Konstelasi Imajinasi

Rabu, 29 Mei 2013

Mahasiswa dan Clumsy Moment


“Eh?”
Setidaknya itulah ekspresi beberapa orang ketika mendapati dirinya terjebak dalam sebuah clumsy moment atau momen yang membuat seseorang menjadi kikuk, keki, atau istilah kerennya ‘salting’ alias ‘salah tingkah’.
Clumsy moment dapat menimpa siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Itulah yang selalu kualami bersama teman-teman dari jurusan Antropologi saat melakukan penelitian lapangan terhadap sebuah fenomena sosial. Jebakan clumsy moment  ada dimana-mana bro! sekali lagi, jebakan clumsy moment ada dimana-mana bro! Seperti yang dialami salah seorang senior saat melakukan penelitian di dusun Puntondo kabupaten Takalar.
Saat itu kak Aliyah sedang mengantri disebuah WC umum. Ia tidak sendiri karena disana ada seorang ibu yang sedang mencuci pakaian di sumur. Aliyah hendak memecah keheningan dengan bertanya.
Aliyah         : “Ibu sedang apa?”
Ibu              : “Mencuci lah!”
Aliyah         : Jlebbbb *bunyi sesuatu yang menusuk di dalam hati
Maksud hati mencairkan suasana, yang ada malah kikuk tanpa rencana. Sudah tahu ibu itu sedang mencuci ngapain ditanya lagi? Hal ini membuat kak Aliyah malu setengah mati sampai-sampai nggak mau lagi mencari informan.
Kalau itu yang dialami kak Aliyah, lain lagi yang dialami Ayat. Kami pernah melakukan penelitian di pulau Sabutung kabupaten Pangkep. Sore itu Ayat berjalan mencari mangsa (ups, maksud kami informan). Dia kemudian menemukan seorang ibu yang sedang mengangkat kayu bakar. Berniat basa-basi, Ayat pun memulai percakapan.
Ayat  : “Apa itu bu?”
Ibu    : “Kayu bakar nak”
Ayat  : “Oh… Kayu bakarnya mau diapain bu?”
Ibu    : “Mau dibakar nak!”
Ayat  : “Oh iya, makasih bu”
Dengan wajah malu, Ayat meninggalkan ibu itu terheran seorang diri. Ini informannya yang rese atau penelitinya yang tidak tahu konteks sih? Sudah tahu ibu itu membawa kayu bakar, kok ditanya lagi? Yang lebih parah , sudah tahu itu KAYU BAKAR ngapain ditanya mau diapain? Yaa dibakarlah! Emangnya mau dimasak terus dijadiin lauk gitu? Walhasil rencana mengorek informasi sore itu gagal total. Hal ini juga membuat Ayat taubat untuk mencari informan.
Clumsy moment seperti itu tidak hanya terjadi saat peneliti melakukan kontak dengan masyarakat. Bahkan sesama peneliti hal itu biasa terjadi. Masih di Sabutung, saat itu rambutku masih gondrong sebahu. Aku baru selesai mandi pagi dan berniat menyisir rambut namun aku tidak membawa sisir. Ya udah, aku pinjam aja sisirnya temanku.
Aku            : “Kendek pinjam sisir dong…”
Kendek       : “Buat apa?”
Aku            : “Buat garuk pantat!”
Kali ini temanku yang eror. Emangnya kegunaan sisir selain nyisir rambut apa lagi coba? Nyisir bulu ketek? Atau jangan-jangan nyisir bulu hidung? Hal ini membuat Kendek Taubat pinjamin sisirnya ke orang lain lagi. Ini yang salah siapa hah?
Masih dari Sabutung, aku teringat sebuah kejadian yang menurutku adalah sebuah kutukan. Bagaimana tidak, pagi itu sehabis insiden sisir tadi, aku bersama teman sejawatku Basri mengelilingi desa untuk mencari informan. Langkah kami berhenti disebuah makam yang dikeramatkan oleh penduduk pulau tersebut. Disana kami melihat seorang kakek tua yang sedang duduk. Sontak aku menyuruh Basri untuk mengorek informasi dari kakek itu. Tanpa pikir panjang Basri pun kesana dan memulai percakapan. Dari jarak beberapa meter aku dapat mendengar apa yang mereka berdua bicarakan, aku berusaha menahan tawa. Bagaimana tidak, Basri melontarkan pertanyaan dalam bahasa Makassar sedangkan kakek itu menjawab pertanyaan dengan bahasa Bugis. Sungguh sangat tidak konek saudara-saudara! Hingga sampai kesebuah titik dimana kakek itu berbahasa Indonesia.
Kakek         : “Begini saja nak, kau datang kerumah bawa uang Rp.     1.500.000 terus kau kawin sama cucuku”
Basri           : “Alamak, luar biasa…”
Mendengar hal itu Basri lari kepadaku, aku hanya tertawa geli. Hingga seorang bapak mendekati kami dan berkata
Bapak                  : “Maaf dek, kakek itu otaknya agak miring alias kurang     waras.”    
Hahahahahaha……!
Aku tertawa terbahak. Ternyata Basri mewawancarai seorang informan yang kurang waras. Pantasan nggak nyambung! Aku teringat kata salah seorang dosen bahwa di setiap angkatan, akan ada anak Antro yang akan terkena kutukan, yakni mewawancari orang gila. Ini membuat Basri merenung selama seminggu dan selalu meracau “Aku dikutuk, aku dikutuk!!”
Clumsy moment juga dialami oleh para dosen. Sewaktu penelitian di sebuah masyarakat pesisir, empat orang dosen sedang duduk bercengkerama sambil menikmati dinginnya udara pesisir di malam hari. Masing-masing dosen menceritakan kisah-kisah lucu mereka, hingga Pak Sekretaris Jurusan menceritakan sebuah kisah yang sangat lucu hingga membuat semua dosen dan mahasiswa yang mendengarnya tertawa terpingkal-pingkal. Namun Pak Jon (nama disamarkan) salah seorang dosen terdiam dan merasa cerita tersebut sangat didak lucu.
Siang harinya saat Pak Jon buang air kecil dalam WC, ia tertawa terbahak-bahak. Para dosen dan mahasiswa yang sedang makan siang terheran-heran dengan suara tawa yang membahana itu. Setelah kembali dari WC Pak Sekretaris Jurusan bertanya
PSJ             : “Apa yang lucu sehingga anda tertawa keras dalam WC?”
Pak Jon       : “Setelah kupikir, ternyata ceritamu semalam sangat lucu!  hahaha”
PSJ             : “Buset, impuls sarafmu lambat banget bro!”
“Hahahahahahaha……..!!” semua tertawa.
Pak Sekretaris Jurusan ternyata anak gehol getoh!! Terlebih Pak Jon yang impuls sarafnya super duper lalod. Clumsy moment MAX! Bayangkan betapa malunya Pak Jon ditertawankan seperti itu. ckckck
Itulah kisah-kisah clumsy moment yang terjadi saat kami turun lapangan.. setelah kejadian-kejadian tadi kini aku sadar bahwa clumsy moment sebenarnya lebih berbahaya dari galau. Galau hanya berdampak pada dua insane yang terlibat, sedangkan clumsy moment impact-nya bisa sampai ke masyarakat.  Penelitian lapangan memang seru dan mengasyikkan, tapi  waspadalah terhadap jebakan-jebakan clumsy moment, waspadalah!!!

Senin, 27 Mei 2013

Lampu Kota yang Temaram

Lampu kota yang temaram masihkah kau ingat?
Kisah kita dalam diam, dalam rindu yang tersirat
Lampu kota yang temaram masihkah terbayang?
Perjalanan saat malam mulai menjelang

Saat kau lihat cahaya kunang-kunang
Yang berpendaran di balik bayang-bayang

Lelah hatimu merasa
Senang jiwamu kau tertawa
Tenangkanku yang merasa bersalah
Pada hujan...
Pada lampu kota yang temaram

Lampu kota yang temaram masihkah kau suka?
Bersuara, memberi salam mengobati luka
Lampu kota yang temaram masihkah kau rela?
Menerangi taman kelam tempat semua bermula

Saat sinarmu terbias rinai hujan
Yang menumpahkan seribu kerinduan

Telah lama aku merindunya
Saat terhapus semua cerita
Maafkanku yang merasa bersalah
Pada hujan...
Pada lampu kota yang temaram

Mestinya tak ada lagi cerita
Mestinya tak ada...
Mestinya semua telah hilang terhapus masa
Cerita lampu kota yang temaram

(2013, Untuk mereka yang belum bisa menghilangkan perasaan bersalah)

Selasa, 21 Mei 2013

Sehabis Hujan

Hatiku masih merasa tenang
Meski hari sangat terasa penat
Permasalahan muncul tak pernah berhenti
Hingga titik emosi memuncak dan semakin perih

Kuharap mendung mampu terus memayungi
Namun hujan turun membasahi hati
Perjalanan sepi bersama air yang kini berhenti
Kini mendung kembali memayungi

Aroma tanah yang basah sangat terasa
Sejuk merasuk hingga ke dalam jiwa
Atmosfer menampakkan fenomena terindah
Ketika langit mampu tak memejamkan mata

Kini wajahmu masih terus terbayang
Jauh di sana, di tempat semua berawal
Kumohon tunggu, tunggulah aku pulang
Bersama mendung sehabis hujan

Dan ku terus berjalan bersama jiwa tenang
Di bawah langit mendung sehabis hujan
Sejuk terasa jiwa damai terasa jiwa
Di bawah langit mendung sehabis hujan

Terus berjalan, terus berjalan
Terus berjalan sehabis hujan

                                                    
(Untuk mereka yang jauh, untuk mereka yang rindu) 2012

Selasa, 07 Mei 2013

Jiwa yang Tenang

Mentari sepi di antara kolong langit
Menerka jutaan manusia berbalut sepi
Meski rasaku semakin tak kuat, aku bertahan!
Mohon jiwa tenang dengarlah

Apa yang telah terjadi tak dapat kembali lagi
Penyesalan memang selalu datang di akhir
Jiwa tenang terusik dari tidur yang lelap
Mohon jiwa tenang dengarlah

Dunia tak mau lagi mengakui
Kesempatan terang terbuang di sisi hari
Jauh sudah melangkah hasil tak didapati
Kini ku hanya bisa bernyanyi

Namun ingatkan jiwa tak ada yang percuma
Jelas terasa kita telah berjuang bersama
Kumohon jiwa tenang tetaplah terjaga
Kini ku hanya bisa bersuara

Jiwa yang tenang dengarkanlah suara kehidupan
Simfoni indah dunia yang akan membuatmu terlelap
Jiwa yang tenang dengarkanlah suara kehidupan
Melodi indah dunia yang akan membuatmu terlelap

(Untuk mereka yang sudah berjuang, namun belum mendapatkan kemenangan) 2012

Senin, 06 Mei 2013

Es Krim Vanila Bercerita



PERNAHKAH kita berpikir mengapa manusia diciptakan berbeda satu sama lain? Ada milyaran manusia, namun tidak ada satupun yang sama diantara kita. Tak satupun. Sebuah keajaiban genetika, yang berarti sebuah tanda betapa ajaibnya kehidupan. Setidaknya itu yang kupikirkan saat melihat jutaan wajah yang tak pernah sama. Termasuk wajah tampan yang sedang menyantap es krim vanila dengan lahapnya. Wajah yang sudah belasan tahun kutatap namun tak jemu jua.

Fauzan adalah teman semasa kecilku, kami melakukan banyak hal bersama, mulai dari bermain layangan, hingga naik sepeda. Tidak hanya di rumah, di bangku pendidikan pun kami selalu bersama. Mulai dari bangku Sekolah Dasar hingga di bangku kuliah semester delapan ini, aku dan Fauzan menjadi dualitas yang tak terpisahkan, duduk di kelas yang sama. 

Melakukan banyak hal bersama bukan berarti kami tidak memiliki perbedaan. Sebut saja dari segi fisik, Fauzan memiliki kulit sawo matang, dengan rambut yang sedikit ikal dan sorotan mata yang tajam. Sedangkan Aku orangnya putih seperti aktris Korea dengan potongan rambut sebahu dan mata yang berbinar. Selain fisik, perbedaan keyakinan merupakan hal yang mendasar antara aku dan Fauzan. Aku seorang kristian, sedangkan Fauzan adalah seorang muslim yang taat. Namun perbedaan-perbedaan itu tidak menghalangi kami untuk selalu bersama. Banyak teman yang terheran-heran dengan hal ini  seolah-olah aku tak bisa hidup tanpa Fauzan. Namun mereka tidak tahu, dan mungkin takkan pernah tahu, bahwa Fauzan satu-satunya orang yang paling mengerti diriku lebih dari siapa pun.

Fauzan termasuk tipe orang yang ingin mengetahui banyak hal. Sifatnya yang seperti itu, membuat Fauzan menjadi orang yang sedikit cerewet. Meski begitu, aku tidak pernah bosan mendengar pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang terlontar dari mulutnya sambil mengemut lolipop.

“Dina, mengapa rambutku keriting seperti gulungan benang sedangkan rambutmu lurus seperti di iklan shampo? Mengapa warna kulitku seperti es krim coklat dan kulitmu seperti es krim vanila?”

“Karena memang!” Jawabku simpel tapi ikutan nyeleneh. Kami pun tertawa, tertawa bahagia masa kecil.

Jujur, saat bersama Fauzan, aku merasa tenang dan nyaman. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Begitu pun denganku. Aku akan selalu ada saat dia membutuhkan sosok diriku. Termasuk saat ini, Fauzan menyukai seorang gadis. Gadis yang sudah cukup lama dia kenal. Fauzan tidak tahu harus bagaimana, apakah harus mengungkapkan perasaannya atau terus memendamnya, entahlah. Namun aku tahu, semakin dipendam, perasaan Fauzan kian hari kian membuncah. Bagaikan volcano yang siap mengeluarkan lava dan aliran magmanya. Atau bagaikan kue pie dalam oven yang sedang dipanggang dan siap untuk meletupkan isinya, kira-kira seperti itu. Dan lagi-lagi, Aku menjadi pendengar setia radio hati Fauzan yang siarannya kembali menggalau.

“Din, menurutmu aku harus bagaimana? Apakah aku harus nembak Fatin atau tidak?” Tanya Fauzan dengan intonasi sedikit berbisik di taman yang rimbun dengan pepohonan ini.

“Kalau kamu suka yaah tembak, masa biar nyatakan perasaan kamu nggak bisa sih? Kamu kan laki-laki, atau lebih tepatnya pria!” Jawabku berusaha meyakinkan Fauzan sambil memetik daun dari ranting yang terjangkau oleh tangan jenjangku yang mulus.

“Tapi kan kamu tahu sendiri aku belum pernah pacaran, Fatin juga orangnya berselera high class, nah aku? Ndeso begini mau mencoba menyet dengan Fatin? Ibarat gelandangan yang jatuh cinta terhadap putri.” Fauzan nampak galau memikirkan nasib perasaannya yang mungkin tidak akan kesampaian hanya karena faktor finansial.

“Lagi-lagi merendah, mungkin saat ini kamu belum punya apa-apa, tapi aku yakin lima tahun kedepan kamu bakalan berhasil Fauzan. Orang secerdas, se-supel. dan se-bejo kamu mana mungkin tidak berhasil!” Aku kembali meyakinkan Fauzan. Kali ini dengan nada yang sedikit tegas.

“Tapi agamaku melarang pacaran, takutnya malah mendekati zina” kata Fauzan sambil menggerakkan jari jari tangan kirinya tak tentu arah diatas tempat duduk merah yang cukup untuk kami berdua. 

“Dinaa! Sekarang kan waktunya kerja kelompok untuk persiapan presentasi materi gender besok, kamu malah asyik cerita sama Fauzan. Ayo!” Suara asing mengganggu sinyal radio hati Fauzan yang mengudara, suara cempreng itu milik teman kelasku yang memang judes, Ika.

“Sebentar lagi yah, please! Nanggung nih… Kamu duluan aja yah…” Aku memelas dengan memasang wajah imut khas wondering something.

“Ok, waktu kamu lima menit untuk curhat-curhatan bareng Fauzan” Ika pun berlalu bersama daun daun yang berjatuhan diterpa hembusan angin sepoi.

“Ehm Ok, kalau begitu jangan tembak! Mending kamu simpan perasaan kamu. Dalam Islam kan dikenal konsep Ta’aruf, yah tiga bulan sebelum nikah kamu ta’aruf-an deh sama Fatin, abis itu nikah. Begini-begini aku tahu banyak loh tentang Islam dan menurutku Islam itu agama yang sempurna. tak bercelah!” Aku nyengir. Memperlihatkan barisan gigiku yang putih dan rapi meski tanpa behel.

Rese’ yah kamu, kenapa tiba-tiba bahas agama? Tapi betul juga sih, mungkin itu cara terbaik yang harus kulakukan saat ini. Waiting.” Fauzan tertegun mendengar jawabanku. Hening.  Aku melihat mata Fauzan yang kosong. Seolah dia tercerahkan. Tercerahkan tentang aturan agama oleh seseorang yang justru berada di luar garis keimanannya. 

“Eem… Fauzan, bagaiman jika Tuhan berkehendak lain? Bagaimana jika ternyata nanti kamu mencintaiku dan ternyata kita ini jodoh?” Aku memecah keheningan sembari menatapnya sendu, ada pengharapan dalam raut wajahku yang begitu rindang. Damai.

“Kau adalah sahabatku, oleh karena itu aku tidak mencintaimu Fauzan berkata lirih kemudian tersenyum.

I see…” Aku kembali nyengir. Angin berhembus kencang.  Mataku berkaca bukan karena kemasukan debu yang dibawa angin, tapi karena aku sedih mendengar jawaban Fauzan. Sedih karena ternyata persahabatan tidak meninggalkan jejak cinta di hati Fauzan. Sedih karena ternyata hanya aku yang merasakan pereasaan aneh ini. Mungkinkah aku telah berharap lebih? Atau salahkah jika aku berharap lebih? Meskipun dibalut aneka perbedaan, namun jika tujuh belas tahun menghabiskan waktu bersama, mungkinkah cinta tidak bertumbuh dan bersemi? Tersadar dari lamunan itu, aku bangkit lalu pergi meninggalkan jejak daun kering yang terinjak sepatu Machbeth milikku. 

Aku menuju sekretariat HMJ yang waktu itu sedang sepi. Tak ada seorang pun. Kucari tas milik Fauzan lalu kumasukkan bingkisan kado bermotif hitam putih. Kado itu berisi jam tangan yang sangat dia idamkan sejak beberapa bulan lalu, namun karena kendala finansial Fauzan belum bisa menggenakan jam tangan indah merek Ripcurl di tangannya. Bersama dengan jam itu, kuselipkan secarik kertas bertuliskan: 

“Bukankah pelangi tidak akan indah jika hanya satu warna? Bukankah es krim cokelat akan terasa lebih nikmat jika disantap bersama es krim vanila? Jangan pernah pikirkan perbedaan. Karena semua perbedaan ini membuat harmonisasi yang lebih indah.”

Aku seorang yang kidal, namun aku menulis catatan itu menggunakan tangan kanan. Hal itu untuk menghilangkan jejak tulisanku yang mungkin terbaca oleh Fauzan. Aku berharap dia senang akan pemberianku, meskipun pada bingkisan kado itu tidak kucantumkan nama dan meskipun aku tidak akan memberitahu Fauzan tentang ini. Tentang pengagum rahasia yang ternyata adalah sahabatnya sendiri. Atau tentang cinta yang sebenarnya telah bersemi.

***

HAL pertama yang kulakukan saat tiba di kampus keesokan paginya adalah menunggu Fauzan. Jika asumsiku benar, maka aku yakin, setelah membuka bingkisan kado itu dan membaca pesan dalam secarik kertas tersebut, Fauzan pasti akan mencari Fatin. Hingga Fauzan memperoleh jawaban yang tidak memuaskan, dia pasti akan mencariku. Namun semakin menunggu, semakin ada perasaaan aneh yang menjalar di dadaku. Aneh sekali. Adrenalinku semakin kencang. Baru kali ini aku benar-benar mencintai seseorang. Ini yang membuat diriku belum pernah pacaran sekali pun, aku menunggu. Menunggu saat dimana sahabatku jatuh cinta kepadaku. Namun, mungkinkah itu?

“Fauzan! Selamat ulang tahun, ciee yang sudah tua… Ini hadiah buat kamu… Pakai yah, awas kalau tidak, hidungmu nanti aku tusuk!” Aku berteriak kemudian berlari meraih sosok Fauzan yang melintas dari luar kelas sembari menyodorkan bingkisan hadiah untuk melengkapi sandiwara diriku sebagai pengagum rahasia.

“Hadiah lagi?” Fauzan salah tingkah, wajahnya memerah. Ini tidak seperti ribuan pertemuanku sebelumnya dengan dia. Ada resonansi yang berbeda. Mungkinkah dia telah tahu perasaanku yang tersimpan rapat dalam kotak masa kecil belasan tahun silam? Entahlah. Aku melihat wajahnya begitu girang. 

“Lagi? Maksudnya? Oh aku tahu, pasti kamu sudah dapat hadiah dari Fatin… Iya kan? ciee…” Aku berusaha mengeluarkan mimik wajah normal seolah tidak terjadi apa-apa.

“Eh? Maksudnya? Bukannya kamu sudah memberiku hadiah kemarin? Iya kan?” Fauzan terheran. 

“Kamu mimpi yah? Hadiah yang kedua kali? Mana mungkin aku mau memberimu. Satu saja sudah cukup. Lagian beberapa hari belakangan dompetku menipis. Kemarin saja kamu yang bayarkan es krim vanila waktu di taman.” 

Mendengar pernyataan tersebut, aku yakin Fauzan semakin pusing. Dia pasti memikirkan bingkisan kado yang berada di tasnya kemarin. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi wajah Fauzan yang kebingungan. Dalam hati aku hanya bergumam, 

Kau adalah sahabatku, oleh karena itu aku mencintaimu.  

Ya, aku adalah es krim vanila yang sedang jatuh cinta.

***


Es Krim Cokelat Bercerita



PERNAHKAH kita berpikir mengapa manusia diciptakan berbeda satu sama lain? Ada milyaran manusia, namun tidak ada satupun yang sama diantara kita. Tak satupun. Sebuah keajaiban genetika, yang berarti sebuah tanda betapa ajaibnya kehidupan. Setidaknya itu yang kupikirkan saat melihat jutaan wajah yang tak pernah sama. Termasuk wajah cantik di sampingku yang sedang menyantap es krim cokelat dengan lahapnya. Wajah yang sudah belasan tahun kutatap namun tak jemu jua.

Dina adalah teman semasa kecilku, kami melakukan banyak hal bersama, mulai dari bermain layangan, hingga naik sepeda. Tidak hanya di rumah, di bangku pendidikan pun kami selalu bersama. Mulai dari bangku Sekolah Dasar hingga di bangku kuliah semester delapan ini, aku dan Dina menjadi dualitas yang tak terpisahkan, duduk di kelas yang sama. 

Melakukan banyak hal bersama bukan berarti kami tidak memiliki perbedaan. Sebut saja dari segi fisik, Dina orangnya putih seperti aktris Korea dengan potongan rambut sebahu dan mata yang berbinar. Sedangkan aku memiliki kulit sawo matang, dengan rambut yang sedikit ikal dan sorotan mata yang tajam. Selain fisik, perbedaan keyakinan merupakan hal yang mendasar antara aku dan Dina. Aku seorang muslim yang taat, sedangkan Dina seorang kristian. Namun perbedaan-perbedaan itu tidak menghalangi kami untuk selalu bersama. Banyak teman yang terheran-heran dengan hal ini  seolah-olah aku tak bisa hidup tanpa Dina. Namun mereka tidak tahu, dan mungkin takkan pernah tahu, bahwa Dina satu-satunya orang yang paling mengerti diriku lebih dari siapa pun.

Aku termasuk tipe orang yang ingin mengetahui banyak hal. Sifatku yang seperti itu, membuat aku menjadi orang yang sedikit cerewet. Sewaktu kecil, Dina mungkin bosan mendengar pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang terlontar dari mulutku sambil mengemut lolipop.

“Dina, mengapa rambutku keriting seperti gulungan benang sedangkan rambutmu lurus seperti di iklan shampo? Mengapa warna kulitku seperti es krim coklat dan kulitmu seperti es krim vanila?”
“Karena memang!”. Jawab Dina simpel tapi ikutan nyeleneh. Kami pun tertawa, tertawa bahagia masa kecil.

Jujur, saat bersama Dina, aku merasa tenang dan nyaman. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Saat dia disampingku, seolah-olah aku bisa melakukan apa pun. Termasuk saat ini, aku menyukai seorang gadis. Gadis yang sudah cukup lama kukenal. Dia teman sekelasku dan aku tidak tahu harus bagaimana, apakah aku harus mengungkapkan perasaan ini atau terus memendamnya, entahlah. Namun semakin dipendam, perasaan ini kian hari kian membuncah. Bagaikan volcano yang siap mengeluarkan lava dan aliran magmanya. Atau bagaikan kue pie dalam oven yang sedang dipanggang dan siap untuk meletupkan isinya, kira-kira seperti itu. Dan lagi-lagi, Dina menjadi pendengar setia radio hatiku yang siarannya kembali menggalau.

“Din, menurutmu aku harus bagaimana? Apakah aku harus nembak Fatin atau tidak?” tanyaku dengan intonasi sedikit berbisik di taman yang rimbun dengan pepohonan ini.

“Kalau kamu suka yaah tembak, masa biar nyatakan perasaan kamu nggak bisa sih? Kamu kan laki-laki, atau lebih tepatnya pria!” Jawab Dina berusaha meyakinkan diriku sambil memetik daun dari ranting yang terjangkau oleh tangan mulusnya.

“Tapi kan kamu tahu sendiri aku belum pernah pacaran, Fatin juga orangnya berselera high class, nah aku? Ndeso begini mau mencoba menyet dengan Fatin? Ibarat gelandangan yang jatuh cinta terhadap putri.” Aku tambah galau memikirkan nasib perasaanku yang mungkin tidak akan kesampaian hanya karena faktor finansial.

“Lagi-lagi merendah, mungkin saat ini kamu belum punya apa-apa, tapi aku yakin lima tahun kedepan kamu bakalan berhasil Fauzan. Orang secerdas, se-supel. dan se-bejo kamu mana mungkin tidak berhasil!” Dina  kembali meyakinkan. Kali ini dengna nada yang sedikit tegas.

“Tapi agamaku melarang pacaran, takutnya malah mendekati zina” kataku sambil menggerakkan jari jari tangan kiriku tak tentu arah diatas tempat duduk merah yang cukup untuk kami berdua. 

“Dinaa! Sekarang kan waktunya kerja kelompok untuk persiapan presentasi materi gender besok, kamu malah asyik cerita sama Fauzan. Ayo!” Suara asing mengganggu sinyal radio hatiku ke Dina, suara cempreng itu milik teman kelasku yang memang judes, Ika.

“Sebentar lagi yah, please! Nanggung nih… Kamu duluan aja yah…” Dina memelas dengan memasang wajah imut khas wondering something.

“Ok, waktu kamu lima menit untuk curhat-curhatan bareng Fauzan” Ika pun berlalu bersama daun daun yang berjatuhan diterpa hembusan angin sepoi.

“Ehm Ok, kalau begitu jangan tembak! Mending kamu simpan perasaan kamu. Dalam Islam kan dikenal konsep Ta’aruf, yah tiga bulan sebelum nikah kamu ta’aruf-an deh sama Fatin, abis itu nikah. Begini-begini aku tahu banyak loh tentang Islam dan menurutku Islam itu agama yang sempurna. tak bercelah!” Dina nyengir. memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi meski tanpa behel.

Rese’ yah kamu, kenapa tiba-tiba bahas agama? Tapi betul juga sih, mungkin itu cara terbaik yang harus kulakukan saat ini. Waiting.” Aku tertegun mendengar jawaban Dina. Hening.  Seolah-olah aku tercerahkan. Tercerahkan tentang aturan agama oleh seseorang yang justru berada di luar garis keimananku. 

“Eem… Fauzan, bagaiman jika Tuhan berkehendak lain? Bagaimana jika ternyata nanti kamu mencintaiku dan ternyata kita ini jodoh?” Dina memecah keheningan kemudian menatapku sendu, seolah ada pengharapan dalam raut wajahnya yang begitu rindang. Damai.

“Kau adalah sahabatku, oleh karena itu aku tidak mencintaimu Aku berkata lirih, kemudian tersenyum.

I see…” Dina kembali nyengir. Angin berhembus kencang. Kulihat Dina megucek matanya yang kemasukan debu. Dina kemudian bangkit lalu pergi meninggalkan jejak daun kering yang terinjak sepatu Machbeth miliknya. 

Aku masih duduk memikirkan petuah Dina. Kata-katanya yang berlalu lalang di dalam otakku menjadi sebuah lalu lintas kognisi yang begitu padat. Tersadar, aku menuju sekretariat HMJ untuk mengambil tas ku yang tersimpan sedari siang kemudian berlalu meninggalkan kampus menuju ke suatu tempat privasi tanpa gangguan siapa pun. Kamar.

***

MALAM menjelang. Aku berniat me-review materi minggu lalu untuk persiapan kuliah besok. Namun aku terkejut. Saat menggeledah tas, aku menemukan bingkisan kado berbentuk kotak kecil dengan motif hitam putih. 

“Apa ini? Eh, maksudnya siapa yang memberiku ini? Mengapa ia tahu bahwa besok adalah peringatan hari lahirku?” Aku tersenyum keheranan, tertawa dalam hati. Saat aku membuka kertas bingkisan itu selembar demi selembar, aku menemukan sebuah jam tangan.

 “Waw, dari mana ia tahu bahwa aku sangat ingin jam tangan? Dan… Dan dari mana ia tahu bahwa aku sangat menginginkan jam tangan dengan merek dan model yang seperti ini?” Aku merasa menjadi objek stalking seseorang. Seseorang yang fans… Tidak, seorang pengagum rahasia. Sekali lagi, aku tak mampu menahan perasaan senang bercampur rasa ingin tertawa. Di kepala ku telah menari wajah-wajah orang yang kemungkinan besar merupakan secret admirer tersebut. Namun sepertinya aku menemukan titik terang. Bersama dengan jam itu, terdapat secarik kertas bertuliskan:

“Bukankah pelangi tidak akan indah jika hanya satu warna? Bukankah es krim coklat akan terasa lebih nikmat jika disantap bersama es krim vanila? Jangan pernah pikirkan perbedaan. Karena semua perbedaan ini membuat harmonisasi yang lebih indah.”

Aku yakin hadiah ini dari Fatin. Gaya tulisannya  mirip dengan gaya tulisan Fatin. Selain itu, kami memang memiliki banyak perbedaan. Aku hanya laki-laki biasa sedangkan Fatin begitu jelita, cerdas, kaya dan berselera high class. Berkali-kali aku mengirimkan sinyal ke hatinya. Termasuk saat dia berulang tahun, aku memberinya boneka Winnie the Pooh. Boneka  kesukaannya. Dan akhirnya, aku menganggap jam tangan bersama secarik kertas ini sebagai jawaban. Aku bahagia. Aku senang bukan kepalang. Sepertinya malam ini aku akan mimpi indah.

***

HAL pertama yang kulakukan saat tiba di kampus keesokan paginya adalah mencari Fatin. Saat bertemu, ada perasaaan aneh yang menjalar di dadaku. Aneh sekali. Adrenalinku semakin kencang dan….

“Fauzan, selamat ulang tahun. Ini hadiah buat kamu.” Sembari memberikan bingkisan dengan motif polkadot. Saat kugenggam aku bisa menebak bahwa isinya adalah baju.

“Terima kasih atas hadiahnya lagi Fatin.” Aku mengembangkan senyum termanisku yang pernah ada.

“Lagi? Maksudnya?” Fatin terheran

“Iya, lagi. Bukannya kemarin kamu sudah memberiku hadiah?” Aku juga terheran. 

“Eem, Fauzan… Hadiah apa? Aku tidak mengerti sama sekali. Serius!” Wajah Fatin benar-benar serius kali ini.

“Ohaha maaf, aku semalam cuma mimpi” Mendengar itu Fatin pun berlalu meninggalkanku sendiri di taman ini. Kalau hadiah itu bukan dari Fatin, berarti…

Spontan aku mencari Dina. Jika asumsi ku benar maka yang memberiku hadiah jam semalam adalah dia. Sahabat terbaik yang pernah kumiliki selama ini, Dina. Mungkinkah seorang sahabat terbaik jatuh cinta terhadap sahabatnya sendiri? Aku tak habis pikir jika selama ini Dina menyimpan perasaannya yang begitu dalam. Aku merasa bersalah, selama ini aku terus membicarakan gadis lain di depannya. Membicarakan perasaan orang lain di hadapannya. Sungguh betapa tidak pekanya aku. Sugguh betapa bodohnya aku. Mulai detik ini kuputuskan tidak akan membicarakan kisah gadis itu lagi. Hadiah kemarin menyadarkan diriku untuk membuang perasaan ini jauh. Jauh ke suatu tempat yang aku pun tidak akan tahu.

 “Fauzan! Selamat ulang tahun, ciee yang sudah tua… Ini hadiah buat kamu… Pakai yah, awas kalau tidak, hidungmu nanti aku tusuk!” Aku menemukan Dina duduk sendiri di dalam ruang kelas yang kosong.

“Hadiah lagi?” Aku salah tingkah, Wajahku memerah. Ini tidak seperti ribuan pertemuanku sebelumnya dengan dia. Ada resonansi yang berbeda. Mungkinkah dia tahu bahwa aku telah tahu perasaanya yang tersimpan rapat dalam kotak masa kecil yang dikubur dalam kenangan belasan tahun silam? Entahlah. Namun aku melihat wajahnya begitu tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
 
“Lagi? Maksudnya? Oh aku tahu, pasti kamu sudah dapat hadiah dari Fatin… Iya kan? ciee…”Dina berusaha menggodaku. 

“Eh? Maksudnya? Bukannya kamu sudah memberiku hadiah kemarin? Iya kan?” Aku terheran. 

“Kamu mimpi yah? Hadiah yang kedua kali? Mana mungkin aku mau memberimu. Satu saja sudah cukup. Lagian beberapa hari belakangan dompetku menipis. Kemarin saja kamu yang bayarkan es krim waktu di taman.” 

Mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Dina barusan, aku semakin pusing. Jika orang itu bukan Fatin dan bukan pula Dina, lalu siapa pengagum rahasia yang memasukkan bingkisan kado ke dalam tas ku kemarin? Aku es krim cokelat yang siap meleleh dilanda udara kebingungan.

***