Konstelasi Imajinasi

Selasa, 13 Agustus 2013

Elegi Sang Hilang

PERNAHKAH kalian merasa kehilangan?

Saat sesuatu masih bersama kita, nilainya tidak begitu terpikirkan. Namun sesuatu itu menjadi sangat berharga jika sudah tidak bersama kita. Ya, perasaan kehilangan hanya akan ada jika kita pernah merasa memilikinya. Itulah yang terjadi padaku.

Dahulu aku seorang yang memiliki segalanya, rumah yang bagaikan istana, koleksi mobil mewah, tabungan yang mencapai saldo milyaran, tanah yang tersebar di mana-mana, usaha yang kian hari kian berkembang, dan tentu saja tunangan yang jelita. Oh iya, aku juga punya yacht. Sebelumnya perlu kupertegas, bahwa aku adalah contoh nyata seorang entrepreneur sukses yang bergerak di bidang Multilevel Marketing atau biasa disebut MLM. Tidak heran jika aku memiliki kekayaan yang berlimpah. Ya, dulu. Karena itu adalah cerita lama. 

Selain dari segi materi, aku juga memiliki skill di segala bidang. Aku jago bermain badminton, jago bermain gitar, jago melukis lukisan bernuansa realis, jago silat, jago menulis cerpen, jago hacking dan aktif dalam berbagai organisasi. Soal kecerdasan, jangan ditanya. Sejak SD hingga SMA, aku tidak pernah keluar dari lingkaran tiga besar peringkat kelas unggulan. Dan saat sarjana, aku memperoleh predikat summa cumlaude dari sebuah universitas yang menurut orang universitas terbaik se-Indonesia. Tapi itu cerita lama.
Beberapa anugerah yang telah diberikan Allah tidak membuatku kufur nikmat kepada-Nya. Aku rajin menyedekahkan hartaku untuk mereka yang kurang mampu, membayar zakat, menyumbang untuk pembangunan mesjid, pesantren, panti asuhan dan berbagai amal jariah yang lain. Akumulasi dari hal-hal inilah yang membuatku merasa menjadi manusia paling berbahagia, beruntung dan mendekati sempurna. Tapi sekali lagi, itu hanyalah cerita lama.

                                                                                    *

SUATU hari di pagi cerah, aku sedang menikmati nasi goreng buatan ibu yang sedari dulu menjadi makanan favoritku. Ya, ibulah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Beliau harta yang paling berharga untukku melebihi apa pun yang kumiliki selama ini. Maka tidak heran, jika aku masih suka dibuatkan nasi goreng spesial ala Mama. Meskipun mungkin aku bisa saja membeli nasi goreng termahal di dunia, tapi masakan ibu sungguh sangat berbeda. Tidak akan pernah ada yang dapat menandingi cita rasanya. Kalian tahu kenapa? Karena ada cinta di setiap masakannya.

Musibah terjadi saat aku mencoba suapan pertama dari nasi goreng spesial ala Mama tersebut. Tiba-tiba aku tidak bisa merasakan cita rasa apa pun bahkan aku tidak dapat membau aroma khasnya.

“Nasinya hambar? Tidak biasanya seperti ini. Apa ibu sakit?” aku membatin. Aku mencoba suapan kedua, dan sekali lagi, aku tidak merasakan cita rasa apa pun, benar-benar tidak memiliki cita rasa dan aroma! 

“Ibu, ibu kesini sebentar!” Aku sedikit berteriak memanggil ibu yang sedang di dapur.

“Ada apa nak?” Ibu menghampiriku lalu bertanya.

“Coba ibu makan ini, kenapa nasi gorengnya tidak memiliki rasa dan aroma apapun?” Sembari menyodorkan piring ke Ibu yang terlihat mengernyitkan dahi.

“Tidak berasa dan tidak beraroma apanya? Nasi goreng enak begini kok dibilang tidak berasa dan tidak beraroma?” Tanya ibu setelah mencicip sesendok nasi goreng buatannya sendiri.

“Eh? Aku serius bu! Nasi goreng ini tidak berasa dan tidak beraroma!” Sekarang aku mulai heran.

“Nak, mungkin kamu sedang sakit.” Ibu terlihat khawatir.

Mendengar jawaban ibu, sontak aku menuju dapur lalu mengambil apel. Setelah kucicipi, ternyata benar. Mungkin aku sakit. Aku tidak bisa merasakan cita rasa apel yang dulu menjadi buah kesukaanku. Aku membuka kulkas dan mencoba menghirup aroma segar yang keluar dari dalam lemari pendingin tersebut. Namun nihil, aku tidak dapat membau apapun. Aku mencoba membau parfum mahal yang kusemprotkan di badanku beberapa menit lalu. Namun lagi-lagi, aku tidak dapat mencium aroma apa pun. Sekarang aku takut.

Ditemani ibu, aku menuju rumah sakit untuk memeriksakan diri. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya bisa bedoa, semoga ini bukan sesuatu yang buruk. “Maaf, saya belum bisa memastikan bapak menderita penyakit apa. Mungkin bapak menderita sebuah penyakit baru yang kami dokter pun tidak tahu penyakit seperti apa itu.” Jawaban dokter ini membuatku frustasi. Mustahil aku menderita penyakit aneh. Setelah mendengar pernyataan dari dokter tadi, siang itu aku langsung memutuskan untuk berobat ke Singapura, negara yang menurut beberapa orang merupakan salah satu destinasi pengobatan modern di dunia. Namun sama saja. Jawaban yang kuterima sama sekali tidak memuaskan.

Hari berganti hari, aku bahkan berobat hingga ke Jerman, Kanada dan Amerika. Namun lagi-lagi jawaban yang kuterima semua sama, tidak tahu. Apakah benar aku menderita penyakit aneh seperti itu? Paling tidak untuk beberapa bulan, aku percaya bahwa sebuah penyakit aneh tak bernama telah menyerang hidupku yang awalnya terasa sempurna.

                                                                                 *

HIDUP tetap berjalan, dunia pun terus berputar. Meskipun kini aku sudah tidak bisa merasakan cita rasa dan membau aroma, aku tetap mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan. Aku terus berdoa dan berikhtiar agar penyakit aneh yang kuderita bisa sembuh sehingga aku bisa kembali memulai aktivitas keseharianku tanpa hambatan. Namun keyakinan untuk sembuh itupun buyar ketika aku kehilangan kemampuan untuk bersuara. Siang itu saat aku sedang mengecek karyawan, aku kehilangan suara!

Dokter yang pernah memeriksaku dulu kembali terheran dengan apa yang kualami. Begitupun saat aku kembali memeriksakan diri ke Singapura, Jerman, Kanada, dan Amerika, mereka hanya menggelengkan kepala. Tak ada jawaban sama sekali akan penyakit yang kualami. Penyakit yang menghilangkan kemampuan indera pengecap, pembau, dan kemampuanku untuk menghasilkan suara. Belum cukup sampai disitu, aku hampir gila begitu mendengar keputusan tunanganku yang membatalkan rencana pernikahan. Cobaan apalagi yang harus kutanggung di pundak ini?

Aku semakin frustasi. Kehilangan kemampuan untuk bersuara membuatku malas menjalani hidup. Apa yang akan kulakukan tanpa suara? Namun iman di dalam hati selalu mengiring diri ini untuk tetap dekat kepada Rab Pencipta Segalanya. Aku tahu, ada rencana dibalik ini semua. Bukankah Dia Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya? Kecintaanku kepada-Nya benar-benar diuji dengan hilangnya sesuatu yang berharga, kemampuan bersuara.

                                                                                 *

JELANG dua bulan setelah hilangnya kemampuan bersuara, aku kehilangan kemampuan untuk mendengar! Aku benar-benar tidak dapat mendengar bunyi apapun. Hanya hening yang bernyanyi riang dalam duniaku yang kini bisu. Aku sudah tidak mau berobat kemanapun karena hasilnya akan sama saja. Sekarang aku pesimis. Aku kehilangan gairah hidup. Aku hanya mengurung diri di kamar meratapi nasib. Jika bukan karena dorongan ibu yang memberikanku semangat untuk terus menatap kedepan, aku mungkin akan terus berada di kamar selamanya. Aku harus terus bersyukur. Karena aku yakin, bahwa cintaku kepada-Nya kembali diuji.  

Harus kuakui, hilangnya kemampuan untuk mendengar sangat menghambat aktivitasku. Jika ingin melakukan komunikasi, maka komunikasi verbal akan menjadi hal yang mustahil. Satu-satunya cara adalah komunikasi non-verbal melalui tulisan ataupun bahasa isyarat. Bukankah hidup masih berjalan?
Namun bencana lagi-lagi datang. Saat aku berjalan menuju kamar ditemani oleh ibu, aku tiba-tiba terjatuh dan tidak dapat merasakan kakiku. Aku lumpuh! Tidak hanya kaki, namun tanganku juga tidak bisa kugerakkan. Sekarang aku betul-betul hanya berdiam diri di kamar. Hampa dan tanpa harapan.

Aku hampir kehilangan iman. Aku memaksa ibu untuk melakukan euthanasia saja. Aku sudah tidak kuat untuk hidup. Aku ingin mengakhirinya segera. Dalam hampa yang kurasakan, aku menangis sejadi-jadinya. Meskipun tangisanku tidak menghasilkan suara secara lahiriah, tapi batinku berteriak keras. Aku juga memang tidak dapat mendengar tangisan ibu. Namun aku tahu, beliau juga menangis sejadi-jadinya. Siapa yang tidak menangis melihat anaknya sendiri meminta untuk di-euthanasia?

Tangisan ibu membuatku mengurungkan niat. Aku sadar, euthanasia bukan jalan untuk mengkahiri ini semua. Aku kembali teringat bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hambanya melebihi batas kemampuannya. Aku percaya, aku dapat melewati semuanya. Aku percaya.

Keadaan yang seperti ini membuatku terpaksa menghabiskan banyak waktu di kamar. Aku sudah tidak bisa melakukan apapun. Untunglah aku masih bisa menggerakkan jari-jari tanganku yang lemah sehingga aku masih bisa berkomunikasi dengan ibu. Beruntung pula, karena aku masih bisa melihat, meskipun aku tahu bahwa tidak lama lagi indera penglihatanku juga akan menghilang.

Dan benar saja, tiga bulan kemudian pandanganku mulai mengabur. Lalu yang kulihat hanyalah kegelapan pekat. Sangat gelap. Aku buta! Sekarang aku menjadi orang yang betul-betul teralienasi dari lingkungan. Satu-satunya cara untuk melakukan komunikasi adalah melalui sentuhan, karena inderaku yang tersisa hanyalah indera peraba. Apakah kemampuan indera ini juga akan hilang? Entahlah. Tidak tahu merupakan satu-satunya jawaban.

                                                                                   *

EMPAT tahun berlalu sejak indera penglihatanku menghilang. Aku merasa segala nikmat dan anugerah yang diberikan Allah telah hilang bersama perginya kemampuan masing-masing indera. Tak ada lagi makanan enak dengan aroma menggoda, tak ada lagi mobil mewah, tak ada lagi permainan gitar, tak ada lagi lukisan, tak ada lagi olahraga, dan tak ada lagi aktivitas fisik lainnya. Yang ada hanyalah menghabiskan waktu di dalam pikiran.

Apakah kalian berpikir aku merasa sedih sehingga menceritakan sebuah elegi? Tidak sama sekali. Aku tidak merasa sedih. Justru Sang Hilanglah yang seharusnya bersedih dan berelegi. Dia boleh mengambil segala yang kumiliki, tapi dia tidak akan mampu merebut iman yang tertanam dalam hati ini. 

Dalam heningnya pengembaraan pikiranku, aku tersenyum memikirkan mengapa Allah memberiku ujian seperti ini. Dan di dalam keheningan pengembaraan pikiranku itu pulalah aku menemukan jawabannya.

Aku mengingat sebuah hadits qudsi, Allah berfirman;

“Dan diantara hamba-hamba-Ku yang mukmin ada sebagian yang tidak bisa baik urusan agama mereka kecuali diberi kekayaan, kelegaan, dan kesehatan badan. Lalu, Kami menguji mereka dengan kekayaan, kelegaan, dan kesehatan badan, sehingga baiklah urusan agamanya. Diantara hamba-hamba-Ku yang mukmin ada pula sebagian yang tidak bisa baik urusan agama mereka kecuali diberi kekurangan, kemiskinan, dan penyakit sehingga baiklah urusan agama mereka. Aku mengetahui dengan apa hamba-Ku yang mukmin menjadi baik dalam urusan agamanya.”

Mungkin awalnya aku termasuk hamba yang berada di golongan pertama, namun kemudian aku menjadi hamba yang berada di golongan kedua. Inilah yang aku syukuri. Aku tidak menjadi seorang hamba yang kehilangan iman meskipun aku sedang diatas awan, ataupun saat aku sedang dirundung rangkaian bencana yang tak berkesudahan. Aku puas dan aku merasa menang. Baru kali ini aku merasakan sebuah kemenangan yang begitu dahsyat. Kemenangan sejati untuk seorang pemenang sejati. Aku bersorak dalam hati.

Selain itu, kita selaku manusia selalu menghabiskan waktu dengan dunia diluar diri kita. Berinteraksi dengan lingkungan fisik dan manusia lainnya sungguh mendominasi keseluruhan aktivitas kita.

Namun pernahkah kita sempatkan diri untuk menghabiskan waktu dengan pikiran dan diri kita sendiri? Bukankah kita seharusnya seperti itu? Ya, kurasa memang seharusnya seperti itu.
                                                                                 
                                                                                  *
                                                                                                     
                                                                                               Makassar dan Sungguminasa, Juni 2013


3 komentar:

  1. bagus sih tapi klimaksnya gabikin luluh, kurang wow. tapi bagus kok, bagus. bahasanya tingkat tinggi.........keren.

    BalasHapus
  2. wah komentarnya sangat membangun... atigatou gozaimashita... menurutmu endingnya harus gimana? :D

    BalasHapus
  3. Hai andi, saya izin kopas kalimat di paragraf pertama ya buat bahan tulisan di blog pribadi, nuhun :)

    BalasHapus