bersyukurlah teman-teman yang berada di negara
muslim sebab hal yang seperti ini lebih jarang ditemukan.
Penjual makanan juga
senang hati memanggil-manggil perut dan hasrat orang-orang untuk menikmati
sajian di siang hari. Roti dengan aroma semerbak khas Jerman serta gelato alias Italian ice cream selalu saja terlihat sangat menggoda bagi saya.
Pun penjual doner yang merupakan
imigran Turki atau Kurdi –dan tentu saja muslim- masih saja menyajikan kebab, pizza, Yufka serta makanan halal lain di sudut-sudut jalan sebagai street food andalan kota ini. Meski
mereka muslim, toko harus tetap dibuka selama Ramadan sebab toh bukan hanya
muslim yang gemar makanan Turkische
spezialiten, bahkan siapa pun pasti jatuh cinta. Itulah sebabnya setiap
melewati kebab haus, godaan terasa
sangat sulit.
Hal terindah selama
bulan Ramadan di Freiburg adalah saat berbuka puasa. Sebuah kepuasaan tak
tergambarkan selalu saja saya rasakan setiap mengakhiri puasa. Cahaya indah
sisa-sisa petang menuju senja menjadi appetizer
yang luar biasa nikmatnya. Saya biasa berbuka puasa bersama teman-teman Indonesia
dari program yang kami ikuti bersama di tempat tinggal dosen pendamping kami.
Semuanya kompak untuk mempersiapkan ta’jil,
mulai membeli bahan makanan, memasak, hingga makan berjamaah.
Selain buka bersama di Liefmanhaus, terkadang saya berbuka di
pusat kota, di kebab haus bersama
teman saya yang dari Jerman. Meski dia tidak puasa, tapi dia rela menunggu saya
dan kami menyantap pizza bersama.
Dari sini saya melihat bahwa mereka sebenarnya menghargai orang yang berpuasa. Menarik
sekali.
Saya juga terkadang
menyempatkan waktu untuk berbuga di Islamische
Zentrum. Di Freiburg, ada dua masjid yang menjadi Islamic Centre warga muslim untuk lebih dekat pada Sang Khalik,
yakni masjid Turki dan masjid Arab. Saya sangat senang menyantap ta’jil di masjid Arab. Awalnya kita
diberi tiga biji kurma saat berbuka dan segelas air minum, lalu melaksanakan
salat maghrib secara berjamaah. Sehabis itu, barulah kita makanan bersama-sama:
roti, kari ayam, dan salat.
Kebersamaan sangat terlihat di waktu-waktu ini, saling berbagi makanan, senyum
–meski bahasa yang digunakan beragam, senyum memang bahasa universal untuk
mengartikan bahagia-, orang-orang yang tidak saling kenal dipersatukan dalam
satu ikatan: Islam.
-Terbit di Fajar, bagian Mukjizat Ramadan
Wauw. Cuccok deh kak Bata. Baru ka baca. Hehe
BalasHapus