Konstelasi Imajinasi

Rabu, 04 November 2015

Menjadi Semut

Dunia adalah cawan raksasa yang menampung banyak sekali air mata:
sebab perang, sebab cinta, dan sebab-sebab lain yang tidak masuk akal.
Tuhan mengabulkan permintaanku untuk jadi semut, mereka kuat dan
tidak cengeng, mereka penuh cinta dan anti perang. Mereka bisa sembunyi
dalam gelas plastik saat tsunami air mata menjadi sebab kepunahan,
atau lari dari kenyataan bahwa hidup adalah kumpulan hal-hal kecil
yang dipersulit menjadi tumor yang membesar setiap hari.

Namun toh pagi tadi, aku tenggelam juga dalam gelas penuh air mata.


(Mei-Agustus, Jakarta-Makassar 2015)

*

Terbit di harian Fajar, 1 November 2015.

Rapatkan jamaah, masalah hilang dengan sendirinya meskipun kita tak bisa lari darinya.

Bantimurung

Aku menemukanmu di Bantimurung:
karst adalah tubuh yang eksotis dan romantis,
halimun adalah uap dari wudu sebelum subuh,
hutan rimbun adalah rahasia menarik dalam hidup,
gelantungan akar adalah rasa ingin tahu yang membongkar jumud,
air terjun adalah sajak yang jatuh sejuk ke kepalaku,
dan kupu-kupu adalah cinta yang keluar dari kepompong taaruf.

(Bantimurung-Makassar, Mei-Agustus 2015)


*

Terbit di harian Fajar, edisi 1 November 2015

Puisi ini saya dedikasikan untuk teman-teman, adik-adik, atau kakak-kakak FLP yang pernah menghabiskan waktu bersama di Bantimurung. Entah saat TOWR FLP Sulsel di penghujung 2013 silam, atau saat TOWR FLP Unhas, beberapa minggu sebelum saya menghabiskan malam di langit Eropa pertengahan 2015. 

Oblivion

Jauh dari langit dan bumi,
hatimu adalah stasiun yang menunggu transmisi
dari sesiapa yang juga hilang oleh sepi.

Sementara waktu habis terbakar badai matahari
bumi berkhianat, dan langit mungkin lupa bahwa selain rezeki,
seseorang harus diberi jodoh atau mati.

(Agustus 2015)


*

Terbit di harian Fajar, edisi 1 November 2015

Puisi ini saya persembahkan untuk kita. Sebab hanya dua yang berebut waktu untuk bertamu dengan salah satu dari kita: jodoh atau mati.


                                                          Sumber: en.spaceengine.org

Minggu, 01 November 2015

Ihwal Pemali


MATAHARI Pertengahan Oktober masih terlalu bersemangat mengambil jatah milik hujan yang sudah hampir enam bulan lupa arah jatuh pulang. Unru baru saja menyalakan motor Honda hitam keluaran tahun 1998 di halaman rumah yang rimbun dipayungi kanopi pohon mangga. Starter tangan yang sudah tidak lagi berfungsi membuat pemuda itu setengah mati memainkan starter kaki motor warisan ayahnya itu dengan sedikit emosi. Celana dari bahan jeans biru yang ia kenakan terlihat serasi dengan jaket dari bahan dan warna yang sama. Ditambah rambut gondrong sebahu dan scarf yang digunakan, membuat penampilan pemuda umur 21 tahun ini terlihat keren.
            “Unru! Pegang nasi dulu baru pergi!” Suara perempuan terdengar agak keras dari dalam rumah.
            “Dosen sudah hampir masuk, Bu. Pintu ruangan mungkin telah ditutup kalau saya harus ke dapur untuk hanya sekadar memegang nasi,” Unru berteriak dari luar, suaranya mengalahkan bunyi knalpot motornya.
            Baru saja ia akan menancap gas, terdengar derap langkah kaki yang cukup keras dan terburu-buru. Ibunya menuruni tangga rumah panggung dengan sebakul nasi, lalu disodorkan langsung ke hadapan Unru.
            “Pegang sekarang, nanti kamu sial di perjalanan,” Ibu menajamkan mata.
            Unru yang melihat tingkah aneh ibunya hanya memasang wajah datar. Ia mengembuskan napas kuat-kuat, melepas kaos tangan kanannya, lalu menyentuh dua butir nasi yang ada di bakuI.
            “Tunggu, kau berkendara pakai headset?” Tanya Ibu setelah melihat kabel hitam menggantung dari balik helm, turun ke dada dan masuk ke saku tempat HP Unru tersimpan.
            “Orang-orang selalu butuh hiburan ketika melakukan hal membosankan,” Jawab Unru seadanya. Ia lantas berlalu setelah mencium tangan ibunya.
*
RUMAH Unru berada di pinggiran kota, dan jalanan sedang macet-macetnya sebab proyek akhir tahun sedang berjalan. Perbaikan jalan dimana-mana, beton-beton mulai menggantikan aspal, meskipun masih setengah-setengah. Besi-besi masih mencuat keluar dari jalur beton yang belum tertutup sempurna, mengambil jatah area jalan aspal yang tidak lama lagi benar-benar kalah sepenuhnya.
            Ihwal inilah yang akhir-akhir ini membuat jalanan begitu padat, dan Unru merasa sangat bosan jika harus menghabiskan waktu sia-sia di tengah hiruk-pikuk suara kendaraan yang bercampur dengan suara klakson orang-orang yang tidak mengerti keadaan. Unru sebenarnya orang yang taat pada peraturan lalu-lintas dan mengerti bagaimana caranya berkendara dengan aman agar selamat. Namun jengah betul-betul menguasainya beberapa hari ini, ia lantas melanggar  janjinya sendiri, memakai headset untuk menyejukkan telinganya dari sahut-sahutan suara yang jadi polusi
            Sepanjang perjalanan, Unru tidak fokus pada lagu-lagu yang terputar dari smartphone miliknya. Ia terus saja memikirkan perkataan ibunya. Sudah sejak lama sebenarnya Unru gelisah, ibunya yang meski telah pindah ke ibu kota provinsi, masih saja percaya dengan pantangan-pantangan. Bagi orang Bugis, dunia dibangun oleh pantangan-pantangan dan cerita-cerita orang tentang citra keluarga. Orang yang melanggar pantangan lalu celaka akan menjadi buah bibir yang ranum dimana-mana.
            Pantangan tentang makanan adalah ihwal yang paling sering bergema di rumah Unru. Orang Bugis sangat menghargai makanan, sebab makananlah sumber penggerak kehidupan. Makanan sejatinya adalah kumpulan energi yang menyatu dengan manusia.
            Masih jelas di ingatan Unru bagaimana ibunya selalu memberikan petuah untuk jangan membuang-buang makanan, ambil secukupnya lalu habiskan, bukan mengambil banyak namun akhirnya tersisa.
            “Nasi di piringmu masih ada beberapa butir, nanti nasinya menangis dan rezekimu lari, kalau kau keluar rumah dengan menyisakan nasi, kau bisa sial,” petuah ibunya di suatu waktu menjelang isya.
            Unru masih mengingat kejadian tadi pagi. Ia terlambat bangun padahal kuliahnya dengan dosen killer akan dimulai 30 menit lagi, sama dengan waktu tempuh yang ia butuhkan untuk sampai ke kampus. Dengan tergesa-gesa, ia hanya mencuci muka, menggosok barisan gigi rapinya, mengganti pakaian, mengambil tas lalu sekonyong-konyongnya menuju pintu. Ibunya yang sedang berada di dapur mengajak Unru untuk sarapan dulu, tapi ia tolak dengan alasan keterlambatan. Saat itulah ibunya berteriak agak keras agar Unru memegang nasi terlebih dahulu. Bagi orang Bugis, pantang tidak mencicipi makanan jika telah ditawari. Terlebih jika akan keluar rumah, setidaknya, makanan tersebut harus dipegang, sebab apabila tidak, kesialan akan menimpa orang tersebut di perjalanan.
            Hari ini Unru tidak masuk kelas. Ia betul-betul terlambat, dosen telah masuk dan pintu telah ditutup. Ia berupaya melobi dosen agar diizinkan masuk dengan alasan klasik. Namun gelengan kepala dari dosen membuat Unru hanya bisa mengelus dada, sebab seperti kebanyakan orang, alasan jalanan macet hanyalah salah satu mitos manusia Indonesia bersama dengan frase “sudah OTW” atau “lima menit lagi sampai”.
*
UNRU berhasil bangun 30 menit lebih awal dari biasanya sebab ini adalah hari selasa yang sama menjengkelkannya dengan hari senin: sama-sama kuliah pagi dan dosennya killer. Setelah kemarin memperoleh kecewa sehabis bertempur dengan hiruk-pikuk jalanan, hari ini ia bertekad untuk hadir di mata kuliah pagi, apapun alasannya.
            “Sarapan dulu, Unru. Supaya kaumenangkan pagi,” Ibu menawari Unru nasi goreng yang ia buat dua porsi. Untuk dirinya, dan untuk anak satu-satunya.
            “Saya akan menangkan pagi jika berada di kampus tiga puluh menit lagi, Bu. Sarapan akan menyita setengah waktu itu dan hasilnya akan seperti kemarin, saya kalah oleh pagi,” jawab Unru dengan terburu-buru.
            “Setidaknya kaupegang nasi ini agar tidak sial di jalan, juga supaya kau betul-betul menangkan pagi,”  Ibu tersenyum saat menyilakan Unru setidaknya sedikit mencicipi masakannya.
            Langkah Unru yang tadinya tergesa-gesa menuju pintu akhirnya terhenti. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan kencang.
            “Sampai kapan Ibu percaya hal seperti itu?” Tanya Unru sambil menatap wajah Ibunya.
            “Sampai kapan pun. Kau tahu sendiri kan, itu pemali, orang-orang percaya sebab itu semua terjadi,”  Ibu berusaha menjelaskan pada anaknya akan apa yang ia yakini.
            “Tidak ada hubungan antara tidak memegang makanan dengan kesialan-kesialan, semuanya punya alasan logis, lantas yang atur itu Tuhan, bukan pantangan-pantangan,” Unru sedikit meninggikan suaranya sambil mengernyitkan dahi dan mengembuskan napas kuat-kuat begitu mendengar perkataan ibunya.
            Kesabaran Unru mengenai ibunya yang terlampau percaya pada pemali-pemali membuat ia akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan di dada dan kepalanya. Ia sedikit emosi dan sebagai akademisi, pemali-pemali yang diyakini ibunya terasa tidak masuk akal.
            Ibu yang mendengar Unru berkata seperti itu menggelengkan kepala. Anak kesayangan satu-satunya mulai berani mendebat orang tua. Nada suara Unru yang lebih tinggi dari ibunya adalah suatu hal yang juga pantang bagi orang Bugis. Unru tidak sopan, sedikit lagi ia akan dicap sebagai anak yang tidak paham adat dan durhaka pada orang tua.
            “Kau mau pegang nasinya atau tidak?” Ibu  lebih mengeraskan suaranya. Tidak seperti hari-hari lain saat Unru disuruh memegang nasi sebelum keluar rumah, hari ini hati Ibu terasa sakit.
            “Untuk kali ini, Bu, saya akan pulang dengan selamat tanpa memegang nasi,” sahut Unru sebelum melengos dan meninggalkan Ibunya yang geram.
*
UNRU sebenarnya merasa bersalah terhadap apa yang telah ia lakukan pada ibunya. Ia sadar telah berlaku tidak sopan. Ia berkendara sambil mendengarkan musik melalui Headset yang terpasang ke samrtphone-nya, ia biarkan musik itu menghilangkan pikiran-pikiran negatif tentang apa yang baru saja ia lakukan pada ibunya. Unru betul-betul hanyut, musik seperti membawanya ke dunia berbeda tanpa beban.
            Setelah melewati perbaikan-perbaikan jalan yang mengundang macet dan mendapati jalanan sedang tidak padat-padatnya, ia menancap gas sambil bernyanyi keras-keras mengikuti lagu yang terputar dari samrtphone-nya, berlomba apakah yang duluan mengetuk pintu kelas adalah waktu atau dirinya.
            Gabruk!
            Sebuah pete-pete[1] berhenti tiba-tiba untuk mengambil penumpang di pinggir jalan. Unru menghantam belakang mobil berwarna biru itu dengan sangat keras. Ia terlempar tidak jauh dari motornya yang rusak di bagian depan, sedangkan pete-pete tersebut ringsek di bagian belakang. Orang-orang lantas berkerumun, mengamankan kedua kendaraan yang baru saja beradu. Sopir pete-pete berusaha mendinginkan kepalanya yang emosi, sementara Unru dibawa ke rumah sakit.
*
IBU tidak henti menatap wajah Unru yang baru saja siuman. Air matanya menetes, ia menyesal kenapa tidak memaksa anak kesayangannya memegang sebutir nasi saja. Ia percaya, kecelakaan sial ini karena Unru mengabaikan pemali.
“Kamu lupa bahwa orang yang sangat kita cintai meninggal karena kecelakaan. Waktu itu ayahmu pergi tanpa memegang nasi setelah kutawari makan malam. Dan sekarang kau mengulangi kesalahan yang sama, kau juga tidak pikirkan penilaian orang terhadap kita,” Ibu mulai menangis.
“Sepertinya Ibu belum belajar sesuatu.”
Unru benar, ini bukan persoalan pemali, semuanya salah Unru. Ia mendengarkan musik sambil berkendara, mengurangi fokusnya pada jalanan. Ihwal ayah Unru, dia meninggal karena kepalanya yang tak dilindungi helm terbentur aspal.
***.
                                                                                                                 Makassar, Oktober 2015

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

                                                           




[1] sebutan untuk angkutan kota (angkot) di daerah Sulawesi Selatan

Senin, 26 Oktober 2015

Selalu Ada Kenangan di Setiap Tempat dan Peristiwa -Live Report Blogger Camp Makassar 2015-

Begitu tahu bahwa Forum Lingkar Pena Makassar mendapat undangan untuk mengirimkan dua orang utusannya mengikuti Blogger Camp Indonesia 2015 di PPLH Puntondo, saya langsung melupakan skripsi yang tak kunjung selesai direvisi. Menjadi mahasiswa semester tua berarti siap menerima pertanyaan kapan wisuda, kapan nikah, dan kapan-kapan lainnya. Hilang sejenak dari kota, menulis dalam kesunyian, dan larut bersama para Blogger mungkin menjadi opsi menarik yang mampu melupakan rutinitas dan teror pertanyaan-pertanyaan horor di atas.

Meski senin sedang sibuk-sibuknya dan matahari 26 Oktober bersinar terlalu semangat, peserta tetap antusias berkumpul di Café Pojok Adhyaksa sebelum rombongan yang terdiri dari sebuah bus dan sebuah minibus menuju lokasi kamp, tidak ada yang terlambat. Selepas bersama-sama melarung doa ke langit, rombongan lantas menuju Takalar.

Sepanjang perjalanan, semua peserta terlihat antusias. Saya antusias pula melihat mereka. Blogger-Blogger keren dari berbagai komunitas di beberapa kota berkumpul bersama. Ada dari komunitas Blogger Makassar, Blogger Maros, Blogger Sinjai (yang dijemput di tengah jalan), Blogger Kompasiana, dan teman Blogger dari Kalimantan Barat. Ini seperti The Avengers, yang mana semua superhero  atau para jagoan (orang Makassar menyebutnya tolo’) berkumpul dalam satu kegiatan keren nan bermanfaat. Sepanjang perjalanan pula, begitu mulai masuk desa-desa pesisir Takalar, kami disambut lambaian tangan anak-anak. Dari balik kaca bus, saya menangkap tangan, mata, dan tawa mereka berbicara “Selamat datang, semoga hari-hari kalian menyenangkan.

Entah sudah kali keberapa saya menginjak tempat ini, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo. Sejak duduk di bangku Madrasah Aliyah, tempat ini selalu saja membuat saya rindu. Angin laut sejak dari dulu bertiup sejuk. Pepohonan, pasir putih, dan bangunan-bangunan kayu selalu saja menyambut para tamu. Maghrib telah merajai langit, beberapa peserta mulai menuju asrama untuk bersiap-siap sebelum kami menghabiskan malam bersama.



Jaringan dari smartphone saya awalnya hanya sekarat di daerah ini, namun lantas mati sebab operator selulernya mungkin belum menjangkau pelosok-pelosok negeri. Untungnya, jauh-jauh sebelumnya, saya meminta kepada salah seorang teman yang menggunakan SIM card Indosat untuk membeli banyak-banyak paket data sebab berdasarkan informasi dan pengalaman, jaringan Indosat berkuasa di daerah Puntondo. Dia memang setia pada Indosat, dan berencana mengaktifkan IndosatLove begitu tahu kabar ihwal aplikasi ini.

Malam masih berlanjut, setelah makan malam, para peserta mulai saling berbagi tentang kisah-kesah mereka selama menjadi Blogger, dan perkembangan blog-blog di daerah mereka masing-masing. Saya terpaksa melewatkan malam tanpa menyaksikan acara-acara favorit saya di Net Tv demi ihwal ilmu dan kebersamaan seperti ini. Ada yang bercerita tentang semangat para blogger yang menurun, perubahan arah tulisan para Blogger, dan kekhawatiran-kekhawatiran yang lain.

Namun menariknya, para Blogger di beberapa tempat tetap eksis dengan menjalin relasi dan jaringan di luar dunia digital. Beberapa blogger yang rajin bertemu di dunia nyata dan intens berinteraksi akhirnya menjadi seperti keluarga, sebab meminjam istilah Prof. Mattulada, keluarga itu ada tiga: Perkawinan, Keturunan, dan relasi sosial.  

Hari pertama lantas ditutup dengan materi mengenai photoblogging. Pembicara memberikan teknik-teknik jitu, bagaimana mengambil gambar yang keren dengan teknik Entire, Small, Frame, Angle, dan Time. Materi ini menambah pengetahuan kami sekaligus mengubah kebiasaan kami yang senang ambil gambar biasa-biasa saja (yang penting ada), dan kebiasaan mengambil gambar dari web atau blog orang lain.

Hari kedua menjadi hari yang paling seru selama Blogger Camp ini dilaksanakan. Setelah sarapan dan menikmati udara pesisir dari laut yang telah surut, seluruh peserta riuh dan larut dalam keseruan ber-outbond. Dibagi menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari enam sampai tujuh orang, setiap kelompok harus menyelesaikan empat games yang luar biasa serunya. Kedekatan emosi lantas terbangun dari games seru yang kami lakukan. Bukan soal menang-kalahnya atau pakaian yang kotor karena kejahilan teman-teman, tapi ini soal keseruan. Tertawa dan bahagia bersama itu selalu paling berharga.




Para peserta kemudian sibuk membersihkan diri dan menyegerakan langkah menuju aula pertemuan, tempat diskusi terakhir dimulai. Setelah anggota dari Blue Bird Group menyampaikan keunggulan mereka dibanding perusahaan lain yang bergerak di bidang transportasi, materi digital marketing betul-betul membuka mata saya bahwa dunia digital bukan hanya sekadar pelampiasan dari kekecewaan di dunia nyata, ajang curhat di media sosial, tempat pencarian teman-teman baru, atau tempat memperoleh pengetahuan dan informasi terbaru, tapi lebih dari itu. Dunia digital mampu menyambung kehidupan kita dengan memperoleh penghasilan tambahan. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Saya lantas berpikir bahwa untuk melamar seseorang yang saya cintai, digital marketing menjadi alternatif untuk mengumpulkan mahar (panai’ dalam bahasa Bugis-Makassar) yang mungkin harus dicoba.




Setelah materi berakhir, makan siang menyambut kami sebelum meninggalkan tempat yang indah ini. Sepanjang perjalanan pulang nanti, saya yakin, anak-anak desa akan melambaikan tangan dengan sumringah dan seolah berkata “selamat tinggal, sampai jumpa, saya yakin hari-hari kalian menyenangkan.”

Seseorang pernah berkata bahwa meninggalkan suatu tempat sama halnya dengan kepergian kita dari hati seseorang, kita tidak akan betul-betul pergi dari sana, akan selalu ada yang tertinggal, sesuatu yang kita sebut kenangan.



Puntondo, 27 Oktober 2015

Minggu, 25 Oktober 2015

Menulis Cerpen Islami, Perhatikan Nilai-Nilainya -Catatan Dewan Juri Lomba Cerpen LISAN HIMIKA


            Seperti kebanyakan lomba-lomba cerpen lain yang menggaungkan istilah cerpen Islami, penulis yang mengirimkan karyanya dalam event LISAN oleh HIMIKA ini terjebak dalam beberapa kesalahan fatal. Jujur, ihwal ini membuat saya sedikit kesulitan menemukan cerpen-cerpen Islami yang berkualitas dalam tumpukan naskah. Saya selaku salah satu dewan juri akan memaparkan kesan sekaligus penilaian saya terhadap karya-karya yang masuk. Semoga dapat dimengerti oleh panitia dan oleh dewan juri yang lain.
            Jumlah keseluruhan naskah sebanyak 52 buah, peserta terdiri dari mahasiswa dan siswa (semuanya berasal dari kabupaten Bantaeng –mengapa?). Tidak seperti lomba cerpen lainnya, panitia LISAN secara langsung menyerahkan naskah cerpen kepada juri dengan tidak memisahkan judul cerpen dan penulis cerpen sehingga dewan juri mengetahui siapa sang empunya cerpen.  Seharusnya, panitia hanya menyerahkan cerpen anonim dengan nama penulis disimpan oleh panitia, seharusnya. Objektivitas menjadi hal yang -tentu– sulit untuk dihindari jika saja dewan juri mengenal salah satu penulis. Namun di sini, saya mencoba betul-betul objektif dengan memperhitungkan aspek-aspek penilaian dengan matang; standar teknis dari panitia, nilai yang dibawa, ide yang menarik dan antiarus kebanyakan, teknik penceritaan yang mengalir, bagus, dan tidak saling menabrak logika yang dibangun, serta hal-hal teknis seperti EYD.
            Seleksi pertama saya lakukan dengan melihat cerpen yang tidak sesuai dengan standar panitia, berupa jumlah halaman, jenis dan ukuran huruf, dan lain-lain. Selain itu, nilai-nilai yang dibawa dan berusaha diamanatkan dalam cerpen juga menjadi pertimbangan dalam seleksi ini. Semua cerpen yang tidak lulus seleksi awal disebabkan karena halaman cerpen yang ‘off side’. Selain itu, entah mungkin karena sebagian besar peserta adalah remaja SMA, tema-tema cinta dengan teknik penulisan teenlit menjadi ihwal mayoritas yang muncul dimana-mana, semuanya betul-betul penulis pemula (new beginner). Cerpen-cerpen yang mengangkat kisah tentang cinta pun terjebak dalam kasus yang mana tokoh berpacaran, atau sedang menyukai tokoh lain dan menggambarkan nilai-nilai menjalin hubungan pranikah, hal ini berarti cerpen tersebut tidak mengandung nilai keislaman yang berusaha diusung oleh panitia. Ihwal tersebut menjadi ihwal paling substansial sebab berkaitan dengan ideologi yang dipahami.
            Setelah naskah dipilah berdasarkan standar di atas, terpilihlah 29 cerpen yang kemudian akan diseleksi menjadi sepuluh besar. Cerpen-cerpen yang masuk ke dalam kategori sepuluh besar adalah cerpen dengan ide yang ‘sedikit’ tidak lazim dengan ide kebanyakan, teknik penceritaan yang sudah mulai bagus, dan penulisan teknis yang lebih teliti meski –yang namanya penulis pemula-, kesalahan-kesalahan EYD masih bertebaran di sana-sini. Dari sepuluh besar, saya lantas memilih enam cerpen yang menurut saya terbaik dalam keseluruhan naskah yang masuk.
            Cerpen dengan judul Cahaya yang Lain saya tempatkan di posisi keenam. Cerpen ini sebenarnya sederhana, namun teknik penceritaannya lumayan bagus. Saya berhasil mengalir ke dalam cerpen meski di pertengahan menjelang akhir, saya lantas ‘keluar’ sebab ‘arus’ mulai terkesan ‘aneh’ dan dipaksakan. Bercerita tentang siswa SMA bernama Dimas dan Arazee yang selalu saling sapa namun tidak saling mengenal satu sama lain. Di pertengahan cerita, Arazee menghilang sebab ia tiba-tiba buta (di sini cerita mulai kurang logis) namun akhirnya mereka tetap bisa bertemu lagi.
            Tuhan Itu Kemana, Ayah? merupakan cerpen yang menempati posisi kelima. Saya melihat amanatnya begitu dalam sebab bercerita tentang seorang anak yang harus berjuang keras bersama keluarganya agar tetap memperoleh penghidupan. Nilai-nilai kesabaran dan rasa syukur sangat kental dalam cerpen ini, hanya saja, penulis terkesan belum berhasil menyampaikan cerita dengan baik, kesan menggurui masih sangat kental, pula kesalahan-kesalahan EYD masih bertebaran dimana-mana.
            Cerpen yang ada di posisi keempat berjudul Maaf. Sangat sederhana, idenya tidak terlalu unik dan terkesan biasa saja, bahkan judulnya pun terkesan tidak menarik. Namun dibanding dengan dua cerpen sebelumnya, cerpen ini terkesan lebih matang dari segi ide, penceritaan, dan teknik penulisan. Simply but catchy. Meski begitu, kekurangan lain yang membuat cerpen ini gagal berada di posisi ketiga adalah terlalu banyaknya dialog yang sedikit mengganggu estetika isi cerpen.
            Menentukan cerpen yang berada di tiga peringkat teratas sebenarnya susah-susah gampang meskipun tidak sesusah menentukan jodoh. Ketiga cerpen yang memuncaki tangga ini bisa dibilang sangat lebih dari cerpen-cerpen yang lain. Ide sangat menarik, penceritaan yang matang, keterkaitan antarbagian, sampai ihwal teknis seperti EYD. Kekurangannya hanya perlu dipoles sedikit lagi.
            Cerpen berjudul Merindumu dari Bilik Terakhir bercerita tentang jiwa (atau ruh?) seseorang yang sejatinya akan segera menikah dengan orang yang dicintainya. Namun bencana pesawat Aviastar yang ia tumpangi menuju Makassar jatuh dan menewaskan dirinya. Ia lantas tak jadi naik ke pelaminan untuk bersanding kepada calon istri. Pernikahan tetap berlangsung, Zoya, sang calon istri bersanding dengan sahabat tokoh utama, Bora. Namun janji tokoh untuk menghadiri pernikahan dituntaskan dengan cara yang berbeda, ia datang dengan cara yang tidak biasa, bukan sebagai mempelai, bukan sebagai undangan, namun sebagai kenangan. Kekurangan dari cerpen ini adalah teknik penceritaan yang masih kurang bagus ketimbang dua cerpen kemudian, cerita yang terkesan kurang logis (seperti kenapa wasiat baru dibuat di atas pesawat sebelum kecelakaan?) dan penulisan teknis yang masih perlu diperbaiki.
            Bahtera Rohingya dalam Dekapan Samudera menjadi cerpen yang berhasil menempati peringkat kedua. Idenya sangat menarik, tentang dua orang kakak-adik bersama orang-orang etnis Rohingya yang terkatung-katung di samudera. Badai yang menerpa perahu mereka di suatu malam menjadi petaka yang membuat orang-orang –mungkin- hilang ditelan samudera. Tidak diceritakan apakah pasca badai tersebut sang tokoh utama, Kemis, berhasil selamat dari badai atau tidak, yang jelas kakaknya yang dicintai samudera meninggalkan kenangan dan pelajaran sedalam samudera itu sendiri. Kekurangan dari cerpen ini adalah cerita yang terkesan terburu-buru dan akhir yang kurang menggigit, selain itu penulis juga masih kurang teliti mengenai EYD. Kekurangan-kekurangan tersebut membuat cerpen ini gagal menerobos peringkat pertama.
            Cerpen yang menempati urutan pertama menurut saya adalah cerpen dengan judul Asy-Syifa. Cerpen ini sangat unggul dari segi ide, teknik penceritaan, ketelitian penulis terhadap kesalahan EYD, dan riset yang dalam. Semuanya betul-betul matang, setiap elemen beresonansi dan tidak meninggalkan lubang. Cerpen ini bercerita tentang sisi lain tentara zionis, seseorang yang masih memiliki hati dan sebenarnya tidak sepakat dengan perlakuan rekan dan atasannya terhadap kekerasan, pencaplokan wilayah, dan pelanggaran hak azasi atas warga Palestina. Semuanya mengalir, deskripsinya membuat saya seperti betul-betul menyaksikan penderitaan seorang Aisya dan ibundanya, kekejaman para invader dan kebimbangan Zaen, sang tokoh utama. Cerpen ini memenangkan hati saya.
            Saya kira sebagai dewan juri, banyak hal yang luput dari pengamatan saya sebagai manusia yang tentu diliputi oleh khilaf. Saya harap, tulisan ini memenangkan bahagia sekaligus keikhlasan di hati teman-teman juri lain, panitia, peserta, maupun siapa-siapa. Selamat merayakan hidup dengan tulisan.

Batara al-Isra
Jumat, 23 Oktober 2015


Catatan tambahan: Ini penilaian versi saya, belum versi juri yang lain. Saat pengumuman juara, bisa jadi pendapat saya berbeda dengan juri yang lain.  

Sabtu, 22 Agustus 2015

Sebelum Merah Putih Kawin dengan Langit

                                                         Sumber: dok. Ulfiani Rahmi

Dulu sebelum merah putih kawin dengan langit,
para leluhur terlampau percaya bahwa
nasi akan muncul sendiri memenuhi panci,
tak perlu dibeli dengan harga setinggi
tiang pinang yang dipanjat setengah mati.

Dulu saat merah putih dan langit masih baru sebagai
sepasang pengantin,  doa-doa dengan puluhan semoga
dilarung saban malam saban hari. Semoga percumbuan mereka
membawa bahagia bagi anak cucu pertiwi, semoga kita berdiri
di atas kaki sendiri, semoga kita terus hidup dari tanah dan air,
semoga ada tempat indah untuk meminang kekasih, semoga
tercipta surga tempat menimang bayi, dan semoga-semoga yang lain.

Tapi merah putih dan langit mungkin sudah tua saat ini,
para pendahulu telah pergi, kita sebagai penerus generasi  
tidak berbahagia dengan mata uang asing yang menginjak
mata uang negeri, kita punya kaki tapi lumpuh dan hampir
diamputasi, kita punya tanah dan air tapi harus mengemis
pada orang lain, kita kehilangan kekasih dan tidak punya bayi,
kita adalah anak cucu merah putih dan langit yang secara
tidak langsung berharap hubungan romantis mereka berakhir.

Orang lain akan mengganti puluhan ucapan selamat berbahagia atas
hidup baru dengan selamat menjadi anak cucu yang tidak tahu malu.
Ya, kita anak cucu yang lupa leluhur dan sudah tidak punya malu.

(Makassar, Agustus 2015)

*

Terbit di Fajar, edisi 16 Agustus 2015

Sepucuk Surat untuk Pahlawan yang Kupanggil kekasih

                                                  Sumber: agfaaurikha.blogspot.com

Ada sepucuk surat yang datang
bersama selongsong peluru hampa
yang habis terpakai lalu kau titip pulang
bersama untaian kisah yang tak terselesaikan.

Ada dua pertanyaan yang hanya akan terjawab salah satunya:
akankah kau selamanya di sana?
Atau akankah kau selamanya hilang?

Sepucuk surat yang datang ini penuh darah
dari medan perang, beberapa kalimat masih
kuingat seperti saat kau pertama ucapkan cinta,
“aku tidak lama, Sayang, sehabis merdeka langsung pulang.

Tapi surat yang datang ini membawa kabar tak sedap
tentang kemerdekaan yang ditunda, dan –tentu-
tentang kepulangan yang tertunda.

Sepucuk surat ini akan tersimpan dalam kapsul waktu
dan ditemukan sebagai artefak elan perjuangan
bagi generai masa depan: tentang pahlawan,
tentang untaian kisah yang tak terselesaikan.


(Makassar, 2013-2015) 

*

Terbit di harian Fajar, 16 Agustus 2015

Minggu, 02 Agustus 2015

Susahnya Ramadan di Jerman



Beda ladang, beda belalang. Ramadan di Jerman tidak semeriah Ramadan di Indonesia. Semuanya biasa saja, tidak ada panggilan sahur yang membangunkan orang-orang, tidak ada doa-doa menjelang berbuka yang ditampilkan di siaran TV lokal, tidak ada petasan, tidak ada yang istimewa. Itu yang saya alami tahun ini, mengikuti sebuah summer school di Freiburg, kota bagian selatan Jerman- membuat saya –akhirnya untuk pertama kali dalam hidup- menjalankan Ramadan jauh dari tanah kelahiran.

Jika di Indonesia puasa berlangsung selama kurang lebih 14 jam, maka di Jerman, puasa bisa sampai 19 jam. Hal itu karena jika Ramadan bertepatan dengan musim panas, maka siang akan sangat panjang. Bayangkan saja, matahari sudah terbit pukul 2.30 am dan baru terbenam pukul 9.30 pm. Sebagai orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan hal seperti ini, tentu hanya niat dan semangat yang membuat saya masih bertahan puasa sampai saat ini.

Malam terlampau singkat, alokasi waktu ibadah saat matahari terbenam harus diatur sedemikian rupa. Waktu antara berbuka,makan malam, shalat tarawih, tahajjud, dan sahur betul-betul seperti dilakukan dalam satu waktu, belum lagi waktu untuk tidur. Terkadang saya menggabung waktu antara makan malam dan sahur sebab jika harus bangun lagi akan sangat sulit. Saya pernah mencobanya tapi selalu saja kesiangan. Maklum, belum terbiasa.

 Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim, Ramadan menjadi hal yang begitu asing di telinga Freiburger bahkan meski Islamische Zentrum telah mengadakan festival menyambut bulan penuh berkah ini. Karena orang-orang tidak sadar, tidak tahu, atau mungkin berprinsip EGP (Emang Gue Pikirin), warga muslim menerima banyak sekali tantangan selama Ramadan, termasuk saya dan beberapa teman lain dari Indonesia yang mencoba untuk puasa.

Suhu mempengaruhi sulitnya berpuasa di negara-negara utara. Suhu di siang hari bisa mencapai 16°C sehingga rasa haus terkadang tidak mengetuk tenggorokan. Namun konsekuensinya, lapar sekonyong-konyongnya datang begitu saja. Hal yang sebaliknya terjadi jika suhu di atas 22°C, lapar memang bisa diatur, tapi haus menjadi hal yang susah dikompromikan.  

Keadaan sosio-kultural juga berdampak pada sulitnya berpuasa di negara nonmuslim. Meski tidak sulit menemukan perempuan berhijab di kota ini, tapi tetap saja lebih banyak perempuan-perempuan yang  pintar sekali mengumbar aurat -seperti kebanyakan perempuan lain di ‘dunia barat’-. Apalagi ini summer, waktunya untuk berpakaian semini mungkin agar matahari mampu merubah kulit putih menjadi lebih cokelat secara merata. Ini adalah tantangan yang sangat sulit. Setiap hari saya harus beraktivitas di pusat kota tempat orang-orang berlalu-lalang dan hal-hal seperti itu tidak bisa saya hindari. Perempuan-perempuan berpakaian tapi telanjang ada di mana-mana. Bersyukurlah teman-teman yang berada di negara muslim sebab hal yang seperti ini lebih jarang ditemukan.

Penjual makanan juga senang hati memanggil-manggil perut dan hasrat orang-orang untuk menikmati sajian di siang hari. Roti dengan aroma semerbak khas Jerman serta gelato alias Italian ice cream selalu saja terlihat sangat menggoda bagi saya. Pun penjual doner yang merupakan imigran Turki atau Kurdi –dan tentu saja muslim- masih saja menyajikan kebab, pizza, Yufka serta makanan halal lain di sudut-sudut jalan sebagai street food andalan kota ini. Meski mereka muslim, toko harus tetap dibuka selama Ramadan sebab toh bukan hanya muslim yang gemar makanan Turkische spezialiten, bahkan siapa pun pasti jatuh cinta. Itulah sebabnya setiap melewati kebab haus, godaan terasa sangat sulit.

Hal terindah selama bulan Ramadan di Freiburg adalah saat berbuka puasa. Sebuah kepuasaan tak tergambarkan selalu saja saya rasakan setiap mengakhiri puasa. Cahaya indah sisa-sisa petang menuju senja menjadi appetizer yang luar biasa nikmatnya. Saya biasa berbuka puasa bersama teman-teman Indonesia dari program yang kami ikuti bersama di tempat tinggal dosen pendamping kami. Semuanya kompak untuk mempersiapkan ta’jil, mulai membeli bahan makanan, memasak, hingga makan berjamaah.

Selain buka bersama di Liefmanhaus, terkadang saya berbuka di pusat kota, di kebab haus bersama teman saya yang dari Jerman. Meski dia tidak puasa, tapi dia rela menunggu saya dan kami menyantap pizza bersama. Dari sini saya melihat bahwa mereka sebenarnya menghargai  orang yang berpuasa. Menarik sekali.


Saya juga terkadang menyempatkan waktu untuk berbuga di Islamische Zentrum. Di Freiburg, ada dua masjid yang menjadi Islamic Centre warga muslim untuk lebih dekat pada Sang Khalik, yakni masjid Turki dan masjid Arab. Saya sangat senang menyantap ta’jil di masjid Arab. Awalnya kita diberi tiga biji kurma saat berbuka dan segelas air minum, lalu melaksanakan salat maghrib secara berjamaah. Sehabis itu, barulah kita makanan bersama-sama: roti, kari ayam, dan salat. Kebersamaan sangat terlihat di waktu-waktu ini, saling berbagi makanan, senyum –meski bahasa yang digunakan beragam, senyum memang bahasa universal untuk mengartikan bahagia-, orang-orang yang tidak saling kenal dipersatukan dalam satu ikatan: Islam.  

-Terbit di Fajar, bagian Mukjizat Ramadan

Alien dalam Lautan Penuh Hiu Bermoncong Lumba-Lumba

                                           Sumber: 1.bp.blogspot.com


Kita adalah alien-alien yang lahir dengan
menaiki daun-daun gugur, terbawa arus sungai globalisasi
bermuara pada lautan polusi moral dan etika.

Banyak dari kita tenggelam dalam palung kesesatan
selama masa perang pemikiran, mereka adalah 
pencari mutiara kebenaran tapi mengaku telah 
membunuh Tuhan. Makhluk-makhluk dari kedalaman 
menulis sajak tentang mereka sebagai transanimal 
berorientasi perut dan selangkangan.

Dunia bukan drama serial yang mudah menebak
mana lawan mana pahlawan, kabur seperti 
perhinggaan Atlantik dan Mediterania yang penuh 
hiu bermoncong lumba-lumba. Keselamatan tergantung 
dari kemampuan kita berenang, paham batas-batas, 
dan mengenal ekor siapa yang tajam
untuk menusuk dari belakang



(Makassar, Maret 2015)

Selasa, 16 Juni 2015

Keberangkatan

Aku berdiri dari balik kaca bandara hatimu,
melambaikan tangan dengan mesra dan melihat
dengan pasrah pesawat yang kautumpangi
menerbangkanmu menuju seseorang di masa lalu.


(Makassar, Mei 2015)

Kau adalah Laut yang Terlalu Mencintaiku

                                                   Sumber: scontent.cdninstagram.com

Kautinggalkan rahasia-rahasia pada kedalaman
dan terburu-buru menghempaskan tubuhmu
untuk memeluk tebing geming yang memandang kaku.
Tebing yang tidak tahu cara melingkarkan lengan pada laut.

Orang-orang yang saling kawin di atas kepalaku cukup
untuk membuat ombak bersungut-sungut. Tapi, aku adalah saksi
bagaimana patah hati menjadi sebab orang-orang meluncur terjun
dan kau memeluknya lebih mesra menuju maut.

Pada suatu waktu, dekapan-dekapan dan rasa cemburu
membuatku runtuh lalu bebatuan dan unsur-unsur dalam tubuh
larut menyatu bersamamu. Kau mungkin bahagia,
tapi itu berarti tidak ada lagi daratan yang bisa kaupeluk.

(Apparalang, Mei 2015)

Senin, 15 Juni 2015

To Marege' yang Menemukan Mimpinya dalam Ikatan Punggawa-Sawi

Sumber: Wikipedia.org 

Makassar, Januari 1904

LAKKOY, pemuda Aborigin berusia 22 tahun, sedang sibuk mengangkat belasan jerigen penuh air ke kapal kayu milik Daeng Haji di suatu siang yang sunyi. Kapal yang terparkir tenang di pelabuhan Paotere itu bernama Mimpi Marege, sebuah kapal pencari teripang bernuansa putih dengan satu tiang layar yang siap menaklukkan laut-laut selatan.
            Lakkoy yang berkulit hitam pekat dengan rambut ikal serabut telah menjadi objek gosip dan desas-desus orang-orang di Makassar. Bagaimana tidak, di saat sawi-sawi[1] yang lain berteduh dari tengah hari yang membakar, ia tanpa mengenakan baju tetap melanjutkan pekerjaannya seolah kulit telah bersahabat dengan sengatan matahari pesisir.
            Lepas mengangkat semua jerigen, Lakkoy mengusap peluh dari dahinya sembari duduk bersila di bagian belakang kapal. Sambil merasakan angin melewati tiap senti tubuhnya, ia menatap langit siang yang cerah. Kaki langit yang menyatu dengan laut menjadi garis pemisah imajiner antara ia dengan keluarganya di Australia. 
            Puas memanggil kembali ingatan-ingatan dari seberang lautan, ia menuju ke sebuah dipan yang diberi atap terpal tidak jauh dari dermaga. Di tempat itu sudah menunggu tumpukan karung beras yang harus ia angkat ke kapal. Daeng Haji yang merupakan punggawa[2] kapal berusia hampir 70 tahun, duduk di dipan sambil menghitung uang dan menyeruput kopi hitam dalam gelas kaca. Sesekali ia perhatikan gerak-gerik Lakkoy, memastikan apakah sawi tersebut tetap kuat mengangkat karung beras yang bahkan ia sendiri mungkin sudah tidak sanggup melakukan hal yang sama.
            Sawi yang kehausan bekerja tanpa henti dan punggawa yang duduk santai menghitung uang, membuat orang berpikir bahwa Daeng Haji telah mencuci otak Lakkoy sedemikian rupa sehingga ia rela diperlakukan seperti budak.
            “To Marege’, kau bisa mati kalau begitu terus!” Teriak salah seorang sawi dari kapal sebelah.
            Lakkoy yang mendengar itu hanya diam dan terus melanjutkan pekerjaannya, mondar-mandir mengangkat barang dari dermaga ke kapal. Ia sudah terbiasa dengan sebutan orang-orang Makassar terhadap manusia berkulit hitam dan berambut ikal sepertinya, To Marege’.
            Lakkoy memang pekerja keras dan memiliki etos kerja yang patut dicontoh sawi-sawi lain. Ia tidak akan istirahat sebelum semua pekerjaannya selesai. Kesetiaan dan kecakapannya itu membuat banyak punggawa menginginkan Lakkoy bekerja pada mereka. Ada yang menawarkan upah lebih tinggi dan ada pula yang menawarkan pekerjaan yang lebih baik. Tapi semua itu ditolak oleh Lakkoy.
            “To Marege’, lebih baik kaupindah saja ke punggawa lain yang menawari upah lebih tinggi dan tidak memperlakukanmu seperti budak. Kau belum istirahat dan belum minum seharian!” Orang dari kapal sebelah kembali memulai pembicaraan, kali ini dengan nada prihatin.
            “Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan,” Lakkoy tersenyum sambil berlalu dari kapal sebab semua barang telah pada posisinya, meninggalkan sawi kapal sebelah yang terheran-heran.
*
BAYANG-BAYANG tiang kapal menunjukkan waktu asar telah tiba. Lakkoy menuju masjid yang tidak jauh dari pelabuhan, membersihkan dirinya, lalu mengenakan kemeja cokelat dan sarung motif kotak-kotak. Ia masuk ke masjid yang masih kosong, mengambil corong suara, dan mulai melantunkan azan. Orang yang mendengar azan Lakkoy akan mengorek telinganya dalam-dalam untuk memastikan bahwa manusia baru saja mendengar nyanyian surga. Suara emas ini pulalah yang membuat namanya menjadi pembicaraan seantero Makassar.
            Orang-orang memenuhi masjid seketika karena azan yang berkumandang membuat hati siapapun bergetar. Orang akan langsung teringat pada sosok Bilal jika melihat Lakkoy sedang memanggil para jamaah. Ini juga yang menjadi alasan mengapa banyak punggawa menginginkan Lakkoy menjadi sawinya. Sebab Lakkoy tidak hanya akan mendatangkan keuntungan dari segi jasa, tapi status punggawa akan naik di mata orang-orang.
            Selepas salat asar yang diimami oleh Daeng Haji, Lakkoy duduk di atas dipan dekat dermaga untuk memandang peralihan hari menuju sore. Pikirannya kembali menerawang jauh ke tempat pertama ia dilahirkan. Melewati selat Makassar, laut Flores, laut Timor, Malayan Road, hingga tiba di pantai barat laut Australia, daerah milik suku Yolngu. Orang-orang berkulit putih menyebutnya Arnhem Land.
            Baru saja ia berkhayal bertemu sanak famili nun jauh di sana, seseorang menepuk bahunya. Ia kaget bukan kepalang dan menoleh pada seseorang yang membuyarkan lamunannya. Orang itu adalah Haji Hasan Daeng Bora, salah satu punggawa terkenal di Paotere. Ia memiliki banyak kapal dan juga banyak sawi yang semuanya sejahtera secara finansial, termasuk laki-laki dari kapal sebelah yang tadi siang banyak bicara.
            “Aku selalu memperhatikanmu, To Marege’. Setiap waktu kau selalu menatap laut dan membayangkan dirimu pulang ke kampung,” Haji Hasan tersenyum kecil sambil menyuguhkan gelas kaca bening dan cerek keemasan yang ia peroleh dari tanah suci. “Minumlah, kau pasti kehausan setelah seharian bekerja dan tidak seorang pun memberimu air, termasuk punggawa-mu sendiri.”
            Lakkoy mengabaikan suguhan tersebut dan malah menatap Haji Hasan dengan sedikit mengernyitkan alis seolah tidak sepakat dengan sindiran yang baru saja diutarakan oleh laki-laki berusia 60 tahun itu.
            “Tidak usah tersinggung, To Marege’. Aku hanya menyampaikan keresahanku. Aku terus melihatmu bekerja sepanjang siang di bawah panas matahari,” Haji Hasan memegang pundak Lakkoy seolah tahu beban yang ia pikul.
            Sebagai seorang punggawa, Haji Hasan tahu bagaimana pekerjaan sawi. Berat dan melelahkan. Ia memang tidak bisa menerima perlakuan Daeng Haji siang tadi. Lakkoy telah sangat kehausan memikul barang-barang sementara Daeng Haji hanya duduk bersantai di atas dipan membilang keuntungan, tidak menyuruhnya istirahat, tidak pula menyuguhkan segelas kopi yang ia tenggak dengan penuh bahagia.
            “Kalau kau lelah, To Marege’, kau bisa pindah kepadaku. Akan kuberi upah yang lebih banyak dan semua utangmu pada Daeng Haji akan kulunasi. Lalu setelah bekerja selama beberapa tahun, akan kupulangkan kau pada keluargamu di Arnhem Land,” Haji Hasan memberikan penawaran yang sangat menarik.
            Tidak ada sawi yang mampu menolak tawaran seperti itu, kecuali dia adalah orang bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan untuk hidup yang lebih baik. Lakkoy menatap mata Haji Hasan dalam-dalam sebelum ia tersenyum dan tertawa kecil sampai-sampai giginya sedikit terlihat.
            Haji Hasan juga ikut tertawa melihat Lakkoy yang sepertinya bahagia mendengar penawaran menggiurkan tersebut. Ia memang sangat mendambakan Lakkoy menjadi sawinya. Sebuah kebanggaan tersendiri jika memiliki sawi seorang muazin bersuara emas. Seantero kota akan mengabadikan namanya sebagai punggawa dari sawi yang tak kenal lelah dan majikan dari sang Suara Emas. Orang akan menaruh hormat padanya.
            “Tawarkan hal menggiurkan itu pada sawimu yang paling setia saja,” Lakkoy memberi pernyataan yang membuat Haji Hasan heran bukan kepalang.
            “Apa masih kurang? Kau bahkan tidak akan kupekerjakan secara penuh. Kau cukup mengawasi kerja sawi-sawi yang lain,” Haji Hasan berusaha menaikkan penawarannya,
            Lakkoy kembali tersenyum dan menolak dengan sopan tawaran yang tidak tanggung-tanggung itu. Ini kali pertama Haji Hasan mendapatkan penolakan dalam hidup. Penolakan yang justru datang dari orang yang tidak ia duga, seorang sawi.
            Untung saja saat itu tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. Jika ada, sudah pasti Haji Hasan akan siri’[3] bukan kepalang. Di sore hari, pelabuhan Paotere memang dipenuhi oleh aktivitas bongkar-muat ikan, sehingga orang-orang akan sibuk dengan masing-masing pekerjaannya.
            “Kau rela membuang niat baikku demi sebuah pengabdian pada punggawa yang tidak berperikemanusiaan?” Giliran Haji Hasan yang menatap tajam Lakkoy.
            Tidak masuk akal bagaimana sawi yang satu ini tetap setia pada orang yang telah memperlakukannya seperti budak: memisahkannya dari keluarga, membiarkannya kerja kepanasan tanpa istirahat, dan tidak memberinya minuman.
*
MATAHARI akan segera merangkak turun. Burung-burung petang mulai beterbangan mencari peristirahatan. Langit mulai sepi, tapi pelabuhan semakin ramai. Cahaya matahari bersinar lembut di permukaan laut. Lakkoy menerbitkan senyum, lalu tidak lama tertawa membayangkan bagaimana orang-orang selalu mengira ia sangat bodoh sebab diperlakukan seperti budak.
            “Anda masih terlalu muda untuk menjadi punggawa,” Lakkoy menggaruk kepalanya.
            “To Marege’ yang tidak tahu berterima kasih!” Haji Hasan yang mendengar itu tidak terima. Ia sudah cukup menerima penolakan, dan telinganya sangat panas untuk sebuah nasihat. Hampir saja cerek penuh air itu melayang di kepala Lakkoy.
            “Berlayar ke Makassar dengan kapal para pencari teripang adalah impian orang-orang Arnhem Land,” Lakkoy mengungkapkan sebuah kebenaran.
            Para pemuda Yolngu memang selalu berharap bisa melihat bagaimana besarnya kota pelabuhan di semenanjung Sulawesi. Mereka menyebutnya Mangathara, sebutan lain untuk Makassar. Kota dengan rumah-rumah kayu yang megah dan indah, serta kapal-kapal kayu tangguh yang telah menaklukkan entah berapa puluh lautan. Ayah Lakkoy yang seorang kepala suku, suka sekali menggambar kapal dan rumah kayu di dinding-dinding rumahnya –yang hanyalah sebuah gua-.  Ia berpesan bahwa suatu hari, Lakkoy harus menuntut ilmu dari orang-orang Mangathara yang datang untuk mencari teripang.
            Sepuluh tahun lalu, Daeng Haji menginjakkan kakinya di Arnhem Land dengan beberapa armada kapal melalui Malayan Road. Lakkoy yang telah terobsesi dengan pelayar-pelayar tangguh pencari teripang tersebut bersedia menjadi pengikut setia Daeng Haji asalkan diizinkan ikut berlayar ke Makassar.
            Permintaan itu disanggupi oleh Daeng Haji dan melatih Lakkoy berbagai macam keterampilan orang-orang Makassar: diajarkan bahasa, berhitung, dan ilmu navigasi. Tidak hanya itu, Daeng Haji yang memang dikenal sebagai imam di daerah Paotere bahkan berhasil membujuk Lakkoy untuk memeluk Islam, meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya yang menyembah A-ha-la. Lakkoy pun diajar mengaji, diberi pelajaran bahasa Arab, fikih, dan yang paling penting penguatan akidah. Saat belajar Islam itulah, ia dipercaya menjadi penjaga masjid dan sebagai tukang azan bersuara emas. 
            Setiap tahun di penghujung Januari, Lakkoy akan ikut berlayar ke Arnhem Land untuk mencari teripang. Kesempatan itu ia gunakan untuk bertemu orang-orang di kampungnya, menceritakan pengalaman yang ia peroleh dan menitipkan mimpi-mimpi pada anak kecil di sukunya sebelum ia kembali ke Makassar.
            Haji Hasan yang mendengar cerita Lakkoy memalingkan wajahnya sambil membuang napas keras-keras. Ia tidak habis pikir, alasan Lakkoy tidak kembali menetap di kampungnya dan tetap setia pada punggawa-nya bukan karena persoalan materi, tapi karena Daeng Haji telah menjadi guru sekaligus orang tua Lakkoy. Ikatan yang terbangun melebihi ikatan pungawa-sawi manapun.
            “Jika ia telah menjadi guru sekaligus orang tuamu, mengapa ia tidak menyuruhmu istirahat tadi siang?” Haji Hasan masih heran dengan peristiwa tengah hari tadi. Seharusnya, justru karena sudah menjadi guru dan orang tua, Daeng Haji harus lebih perhatian padanya. 
            “Aku benar-benar bersemangat sebab besok bakda jumat, aku akan kembali mencari teripang di Arnhem Land,” tutur Lakkoy. “Kalau tadi Daeng Haji menyuruhku istirahat,” lanjutnya, “aku tetap tidak akan berhenti sampai pekerjaanku selesai. Beliau tahu itu, jadi beliau lebih memilih untuk diam,” Lakkoy tertawa. Haji Hasan menganggukkan kepala. Mulai paham bahwa prasangkanya selama ini benar-benar keliru.
            Panas di hati Haji Hasan kini telah hilang bersama hilangnya matahari di kaki langit. Lakkoy mengambil cerek di sampingnya dan menuang isinya ke dalam gelas kaca bening hingga penuh. Ia meneguk air segar itu sampai habis. Bahkan ia tambah lagi hingga tiga kali. Dahaga Lakkoy telah terpuaskan.
            “Terima kasih airnya, Haji Hasan. Buka puasa yang sangat menyegarkan!” Lakkoy tersenyum sebelum berdiri dari dipan tempatnya menghabiskan petang, lalu menuju masjid untuk melantunkan azan maghrib.
            Haji Hasan baru ingat bahwa ini adalah hari kamis, dan sebagai murid seorang imam terpandang, wajar saja kalau Lakkoy menjaga puasa sunahnya.
            “Maaf, To Marege’, saya sudah menyakiti perasaanmu dan perasaan Daeng Haji!” Haji Hasan berteriak dari kejauhan, meminta maaf atas kesalahannya.
            “Daeng Haji selalu memanggil namaku, Lakkoy. Bukan dengan sebutan To Marege’.”

***

Di Balik Cerpen 

                                                              Sumber: press.anu.edu.au

INI adalah salah satu cerpen saya yang menjuarai lomba menulis cerpen Islami oleh LDM Al-Aqsa Unhas. Saya berterima kasih pada dewan juri sebab (katanya) mereka dengan mudah mampu menemukan pemenangnya. Di dalam salah satu catatan dewan juri mengenai lomba tersebut, kanda Fitrawan Umar menulis bahwa cerpen ini ditulis dengan riset yang yang mendalam (selain kanda FU, juri lainnya adalah kanda S. Gegge Mappangewa dan kanda Aida Radar). Memang benar, saya sudah lama ingin menulis cerpen tentang para pencari teripang, dan baru saja menemukan konsep dan konteks yang tepat. 

Demi menghasilkan cerpen yang tidak jauh dari kenyataan sejarah (karena ini cerpen yang diangkat dari peristiwa sejarah), saya melakukan riset yang cukup lama untuk sebuah cerpen. Riset mengenai para pencari teripang ini saya mulai tepat pertengahan kemarau 2014 lalu, dan betul-betul intens mempelajari literatur sebulan sebelum cerpen ini saya kirim. Banyak artikel yang saya tandaskan dan beberapa buku bacaan tentang Makassar serta kemaritiman nusantara. Buku paling menarik yang saya tandaskan secara keseluruhan adalah Macassan History and Heritage: Journeys, Encounters, and Infuences (Editor: Marshall Clark dan Sally K. May, 2014) . Sebuah referensi lengkap kumpulan hasil penelitian paling mutakhir mengenai Macassan (Orang Makassar) yang mencari teripang sampai ke Australia. Banyak sekali hasil-hasil penelitian menarik dalam buku tersebut, seperti: Bagaimana para Macassan trepangers membawa serta budaya seperti bahasa, perkakas, pengetahuan, bahasa, dan agama (Islam) ke orang-orang Aborigin di kawasan Arnhem Land, Mereka betul-betul terpengaruh dengan Makassar. 

                                                              Sumber: press.anu.edu.au



[1] Sawi dalam masyarakat Sulawesi Selatan dan juga dalam KBBI adalah awak perahu nelayan.
[2] Punggawa  merupakan istilah lokal di kawasan Sulawesi Selatan untuk pemilik atau juragan kapal.
[3] Dalam kebudayaan Sulawesi Selatan, siri’ berarti malu.