“Mother,
I am always close to you
I
will be waving every time you leave
Oh,
I am you
The
care, the love, the memories
We
are the story of one.” –Nightwish
Otak saya secara spontan membuka folder musik dan memutar lagu berjudul Our Decades in the Sun milik Nightwish saat
mata saya menatap film berjudul Ada Surga di Rumahmu, sebuah film
bergenre drama keluarga yang disutradari oleh Aditya Gumay dengan quote “Surga itu begitu dekat. Tapi, mengapa kita
sibuk mengejar yang jauh?”
Pagi saat mall belum buka, saya dan sembilan anggota
keluarga Forum Lingkar Pena -cabang Makassar- sudah berhasil membuat satpam bertanya
heran, “mau kemana, Pak?” Untungnya kami berhasil menuju studio XXI
tempat pemutaran perdana film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama
tersebut. Kami bukanlah maniak film, tapi berhubung adanya undangan sebagai
bagian dari promosi film untuk hadir saat pemutaran perdana, kami tidak
menyia-nyiakan kesempatan. Film ini tidak membuat kami mengeluarkan sepeserpun
rupiah, bayarannya berupa review yang
-teman-teman sedang baca ini-.
Film dimulai dengan kalimat tahlil dan gesekan roda ranjang
pasien pada lantai di sebuah rumah sakit. Nampak terbaring seorang ibu yang
sedang dilarikan ke ruang UGD. Setelah itu, scene
berpindah ke tepian sungai Musi yang dipenuhi rumah-rumah bertaman eceng
gondok di tahun 2004, nampak seorang anak –Ramadhan kecil- meneteskan air mata
saat berceramah tentang kasih Uwais al-Qarni –sahabat Rasulullah- pada ibunya
yang renta. Mulai dari sini, saya sadar bahwa filmnya beralur mundur.
Nyatanya laku Ramadahan kecil tak sejalan dengan tutur,
ia ternyata pemalas, nakal dan tidak penurut pada orang tuanya. Sampai suatu
waktu ia dikirim ke pesantren milik ustaz Athar (ustaz Ahmad al-Habsyi), Umi-nya
(Elma Theana) sangat sedih melepas kepergian Ramadhan, pula dengan Abuya-nya
(Budi Khairul) yang mengantar anak
keduanya itu untuk memperoleh pendidikan agama yang baik sesuai harapan mereka.
Hidup di pesantren –jauh dari orang tua dan mandiri-
membuat kenakalan Ramadhan berkurang, ia lantas mengembangkan kemampuan
berceramahnya meskipun awalnya ia dan dua rekannya –yang satu kurus berkacamata
dan yang satu gemuk hobi makan- terkadang melanggar peraturan pesantren, tapi begitu
beranjak dewasa dan menjadi ustaz, Ramadhan (Husein Alatas) dan dua rekannya
tersebut membantu ustaz Athar mengelola pesantren.
Perahu memang tenang berdiam di tepian Musi, tapi bukan
itu tujuan perahu tersebut dibuat. Perahu yang kuat adalah perahu yang berhasil
ke tepian seberang saat angin dan arus menerpa. Begitu pula dengan manusia,
diciptakan tidak untuk dibiarkan begitu saja. Ujian dan godaan adalah sesuatu
yang mutlak, dan hanya orang kuat yang berhasil sampai ke tepian bernama ‘kelulusan’.
Di pertengahan film, Ramadhan diberi godaan. Ia berada di berbagai persimpangan.
Persimpangan pertama, Ramadhan berniat merubah haluan hidupnya menjadi aktor
film laga begitu menerima tawaran dari salah seorang kru film. Jika ia terpilih
saat casting, ia akan jadi artis dan
menetap di Jakarta seperti yang ia impikan sejak kecil. Tinggalkan kehidupan pesantren
yang telah ia bangun bertahun-tahun, tinggalkan kakak, adik, Umi, dan Abuya.
Tanpa pamit pada keluarga dan usatz Athar, ia dan dua
sahabatnya mencoba peruntungan dengan ke Jakarta untuk ikut casting. Mungkin ini yang disebut dengan
jalan Tuhan, halangan datang tanpa restu orang tua. Casting untuk film laga diundur tiga hari sehingga mereka bertiga
harus tinggal di masjid. Sampai suatu malam, Ramadhan terbangun karena
mendengar tangisan seorang yatim-piatu di dalam masjid yang berharap agar kedua
orang tuanya hidup kembali. Sadar telah melakukan kesalahan, Ramadhan membawa
dirinya pulang di hari yang seharusnya ia menunjukkan aksinya bersilat di depan
sutradara.
Ramadhan juga disambut oleh persimpangan perasaan. Ia –sepertinya-
memiliki hati dengan Kirana (Zee Zee Shahab), seorang artis film asal Palembang
berhati mulia dan dermawan, sedangkan di satu sisi ia juga memiliki perasaan
dengan teman sepermainannya sejak kecil yang sangat sayang pada keluarga
Ramadhan, Nayla (Nina Septiani). Ini bukan pilihan asal, sebab kedua perempuan
tersebut juga mencintai Ramadhan. Meskipun
hingga akhir film tidak juga dikisahkan di dermaga siapa hati Ramadhan akan
menghunjam sauh, tapi beberapa tanda mengisyaratkan kemungkinan Ramadhan akan
memilih Nayla.
Ujian lain yang dihadapi Ramadhan adalah terungkapnya
kebenaran saat ustaz Athar yang telah sakit-sakitan sejak lama berada di
pelabuhan maut, beliau menyampaikan bahwa, Abuya Ramadhan-lah yang mendonorkan
ginjalnya beberapa tahun lalu sebab beliau menderita gagal ginjal dengan bayaran
mendidik Ramadhan hingga menjadi ustaz berhati mulia. Mendengar itu, Ramadhan
bercita-cita untuk senantiasa membaktikan hidupnya untuk pendidikan agama, dan
orang tuanya.
Ujian, ujian, dan ujian, belum hilang duka Ramadhan
sepeninggal ustaz Athar, Umi-nya mengacaukan sebuah pesta di rumah Kirana saat
penyakitnya kambuh –dan Ramadhan mendapat perlakuan tidak sopan dari ibu
kirana-. Umi Ramadhan yang segera dilarikan ke UGD mengalami kesalahan saraf di kepala hingga kehilangan
kemampuan untuk berbicara. Sampai di sini, saya sadar bahwa alur cerita telah
maju kembali.
Di akhir film, Ramadhan mengucap syukur pada penguasa
Musi dan alam semesta, sebab Ramadhan pada akhirnya bisa tampil di televisi –seperti
artis- dengan berceramah, sebuah cita-cita yang berasal dari doa kedua orang
tuanya dan orang-orang yang sayang pada Ramadhan.
Film ini termasuk film yang mengangkat tema religi. Banyaknya
motif-motif religi di film ini tidak lepas dari novel aslinya yang merupakan terbitan
Mizan dan memang diangkat dari kisah nyata ustaz Ahmad al-Habsyi itu sendiri.
Tapi meskipun bertema religi, ada banyak nilai-nilai universal yang dijunjung
tinggi. Toh bukankah kebudayaan manapun mengharuskan seorang anak untuk
berbakti pada orang tuanya?
Secara teknis, film ini juga berusaha mengekspos salah
satu keindahan alam Indonesia, yakni sungai Musi. Dari awal hingga akhir film,
sungai ini menjadi setting utama
adegan-adegan menarik. Tidak ketinggalan, isu-isu sosial masyarakat Indonesia
juga berhasil diangkat tanpa adanya sesuatu yang bersifat ‘dipaksa-paksakan’,
seperti kenakalan Ramadhan kecil yang tidak dibuat senakal mungkin unuk
menciptakan efek dramatis dan insaf di akhir film. Lagu daerah –dan sesekali
dangdut- yang diputar di beberapa scene juga
mencerminkan betapa orang-orang di Palembang masih mencintai musik khas tanah
air.
Penceritaan adegan demi adegan berjalan harmonis, antara
lucu sampai penonton tertawa, sedih sampai penonton meneterskan air mata –ini terjadi
pada penonton di sebelah saya, sebut saja Mawar-, so sweet, keren, hingga membanggakan. Sebuah kombinasi menarik
untuk dinikmati dan mempermainkan emosi.
Hanya saja, seperti pada kebanyakan film-film lain yang
diangkat dari sebuah novel, -meskipun saya belum baca bukunya- saya yakin ada banyak adegan yang tidak
diceritakan lengkap sehingga terkesan melompat dan tidak sesuai dengan logika
cerita. Selain itu, ketidak konsistenan tokoh Nayla menjadi celah tersendiri dalam
film ini. Ia awalnya tokoh yang menjaga batas-batas antara laki-laki dan
perempuan, namun entah mungkin karena terbawa arus perasaan –seperti inkonsistensi
pada kebanyakan perempuan-, batas-batas itu mulai kabur. Ia mau saja
berboncengan dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan pergi menikmati senja
berdua di tepian Musi. Bukankah ini sama saja mengajarkan hal-hal yang kurang
berkenan jika ditinjau dari sudut pandang Islam? Pantaskah seorang pendakwah
melakukan itu?
Celah lain yang mungkin kebanyakan dari kita tidak memperhatikan adalah 'bocornya' film saat Ramadhan kecil sibuk membaca komik Naruto. Sepintas seperti tak ada yang salah, tapi jika teman-teman adalah pembaca komik dan maniak Naruto seperti saya, kalian akan menemukan bahwa komik Naruto yang dibaca Ramadhan kecil adalah komik volume 59 yang baru terbit awal tahun 2014 silam sedangkan setting film mengambil tahun 2004. Jadinya bocor kan? Sedikit saran, sutradara seharusnya lebih jeli melihat hal-hal kecil seperti ini, sebab penontonnya bisa jadi berasal dari berbagai kalangan, termasuk pencinta anime.
Celah lain yang mungkin kebanyakan dari kita tidak memperhatikan adalah 'bocornya' film saat Ramadhan kecil sibuk membaca komik Naruto. Sepintas seperti tak ada yang salah, tapi jika teman-teman adalah pembaca komik dan maniak Naruto seperti saya, kalian akan menemukan bahwa komik Naruto yang dibaca Ramadhan kecil adalah komik volume 59 yang baru terbit awal tahun 2014 silam sedangkan setting film mengambil tahun 2004. Jadinya bocor kan? Sedikit saran, sutradara seharusnya lebih jeli melihat hal-hal kecil seperti ini, sebab penontonnya bisa jadi berasal dari berbagai kalangan, termasuk pencinta anime.
Pada akhirnya, Film ini mengajarkan kita sesuatu yang
mungkin telah hilang dari manusia di generasi kita. Kita sibuk menghabiskan
waktu dengan menjadi aktivis yang berdiri di danger line demi kepentingan masyarakat, ceramah di sana-sini, sedekah
ke orang miskin, menulis kisah atau puisi tentang kebaikan saling mengasihi,
berdakwah sampai ke pelosok negeri dengan harapan surga mampu diraih, tapi
pernahkah kita menyibukkan diri dengan orang tua kita, terutama ibu? Pernahkah kita berdiri di garis terdepan saat
ibu sedang meminta bantuan? Pernahkah kita menulis sesuatu tentang dia sebagai
persembahan terima kasih karena telah lahir? Kita masih sibuk mengejar surga di
luar jendela sampai-sampai lupa bahwa surga sebenarnya ada di dalam rumah kita
sendiri. Sebelum kita terpaksa mencari surga yang jauh, rawatlah surga itu
sepenuh hati selagi beliau masih di sini.
Ini anak-anak FLP -Makassar- yang bergaya seolah artis filmnya :3
Saya sudah nonton film ini kemarin. Tapi nggak ngeh juga soal komik Naruto itu. Pas baca postingan ini, ngangguk2... Ohhh iya juga sih :))
BalasHapusNah! :3 tapi itu hanya sebagian kecil saja dari film yang keren ini hehe
Hapusjadi sekarang nama aku mawar. okkeh. besok-besok asoka. ahahaha. bdw, keren reviem ta, nak! cuma, agak mengganggu itu kata "merubah" di atas. ^^v
BalasHapusLebih keren review ta, Ma! (Mawar) :D mengganggu yang mana kak? merubah yang mana? :3
Hapus