Konstelasi Imajinasi

Selasa, 18 Maret 2014

Dimensi Sosiokultural dalam Pembangunan


Konsep “pembangunan” pada mulanya, dan pada dasarnya diacukan kepada pengertian pembangunan ekonomi, yakni “suatu proses dimana real per capita income dari satu negara meningkat dalam sautu masa panjang dan dalam masa yang bersamaan jumlah penduduk yang “di bawah garis kemiskinan” tidak bertambah, dan distribusi pendapatan tidak makin senjang (Meier 1989). Namun dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial, pembangunan diartikan lebih umum, yakni “perubahan sosiokultural yang direncanakan (dan menuju ke arah yang lebih baik. ed)” (Arensberg dan Niehoff 1964). Ada beberapa kasus yang diceritakan oleh Amri Marzali dalam bab ini yakni:

1.    Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik di Malaysia
Rancangan Malaysia Kedua (1971-1975), atau Repelita Kedua Malaysia adalah suatu ciptaan yang paling penting dalam sejarah Malaysia. Repelita ini secara dahsyat merombak prioritas tujuan pembangunan dari pertumbuhan ke pemerataan. Butirnya berbunyi “mengurangi dan seterusnya menghapuskan kemiskinan…” harus dilaksanakan “…melalui peningkatan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja bagi semua rakyat Malaysia.” Butir yang paling penting adalah “membangun susunan masyarakat Malaysia yang baru di mana ketidak seimbangan ekonomi antar kaum (antar kelompok etnik dan ras) berkurang dan seterusnya menghilang (Malaysia 1971).Kaum yang dimakasud disini adalah kaum Melayu, Cina, India, dan lain-lain. Hasilnya? Bisa kita lihat bagaimana majunya Malaysia saat ini.

2.    Strategi Pembangunan Cagar Budaya Condet
Kawasan Condet terkenal akan buah duku, salak dan budayanya yang Betawi banget. Oleh karena itu, Gubernur DKI Jakarta Bapak Ali Sadikin (1966-1977) bersama staff dan jajaran pemerintahan waktu itu berencana untuk melestarikan budaya Betawi dan kawasan perkebunan dukuh dan salak dengan melakukan 6 kegiatan, yakni; pembentukan koperasi simpan pinjam, pembangunan jalan raya dan jalan setapak, renovasi rumah tradisional Betawi, penghijauan, penggalakan kegiatan kebudayaan, dan pembangunan industri kerajinan tangan, kolam ikan, dan cara pertanian modern. Oh yah, khusus untuk yang melanggar aturan memotong pohon salak, maka akan DISUNAT oleh Pak Gubernur (serius). Hasilnya? Memang pada mulanya berjalan mulus, namun dampak negatif dari proyek pembangunan ini adalah masuknya sarana dan prasarana modern di wilayah tersebut (yang tersebar di sepanjang jalan yang baru dibangun) dan makin banyaknya warga Jakarta yang berpindah ke Condet seiring dengan mudahnya akses transportasi. Warga baru tersebut kemudian mendirikan rumah-rumah dan bangunan-bangunan di atas kebun salak (termasuk investor) akibatnya para pemuda Condet ta’bangka gehol, dan lahan kebun salak pun semakin menyempit. Oh yah, dan bagaimana dengan hukuman akan disunat? Pak Gubernur pensiun duluan.

3.    Persebaran Teknologi Tepat Guna
Kasus ini melibatkan 3 pesantren dimana di tiap pesantren diberikan pelatihan cara membuat beberapa jenis peralatan teknologi tepat guna oleh klien LP3ES yang ujung-ujungnya “Gatot” alias Gagal Total. 1) Alat perontok padi yang diberikan kepada pesantren Darunnajah di desa Pondok Pinang dan Pondok Kacang di Tangerang sukar diterima karena masyarakat disana sudah tidak bersemangat lagi bertani (pindah pekerjaan), bahkan tanah mereka sudah dijual kepada investor yang ingin membangun real estate. 2) Di daerah Madura, diperkenalkan tungku lorena yang memudahkan mereka dalam memasak makanan. Namun makanan utama mereka ternyata adalah jagung yang dikeringkan diatas para-para yang disimpan di dapur dengan harapan panas dan asap hasil pembangkaran merayau ke arah jagung tersebut. Masalahnya tungku lorena mengalirkan asap keluar rumah melalui cerobong, jadinya jagung mereka tidak bisa dipanasi dan tidak bisa dipanasi. 3) Beberapa pesantren menghadapi persoalan organisasional yang berkaitan dengan tradisi. Pesantren memiliki tujuan untuk meningkatkan pendidikan agama di suatu masyarakat namun kini pesantren dihadapkan pada tujuan baru yakni pembangunan masyarakat dan penyebaran teknologi tepat guna. Namun hal ini ternyata mendatangkan konflik internal antara kyai yang mendukung tujuan baru tersebut (kyai progresif) dengan kyai yang menolak (kyai tradisional).


4.    Ketegangan Sosial di Cilegon
Ini adalah pengalaman Amri Marzali bersama trainee LP3ES yang meneliti masyarakat desa di sekitar pabrik waja PT. Kratakau Steel, Cilegon. Survey dijalankan dan hasilnya sekitar 80% anggota masyarakat menyambut gembira kehadiran pabrik tersebut. Selesai? Tidak, Hasil ini menyesatkan! Karena setelah ini, Amri Marzali melakukan penelitian khas Antropologi, yakni observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Hasilnya? Yang 80% tadi ternyata sangat tidak suka dengan cara pabrik membebaskan tanah penduduk (dengan setengah memaksa) dan mengangkat pegawai (yang bukan orang Banten). Sedangkan kaum ulama mengkhawatirkan efek negative dari pabrik ini dalam perkembangan pelacuran. Rupanya mereka khawatir (baca: takut) dengan keadaan mereka jika menjawab “tidak senang” terpaksalah mereka menjawab “senang” agar kehidupan mereka aman-aman saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: 1) faktor kultural (solidaritas antar etnik) dalam hubungan sosial harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan daerah. 2) Pentingnya teknik penelitian antropologis dalam menggali dimensi cultural dalam pelaksanaan pembangunan.   

Sumber:
Resume dari Bab 3 buku Antropologi dan Pembangunan Indonesia oleh Amri Marzali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar