Konstelasi Imajinasi

Sabtu, 22 Februari 2014

Buhung Opu

RAHIM memandang lekat sebuah sumur kuno yang ditumbuhi lumut. Dedaunan menumpuk dan berserakan di sekitar sumur itu. Kotor sekali. Namun air sumur itu masih bening nan jernih, hingga Rahim mampu melihat dasar sumur yang dalamnya tidak sampai semeter. Tidak ada yang aneh dari sumur itu, selain bentuknya yang persegi dan hanya tersusun dari batuan alam yang saling bersisian dan tumpang tindih.
 
Rahim duduk tepat di samping sumur sembari mengalihkan pandangannya ke arah pepohonan lebat yang menutup jatuhnya sinar matahari sore. Di sekitar sumur  mengalir air yang merupakan percabangan sebuah sungai kecil, lumut tumbuh di bebatuan menyebabkan area tersebut licin. Ia kemudian memandang sumur itu lagi, lalu bayangan mengenai kejadian-kejadian aneh datang di kepalanya silih berganti.  
 
“Mengapa orang begitu percaya dengan sumur ini?” Rahim membatin.
 
Tidak heran Rahim berpikir seperti itu. Sebab orang desa terlampau percaya bahwa sumur itu memiliki kekuatan dan kehendaknya sendiri.  Sumur itu disakralkan. Orang desa menyebutnya Buhung Opu*. Saking disakralkannya, banyak pantangan yang berasosiasi dengan sumur itu. Jika melanggar, maka bala dengan mudahnya menghampiri sang pelaku.
 
Meski tahu hal itu, Rahim nampaknya tidak begitu percaya. Ia seorang yang taat beragama, sehingga menganggap kepercayaan seperti itu dekat dengan kesyirikan. Menurutnya, semua pantangan itu hanya sekadar rekayasa untuk menciptakan keteraturan.  Sebut saja larangan tidak diperkenankan  mencuci pakaian ataupun membuang kotoran di sekitar sumur. Hal itu tidak lain hanya untuk menjaga kebersihan lingkungan.
 
Rahim mengingat kejadian dua tahun lalu dimana salah seorang penduduk desa tewas terjatuh dari tangga rumahnya sendiri. Orang desa berkesimpulan bahwa ini disebabkan oleh perilakunya yang melanggar pantangan. Dia mencuci celana anaknya yang penuh kotoran diatas Buhung Opu dan selang beberapa hari kemudian peristiwa itu terjadi. Sungguh sebuah kebetulan.
 
Empat bulan lalu, seorang pemuda desa tewas saat bekerja di kebun setelah beberapa jam sebelum kejadian, dia mengumpat tanah licin yang membuatnya terpeleset di sekitar Buhung Opu. Lagi-lagi sebuah kebetulan.
 
Pantangan lain yang terdengar lebih kontemporer adalah larangan mengambil gambar dalam bentuk apapun. Taruhlah saat dua orang wisatawan mengambil gambar sumur melalui kamera handphone, tidak ada satupun gambar yang berhasil termuat. Semua foto hanya menampilkan layar hitam. Belum lagi kasus terbakarnya pita film saat pemerintah berupaya mengambil dokumentasi sumur tersebut beberapa tahun silam. Jika ini lagi-lagi kebetulan, maka sungguh sebuah kebetulan yang ganjil. Namun selalu ada alasan rasional di balik semua itu.
 
“Benarkah sumur ini punya kekuatan?” Rahim mulai bertanya-tanya dalam hati. .
 
Rahim mengingat sebuah pantangan lain, menyentuh air Buhung Opu secara langsung dari tempatnya tertampung juga merupakan hal tabu. Jika ingin mengambil airnya, orang desa selalu menggunakan batok kelapa sebab benda seperti timba plastik juga dianggap melanggar. Seingat Rahim, orang desa belum pernah membicarakan adanya korban dari pelanggaran ini, entah mungkin karena belum ada yang melakukan hal itu, atau sudah ada yang melakukannya namun tidak mendapat apa-apa.
 
Rahim semakin penasaran. Satu-satunya cara untuk mengetahui hal itu adalah dengan melakukannya secara langsung. Rahim lalu mencelupkan tangannya di Buhung Opu, lalu membasuh wajahnya. Diulang dan diulangnya perbuatan itu hingga ia benar-benar merasa  segar tak kepalang. Tetesan air dari wajah Rahim menghantam permukaan sumur, menghasilkan bunyi kecipak. Seirama dengan bunyi gesekan dahan-dahan yang menari tertiup angin senja. Suasana mulai gelap, pertanda maghrib sebentar lagi datang.
 
Jelang sesaat, Rahim berniat pulang. Namun tiba-tiba seseorang meneriakkan namanya. Orang itu Faisal, tetangga sebelah rumah Rahim yang berlari mencarinya bak sedang kesurupan. Belum juga dia tiba di tempat Rahim berdiri, Faisal menyampaikan alasannya mencari Rahim dengan wajah gelisah.
 
Anak Rahim terjatuh dari kuda.
 
Rahim terperanjat. Kaget bukan kepalang. Ia berlari kearah Faisal dengan wajah tak percaya. Namun baru saja Rahim mengambil langkah keduanya, ia terpeleset oleh bebatuan licin. Tubuhnya terpelanting kesebelah kanan. Kepalanya membentur batu yang membuatnya hilang kesadaran. Rahim pingsan.
 
Begitu sadar, Rahim menemukan dirinya sedang dirawat di puskesmas, bersama anaknya di ranjang sebelah. Rahim beruntung, sebab ia hanya menderita cedera kepala ringan. Berbeda dengan perempuan sulungnya yang menderita patah tulang di tangan sebelah kanan. Selain itu, tiga buah tulang rusuknya mengalami keretakan.
 
Rahim memanggil Faisal yang sedari tadi setia menunggu keduanya siuman, lalu membisikkan sesuatu di telinganya. Rahim sedikit menyesal, mengapa ia tidak percaya akan adanya entitas gaib penunggu Buhung Opu sedari dulu? Kejadian-kejadian ganjil yang terjadi selama ini bukanlah kebetulan semata, jelas ada hubungannya dengan pantangan-pantangan yang selama ini dipercaya orang desa.
 
Oleh karena itu Faisal, besok kita bongkar sumur itu!
                                                                      
                                                                    *
*Buhung Opu dalam bahasa Makassar dialek Selayar berarti "Sumur yang Dituakan"
 
                                                                        Dimuat di harian Fajar, terbit Ahad, 19 Januari 2014

Selasa, 04 Februari 2014

Sesal Kau, Sesal Aku


SESAL tidak akan membantu kau di ujung maut. Malam ini, kubuat kaumeratapi perbuatan kau di masa lalu. Oh, kau minta maaf padaku? Kenapa tidak bilang saja pada pistol yang sedang menganga tepat di jidat kau?
Sedikit lagi kutarik pelatuk itu. Namun ingatan-ingatan tentang kau masih berlalu lalang di kepalaku. Kali ini bukan ingatan tentang tindakan keji kau, tapi ingatan dimana bahagia masih bersamaku -juga bersama kau.  Kuresapi dalam-dalam semua momen yang pernah kita lalui. Namun tak ada tangis dibalik topeng hitam yang kugunakan malam ini.
Jika ada yang patut dipersalahkan, maka salahkan diri kau. Mengapa kaumembuang darah daging kau di enam tahun pertama hidupnya? Padahal ia bersyukur dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga terhormat nan kaya raya. Walau rasa syukurnya tak berbanding lurus dengan keberuntungannya. Anak itu cacat. Matanya buta sebelah. Meski terlahir seperti itu, ia tetap bahagia, sebab dikelilingi oleh orang yang menerima keberadaanya. Setidaknya itu yang ia pikirkan.
Hingga ia menyadari bahwa ia adalah anak yang tidak diharapkan. Kehadirannya hanya akan merusak kehormatan sebuah keluarga yang purna.  Setidaknya itu yang ia pikirkan, setelah ia mendapati dirinya dijual ke negeri jiran. Sebuah tempat yang terlampau jauh untuk pulang.
Kini,14 tahun kemudian, jarak itu bukan masalah bagi seorang anak yang telah tumbuh dan haus akan darah orang tua yang telah membuangnya. Anak itu kini seorang pembunuh. Dan pembunuh itu adalah aku.
DOR!
*
ANGIN malam berhembus masuk melalui jendela kamar yang sepenuhnya terbuka. Gorden dengan bercak darah menari indah. Kamar ini begitu kelam, meski di luar bulan begitu terang. Sadarkah kau bahwa di kamar inilah dulunya aku di besarkan oleh kau? Sialnya, di kamar ini pula kaudibunuh olehku.
Kuamati mayat kau yang duduk bersandar pada dinding putih bermotif percikan darah. Aku yakin peluru itu menembus kepala kau, sebab cipratan noda merah terlihat indah bak lukisan di dinding belakang kau. Aku tertawa melihat kau tak bernyawa.  
Sebelum kutinggalkan kamar naas ini, iblis kembali menari di kepalaku. Mengapa tak sekalian saja kuambil barang-barang berharga yang ada disini? Kubuka dan kugeledah tiap laci meja dan bilik lemari. Namun belum kutemukan harta berharga apapun. Mungkinkah keluarga ini –yang dulunya adalah keluargaku- tidak pernah menaruh kekayaan mereka di rumah? Ya, bisa saja. Mereka pasti mempercayakannya pada pihak bank. 
Namun di bilik lemari terakhir, kutemukan sebuah kotak yang terbuat dari kayu mirip dengan kotak pos. Bisa jadi kotak ini berisi emas atau semacamnya.
Aku membukanya. Lalu kutemukan puluhan surat yang ditujukan kepadaku. Surat-surat itu berisi tulisan tangan kau, sebab di akhir tiap surat tercantum nama kau. Aku  membaca selembar surat yang kemudian menuntunku membaca surat-surat lainnya. 
“Apa maksud semua ini?” Aku membatin, heran tak percaya.
Ini berbeda dari yang kuketahui. Saat aku di negeri jiran 14 tahun silam, aku selalu menangis. Aku rindu ibu, ayah, dan rumah. Namun kerinduan itu berubah benci saat orang-orang yang membesarkanku di sana –yang membuatku menjadi seorang kriminal- berkata bahwa aku telah dijual kepada mereka sebab kehadiranku –yang cacat- hanya akan menodai kehormatan keluarga. Sejak saat itu, aku bersumpah untuk membunuh keluarga lamaku, terutama kau. Sebab kecintaanku yang mendalam pada kau, berbalik menjadi kebencian yang mendalam.
Namun surat-surat ini bercerita lain.
Kau bilang aku tidak dijual.
Aku diculik oleh mereka saat kita sekeluarga pergi ke taman bermain. Tunggu, sepertinya aku ingat momen itu. Momen dimana terakhir kali kulihat wajah kau.
Jantungku berdebar hebat, seirama dengan gerakan mataku yang lincah membaca tiap kalimat dalam surat-surat kau. 
Aku tidak percaya bahwa kau –bersama keluarga yang lain- selalu mencariku dengan berbagai cara selepas itu. Hingga yang lainnya menyerah dan mengumumkan kematianku, kau tetap bersikukuh  dan percaya bahwa aku masih hidup. Itulah mengapa kau menulis surat-surat ini yang bercerita tentang kejadian sebenarnya. Dan bak buku harian, surat-surat itu berisi bagaimana kau melalui hari-hari sepi kau tanpa aku. Berharap saat aku pulang, kau akan memperlihatkan ‘buku harian’ itu.
Aku berbalik kearah kau yang masih duduk bersimbah darah. Kulihat wajah kau begitu mengenaskan.
Apa yang telah kulakukan, Tuhan?
Aku berteriak, lalu menangis sejadi-jadinya! Mengutuk diri adalah perbuatan yang kulakukan malam ini. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Seharusnya aku tidak mempercayai mereka.  Air mataku bercucuran. Darahku mendidih. Darah seorang pembunuh yang berjanji akan membunuh mereka yang telah menipuku.
*
“KAU tahu Annisa, jika aku tak mampu menemukanmu, maka suatu saat nanti kamu akan menemukanku. Dan saat itu, aku akan terus menatap wajahmu.”
            Begitulah kalimat akhir dari sebuah surat kau.
         Aku memang menemukan kau, sayangnya aku membunuh kau. Sialnya pula, kau tidak tahu bahwa itu aku, sebab topeng ini menghalangi kau untuk melihat wajahku.
        Kuhapus air mata yang membasahi pipiku, mencoba tegar akan pahitnya hidup. Kini aku seorang kriminal yang penuh sesal. Ya, sesal karena aku selalu membenci kau sesal karena aku telah tertipu, dan sesal karena aku telah membunuh kau.
Namun kau pasti tahu bahwa sesal tidak akan membantuku mengembalikan nyawa kau, ibu.
*
Terbit di Identitas Edisi akhir Januari 2014