Konstelasi Imajinasi

Minggu, 25 Oktober 2015

Menulis Cerpen Islami, Perhatikan Nilai-Nilainya -Catatan Dewan Juri Lomba Cerpen LISAN HIMIKA


            Seperti kebanyakan lomba-lomba cerpen lain yang menggaungkan istilah cerpen Islami, penulis yang mengirimkan karyanya dalam event LISAN oleh HIMIKA ini terjebak dalam beberapa kesalahan fatal. Jujur, ihwal ini membuat saya sedikit kesulitan menemukan cerpen-cerpen Islami yang berkualitas dalam tumpukan naskah. Saya selaku salah satu dewan juri akan memaparkan kesan sekaligus penilaian saya terhadap karya-karya yang masuk. Semoga dapat dimengerti oleh panitia dan oleh dewan juri yang lain.
            Jumlah keseluruhan naskah sebanyak 52 buah, peserta terdiri dari mahasiswa dan siswa (semuanya berasal dari kabupaten Bantaeng –mengapa?). Tidak seperti lomba cerpen lainnya, panitia LISAN secara langsung menyerahkan naskah cerpen kepada juri dengan tidak memisahkan judul cerpen dan penulis cerpen sehingga dewan juri mengetahui siapa sang empunya cerpen.  Seharusnya, panitia hanya menyerahkan cerpen anonim dengan nama penulis disimpan oleh panitia, seharusnya. Objektivitas menjadi hal yang -tentu– sulit untuk dihindari jika saja dewan juri mengenal salah satu penulis. Namun di sini, saya mencoba betul-betul objektif dengan memperhitungkan aspek-aspek penilaian dengan matang; standar teknis dari panitia, nilai yang dibawa, ide yang menarik dan antiarus kebanyakan, teknik penceritaan yang mengalir, bagus, dan tidak saling menabrak logika yang dibangun, serta hal-hal teknis seperti EYD.
            Seleksi pertama saya lakukan dengan melihat cerpen yang tidak sesuai dengan standar panitia, berupa jumlah halaman, jenis dan ukuran huruf, dan lain-lain. Selain itu, nilai-nilai yang dibawa dan berusaha diamanatkan dalam cerpen juga menjadi pertimbangan dalam seleksi ini. Semua cerpen yang tidak lulus seleksi awal disebabkan karena halaman cerpen yang ‘off side’. Selain itu, entah mungkin karena sebagian besar peserta adalah remaja SMA, tema-tema cinta dengan teknik penulisan teenlit menjadi ihwal mayoritas yang muncul dimana-mana, semuanya betul-betul penulis pemula (new beginner). Cerpen-cerpen yang mengangkat kisah tentang cinta pun terjebak dalam kasus yang mana tokoh berpacaran, atau sedang menyukai tokoh lain dan menggambarkan nilai-nilai menjalin hubungan pranikah, hal ini berarti cerpen tersebut tidak mengandung nilai keislaman yang berusaha diusung oleh panitia. Ihwal tersebut menjadi ihwal paling substansial sebab berkaitan dengan ideologi yang dipahami.
            Setelah naskah dipilah berdasarkan standar di atas, terpilihlah 29 cerpen yang kemudian akan diseleksi menjadi sepuluh besar. Cerpen-cerpen yang masuk ke dalam kategori sepuluh besar adalah cerpen dengan ide yang ‘sedikit’ tidak lazim dengan ide kebanyakan, teknik penceritaan yang sudah mulai bagus, dan penulisan teknis yang lebih teliti meski –yang namanya penulis pemula-, kesalahan-kesalahan EYD masih bertebaran di sana-sini. Dari sepuluh besar, saya lantas memilih enam cerpen yang menurut saya terbaik dalam keseluruhan naskah yang masuk.
            Cerpen dengan judul Cahaya yang Lain saya tempatkan di posisi keenam. Cerpen ini sebenarnya sederhana, namun teknik penceritaannya lumayan bagus. Saya berhasil mengalir ke dalam cerpen meski di pertengahan menjelang akhir, saya lantas ‘keluar’ sebab ‘arus’ mulai terkesan ‘aneh’ dan dipaksakan. Bercerita tentang siswa SMA bernama Dimas dan Arazee yang selalu saling sapa namun tidak saling mengenal satu sama lain. Di pertengahan cerita, Arazee menghilang sebab ia tiba-tiba buta (di sini cerita mulai kurang logis) namun akhirnya mereka tetap bisa bertemu lagi.
            Tuhan Itu Kemana, Ayah? merupakan cerpen yang menempati posisi kelima. Saya melihat amanatnya begitu dalam sebab bercerita tentang seorang anak yang harus berjuang keras bersama keluarganya agar tetap memperoleh penghidupan. Nilai-nilai kesabaran dan rasa syukur sangat kental dalam cerpen ini, hanya saja, penulis terkesan belum berhasil menyampaikan cerita dengan baik, kesan menggurui masih sangat kental, pula kesalahan-kesalahan EYD masih bertebaran dimana-mana.
            Cerpen yang ada di posisi keempat berjudul Maaf. Sangat sederhana, idenya tidak terlalu unik dan terkesan biasa saja, bahkan judulnya pun terkesan tidak menarik. Namun dibanding dengan dua cerpen sebelumnya, cerpen ini terkesan lebih matang dari segi ide, penceritaan, dan teknik penulisan. Simply but catchy. Meski begitu, kekurangan lain yang membuat cerpen ini gagal berada di posisi ketiga adalah terlalu banyaknya dialog yang sedikit mengganggu estetika isi cerpen.
            Menentukan cerpen yang berada di tiga peringkat teratas sebenarnya susah-susah gampang meskipun tidak sesusah menentukan jodoh. Ketiga cerpen yang memuncaki tangga ini bisa dibilang sangat lebih dari cerpen-cerpen yang lain. Ide sangat menarik, penceritaan yang matang, keterkaitan antarbagian, sampai ihwal teknis seperti EYD. Kekurangannya hanya perlu dipoles sedikit lagi.
            Cerpen berjudul Merindumu dari Bilik Terakhir bercerita tentang jiwa (atau ruh?) seseorang yang sejatinya akan segera menikah dengan orang yang dicintainya. Namun bencana pesawat Aviastar yang ia tumpangi menuju Makassar jatuh dan menewaskan dirinya. Ia lantas tak jadi naik ke pelaminan untuk bersanding kepada calon istri. Pernikahan tetap berlangsung, Zoya, sang calon istri bersanding dengan sahabat tokoh utama, Bora. Namun janji tokoh untuk menghadiri pernikahan dituntaskan dengan cara yang berbeda, ia datang dengan cara yang tidak biasa, bukan sebagai mempelai, bukan sebagai undangan, namun sebagai kenangan. Kekurangan dari cerpen ini adalah teknik penceritaan yang masih kurang bagus ketimbang dua cerpen kemudian, cerita yang terkesan kurang logis (seperti kenapa wasiat baru dibuat di atas pesawat sebelum kecelakaan?) dan penulisan teknis yang masih perlu diperbaiki.
            Bahtera Rohingya dalam Dekapan Samudera menjadi cerpen yang berhasil menempati peringkat kedua. Idenya sangat menarik, tentang dua orang kakak-adik bersama orang-orang etnis Rohingya yang terkatung-katung di samudera. Badai yang menerpa perahu mereka di suatu malam menjadi petaka yang membuat orang-orang –mungkin- hilang ditelan samudera. Tidak diceritakan apakah pasca badai tersebut sang tokoh utama, Kemis, berhasil selamat dari badai atau tidak, yang jelas kakaknya yang dicintai samudera meninggalkan kenangan dan pelajaran sedalam samudera itu sendiri. Kekurangan dari cerpen ini adalah cerita yang terkesan terburu-buru dan akhir yang kurang menggigit, selain itu penulis juga masih kurang teliti mengenai EYD. Kekurangan-kekurangan tersebut membuat cerpen ini gagal menerobos peringkat pertama.
            Cerpen yang menempati urutan pertama menurut saya adalah cerpen dengan judul Asy-Syifa. Cerpen ini sangat unggul dari segi ide, teknik penceritaan, ketelitian penulis terhadap kesalahan EYD, dan riset yang dalam. Semuanya betul-betul matang, setiap elemen beresonansi dan tidak meninggalkan lubang. Cerpen ini bercerita tentang sisi lain tentara zionis, seseorang yang masih memiliki hati dan sebenarnya tidak sepakat dengan perlakuan rekan dan atasannya terhadap kekerasan, pencaplokan wilayah, dan pelanggaran hak azasi atas warga Palestina. Semuanya mengalir, deskripsinya membuat saya seperti betul-betul menyaksikan penderitaan seorang Aisya dan ibundanya, kekejaman para invader dan kebimbangan Zaen, sang tokoh utama. Cerpen ini memenangkan hati saya.
            Saya kira sebagai dewan juri, banyak hal yang luput dari pengamatan saya sebagai manusia yang tentu diliputi oleh khilaf. Saya harap, tulisan ini memenangkan bahagia sekaligus keikhlasan di hati teman-teman juri lain, panitia, peserta, maupun siapa-siapa. Selamat merayakan hidup dengan tulisan.

Batara al-Isra
Jumat, 23 Oktober 2015


Catatan tambahan: Ini penilaian versi saya, belum versi juri yang lain. Saat pengumuman juara, bisa jadi pendapat saya berbeda dengan juri yang lain.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar