Konstelasi Imajinasi

Minggu, 01 November 2015

Ihwal Pemali


MATAHARI Pertengahan Oktober masih terlalu bersemangat mengambil jatah milik hujan yang sudah hampir enam bulan lupa arah jatuh pulang. Unru baru saja menyalakan motor Honda hitam keluaran tahun 1998 di halaman rumah yang rimbun dipayungi kanopi pohon mangga. Starter tangan yang sudah tidak lagi berfungsi membuat pemuda itu setengah mati memainkan starter kaki motor warisan ayahnya itu dengan sedikit emosi. Celana dari bahan jeans biru yang ia kenakan terlihat serasi dengan jaket dari bahan dan warna yang sama. Ditambah rambut gondrong sebahu dan scarf yang digunakan, membuat penampilan pemuda umur 21 tahun ini terlihat keren.
            “Unru! Pegang nasi dulu baru pergi!” Suara perempuan terdengar agak keras dari dalam rumah.
            “Dosen sudah hampir masuk, Bu. Pintu ruangan mungkin telah ditutup kalau saya harus ke dapur untuk hanya sekadar memegang nasi,” Unru berteriak dari luar, suaranya mengalahkan bunyi knalpot motornya.
            Baru saja ia akan menancap gas, terdengar derap langkah kaki yang cukup keras dan terburu-buru. Ibunya menuruni tangga rumah panggung dengan sebakul nasi, lalu disodorkan langsung ke hadapan Unru.
            “Pegang sekarang, nanti kamu sial di perjalanan,” Ibu menajamkan mata.
            Unru yang melihat tingkah aneh ibunya hanya memasang wajah datar. Ia mengembuskan napas kuat-kuat, melepas kaos tangan kanannya, lalu menyentuh dua butir nasi yang ada di bakuI.
            “Tunggu, kau berkendara pakai headset?” Tanya Ibu setelah melihat kabel hitam menggantung dari balik helm, turun ke dada dan masuk ke saku tempat HP Unru tersimpan.
            “Orang-orang selalu butuh hiburan ketika melakukan hal membosankan,” Jawab Unru seadanya. Ia lantas berlalu setelah mencium tangan ibunya.
*
RUMAH Unru berada di pinggiran kota, dan jalanan sedang macet-macetnya sebab proyek akhir tahun sedang berjalan. Perbaikan jalan dimana-mana, beton-beton mulai menggantikan aspal, meskipun masih setengah-setengah. Besi-besi masih mencuat keluar dari jalur beton yang belum tertutup sempurna, mengambil jatah area jalan aspal yang tidak lama lagi benar-benar kalah sepenuhnya.
            Ihwal inilah yang akhir-akhir ini membuat jalanan begitu padat, dan Unru merasa sangat bosan jika harus menghabiskan waktu sia-sia di tengah hiruk-pikuk suara kendaraan yang bercampur dengan suara klakson orang-orang yang tidak mengerti keadaan. Unru sebenarnya orang yang taat pada peraturan lalu-lintas dan mengerti bagaimana caranya berkendara dengan aman agar selamat. Namun jengah betul-betul menguasainya beberapa hari ini, ia lantas melanggar  janjinya sendiri, memakai headset untuk menyejukkan telinganya dari sahut-sahutan suara yang jadi polusi
            Sepanjang perjalanan, Unru tidak fokus pada lagu-lagu yang terputar dari smartphone miliknya. Ia terus saja memikirkan perkataan ibunya. Sudah sejak lama sebenarnya Unru gelisah, ibunya yang meski telah pindah ke ibu kota provinsi, masih saja percaya dengan pantangan-pantangan. Bagi orang Bugis, dunia dibangun oleh pantangan-pantangan dan cerita-cerita orang tentang citra keluarga. Orang yang melanggar pantangan lalu celaka akan menjadi buah bibir yang ranum dimana-mana.
            Pantangan tentang makanan adalah ihwal yang paling sering bergema di rumah Unru. Orang Bugis sangat menghargai makanan, sebab makananlah sumber penggerak kehidupan. Makanan sejatinya adalah kumpulan energi yang menyatu dengan manusia.
            Masih jelas di ingatan Unru bagaimana ibunya selalu memberikan petuah untuk jangan membuang-buang makanan, ambil secukupnya lalu habiskan, bukan mengambil banyak namun akhirnya tersisa.
            “Nasi di piringmu masih ada beberapa butir, nanti nasinya menangis dan rezekimu lari, kalau kau keluar rumah dengan menyisakan nasi, kau bisa sial,” petuah ibunya di suatu waktu menjelang isya.
            Unru masih mengingat kejadian tadi pagi. Ia terlambat bangun padahal kuliahnya dengan dosen killer akan dimulai 30 menit lagi, sama dengan waktu tempuh yang ia butuhkan untuk sampai ke kampus. Dengan tergesa-gesa, ia hanya mencuci muka, menggosok barisan gigi rapinya, mengganti pakaian, mengambil tas lalu sekonyong-konyongnya menuju pintu. Ibunya yang sedang berada di dapur mengajak Unru untuk sarapan dulu, tapi ia tolak dengan alasan keterlambatan. Saat itulah ibunya berteriak agak keras agar Unru memegang nasi terlebih dahulu. Bagi orang Bugis, pantang tidak mencicipi makanan jika telah ditawari. Terlebih jika akan keluar rumah, setidaknya, makanan tersebut harus dipegang, sebab apabila tidak, kesialan akan menimpa orang tersebut di perjalanan.
            Hari ini Unru tidak masuk kelas. Ia betul-betul terlambat, dosen telah masuk dan pintu telah ditutup. Ia berupaya melobi dosen agar diizinkan masuk dengan alasan klasik. Namun gelengan kepala dari dosen membuat Unru hanya bisa mengelus dada, sebab seperti kebanyakan orang, alasan jalanan macet hanyalah salah satu mitos manusia Indonesia bersama dengan frase “sudah OTW” atau “lima menit lagi sampai”.
*
UNRU berhasil bangun 30 menit lebih awal dari biasanya sebab ini adalah hari selasa yang sama menjengkelkannya dengan hari senin: sama-sama kuliah pagi dan dosennya killer. Setelah kemarin memperoleh kecewa sehabis bertempur dengan hiruk-pikuk jalanan, hari ini ia bertekad untuk hadir di mata kuliah pagi, apapun alasannya.
            “Sarapan dulu, Unru. Supaya kaumenangkan pagi,” Ibu menawari Unru nasi goreng yang ia buat dua porsi. Untuk dirinya, dan untuk anak satu-satunya.
            “Saya akan menangkan pagi jika berada di kampus tiga puluh menit lagi, Bu. Sarapan akan menyita setengah waktu itu dan hasilnya akan seperti kemarin, saya kalah oleh pagi,” jawab Unru dengan terburu-buru.
            “Setidaknya kaupegang nasi ini agar tidak sial di jalan, juga supaya kau betul-betul menangkan pagi,”  Ibu tersenyum saat menyilakan Unru setidaknya sedikit mencicipi masakannya.
            Langkah Unru yang tadinya tergesa-gesa menuju pintu akhirnya terhenti. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan kencang.
            “Sampai kapan Ibu percaya hal seperti itu?” Tanya Unru sambil menatap wajah Ibunya.
            “Sampai kapan pun. Kau tahu sendiri kan, itu pemali, orang-orang percaya sebab itu semua terjadi,”  Ibu berusaha menjelaskan pada anaknya akan apa yang ia yakini.
            “Tidak ada hubungan antara tidak memegang makanan dengan kesialan-kesialan, semuanya punya alasan logis, lantas yang atur itu Tuhan, bukan pantangan-pantangan,” Unru sedikit meninggikan suaranya sambil mengernyitkan dahi dan mengembuskan napas kuat-kuat begitu mendengar perkataan ibunya.
            Kesabaran Unru mengenai ibunya yang terlampau percaya pada pemali-pemali membuat ia akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan di dada dan kepalanya. Ia sedikit emosi dan sebagai akademisi, pemali-pemali yang diyakini ibunya terasa tidak masuk akal.
            Ibu yang mendengar Unru berkata seperti itu menggelengkan kepala. Anak kesayangan satu-satunya mulai berani mendebat orang tua. Nada suara Unru yang lebih tinggi dari ibunya adalah suatu hal yang juga pantang bagi orang Bugis. Unru tidak sopan, sedikit lagi ia akan dicap sebagai anak yang tidak paham adat dan durhaka pada orang tua.
            “Kau mau pegang nasinya atau tidak?” Ibu  lebih mengeraskan suaranya. Tidak seperti hari-hari lain saat Unru disuruh memegang nasi sebelum keluar rumah, hari ini hati Ibu terasa sakit.
            “Untuk kali ini, Bu, saya akan pulang dengan selamat tanpa memegang nasi,” sahut Unru sebelum melengos dan meninggalkan Ibunya yang geram.
*
UNRU sebenarnya merasa bersalah terhadap apa yang telah ia lakukan pada ibunya. Ia sadar telah berlaku tidak sopan. Ia berkendara sambil mendengarkan musik melalui Headset yang terpasang ke samrtphone-nya, ia biarkan musik itu menghilangkan pikiran-pikiran negatif tentang apa yang baru saja ia lakukan pada ibunya. Unru betul-betul hanyut, musik seperti membawanya ke dunia berbeda tanpa beban.
            Setelah melewati perbaikan-perbaikan jalan yang mengundang macet dan mendapati jalanan sedang tidak padat-padatnya, ia menancap gas sambil bernyanyi keras-keras mengikuti lagu yang terputar dari samrtphone-nya, berlomba apakah yang duluan mengetuk pintu kelas adalah waktu atau dirinya.
            Gabruk!
            Sebuah pete-pete[1] berhenti tiba-tiba untuk mengambil penumpang di pinggir jalan. Unru menghantam belakang mobil berwarna biru itu dengan sangat keras. Ia terlempar tidak jauh dari motornya yang rusak di bagian depan, sedangkan pete-pete tersebut ringsek di bagian belakang. Orang-orang lantas berkerumun, mengamankan kedua kendaraan yang baru saja beradu. Sopir pete-pete berusaha mendinginkan kepalanya yang emosi, sementara Unru dibawa ke rumah sakit.
*
IBU tidak henti menatap wajah Unru yang baru saja siuman. Air matanya menetes, ia menyesal kenapa tidak memaksa anak kesayangannya memegang sebutir nasi saja. Ia percaya, kecelakaan sial ini karena Unru mengabaikan pemali.
“Kamu lupa bahwa orang yang sangat kita cintai meninggal karena kecelakaan. Waktu itu ayahmu pergi tanpa memegang nasi setelah kutawari makan malam. Dan sekarang kau mengulangi kesalahan yang sama, kau juga tidak pikirkan penilaian orang terhadap kita,” Ibu mulai menangis.
“Sepertinya Ibu belum belajar sesuatu.”
Unru benar, ini bukan persoalan pemali, semuanya salah Unru. Ia mendengarkan musik sambil berkendara, mengurangi fokusnya pada jalanan. Ihwal ayah Unru, dia meninggal karena kepalanya yang tak dilindungi helm terbentur aspal.
***.
                                                                                                                 Makassar, Oktober 2015

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

                                                           




[1] sebutan untuk angkutan kota (angkot) di daerah Sulawesi Selatan

1 komentar: