Konstelasi Imajinasi

Rabu, 21 November 2012

'Buku Putih' untuk para Koruptor

          Berbicara mengenai korupsi di Indonesia memang tidak ada habisnya. Korupsi telah mengakar ke segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kuatnya akar korupsi ini  melahirkan koruptor dari berbagai macam kalangan, mulai dari pengusaha, anggota dewan, jaksa, hakim, polisi, mantan menteri, duta besar, artis, bahkan komisioner Komisi Pemilihan Umum semuanya lengkap. Tidak heran jika beberapa orang beranggapan bahwa korupsi telah menjadi budaya di Indonesia.

Pengakuan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup tidak hanya datang dari masyarakat pribumi alias Warga Negara Indonesia, namun juga datang dari warga Negara lain. Sebut saja Michael Backman yang dalam bukunya Asia Future Shock menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang sepertinya ‘tidak punya masa depan’. Bagaimana tidak, korupsi yang menggila ini cukup untuk mendorong bangsa besar seperti Indonesia menuju kehancuran. Tidak segan-segan, di salah satu judul bab dalam bukunya, Backman melontarkan pertanyaan pesimis “Apakah Indonesia Punya Masa Depan?” sebuah pertanyaan yang berangkat dari realita dan secara pribadi sangat menusuk.

Sekarang mari kita renungkan, apa yang salah dengan Indonesia? Mengapa korupsi begitu merajalela? Ada dua persoalan yang terkait dengan hal ini, pertama adalah gagalnya pendidikan berkarakter dan penanaman pemahaman kesadaran akan bahaya korupsi sejak dini.

Masalah kedua adalah hukum yang berlaku di Indonesia untuk para koruptor sangat tidak tegas! UU TIPIKOR hanya memberikan batasan maksimal 20 tahun penjara dan denda maksimal 1 miliyar untuk para koruptor denga kasus yang tergolong berat. Namun menurut saya, hukuman maksimal 20 tahun penjara sangat tidak efektif. Fakta lapangan berbicara, belum ada satu hakim pun yang memutuskan hukuman maksimal ini, itu pun jika jaksa penuntut memberikan hukuman 15 tahun penjara, maka hakim akan memutuskan hanya dua sampai lima tahun penjara saja. Dendanya pun seperti itu, okelah jika denda maksimal telah diberikan, namun yang menjadi pertanyaan apakah harta yang telah dikorupsi dikembalikan pada Negara? Ini yang menjadi persoalan. Jika denda yang diberikan hanya satu milyar namun harta yang dikorupsi mencapai puluhan bahkan ratusan milyar, maka tentu harga satu milyar tidak ada apa-apanya. Menggiurkan bukan?

Jika UU TIPIKOR mengenai hukuman maksimal diatas belum efektif, maka sudah saatnya pemerintah menerapkan ancaman hukuman baru, yaitu hukuman mati. Memang terkesan kontroversi karena masih meninggalkan pro-kontra di masyarakat, namun sebagai warga Negara yang baik dan ingin melihat bangsa ini maju, maka saya berada di pihak yang mendukung hukuman mati tersebut.  Memang jika kita lihat sepintas hukuman mati terlihat sadis, kejam, brutal,dan tak berperikemanusiaan. Namun sadarkah kita bahwa yang lebih tidak berperikemanusiaan adalah koruptor itu sendiri? Sadarkah kita bahwa karena orang-orang seperti merekalah bangsa ini diambang kehancuran? Menghilangkan sebuah nyawa yang memang bersalah tidak sebanding dengan puluhan, ratusan bahkan ribuan jiwa yang siap meregang nyawa karena kelaparan di bumi Indonesia yang seharusnya kaya.

Hukuman mati seperti ini berfungsi untuk menimbulkan efek jera dikalangan koruptor. Apalagi jika eksekusi dilakukan di hadapan umum dan diliput oleh media, tentu hal ini akan menimbulkan efek psikologis bagi para ‘penonton’. Dan sebagai ajang pembuktian bahwa inilah akibatnya jika seseorang melakukan korupsi.Hukuman mati seperti ini tentu tidak akan digeneralisasikan untuk semua koruptor, hanya kepada koruptor yang telah mencapai suatu batas korupsi tertentu yang akan dieksekusi.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana pemerintah memulai pelaksanaan hukuman mati ini? Di sini saya memiliki sebuah solusi yang unik. Solusi ini saya namakan ‘Buku Putih’. Jadi yang pertama harus dilakukan adalah KPK dan instansi terkait  mengidentifikasi seluruh koruptor yang ada di Indonesia. Setelah teridentifikasi dan terbukti benar mereka melakukan tindak pidana korupsi, maka seluruh harta atau aset Negara yang telah dikorup harus dikembalikan pada Negara hingga semua koruptor tersebut ‘bersih’. Setelah pengembalian aset Negara ini, tidak akan ada hukuman lebih lanjut dengan kata lain para koruptor tersebut dimaafkan. Pemerintah bisa menjadikan hari dimana ‘pemaafan’ ini terjadi sebagai Hari Bebas Korupsi Nasional, dengan harapan tidak adanya lagi kasus korupsi setelah hari itu, inilah makna dari ‘Buku Putih’. Pada hari itu pulalah awal diberlakukannya hukuman mati. Yakni siapa saja yang masih melakukan tindak pidana korupsi melewati batas yang telah ditentukan setelah hari itu, maka hukumannya jelas, eksekusi mati di depan khalayak umum dan media.
 

           Sekali lagi, tentu gagasan ini menghasilkan pro dan kontra, namun kembali saya mengingatkan bahwa jika kita ingin melihat Indonesia kembali berjaya seperti dulu lagi, jika kita ingin membuktikan bahwa Indonesia masih punya masa depan, jika kita ingin melihat Indonesia bebas dari sesuatu yang berbau korupsi maka satu-satunya hukuman yang tepat untuk para koruptor adalah hukam mati. Kebanyakan dari kita menjadikan China sebagai tolak ukur kurang efektifnya hukuman mati yang diterapkan. Hal itu karean China masih belum bisa memberantas korupsi secara keseluruhan hingga ke akarnya. Sekedar info, perekonomian China bisa maju setelah menerapkan hukuman mati ini. Logikanya, jika China yang notabene menerapkan hukuman mati di negaranya saja masih kecolongan, bagaimana dengan Indonesia yang tidak menerapkannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar