SESAL tidak akan membantu kau di ujung maut. Malam ini, kubuat kaumeratapi perbuatan kau di masa lalu. Oh, kau minta maaf padaku? Kenapa tidak bilang saja pada pistol yang sedang menganga tepat di jidat kau?
Sedikit
lagi kutarik pelatuk itu. Namun ingatan-ingatan tentang kau masih berlalu
lalang di kepalaku. Kali ini bukan ingatan tentang tindakan keji kau, tapi
ingatan dimana bahagia masih bersamaku -juga bersama kau. Kuresapi dalam-dalam semua momen yang pernah
kita lalui. Namun tak ada tangis dibalik topeng hitam yang kugunakan malam ini.
Jika
ada yang patut dipersalahkan, maka salahkan diri kau. Mengapa kaumembuang darah
daging kau di enam tahun pertama hidupnya? Padahal ia bersyukur dilahirkan dan
dibesarkan di tengah keluarga terhormat nan kaya raya. Walau rasa syukurnya tak
berbanding lurus dengan keberuntungannya. Anak itu cacat. Matanya buta sebelah.
Meski terlahir seperti itu, ia tetap bahagia, sebab dikelilingi oleh orang yang
menerima keberadaanya. Setidaknya itu yang ia pikirkan.
Hingga
ia menyadari bahwa ia adalah anak yang tidak diharapkan. Kehadirannya hanya
akan merusak kehormatan sebuah keluarga yang purna. Setidaknya itu yang ia pikirkan, setelah ia
mendapati dirinya dijual ke negeri jiran. Sebuah tempat yang terlampau jauh
untuk pulang.
Kini,14
tahun kemudian, jarak itu bukan masalah bagi seorang anak yang telah tumbuh dan
haus akan darah orang tua yang telah membuangnya. Anak itu kini seorang
pembunuh. Dan pembunuh itu adalah aku.
DOR!
*
ANGIN malam
berhembus masuk melalui jendela kamar yang sepenuhnya terbuka. Gorden dengan
bercak darah menari indah. Kamar ini begitu kelam, meski di luar bulan begitu
terang. Sadarkah kau bahwa di kamar inilah dulunya aku di besarkan oleh kau?
Sialnya, di kamar ini pula kaudibunuh olehku.
Kuamati
mayat kau yang duduk bersandar pada dinding putih bermotif percikan darah. Aku
yakin peluru itu menembus kepala kau, sebab cipratan noda merah terlihat indah
bak lukisan di dinding belakang kau. Aku tertawa melihat kau tak bernyawa.
Sebelum
kutinggalkan kamar naas ini, iblis kembali menari di kepalaku. Mengapa tak
sekalian saja kuambil barang-barang berharga yang ada disini? Kubuka dan
kugeledah tiap laci meja dan bilik lemari. Namun belum kutemukan harta berharga
apapun. Mungkinkah keluarga ini –yang dulunya adalah keluargaku- tidak pernah
menaruh kekayaan mereka di rumah? Ya, bisa saja. Mereka pasti mempercayakannya
pada pihak bank.
Namun
di bilik lemari terakhir, kutemukan sebuah kotak yang terbuat dari kayu mirip dengan
kotak pos. Bisa jadi kotak ini berisi emas atau semacamnya.
Aku
membukanya. Lalu kutemukan puluhan surat yang ditujukan kepadaku. Surat-surat
itu berisi tulisan tangan kau, sebab di akhir tiap surat tercantum nama kau. Aku
membaca selembar surat yang kemudian
menuntunku membaca surat-surat lainnya.
“Apa
maksud semua ini?” Aku membatin, heran tak percaya.
Ini
berbeda dari yang kuketahui. Saat aku di negeri jiran 14 tahun silam, aku
selalu menangis. Aku rindu ibu, ayah, dan rumah. Namun kerinduan itu berubah
benci saat orang-orang yang membesarkanku di sana –yang membuatku menjadi
seorang kriminal- berkata bahwa aku telah dijual kepada mereka sebab
kehadiranku –yang cacat- hanya akan menodai kehormatan keluarga. Sejak saat
itu, aku bersumpah untuk membunuh keluarga lamaku, terutama kau. Sebab
kecintaanku yang mendalam pada kau, berbalik menjadi kebencian yang mendalam.
Namun
surat-surat ini bercerita lain.
Kau bilang aku tidak dijual.
Aku
diculik oleh mereka saat kita sekeluarga pergi ke taman bermain. Tunggu,
sepertinya aku ingat momen itu. Momen dimana terakhir kali kulihat wajah kau.
Jantungku
berdebar hebat, seirama dengan gerakan mataku yang lincah membaca tiap kalimat
dalam surat-surat kau.
Aku
tidak percaya bahwa kau –bersama keluarga yang lain- selalu mencariku dengan
berbagai cara selepas itu. Hingga yang lainnya menyerah dan mengumumkan
kematianku, kau tetap bersikukuh dan
percaya bahwa aku masih hidup. Itulah mengapa kau menulis surat-surat ini yang
bercerita tentang kejadian sebenarnya. Dan bak buku harian, surat-surat itu
berisi bagaimana kau melalui hari-hari sepi kau tanpa aku. Berharap saat aku
pulang, kau akan memperlihatkan ‘buku harian’ itu.
Aku
berbalik kearah kau yang masih duduk bersimbah darah. Kulihat wajah kau begitu mengenaskan.
Apa yang telah kulakukan, Tuhan?
Aku
berteriak, lalu menangis sejadi-jadinya! Mengutuk diri adalah perbuatan yang
kulakukan malam ini. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Seharusnya aku
tidak mempercayai mereka. Air mataku
bercucuran. Darahku mendidih. Darah seorang pembunuh yang berjanji akan
membunuh mereka yang telah menipuku.
*
“KAU tahu
Annisa, jika aku tak mampu menemukanmu, maka suatu saat nanti kamu akan
menemukanku. Dan saat itu, aku akan terus menatap wajahmu.”
Begitulah kalimat
akhir dari sebuah surat kau.
Aku memang
menemukan kau, sayangnya aku membunuh kau. Sialnya pula, kau tidak tahu bahwa itu
aku, sebab topeng ini menghalangi kau untuk melihat wajahku.
Kuhapus air mata
yang membasahi pipiku, mencoba tegar akan pahitnya hidup. Kini aku seorang
kriminal yang penuh sesal. Ya, sesal karena aku selalu membenci kau sesal karena
aku telah tertipu, dan sesal karena aku telah membunuh kau.
Namun kau pasti tahu bahwa sesal tidak akan
membantuku mengembalikan nyawa kau, ibu.
*
Terbit di Identitas Edisi akhir Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar