Konstelasi Imajinasi

Minggu, 24 Desember 2017

Kemana Yusuf dan Zulaikha Melarikan Cintanya? -Review Novel Silariang, Cinta yang (Tak) Direstui

Tega-taq mengotori desa kami dengan siriq

Silariang merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan –terutama bagi orang Bugis dan Makassar- untuk menyebutkan pasangan yang kawin lari karena tidak direstui oleh orang tua. Tidak hanya di masa lalu, praktik silariang ini masih kerap kita temukan di masa sekarang, meski tentu, telah ada ihwal yang berubah, misal, hukumannya.

Sebetulnya, ada tiga konsep berbeda yang berkaitan dengan kawin lari ini, yakni silariang itu sendiri, nilariang, dan najuluang alena. Dianggap silariang jika kedua pasangan sama-sama suka dan memutuskan untuk ‘lari’ bersama. Nilariang berarti ‘dilarikan’ atau ‘dibawa lari’, yakni istilah yang diberikan jika seorang laki-laki membawa lari seorang perempuan. Dalam kasus ini, tidak ada suka sama suka, si perempuan tidak ingin menikah dengan si lelaki, tapi akhirnya mau karena diancam, diintimidasi, bahkan mungkin ‘diculik’.  Istilah ketiga yakni najuluang alena merupakan ungkapan yang disematkan kepada seorang perempuan yang rela dirinya dibawa lari oleh seorang lelaki. Dalam kasus ini, si perempuan rela melakukan apa saja yang penting bisa membuat dirinya tetap bersama si lelaki, meski tanpa restu orang tuanya, dan meski dengan harus memaksa si lelaki jika si lelaki itu tidak mau melakukannya. Di sini bisa dilihat, bagaimana perempuan lebih agresif daripada si lelaki.

Salah satu potret silariang bisa dilihat dalam novel yang ditulis oleh Oka Aurora dengan judul Silariang  -Cinta yang (Tak) Direstui. Novel ini sebetulnya diangkat dari naskah film dengan judul yang sama yang akan segera tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Saya lebih dulu tahu mengenai filmnya melalui cerita teman dan menonton trailernya ketimbang membaca bukunya. Awalnya saya pesimis, mengingat film berjudul Silariang menuai banyak kritikan (meski juga dapat pujian), tapi saya salah, ternyata ada dua film yang muncul dengan judul yang sama. Sejujurnya, saya menganggap film ‘yang satu’ sangat lemah persoalan riset, namun di film ‘yang ini’, saya menganggap risetnya bagus dan mantap. Hal tersebut saya simpulkan setelah berdiskusi dengan salah satu pemain yang tidak lain adalah senior sekaligus guru saya (Muhary Wahyu Nurba) dan tentu juga setelah saya membaca novelnya.

Di dalam novel yang diterbitkan oleh Coconut Books dan didistribusikan oleh Bumi Semesta Media ini, saya tidak menemukan ‘cacat budaya’ dalam latar yang ditampilkan, semuanya logis. Mulai dari konsep silariang (yang sudah saya jelaskan di atas), siriq (harga diri) manusia Bugis, sampai mekanisme-mekanisme dan upaca-upacara adat yang berkaitan dengan peristiwa silariang ini, seperti konsep mangelliq dara (membeli darah), konsep bala (kesialan yang disebabkan oleh dosa), dan lain-lain. Di sini kita lihat bagaimana riset yang bagus dalam sebuah karya menghasilkan latar yang nihil ihwal cacat budaya.

Tidak hanya itu, cerita yang disajikan sangat apik dan menarik. Meski harus saya akui, di dua –tiga halaman pertama agak membosankan, tetapi setelah itu, saya tidak bisa memalingkan pikiran saya dari serunya drama percintaan antara Yusuf dan Zulaikha. Saking serunya, saya tidak merasakan bagaimana waktu mengalir cepat dan menyelesaikan novel ini hanya dalam dua kali duduk (setengah buku sekali duduk). Alurnya penuh kejutan, dan secara pribadi saya merasa, jika berada di posisi Yusuf dimana cinta terhalang adat yang ‘tidak masuk akal’, saya mungkin akan melakukan hal yang lebih masuk akal ketimbang silariang. Namun yah, begitulah Yusuf memberikan semangat kepada pembaca untuk tetap melawan demi cinta dan kebahagiaan keluarga, meski badik mengintai nyawa kita.

Dimana ada hal positif, di situ ada juga hal negatif. Tidak ada yang bisa lepas satu sama lain, sebab keduanya ibarat dua sisi mata uang. Begitu pun dengan novel ini. Ada hal mengganggu yang saya catat, yakni mengenai latar tempat dimana Yusuf silariang bersama Zulaikha.

Latar tempatnya digambarkan mengenai sebuah desa yang dikelilingi oleh perbukitan karst limestone, sungai, dan empang. Saya lalu membayangkan desa wisata Rammang-Rammang, atau daerah sekitar perbukitan karst yang membentang sepanjang Maros-Pangkep yang juga telah diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia. Bisa saja saya benar atau salah mengenai lokasi pelarian pasangan ini, namun citra yang dimunculkan ke pembaca dan penonton cuplikan filmnya –apalagi yang mengerti kondisi daerah Sulawesi Selatan- tentu akan membayangkan wilayah yang saya maksud di atas.

Keanehan yang muncul adalah, jika lokasi yang dimaksud betul-betul di daerah karst Maros-Pangkep, mengapa pelarian itu digambarkan menempuh waktu lebih dari semalam? Padahal, untuk menuju lokasi itu pun, dari Makassar hanya sekira dua jam saja. Bahkan sampai ke pelosok sekali pun, dengan menggunakan perahu, tidak akan menempuh perjalanan selama itu. Apalagi digambarkan bahwa mereka harus menggonta-ganti moda transportasi berkali-kali bahkan semalaman di perjalanan daratnya. Perlu diketahui, perjalanan darat yang ditempuh semalaman dari Makassar hanyalah untuk wilayah di daerah Sulawesi Selatan bagian utara, seperti Enrekang, Toraja, Luwu, dan sekitarnya. Lantas kemanakah sebetulnya Yusuf dan Zulaikha pergi?

Saya sendiri menebak-nebak, kalau latar tempat ini memang ada di Sulawesi Selatan (tidak dibuat-buat), maka bisa jadi tempatnya berada di daerah Toraja, Luwu, atau Enrekang. Tebakan saya bukan tanpa dasar, selain jarak tempuhnya yang lama, saya juga melihat kondisi geografis kedua kabupaten itu yang juga masih memiliki bukit-bukit karst meski tidak sepanjang Maros-Pangkep, selain itu, kehadiran tokoh Dhira yang merupakan orang Toraja memperkuat pendapat saya bahwa lokasinya berada di daerah tersebut. Hal kecil lain yang juga bisa dijadikan bukti adalah pencarian tokoh Ridwan dan anak buahnya untuk menunaikan siriq atas tercorengnya keluarga bangsawan. Pencarian itu bahkan sampai ke Bonebone dan Palopo, kedua daerah itu terletak di Luwu. Saya pun dengan pasti tidak bisa menentukan di kabupaten mana mereka menetap, ingat dibilang Toraja, tapi mayoritas penduduk desanya beragama Islam –padahal Toraja mayoritas nasrani. Saya pun tidak bisa memastikan lokasinya di Luwu, sebab tidak ada bukit karst di sana.

Latar dari lokasi pelarian Yusuf dan Zulaikha ini memang tidak disebutkan secara gamblang. Ini yang menurut saya kurang, tidak ada salahnya jika lokasi tersebut disebutkan sehingga pembaca tidak dibuat bingung dengan kelogisan cerita. Jika seperti ini, maka bisa saja kesan yang muncul adalah, penulis tidak tahu latar tempat berlangsungnya cerita, atau penulis memanfaatkan ketidak tahuan pembaca terhadap suatu daerah sehingga penulis mencampur beberapa identitas lokal yang unik (seperti karst, sungai, orang Toraja, dll) lalu mengarang sendiri latar tempat dan dibuat seolah-olah latar tersebut nyata.

Terlepas dari perdebatan lokasi Yusuf dan Zulaikha melarikan cintanya, novel ini saya rekomendasikan untuk teman-teman baca, terutama bagi mereka yang dimabuk asmara. Bukan berarti novel ini mengajarkan kalian silariang, tapi justru, ada banyak pesan-pesan moral dan kearifan yang disampaikan melalui ceritanya tanpa kita merasa didikte atau digurui.

           Lokasi syuting film Silariang, tampak di              belakang, latar perbukitan karst 

                  (Sumber: makassarbaik.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar