Konstelasi Imajinasi

Tampilkan postingan dengan label Travel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Travel. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Desember 2017

Kahayya: Dari Kopi, Wisata, Hingga Pengakuan Orang-Orang

“Kahayya itu tempat berak sapi-sapinya orang” -anonim

Kalimat di atas pernah diucapkan oleh seseorang ketika tahu istri saya -yang kampungnya di Bulukumba- ingin sekali berkunjung ke Kahayya. Peristiwanya sudah lama, pertengahan atau akhir 2014. Waktu itu, Kahayya benar-benar dianggap sebelah mata, tereksklusi oleh masyarakat kebanyakan. Pernyataan di ataslah buktinya, pernyataan yang menurut saya pribadi betul-betul merendahkan.

Bagi beberapa orang di Sulawesi Selatan kata Kahayya mungkin masih terdengar asing. Belum banyak yang tahu, apalagi mereka yang tinggal di Kota Makassar. Orang-orang yang tahu tentang Kahayya mungkin hanyalah mereka yang senang eksis di media sosial, petualang, dan orang yang berasal dari Kabupaten Bulukumba. Kahayya adalah sebuah desa yang memang lokasinya berada di Kabupaten Bulukumba, lebih tepatnya di Kecamatan Kindang, sebuah daerah yang terletak di kaki gunung Bawakaraeng.

Kahayya berjarak sekira 180km dari Kota Makassar atau sekira 40km dari ibu kota Kabupaten Bulukumba. Bagi orang-orang yang pernah menginjakkan kakinya di tempat ini, Kahayya adalah surga tersembunyi di Sulawesi Selatan. Pemandangannya memanjakan mata siapa pun yang datang. Pegunungan, lembah, sungai, danau dan kabut berpadu menjadi sesuatu yang membuat pendatang tak sanggup memalingkan pandangan. Bukit Donggia adalah salah satu titik untuk menikmati pemandangan tersebut. Saya sendiri seperti ingin terjun, memeluk, dan bersatu dengan bentangan alam tersebut -maunya saja, sebetulnya mustahil hehehe.


Pemandangan di bukit Donggia (dokumentasi pribadi)

Selain alamnya, yang menjadi ciri khas Kahayya adalah sajian kopinya yang nikmat dan khas. Kahayya sendiri sebetulnya berasal dari kata ‘kaha’ yang dalam bahasa setempat -dan saya sangat yakin diserap dari bahasa Arab- berarti ‘kopi’. Jadi dari namanya saja, desa ini seolah menegaskan bahwa sayalah desa yang ‘kopi banget’. Sayangnya, justru kopi Kahayya ini belum terlalu dikenal luas. Selalu saja, jika berbicara tentang kopi asal Sulawesi Selatan, kopi Toraja akan selalu menjadi primadona perbincangan. Padahal kopi Kahayya memiliki cita rasa yang tidak kalah mantap. Saya memang bukan maniak kopi, jika minum kopi, saya selalu mencampurnya dengan susu atau gula. Namun, untuk menikmati kopi Kahayya, saya menandaskan secangkir penuh tanpa gula, dan saya menikmatinya.

Kopi Kahayya memang nikmat, senikmat dampak yang muncul setelah kopi ini dikenal orang kemudian. Mulanya, orang-orang di daerah Kabupaten Gowa dan sekitarnya hanya mengenal kopi Malakaji sebagai kopi yang memiliki ciri khas. 

Namun ternyata, kopi Malakaji itu pun sudah campuran, salah satu yang mewarnai keragamannya adalah kopi Kahayya. Tapi meski kopi Kahayya mulai ramai di pasar dan dikenal orang, wajah Desa Kahayya -sebelum tahun 2014- belum banyak berubah: akses jalannya yang masih pengerasan, fasilitas yang serba kekurangan tingkat pendidikan warganya, dan kepedulian ‘masyarakat luar’ terhadap masyarakat Kahayya.



Kopi organik yang banyak tumbuh di Kahayya, jenisnya pun beragam (dokumentasi pribadi)

Ada banyak LSM yang berupaya membantu desa ini agar membangun dirinya sendiri, seperti Dompet Dhuafa, Sulawesi Community Foundation, dan Program Peduli. LSM-LSM tersebut yang masuk pada 2014 ke desa itu setidaknya telah menjadi pelopor bagaimana masyarakat Kahayya yang awalnya tereksklusi kini mulai terinklusi secara sosial. Pemberdayaan yang dilakukan seperti membantu masyarakat mempromosikan kopi Kahayya lebih luas lagi, seperti ke pemerintah dan beberapa pemangku kepentingan lain ternyata membuka tabir lain bahwa ternyata Kahayya bukan hanya sekadar kopi. Ada banyak hal tersembunyi di sana, bukit Donggia yang saya sebut di atas, beberapa titik air terjun, gua belerang, dan lain-lain. Semuanya objek wisata yang potensial, maka tidak heran jika akhirnya, APBD Kabupaten Bulukumba tahun 2018 mendatang untuk sektor wisata akan dialihkan sebagian besar pada pembangunan Desa Kahayya sebagai objek wisata. Pemerintah sendiri mengakui, bahwa selama ini, pariwisata Kabupaten Bulukumba fokus pada wisata pantai. Tapi wisata gunung pun tidak kalah menarik.

Pariwisata secara tidak langsung akan membawa dampak yang menguntungkan bagi masyarakat. Akses jalan merupakan satu yang paling penting di antara semuanya. Jika kita jalan menuju Kahayya sebelum 2014 tersebut masih berupa tanah juga pengerasan dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih sejam atau dua jam, berkuda, atau bermotor (meski sangat suli), tahun ini, ketika kami (tim blogger inklusi) berkunjung ke sana, jalanannya sudah bisa dilalui oleh mobil, meski harus turun berkali-kali sebab mobil kadang tak sanggup menanjaki jalanan yang cukup terjal, juga meski aspalnya setengah-setengah, gambaran bantuan pemerintah yang awalnya melihat desa ini dengan ‘setengah-setengah’ pula. Dengan berubahnya status Desa Kahayya ini menjadi desa wisata, dalam waktu dekat pemerintah tentu akan memperbaiki jalan ke sana agar akses pelancong bisa lebih mudah. Ketika jalanan telah rampung, fasilitas-fasilitas penunjang lain tentu akan bermunculan satu per satu.

Bantuan dari beberapa LSM dan pemerintah yang disebutkan di atas tentu tidak ada artinya jika masyarajatnya sendiri yang tidak ingin berubah. Untungnya, orang-orang di Kahayya turut berpartisipasi aktif dalam program-program yang diberikan. Salah satu di antara mereka adalah Pak Marsan, seorang yang memiliki pandangan revolusioner terhadap desa tempat dia dilahirkan, ‘content creator’ dari Kahayya. Hampir semua program yang disarankan akan ditempuh caranya oleh beliau agar bisa terealisasikan. Seperti pengolahan kopi yang lebih baik, mulai dari produksi sampai distribusi. Produksi dan pengolahannya menjadi kopi bubuk dan dipak dengan kemasan yang menarik meningkatkan nilai jual kopi Kahayya sendiri. Lalu yang paling penting, beberapa petani telah betdaya untuk menyalurkan hasil panennya langsung kepada konsuman, bukan lagi melalui perantara (tengkulak), dengan begitu, keuntungan yang diperoleh petani kopi lebih banyak.

Salah satu hal paling menggebrak yang idenya berasal dari Pak Marsan bdalah pengaktifan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Sebelum itu, masyarakat masih menggunakan ‘genset’ untuk menerangi kediaman warga, itu pun pasokan listriknya sangat terbatas. Dengan mengandalkan aliran air sungai, listrik pun mengalir ke rumah-rumah mereka. Tentu banyak yang berubah setelah listrik ini masuk, selain kebiasaan sehari-hari masyarakat, produksi dan pengolahan kopi pun lebih optimal sebab mesin yang menggunakan listrik untuk memproduksi kopi akhirnya bisa dioperasikan.

Bukan hanya itu, Pak Marsan malah senang berinisiatif untuk mencari hal baru apa yang bisa dia lakukan untuk kemajuan kampungnya. Misalnya mencoba menanam bawang, membuat teh (dari daun) kopi (yang dulunya dikonsumsi oleh nenek moyang di masa kerajaan dan pendudukan Belanda),membuat kerupuk buncis, dan membantu mendirikan rumah baca dan rumah tahfiz (yang dibangun dengan batang pohon kayu manis. Semua ini dilakukan semata-mata demi kemajuan desanya. Hal-hal inovatif seperti ini diperoleh Pak Marsan dari kegemarannya membaca, juga dari pengetahuan di internet. Malah, meski di desanya jaringan saja pikir-pikir untuk ke sana, Pak Marsan rela ke kota Bulukumba untuk berselancar di Youtube, mencari informasi-informasi inovatif yang kira-kira bisa dia lakukan di Kahayya.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah, LSM, dan warga Kahayya seperti Pak Marsan adalah upaya-upaya agar masyarakat di desa tersebut tidak lagi tereksklusi oleh dunia luar di sekitarnya, tapi telah dianggap menjadi bagian dari dunia tersebut. Harapan mereka sederhana, semoga Kahayya tidak hanya sekadar tempat sapi orang-orang mengeluarkan kotoran, tapi tempat dimana orang-orang selalu ingin terus ke sana.



Suasana Desa Kahayya pagi hari. Nampak mobil akhirnya sudah bisa sampai ke tempat ini, meski butuh perjuangan berat.

Jumat, 15 September 2017

Di Pasilambena


Aku biarkan tubuh
terapung tanpa pelampung
melihat lepas perahu-perahu
di antara arus Kalao dan Madu

Orang-orang pergi dengan kelapa
pulang kadang tanpa kepala
laut mengambil tumbal
katanya sebelum kembali ke Selayar.

Seharusnya aku menguap
lalu turun di Karumpa sebagai hujan
tengah malam, di sana lebih aman,
semua orang adalah anak-anak.

Tapi pada akhirnya
aku menjelma karang panjang
tempat perahu bersandar
karam maupun selamat.

2017

Pulau Kalaotoa, Kecamatan Pasilambena, Kabupaten Selayar

Senin, 26 Oktober 2015

Selalu Ada Kenangan di Setiap Tempat dan Peristiwa -Live Report Blogger Camp Makassar 2015-

Begitu tahu bahwa Forum Lingkar Pena Makassar mendapat undangan untuk mengirimkan dua orang utusannya mengikuti Blogger Camp Indonesia 2015 di PPLH Puntondo, saya langsung melupakan skripsi yang tak kunjung selesai direvisi. Menjadi mahasiswa semester tua berarti siap menerima pertanyaan kapan wisuda, kapan nikah, dan kapan-kapan lainnya. Hilang sejenak dari kota, menulis dalam kesunyian, dan larut bersama para Blogger mungkin menjadi opsi menarik yang mampu melupakan rutinitas dan teror pertanyaan-pertanyaan horor di atas.

Meski senin sedang sibuk-sibuknya dan matahari 26 Oktober bersinar terlalu semangat, peserta tetap antusias berkumpul di Café Pojok Adhyaksa sebelum rombongan yang terdiri dari sebuah bus dan sebuah minibus menuju lokasi kamp, tidak ada yang terlambat. Selepas bersama-sama melarung doa ke langit, rombongan lantas menuju Takalar.

Sepanjang perjalanan, semua peserta terlihat antusias. Saya antusias pula melihat mereka. Blogger-Blogger keren dari berbagai komunitas di beberapa kota berkumpul bersama. Ada dari komunitas Blogger Makassar, Blogger Maros, Blogger Sinjai (yang dijemput di tengah jalan), Blogger Kompasiana, dan teman Blogger dari Kalimantan Barat. Ini seperti The Avengers, yang mana semua superhero  atau para jagoan (orang Makassar menyebutnya tolo’) berkumpul dalam satu kegiatan keren nan bermanfaat. Sepanjang perjalanan pula, begitu mulai masuk desa-desa pesisir Takalar, kami disambut lambaian tangan anak-anak. Dari balik kaca bus, saya menangkap tangan, mata, dan tawa mereka berbicara “Selamat datang, semoga hari-hari kalian menyenangkan.

Entah sudah kali keberapa saya menginjak tempat ini, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo. Sejak duduk di bangku Madrasah Aliyah, tempat ini selalu saja membuat saya rindu. Angin laut sejak dari dulu bertiup sejuk. Pepohonan, pasir putih, dan bangunan-bangunan kayu selalu saja menyambut para tamu. Maghrib telah merajai langit, beberapa peserta mulai menuju asrama untuk bersiap-siap sebelum kami menghabiskan malam bersama.



Jaringan dari smartphone saya awalnya hanya sekarat di daerah ini, namun lantas mati sebab operator selulernya mungkin belum menjangkau pelosok-pelosok negeri. Untungnya, jauh-jauh sebelumnya, saya meminta kepada salah seorang teman yang menggunakan SIM card Indosat untuk membeli banyak-banyak paket data sebab berdasarkan informasi dan pengalaman, jaringan Indosat berkuasa di daerah Puntondo. Dia memang setia pada Indosat, dan berencana mengaktifkan IndosatLove begitu tahu kabar ihwal aplikasi ini.

Malam masih berlanjut, setelah makan malam, para peserta mulai saling berbagi tentang kisah-kesah mereka selama menjadi Blogger, dan perkembangan blog-blog di daerah mereka masing-masing. Saya terpaksa melewatkan malam tanpa menyaksikan acara-acara favorit saya di Net Tv demi ihwal ilmu dan kebersamaan seperti ini. Ada yang bercerita tentang semangat para blogger yang menurun, perubahan arah tulisan para Blogger, dan kekhawatiran-kekhawatiran yang lain.

Namun menariknya, para Blogger di beberapa tempat tetap eksis dengan menjalin relasi dan jaringan di luar dunia digital. Beberapa blogger yang rajin bertemu di dunia nyata dan intens berinteraksi akhirnya menjadi seperti keluarga, sebab meminjam istilah Prof. Mattulada, keluarga itu ada tiga: Perkawinan, Keturunan, dan relasi sosial.  

Hari pertama lantas ditutup dengan materi mengenai photoblogging. Pembicara memberikan teknik-teknik jitu, bagaimana mengambil gambar yang keren dengan teknik Entire, Small, Frame, Angle, dan Time. Materi ini menambah pengetahuan kami sekaligus mengubah kebiasaan kami yang senang ambil gambar biasa-biasa saja (yang penting ada), dan kebiasaan mengambil gambar dari web atau blog orang lain.

Hari kedua menjadi hari yang paling seru selama Blogger Camp ini dilaksanakan. Setelah sarapan dan menikmati udara pesisir dari laut yang telah surut, seluruh peserta riuh dan larut dalam keseruan ber-outbond. Dibagi menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari enam sampai tujuh orang, setiap kelompok harus menyelesaikan empat games yang luar biasa serunya. Kedekatan emosi lantas terbangun dari games seru yang kami lakukan. Bukan soal menang-kalahnya atau pakaian yang kotor karena kejahilan teman-teman, tapi ini soal keseruan. Tertawa dan bahagia bersama itu selalu paling berharga.




Para peserta kemudian sibuk membersihkan diri dan menyegerakan langkah menuju aula pertemuan, tempat diskusi terakhir dimulai. Setelah anggota dari Blue Bird Group menyampaikan keunggulan mereka dibanding perusahaan lain yang bergerak di bidang transportasi, materi digital marketing betul-betul membuka mata saya bahwa dunia digital bukan hanya sekadar pelampiasan dari kekecewaan di dunia nyata, ajang curhat di media sosial, tempat pencarian teman-teman baru, atau tempat memperoleh pengetahuan dan informasi terbaru, tapi lebih dari itu. Dunia digital mampu menyambung kehidupan kita dengan memperoleh penghasilan tambahan. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Saya lantas berpikir bahwa untuk melamar seseorang yang saya cintai, digital marketing menjadi alternatif untuk mengumpulkan mahar (panai’ dalam bahasa Bugis-Makassar) yang mungkin harus dicoba.




Setelah materi berakhir, makan siang menyambut kami sebelum meninggalkan tempat yang indah ini. Sepanjang perjalanan pulang nanti, saya yakin, anak-anak desa akan melambaikan tangan dengan sumringah dan seolah berkata “selamat tinggal, sampai jumpa, saya yakin hari-hari kalian menyenangkan.”

Seseorang pernah berkata bahwa meninggalkan suatu tempat sama halnya dengan kepergian kita dari hati seseorang, kita tidak akan betul-betul pergi dari sana, akan selalu ada yang tertinggal, sesuatu yang kita sebut kenangan.



Puntondo, 27 Oktober 2015