Konstelasi Imajinasi

Selasa, 02 Januari 2018

Kota Hijau di Apartemen Pelangi


Beberapa waktu lalu, saya sempat jalan di daerah Jakarta Pusat, biasalah pemandangan kotanya seperti apa, gedung-gedung perkantoran yang menjulang, mall, pertokoan, dan lain-lain. Lalu, mata saya melihat ada sekira delapan gedung yang berdiri berdekatan dan mencuri pandangan saya. Gedung tersebut bisa dibilang unik, sebab dibanding gedung-gedung lain di daerah tersebut yang didominasi oleh warna perak, metal, dan sejenisnya, beberapa gedung menjulang tersebut memeiliki warna-warna manis yang eye catching, serupa pelangi, ada merah muda, hijau, biru, ungu, dan lain-lain. Saya lalu berpikir, ini apa yah? Apa gedung perkantoran atau apa?

Mobil yang saya tumpangi waktu itu berjalan menjauhi sekumpilan gedung pelangi tersebut, tapi meski begitu, saya tetap tidak bisa mengalihkan pandangan ke arah gedung-gedung itu. Cantik sekali pikir saya, kali ini dari kejauhan, mereka terlihat seperti rainbow cake saking manisnya -betul saya sampai gemes haha. Saya lantas berpikir sekali lagi, apa itu yah, dan akhirnya saya menebak-nebak, oh, mungkin itu apartemen-apartemen yang saat ini sedang semarak-semaraknya dibangun.

Di kota besar seperti Jakarta, kebutuhan untuk hunian memang prioritas. Namun, sangat terbatasnya lahan membuat impian untuk memiliki rumah hanya sebatas impian. Harga tanah yang mahalnya minta ampun dan mungkin harus menghabiskan tabungan seumur hidup membuat orang berpikir dua kali untuk memiliki rumah. Orang-orang yang tinggal di ibu kota sekarang lebih senang memilih apartemen atau superblock sebagai tempat tinggal. Selain murah, fasilitas yang disediakan juga bagus, jadi wajar jika beberapa pengembang memfasilitasi permintaan tersebut.

Sejujurnya saya masih penasaran dengan superblock tersebut. Sebabnya sederhana, ya karena superblock itu kayak rainbow cake. Maksud saya begini, biasanya kan apartemen-apartemen begitu penampakannya lux mewah gimana gitu, tapi yang ini, kelihatan mewah sekaligus imut-imut rasa ingin memiliki -begitulah saya menggambarkannya. Saya lantas mencari informasi soal apartemen superblock tersebut, setelah menyusuri internet dan tanya-tanya teman, saya lalu menemukan informasi bahwa apartemen ‘pelangi' tersebut dikenal sebagai Green Pramuka City (namanya kece euy).

Green Pramuka City ini kalau saya lihat-lihat, memang eco friendly. Ada banyak pohon dan taman-tamannya cantik di ruang terbuka hijaunya yang luasnya 80% dari keseluruhan area, dan tentu dibangun dengan konsep ‘hijau' yang pengelolaan lingkungannya berkelanjutan, jadi tidak salah jika pihak pengembang menaruh embel-embel green di namanya.

Selain itu, dengan memberikan nama Pramuka jadi apartemen ini kayak milik kita semua -meskipun tidak semua orang pernah masuk anggota Pramuka- misalnya begini, kalau apartemen ini namanya terdengar ‘lain-lain' dan tidak akrab, tentu akan beda rasanya jika nama tersebut terdengar karib di telinga kita, dan saya yakin, pramuka itu kata yang semua orang tahu itu apa. Tapi pada dasarnya, saya tidak tahu pasti filosofi di balik penyematan kata pramuka ini hehe.

Nah, kalau city, yah biasalah, apartemen-apartemen superblock yang saling terintegrasi memang layaknya sebuah kota -kota dalam kota. Ada banyak orang yang tinggal di sana, dan tentu, ada banyak fasilitas penunjang. Fasilitas-fasilitas yang ada dalam apartemen superblok ‘pelangi' ini tentunya bukan abal-abal, seperti: interior yang full furnished dengan bahan-bahan ramah lingkungan (lagi-lagi konsep hijau diterapkan di sini), mall (kalau tidak salah namanya Green Pramuka Square atau GPS), jungle pond, children play ground (impian seluruh anak-anak di dunia), kolam renang (impian kita semua) dan food corner (kesenangan kita semua). Begitulah bagaimana ‘kota' ini memanjakan ‘warga’-nya.

Hal menarik main dari apartemen ini adalah lokasinya yang berada di pusat kota Jakarta (bisa diakses lewat Jakarta inner toll road). Sewaktu masih di dalam mobil tersebut (saat saya pertama kali ‘jatuh cinta' dengan apartemen ini), saya lantas berpikir, betapa menguntungkannya tinggal di sana. Jika kamu mungkin seorang yang suka kota namun juga sekaligus suka hunian yang eco friendly, mungkin punya satu atau beberapa room di sana bisa menjadi pilihan menarik. Atau jika kamu seorang yang ingin bekerja dalam kesunyian yang nyaman dan tidak terburu-buru, mungin salah satu tempat itu adalah satu ruangan di apartemen itu.

Bicara soal untung-menguntungkan, apartemen ini saya rasa bisa menjadi investasi yang menguntungkan di masa depan. Lokasinya yang strategis menjadi salah satu poin penting mengenai hal ini. Green Pramuka City yang merupakan hunian apartemen superblok ekslkusif ini terletak di pertemuab Jakarta pusat, Jakarta Utara dan Jakarta timur yang jalurnya bisa diakses lewat Jakarta inner toll road. Strategis kan?

Meski punya banyak kelehiban, nampaknya PT. Duta Paramindo Sejahtera (DPS) memasang harga yang tidak terlalu mahal untuk sebuah apartemen eksklusif dengan fasilitas penunjang oke punya dan bernilai investasi tinggi. Kisarannya, DP-nya Cuma 10 jutaan, dengan angsuran 3 juta per bulan. Harganya worth it sekali dengan kepuasan yang bisa diraih. Saya masih berpikir apartemen ini menyediakan lingkungan yang baik untuk tumbuh-kembangnya sebuah keluarga.


Selasa, 26 Desember 2017

Kahayya: Dari Kopi, Wisata, Hingga Pengakuan Orang-Orang

“Kahayya itu tempat berak sapi-sapinya orang” -anonim

Kalimat di atas pernah diucapkan oleh seseorang ketika tahu istri saya -yang kampungnya di Bulukumba- ingin sekali berkunjung ke Kahayya. Peristiwanya sudah lama, pertengahan atau akhir 2014. Waktu itu, Kahayya benar-benar dianggap sebelah mata, tereksklusi oleh masyarakat kebanyakan. Pernyataan di ataslah buktinya, pernyataan yang menurut saya pribadi betul-betul merendahkan.

Bagi beberapa orang di Sulawesi Selatan kata Kahayya mungkin masih terdengar asing. Belum banyak yang tahu, apalagi mereka yang tinggal di Kota Makassar. Orang-orang yang tahu tentang Kahayya mungkin hanyalah mereka yang senang eksis di media sosial, petualang, dan orang yang berasal dari Kabupaten Bulukumba. Kahayya adalah sebuah desa yang memang lokasinya berada di Kabupaten Bulukumba, lebih tepatnya di Kecamatan Kindang, sebuah daerah yang terletak di kaki gunung Bawakaraeng.

Kahayya berjarak sekira 180km dari Kota Makassar atau sekira 40km dari ibu kota Kabupaten Bulukumba. Bagi orang-orang yang pernah menginjakkan kakinya di tempat ini, Kahayya adalah surga tersembunyi di Sulawesi Selatan. Pemandangannya memanjakan mata siapa pun yang datang. Pegunungan, lembah, sungai, danau dan kabut berpadu menjadi sesuatu yang membuat pendatang tak sanggup memalingkan pandangan. Bukit Donggia adalah salah satu titik untuk menikmati pemandangan tersebut. Saya sendiri seperti ingin terjun, memeluk, dan bersatu dengan bentangan alam tersebut -maunya saja, sebetulnya mustahil hehehe.


Pemandangan di bukit Donggia (dokumentasi pribadi)

Selain alamnya, yang menjadi ciri khas Kahayya adalah sajian kopinya yang nikmat dan khas. Kahayya sendiri sebetulnya berasal dari kata ‘kaha’ yang dalam bahasa setempat -dan saya sangat yakin diserap dari bahasa Arab- berarti ‘kopi’. Jadi dari namanya saja, desa ini seolah menegaskan bahwa sayalah desa yang ‘kopi banget’. Sayangnya, justru kopi Kahayya ini belum terlalu dikenal luas. Selalu saja, jika berbicara tentang kopi asal Sulawesi Selatan, kopi Toraja akan selalu menjadi primadona perbincangan. Padahal kopi Kahayya memiliki cita rasa yang tidak kalah mantap. Saya memang bukan maniak kopi, jika minum kopi, saya selalu mencampurnya dengan susu atau gula. Namun, untuk menikmati kopi Kahayya, saya menandaskan secangkir penuh tanpa gula, dan saya menikmatinya.

Kopi Kahayya memang nikmat, senikmat dampak yang muncul setelah kopi ini dikenal orang kemudian. Mulanya, orang-orang di daerah Kabupaten Gowa dan sekitarnya hanya mengenal kopi Malakaji sebagai kopi yang memiliki ciri khas. 

Namun ternyata, kopi Malakaji itu pun sudah campuran, salah satu yang mewarnai keragamannya adalah kopi Kahayya. Tapi meski kopi Kahayya mulai ramai di pasar dan dikenal orang, wajah Desa Kahayya -sebelum tahun 2014- belum banyak berubah: akses jalannya yang masih pengerasan, fasilitas yang serba kekurangan tingkat pendidikan warganya, dan kepedulian ‘masyarakat luar’ terhadap masyarakat Kahayya.



Kopi organik yang banyak tumbuh di Kahayya, jenisnya pun beragam (dokumentasi pribadi)

Ada banyak LSM yang berupaya membantu desa ini agar membangun dirinya sendiri, seperti Dompet Dhuafa, Sulawesi Community Foundation, dan Program Peduli. LSM-LSM tersebut yang masuk pada 2014 ke desa itu setidaknya telah menjadi pelopor bagaimana masyarakat Kahayya yang awalnya tereksklusi kini mulai terinklusi secara sosial. Pemberdayaan yang dilakukan seperti membantu masyarakat mempromosikan kopi Kahayya lebih luas lagi, seperti ke pemerintah dan beberapa pemangku kepentingan lain ternyata membuka tabir lain bahwa ternyata Kahayya bukan hanya sekadar kopi. Ada banyak hal tersembunyi di sana, bukit Donggia yang saya sebut di atas, beberapa titik air terjun, gua belerang, dan lain-lain. Semuanya objek wisata yang potensial, maka tidak heran jika akhirnya, APBD Kabupaten Bulukumba tahun 2018 mendatang untuk sektor wisata akan dialihkan sebagian besar pada pembangunan Desa Kahayya sebagai objek wisata. Pemerintah sendiri mengakui, bahwa selama ini, pariwisata Kabupaten Bulukumba fokus pada wisata pantai. Tapi wisata gunung pun tidak kalah menarik.

Pariwisata secara tidak langsung akan membawa dampak yang menguntungkan bagi masyarakat. Akses jalan merupakan satu yang paling penting di antara semuanya. Jika kita jalan menuju Kahayya sebelum 2014 tersebut masih berupa tanah juga pengerasan dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih sejam atau dua jam, berkuda, atau bermotor (meski sangat suli), tahun ini, ketika kami (tim blogger inklusi) berkunjung ke sana, jalanannya sudah bisa dilalui oleh mobil, meski harus turun berkali-kali sebab mobil kadang tak sanggup menanjaki jalanan yang cukup terjal, juga meski aspalnya setengah-setengah, gambaran bantuan pemerintah yang awalnya melihat desa ini dengan ‘setengah-setengah’ pula. Dengan berubahnya status Desa Kahayya ini menjadi desa wisata, dalam waktu dekat pemerintah tentu akan memperbaiki jalan ke sana agar akses pelancong bisa lebih mudah. Ketika jalanan telah rampung, fasilitas-fasilitas penunjang lain tentu akan bermunculan satu per satu.

Bantuan dari beberapa LSM dan pemerintah yang disebutkan di atas tentu tidak ada artinya jika masyarajatnya sendiri yang tidak ingin berubah. Untungnya, orang-orang di Kahayya turut berpartisipasi aktif dalam program-program yang diberikan. Salah satu di antara mereka adalah Pak Marsan, seorang yang memiliki pandangan revolusioner terhadap desa tempat dia dilahirkan, ‘content creator’ dari Kahayya. Hampir semua program yang disarankan akan ditempuh caranya oleh beliau agar bisa terealisasikan. Seperti pengolahan kopi yang lebih baik, mulai dari produksi sampai distribusi. Produksi dan pengolahannya menjadi kopi bubuk dan dipak dengan kemasan yang menarik meningkatkan nilai jual kopi Kahayya sendiri. Lalu yang paling penting, beberapa petani telah betdaya untuk menyalurkan hasil panennya langsung kepada konsuman, bukan lagi melalui perantara (tengkulak), dengan begitu, keuntungan yang diperoleh petani kopi lebih banyak.

Salah satu hal paling menggebrak yang idenya berasal dari Pak Marsan bdalah pengaktifan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Sebelum itu, masyarakat masih menggunakan ‘genset’ untuk menerangi kediaman warga, itu pun pasokan listriknya sangat terbatas. Dengan mengandalkan aliran air sungai, listrik pun mengalir ke rumah-rumah mereka. Tentu banyak yang berubah setelah listrik ini masuk, selain kebiasaan sehari-hari masyarakat, produksi dan pengolahan kopi pun lebih optimal sebab mesin yang menggunakan listrik untuk memproduksi kopi akhirnya bisa dioperasikan.

Bukan hanya itu, Pak Marsan malah senang berinisiatif untuk mencari hal baru apa yang bisa dia lakukan untuk kemajuan kampungnya. Misalnya mencoba menanam bawang, membuat teh (dari daun) kopi (yang dulunya dikonsumsi oleh nenek moyang di masa kerajaan dan pendudukan Belanda),membuat kerupuk buncis, dan membantu mendirikan rumah baca dan rumah tahfiz (yang dibangun dengan batang pohon kayu manis. Semua ini dilakukan semata-mata demi kemajuan desanya. Hal-hal inovatif seperti ini diperoleh Pak Marsan dari kegemarannya membaca, juga dari pengetahuan di internet. Malah, meski di desanya jaringan saja pikir-pikir untuk ke sana, Pak Marsan rela ke kota Bulukumba untuk berselancar di Youtube, mencari informasi-informasi inovatif yang kira-kira bisa dia lakukan di Kahayya.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah, LSM, dan warga Kahayya seperti Pak Marsan adalah upaya-upaya agar masyarakat di desa tersebut tidak lagi tereksklusi oleh dunia luar di sekitarnya, tapi telah dianggap menjadi bagian dari dunia tersebut. Harapan mereka sederhana, semoga Kahayya tidak hanya sekadar tempat sapi orang-orang mengeluarkan kotoran, tapi tempat dimana orang-orang selalu ingin terus ke sana.



Suasana Desa Kahayya pagi hari. Nampak mobil akhirnya sudah bisa sampai ke tempat ini, meski butuh perjuangan berat.

Minggu, 24 Desember 2017

Kemana Yusuf dan Zulaikha Melarikan Cintanya? -Review Novel Silariang, Cinta yang (Tak) Direstui

Tega-taq mengotori desa kami dengan siriq

Silariang merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan –terutama bagi orang Bugis dan Makassar- untuk menyebutkan pasangan yang kawin lari karena tidak direstui oleh orang tua. Tidak hanya di masa lalu, praktik silariang ini masih kerap kita temukan di masa sekarang, meski tentu, telah ada ihwal yang berubah, misal, hukumannya.

Sebetulnya, ada tiga konsep berbeda yang berkaitan dengan kawin lari ini, yakni silariang itu sendiri, nilariang, dan najuluang alena. Dianggap silariang jika kedua pasangan sama-sama suka dan memutuskan untuk ‘lari’ bersama. Nilariang berarti ‘dilarikan’ atau ‘dibawa lari’, yakni istilah yang diberikan jika seorang laki-laki membawa lari seorang perempuan. Dalam kasus ini, tidak ada suka sama suka, si perempuan tidak ingin menikah dengan si lelaki, tapi akhirnya mau karena diancam, diintimidasi, bahkan mungkin ‘diculik’.  Istilah ketiga yakni najuluang alena merupakan ungkapan yang disematkan kepada seorang perempuan yang rela dirinya dibawa lari oleh seorang lelaki. Dalam kasus ini, si perempuan rela melakukan apa saja yang penting bisa membuat dirinya tetap bersama si lelaki, meski tanpa restu orang tuanya, dan meski dengan harus memaksa si lelaki jika si lelaki itu tidak mau melakukannya. Di sini bisa dilihat, bagaimana perempuan lebih agresif daripada si lelaki.

Salah satu potret silariang bisa dilihat dalam novel yang ditulis oleh Oka Aurora dengan judul Silariang  -Cinta yang (Tak) Direstui. Novel ini sebetulnya diangkat dari naskah film dengan judul yang sama yang akan segera tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Saya lebih dulu tahu mengenai filmnya melalui cerita teman dan menonton trailernya ketimbang membaca bukunya. Awalnya saya pesimis, mengingat film berjudul Silariang menuai banyak kritikan (meski juga dapat pujian), tapi saya salah, ternyata ada dua film yang muncul dengan judul yang sama. Sejujurnya, saya menganggap film ‘yang satu’ sangat lemah persoalan riset, namun di film ‘yang ini’, saya menganggap risetnya bagus dan mantap. Hal tersebut saya simpulkan setelah berdiskusi dengan salah satu pemain yang tidak lain adalah senior sekaligus guru saya (Muhary Wahyu Nurba) dan tentu juga setelah saya membaca novelnya.

Di dalam novel yang diterbitkan oleh Coconut Books dan didistribusikan oleh Bumi Semesta Media ini, saya tidak menemukan ‘cacat budaya’ dalam latar yang ditampilkan, semuanya logis. Mulai dari konsep silariang (yang sudah saya jelaskan di atas), siriq (harga diri) manusia Bugis, sampai mekanisme-mekanisme dan upaca-upacara adat yang berkaitan dengan peristiwa silariang ini, seperti konsep mangelliq dara (membeli darah), konsep bala (kesialan yang disebabkan oleh dosa), dan lain-lain. Di sini kita lihat bagaimana riset yang bagus dalam sebuah karya menghasilkan latar yang nihil ihwal cacat budaya.

Tidak hanya itu, cerita yang disajikan sangat apik dan menarik. Meski harus saya akui, di dua –tiga halaman pertama agak membosankan, tetapi setelah itu, saya tidak bisa memalingkan pikiran saya dari serunya drama percintaan antara Yusuf dan Zulaikha. Saking serunya, saya tidak merasakan bagaimana waktu mengalir cepat dan menyelesaikan novel ini hanya dalam dua kali duduk (setengah buku sekali duduk). Alurnya penuh kejutan, dan secara pribadi saya merasa, jika berada di posisi Yusuf dimana cinta terhalang adat yang ‘tidak masuk akal’, saya mungkin akan melakukan hal yang lebih masuk akal ketimbang silariang. Namun yah, begitulah Yusuf memberikan semangat kepada pembaca untuk tetap melawan demi cinta dan kebahagiaan keluarga, meski badik mengintai nyawa kita.

Dimana ada hal positif, di situ ada juga hal negatif. Tidak ada yang bisa lepas satu sama lain, sebab keduanya ibarat dua sisi mata uang. Begitu pun dengan novel ini. Ada hal mengganggu yang saya catat, yakni mengenai latar tempat dimana Yusuf silariang bersama Zulaikha.

Latar tempatnya digambarkan mengenai sebuah desa yang dikelilingi oleh perbukitan karst limestone, sungai, dan empang. Saya lalu membayangkan desa wisata Rammang-Rammang, atau daerah sekitar perbukitan karst yang membentang sepanjang Maros-Pangkep yang juga telah diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia. Bisa saja saya benar atau salah mengenai lokasi pelarian pasangan ini, namun citra yang dimunculkan ke pembaca dan penonton cuplikan filmnya –apalagi yang mengerti kondisi daerah Sulawesi Selatan- tentu akan membayangkan wilayah yang saya maksud di atas.

Keanehan yang muncul adalah, jika lokasi yang dimaksud betul-betul di daerah karst Maros-Pangkep, mengapa pelarian itu digambarkan menempuh waktu lebih dari semalam? Padahal, untuk menuju lokasi itu pun, dari Makassar hanya sekira dua jam saja. Bahkan sampai ke pelosok sekali pun, dengan menggunakan perahu, tidak akan menempuh perjalanan selama itu. Apalagi digambarkan bahwa mereka harus menggonta-ganti moda transportasi berkali-kali bahkan semalaman di perjalanan daratnya. Perlu diketahui, perjalanan darat yang ditempuh semalaman dari Makassar hanyalah untuk wilayah di daerah Sulawesi Selatan bagian utara, seperti Enrekang, Toraja, Luwu, dan sekitarnya. Lantas kemanakah sebetulnya Yusuf dan Zulaikha pergi?

Saya sendiri menebak-nebak, kalau latar tempat ini memang ada di Sulawesi Selatan (tidak dibuat-buat), maka bisa jadi tempatnya berada di daerah Toraja, Luwu, atau Enrekang. Tebakan saya bukan tanpa dasar, selain jarak tempuhnya yang lama, saya juga melihat kondisi geografis kedua kabupaten itu yang juga masih memiliki bukit-bukit karst meski tidak sepanjang Maros-Pangkep, selain itu, kehadiran tokoh Dhira yang merupakan orang Toraja memperkuat pendapat saya bahwa lokasinya berada di daerah tersebut. Hal kecil lain yang juga bisa dijadikan bukti adalah pencarian tokoh Ridwan dan anak buahnya untuk menunaikan siriq atas tercorengnya keluarga bangsawan. Pencarian itu bahkan sampai ke Bonebone dan Palopo, kedua daerah itu terletak di Luwu. Saya pun dengan pasti tidak bisa menentukan di kabupaten mana mereka menetap, ingat dibilang Toraja, tapi mayoritas penduduk desanya beragama Islam –padahal Toraja mayoritas nasrani. Saya pun tidak bisa memastikan lokasinya di Luwu, sebab tidak ada bukit karst di sana.

Latar dari lokasi pelarian Yusuf dan Zulaikha ini memang tidak disebutkan secara gamblang. Ini yang menurut saya kurang, tidak ada salahnya jika lokasi tersebut disebutkan sehingga pembaca tidak dibuat bingung dengan kelogisan cerita. Jika seperti ini, maka bisa saja kesan yang muncul adalah, penulis tidak tahu latar tempat berlangsungnya cerita, atau penulis memanfaatkan ketidak tahuan pembaca terhadap suatu daerah sehingga penulis mencampur beberapa identitas lokal yang unik (seperti karst, sungai, orang Toraja, dll) lalu mengarang sendiri latar tempat dan dibuat seolah-olah latar tersebut nyata.

Terlepas dari perdebatan lokasi Yusuf dan Zulaikha melarikan cintanya, novel ini saya rekomendasikan untuk teman-teman baca, terutama bagi mereka yang dimabuk asmara. Bukan berarti novel ini mengajarkan kalian silariang, tapi justru, ada banyak pesan-pesan moral dan kearifan yang disampaikan melalui ceritanya tanpa kita merasa didikte atau digurui.

           Lokasi syuting film Silariang, tampak di              belakang, latar perbukitan karst 

                  (Sumber: makassarbaik.com)


Minggu, 12 November 2017

Hal-Hal Keren dan Hal-Hal Mengganggu dalam Film Duka Sedalam Cinta

Ketika tahu Duka Sedalam Cinta akhirnya akan diputar di bioskop seluruh Indonesia, saya lalu buru-buru mengecek jadwal kapan film inspiratif yang diangkat dari cerpen milik Helvy Tiana Rosa ini ditayangkan di Makassar. Tapi saya kemudian heran dan menganggap sepertinya pihak studio melakukan hal yang kurang tepat, tidak ada jadwal film Duka Sedalam Cinta ditayangkan di Makassar. Saya lalu mengeceknya sekali lagi, siapa tahu saya salah lihat, tapi benar, memang ada jadwal untuk Sulawesi, tapi tak ada jadwal untuk Makassar. 

Begitu sadar apa yang saya lihat itu benar, saya merasa kecewa. Film edukatif dan inspiratif seperti ini kenapa tidak ditayangkan? Sayang sekali. Tapi ternyata bukan saya satu-satunya yang merasa kecewa, seluruh teman-teman FLP dan beberapa komunitas serta organisasi Islam di Makassar juga merasakan kekecewaan yang sama. Oleh karena itu, diinisiasi oleh lembaga dakwah Nuruttarbiyah UNM dan beberapa komunitas juga organisasi di Makassar seperti Forum Lingkar Pena cabang Makassar dan Komunitas Pencinta Film Islami, mereka bekerja sama. Pokoknya, bagaimana pun caranya, film Duka Sedalam Cinta harus ditayangkan di bioskop tempat anging mammiri ini berembus.

Setelah melobi pihak XXI, akhirnya film Duka Sedalam Cinta akan ditayangkan secara eksklusif sebanyak empat kali –lima kali jika ditambahkan dengan penayangan khusus untuk Sekolah Islam Putri Darul Istiqamah (SPIDI)- yakni hari kamis sebanyak dua kali (siang dan malam) juga hari sabtu (siang dan malam pula). Saya sendiri mengambil tiket hari kamis siang (jam pertama), saya tidak mau ketinggalan, pokoknya saya harus menjadi salah satu orang yang menyaksikan pemutaran perdana film ini di bumi Syekh Yusuf.

Saat mulai registrasi ulang, saya didahului oleh seorang ibu-ibu yang memesan 18 deret kursi untuk teman-temannya, akibatnya, saya dapat tiket duduk kedua terdepan. Seandainya saya datang lebih awal, mungkin saya bisa duduk di dua baris belakang saya. Tapi tidak masalah, bahkan jika tidak dapat kursi sekali pun, saya rela asal bisa nonton film keren ini.

Lokasi syuting di Halmahera Selatan. Sumber: secangkirfilm.wordpress.com


Setiap film memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Saya akan mendeskripsikan beberapa kelebihan dalam film ini, namun juga akan berimbang dengan menjelaskan beberapa kekurangannya. Saya akan objektif dan jujur seperti saya jujur pada diri sendiri. Sebab, kita tidak bisa bangkit dan maju jika dibuai dengan pujian tanpa kritik juga saran yang membantu. Saya memang bukan pakar perfilman, anggap saja review ini ditulis oleh penonton yang berusaha menjelaskan beberapa hal dari perspektif sendiri.

Saya akan memulai dengan menyebutkan beberapa hal keren dalam film ini. Pertama, idenya yang menarik, inspiratif dan bikin baper. Kedua, pemilihan lokasi dan teknik pengambilan gambar yang keren. Ketiga, suara latar dan original soundtrack yang syahdu lagi menggetarkan.

Pertama, ihwal ide. Tidak dipungkiri lagi bahwa ide dasar film ini diangkat dari cerpen inspiratif Helvy Tiana Rosa berjudul Ketika Mas Gagah Pergi yang juga menjadi judul film sebelum ini. Sejak masih dalam bentuk cerpen, Ketika Mas Gagah Pergi telah membuat beberapa remaja di masanya mulai menyadari dan menyelami diri sendiri untuk menjadi lebih baik dan berarti. Memang tidak bisa dipungkiri, kepiawaian Helvy Tiana Rosa dalam membuat cerita betul-betul mengangumkan. Ada ‘riak’ tak terduga yang kerap muncul di pertengahan film. Belum lagi, teknik penyusunan dari satu scene ke scene yang lain dibuat agak acak. Hal itu saya kira agar penonton mendapat sendiri sensasi ‘menebak-nebak’ seperti apa yang akan terjadi, peristiwa ini setelah peristiwa apa, dan lain-lain. Hal ini menurut saya keren, sebab beberapa film Hollywood juga menggunakan teknik serupa ini. Beberapa bagian dalam cerita pun sukses membuat beberapa penonton berkaca-kaca bahkan sampai meneteskan air mata. Memang bagi mereka yang telah terjun ke dunia dimana Mas Gagah digambarkan bergelut di dunia itu –tidak lain adalah dunia dakwah-, akan merasakan sensasi yang “Ini saya banget, dakwah memang harus berdarah-darah”. Juga bagi mereka yang baru saja berhijrah, akan merasakan betul apa yang dirasakan oleh Gita. Terlebih, bagi mereka yang pernah merasakan kehilangan, perasaan sakit dikoyak kenangan itu memang sesuatu yang membuat air mata tak bisa terbendung.

Kedua, mengenai pemilihan lokasi dan teknik pengambilan gambar yang keren. Harus diakui, film ini punya latar tempat yang luar biasa keren pakai banget. Menggali potensi alam di Halmahera, semuanya serba pantai berpasir putih, pulau, laut, dan langit. Saya seperti melihat secuil surga dalam film ini. Penonton yang lain pun pasti merasakan hal yang sama –seperti yang duduk di bangku belakang saya, setiap latarnya berganti pemandangan alam, mereka berdecak kagum. Saya sebagai penonton merasa mata saya dimanjakan dengan pemandangan alam tersebut. Apa lagi, teknik pengambilan gambarnya yang memang bagus dan profesional, menambah kesan indah pada setiap scene pemandangan yang ditampilkan.

Ketiga, perihal suara latar dan original soundtrack yang syahdu lagi menggetarkan. Mengusung beberapa penyanyi yang suaranya syahdu, soundtrack dalam film ini turut membangun atmosfer sedu sedan dalam ruang bioskop. Sebut saja lagu Rabbana, begitu film mencapai klimaks dan lagu ini diputar dengan volume yang lantang, suasana haru kemudian membanjiri bioskop. Beberapa orang sempat saya perhatikan mengeluarkan beberapa lembar tisu dari tasnya. Mereka menangis, bahkan ada yang sampai terisak. Emosi ini selain disebabkan oleh apa yang saya tulis di atas –mengenai perasaan ini saya banget, juda disebabkan oleh kekuatan lagu.

Apa yang saya tulis di atas merupakan ihwal positif dari film Duka Sedalam Cinta. Namun, tak ada mahakarya yang sempurna, serupa tak ada gading yang tak retak. Jika ada hal positif, tentu manusia tak pernah luput dari hal negatif. Sama halnya dengan film ini. Beberapa hal yang menurut saya menganggu dalam film ini seperti lakon pemain yang masih agak kaku, kesan mengkhutbah di beberapa bagian, dan akhir yang memburu.

Pertama, lakon (acting) pemain yang masih agak kaku. Di beberapa scene terlihat, lakon tokoh Mas Gagah (Hamas Syahid) masih agak kaku, sehingga kesan yang ditimbulkan kepada penonton itu kurang dapat. Hal ini mungkin saja dapat dimaklumi, karena beberapa aktor merupakan pemain baru. Namun, apa yang ditampilkan Mas Gagah agak bertolak belakang dengan yang ditampilkan oleh tokoh Gita. Aquino Umar justru berhasil melakonkan tokoh Gita dengan sangat baik –saya malah langsung ingin menjadi fans sama si Gita karena karakternya yang lucu dan dapat banget. Mungkin sebaiknya, di film-film selanjutnya, Hamas harus berlakon lebih alami dan kekakuannya sudah hilang. Hal mengganggu lain terkait keaktoran adalah, aksesoris jenggot Mas Gagah yang sangat kentara artifisialnya. Di film lain, jenggot tersebut bagusnya dibuat sedemikian rupa agar terkesan lebih profesional, produser harus betul-betul focus on each detail.

Hal mengganggu kedua adalah gamblangnya kesan mengkhutbah di beberapa bagian. Hal ini saya kira dilematis, sebab di satu sisi, kita perlu menunjukkan dakwah secara terang-terangan, namun di sisi lain, justru mengurangi esensi estetika film itu sendiri. Maka sebaiknya, dakwah di sini tidak terlalu dimunculkan serupa ‘mengkhutbah’ agar film ini tidak terkesan terlalu eksklusif bagi beberapa kelompok. Dakwah yang diselipkan dengan membawa nilai universalitas Islam justru sebetulnya lebih mudah berterima di masyarakat, sebab bahasannya tidak terjebak dalam frame bahasa agama yang sifatnya doktrin dan dogma belaka, tetapi ada unsur keumuman di mana Islam masuk ke pembahasan-pembahasan tersebut, menjadi ruh yang menggerakkan kebaikan-kebaikan lain yang hadir sebagai bentuk konsekuensi kemudian.

Ketiga, akhir yang memburu. Akhir film ini sebetulnya agak mengganggu bagi saya. Menurut saya, cukuplah scene dimana Yudi (Masaji) berdakwah di metro mini sebagai akhir yang meneduhkan dari pada narator harus menceritakan panjang lebar persitiwa jauh setelah scene tersebut. Ketimbang menjelaskan beberapa kematian dan kelahiran di akhir film ini –yang penjelasannya serupa kesimpulan yang dibaca tidak lebih lima menit, mungkin lebih bagus akhir film ini dikembangkan dan dibuat menjadi satu film lagi sehingga bisalah disebut sebagai trilogi Ketika Mas Gagah Pergi. Bisa pula ditambahkan bagaimana adik dan sahabat-sahabat Mas Gagah berjuang dalam cinta dan dakwah hingga melahirkan keturunan yang memiliki semangat yang sama.

Pada akhirnya, begitulah setiap mahakarya, selalu ada positif dan negatifnya. Saya sendiri menganggap, keseluruhan film ini sangat layak untuk ditonton bersama teman juga keluarga. Inspiratif dan memotivasi. Sayangnya, secara pribadi, saya merasa film ini tidak bersuai dengan zona waktu hidup saya. Film ini menjadi sangat lambat untuk ditayangkan, sebab, seandainya film ini ditayangkan sekira tahun 2002-an, saya mungkin akan memperoleh didikan yang bermanfaat sewaktu kecil. Selain itu, film ini menjadi sangat cepat ditayangkan sebab anak saya baru berusia dua bulan. Belum bisa diajak masuk bioskop dan penanaman nilai-nilai serupa itu masih sulit dipahami olehnya. Semoga ke depan, film-film edukatif yang mengusung ideologi tetentu dan independen ‘berdikari’ dari segala intervensi yang merusak ideologi yang dipahami mampu terus eksis di tengah film-film pragmatis.

Akhir film Duka Sedalam Cinta. Sumber: secangkirfilm.wordpress.com

Minggu, 05 November 2017

Astra, Peningkatan Kualitas Kesehatan, dan Wacana Makassar Menuju Kota Dunia

 Makassar yang kini tumbuh menjadi kota besar dengan segala tetek-bengeknya, dirancang menjadi kota yang dicanang sebagai kota dunia. Pemerintah Kota Makassar telah membuat beberapa program yang mendukung visi besar tersebut, di antaranya; konsep Makassar Tidak Rantasa’ dan konsep Makassar Smart City. Kedua konsep revolusioner ini kemudian bertemu dalam detak yang sama, yakni peningkatan kualitas kesehatan warga masyarakat.

Kualitas kesehatan ini bisa ditingkatkan dengan berbagai cara, seperti penyuluhan pola hidup sehat dan peningkatan kualitas pelayanan di bidang kesehatan. Ini merupakan ihwal penting yang jarang dimunculkan ke publik, sebab tak ada kota dunia (world city) di belahan bumi mana pun yang warganya ‘pincang’ dari segi kesehatan mulai dari pola hidup tidak sehat, hingga dari segi pelayanan dan teknologi kesehatannya

Pola hidup sehat sangat erat kaitannya dengan pencegahan berbagai macam penyakit. Hidup sehat diawali dengan lingkungan yang sehat. Makassar jauh-jauh hari penuh sampah yang berceceran di jalan-jalannya, kanalnya hitam selegam nasib orang-orangnya, juga lorong-lorong tidak tertata rapi sehingga menimbulkan kesan kumuh dan tertinggal. Namun beberapa tahun ini, citra tersebut sedikit demi sedikit mulai berubah

Makassar Tidak Rantasa’ merupakan program ‘revolusi mental’ bagi warga Makassar untuk peduli lingkungan, misalnya pembersihan dan penataan lorong, program LISA (Lihat Sampah, Ambil) dan pengadaan mobil Tangkasaki yang lebih mutakhir ketimbang truk sampah sebelumnya. Ketiga program ini cukup efektif mengubah wajah Makassar dan pola pikir warganya. Upaya-upaya ini merupakan langkah awal yang nyata agar masyarakat terhindar dari penyakit yang bisa ditularkan melalui lingkungan jorok dan kotor, seperti diare, penyakit kulit, hingga penyakit dalam yang tergolong berat.

Kurangnya kualitas pelayanan dan belum adanya teknologi kesehatan mutakhir menjadi salah satu masalah yang perlu diselesaikan agar tidak berlarut-larut. Beberapa tahun belakangan, sebagai bagian dari perjalanan kota anging mammiri ini, pemerintah kota Makassar memiliki support system untuk membenahi salah satu poin penting dalam menunjang Makassar Smart City, yakni pelayanan kesehatan yang canggih dan memadai.

Program Dottorotta’ Home Care merupakan salah satu upaya yang ‘mengawinkan’ konsep Makassar Smart City dengan upaya peningkatan pelayanan kesehatan dengan teknologi canggih dan memadai. Progam Dottorotta’ ini sebetulnya penyediaan beberapa unit mobil ‘ambulans’ canggih serbaguna dengan layanan 24 jam. Layanan in dilengkapi dengan telemedicine yang mutakhir , juga dapat dkses oleh seluruh warga Kota Makassar melalui telepon.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Makassar ini merupakan langkah-langkah riil yang menunjang perbaikan kualitas kesehatan masyarakat. Namun nampaknya, program-program ini belum cukup untuk menampung persoalan-persoalan kesehatan warga Makassar. Oleh karena itu, diharapkan beberapa stakeholder turut memberi sumbangsih riil terhadap perwujudan peningkatan kualitas kesehatan warga.
Suatu kesyukuran karena PT. Astra Internasional memiliki CSR di bidang kesehatan.

Beberapa program Astra ini telah memberikan dampak riil bagi warga Makassar dan turut membantu pemerintah kota dalam mewujudkan visi besarnya. Beberapa program CSR PT. Astra yang sesuai dengan program Pemkot tersebut misalnya Lorong Astra dan Mokesa (Mobil Kesehatan Astra)

sumber: www.mugniar.com


Lorong Astra merupakan program Astra yang serupa dengan program pemkot dalam membenahi kota yang dimulai dengan pembenahan lorong –yang sebetulnya mendominasi jenis ruang jalan di Makassar- Lorong ini sangat penting, jika seluruh lorong di Makassar dibenahi dengan baik –juga mental orang-orang yang tinggal di sana-, maka lorong bukan lagi gang-gang sempit yang sarat akan kriminalitas dan kejorokan, tetapi menjadi sebuah gang asri tempat aktivitas positif dilaksanakan. Astra sendiri telah membina lorong di Jl, Rappocini, bukan hanya dari penampilan fisiknya, tapi juga mental warga di sana. Ini mungkin hanya sebatas langkah awal bagi perbaikan lorong-lorong yang lain, atau, perusahaan lain bisa mengikuti jejak PT Astra Internasional sebagai inovator pertama yang menjadikan pembenahan lorong sebagai salah satu pelayanannya terhadap masyarakat.

Mokesa (Mobil Kesehatan Astra) merupakan program lain yang manfaatnya sudah dirasakan oleh warga masyarakat. Konsepnya tidak jauh beda dengan mobil ambulans Dottorotta’ Homecare milik Pemkot. Fasilitas yang berada dalam Mokesa pun tidak kalah canggih dengan teknologi pada Dottorotta,_, begitu pun dengan pelayanan yang diberikan. Keberadaannya sangat membantu program pemerintah kota. Inilah sumbangsih riil dari PT. Astra Internasional.

Sumber: auto2000.co.id


Sabtu, 14 Oktober 2017

Tiga Penyebab Rendahnya Minat Membaca dan Berliterasi Siswa Sekolah Dasar di Indonesia

John W Miller dan Michael C. McKenna dari Central Connecticut State University di New Britain melakukan penelitian mengenai the world’s most literate nation, negara mana saja yang tergolong ke dalam negara-negara melek literasi. Hasilnya mengejutkan, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang melek dan menjadikan literasi sebagai tren. Sebagai pembanding, tiga negara tetangga berada di atas kita; Singapura, Malaysia, Thailand. Rata-rata dalam setahun, orang Indonesia hanya menghabiskan satu buku saja untuk ditamatkan. Ini berarti, kesadaran membaca dan berliterasi di negara kita sangat rendah.

Tidak akrabnya kita dengan bacaan sejak kecil menjadi bukti bahwa masyarakat belum menjadikan membaca sebagai kebutuhan. Seandainya membaca adalah kebutuhan sebagaimana juga minum dan makan, tentu membaca telah diperkenalkan pada kita secara masif dan terencana sejak dini. Saya masih ingat bagaimana sepinya perpustakaan sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Buku-bukunya berdebu dan rak-raknya penuh sarang laba-laba. Setiap istirahat, teman-teman saya hanya bermain di luar atau belanja ke kantin. Mereka tidak pernah ada niat untuk membuka buku apalagi menyambangi perpustakaan, hampir tidak pernah siswa menginjaknya. Bahkan hingga beberapa tahun setelahnya, perpustakaan di sana masih seperti dulu: kusam dan terlupakan.

Sama dengan kondisi perpustakaan yang sepi pengunjung, buku-buku penunjang pembelajaran pun kesepian sebab jarang dibuka pemiliknya kecuali saat guru memberi tugas.  Para siswa lebih asyik bermain saat istirahat di sekolah. Begitu pulang, mereka kembali bermain. Sangat sedikit dari mereka yang menyisihkan waktu untuk membaca buku penambah wawasan khas anak-anak atau sekadar buku cerita. Begitulah, bagaimana membaca merupakan hal sederhana yang kerap dianggap remeh. Kalau pun kita tanya para siswa, mereka pasti tahu membaca itu penting, membaca itu jendela dunia, tapi rasa-rasanya, kalimat tersebut kerap jadi slogan belaka. Tertulis indah di dinding sekolah, selalu dibaca, tetapi sangat jarang diamalkan.

Saya yakin, kasus di atas bukan hanya terjadi di sekolah dasar yang telah lama saya tamatkan. Hal itu juga terjadi di hampir seluruh SD di tanah air. Apalagi sekarang, era saat teknologi serba instan dan hiburan menggempur dari segala arah, minat baca dan bertandang ke perpustakaan semakin mendekati tandas. Anak-anak SD lebih senang menggunakan aplikasi permainan dalam gawai –orang tua- mereka ketimbang menggunakannya untuk mencari konten-konten yang sifatnya bahan bacaan, entah mungkin dalam bentuk cerita bergambar atau lainnya.

Jika ditelisik lebih jauh, setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi penyebab persoalan mengapa budaya baca dan berliterasi siswa sekolah dasar di Indonesia sangat rendah. Ketiga hal dasar ini, jika ditemukan solusi yang tepat, bukan tidak mungkin minat baca masyarakat kita bisa meningkat. Ihwal tersebut yakni; dominasi budaya tutur ketimbang budaya literasi, kurangnya optimalisasi perpustakaan dan akses bacaan, serta kurangnya teladan dari orang dewasa.

Dominasi Budaya Tutur

Di negara kita, dominasi budaya tutur sangat susah digantikan dengan budaya tulis. Proses penyampaian informasi di antara masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya dilakukan melalui bahasa lisan, bukan dengan tulisan. Nenek moyang bangsa Indonesia baru mengenal budaya tulis kurang lebih 1600 tahun lalu yang ditandai dengan usia yupa prasasti tertua peninggalan Kerajaan Kutai. Itu pun masih sangat partikular karena di antara ribuan suku-bangsa, hanya orang Kutai yang baru mengenal huruf. Barulah beberapa puluh bahkan ratus tahun setelah itu, aksara-aksara menghiasi beberapa kerajaan di Nusantara. Tapi, tetap saja, bahkan sampai Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi negara, beberapa suku-bangsa sama sekali belum mengenal aksara.
Melihat fakta bahwa membaca dan berliterasi belum seutuhnya membudaya dalam masyarakat kita, maka saya yakin apa yang disebut Thomas Kuhn sebagai paradigm shift atau pergeseran paradigma perlu dilakukan.  Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan agar budaya baca-tulis mendominasi budaya tutur bisa kita contoh dari Finlandia. Di negara peringkat pertama the world’s most literate nation ini, kebiasaan membaca mulai dibangun sejak dini, bahkan sejak bayi.

Ketika orang tua baru memiliki anak, pemerintah akan memberi maternity package (paket perkembangan anak). Paket tersebut berisi keperluan bayi juga buku bacaan bagi anak dan orang tuanya. Cara ini terbukti ampuh mendekatkan bayi dengan literasi. Ketika tumbuh, anak-anak sudah tidak menganggap buku sebagai sesuatu yang asing.
Selain itu, kebiasaan mendongengkan anak dengan membacakan buku cerita diwariskan turun-temurun dalam keluarga masyarakat Finlandia. Di Indonesia, tradisi mendongeng juga telah dilakukan sejak jauh kala, namun dengan cara yang berbeda. Orang tua Indonesia berdongeng dengan cara ‘bercerita’ (tanpa melihat teks), bukan ‘membaca’. Memang, kedua cara tersebut memiliki substansi yang sama selama nilai-nilainya bisa tersampaikan, tapi, ada keuntungan lebih bila dongeng disampaikan dengan cara dibaca, yakni secara tidak langsung, anak akan akrab dengan buku bacaan, juga akan mencontoh orang tuanya untuk rajin membaca.

Hal menarik lain yang mungkin bisa dicontoh adalah adanya aturan penggunaan subtitle bahasa bagi film asing untuk anak-anak. Di beberapa negara, film dengan segmentasi pemirsa khusus anak-anak kebanyakan dialihbahasakan (dubbing) dengan harapan, anak-anak akan mudah mengerti pembicaraan dalam film. Namun di Finlandia, regulasi pemerintah mengharuskan film anak juga menggunakan subtitle layaknya film untuk remaja dan dewasa. Hal ini bertujuan agar anak sejak dini sudah terbiasa dengan kegiatan membaca, atau setidaknya terbiasa dengan teks-teks bacaan.
Kurangnya Optimalisasi Perpustakaan dan Akses Bacaan

Berdasarkan teori generasi yang dicetuskan Karl Mannheim pada 1923, para sosiolog masa kini membagi manusia menjadi beberapa generasi. Dua generasi paling mutakhir adalah generasi Z (gen Z) yang lahir pertengahan 90an hingga 2010, dan generasi Alfa (gen Alfa) yang lahir di atas tahun 2010. Anak-anak yang sedang dan akan duduk di bangku Sekolah Dasar saat ini adalah anak-anak yang lahir di rentang tahun 2005 hingga 2012 yang berarti siswa SD sekarang berasal dari generasi Z dan generasi Alfa. Oleh karena itu, untuk meningkatkan minat baca mereka, orang dewasa harus memahami pola pikir generasi mutakhir ini. Meski keduanya punya ciri khas masing-masing, gen Z dan gen Alfa punya kesamaan, yakni melek teknologi dan penuh kreativitas.

Saat ini, perpustakaan sekolah masih menjadi satu-satunya tempat siswa memperoleh bahan bacaan dalam bentuk buku. Tidak bisa dipungkiri bahwa perpustakaan sangat menentukan minat baca siswa Sekolah Dasar. Berdasarkan keputusan menteri pendidikan tanggal 11 Maret No. 0103/0/1981, perpustakaan sekolah memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar, pusat penelitian sederhana, pusat baca guna menambah ilmu pengetahuan, dan rekreasi. Fungsi-fungsi perpustakaan ini akan lebih optimal dijalankan jika guru dan orang tua mengerti pola pikir gen Z dan gen Alfa.

Seorang siswa SD kelas IV pernah bercerita bahwa dia sangat jarang ke perpustakaan karena perpustakaannya kurang menarik. Selain itu, guru juga jarang menyuruh dia dan teman-temannya untuk bertandang ke perpustakaan. Cerita ini keluar dari mulut seorang anak kecil yang masih polos dan jujur dalam berkata. Oleh karena itu, agar fungsi perpustakaan bisa dijalankan dengan baik, ihwal yang bisa dilakukan pertama adalah membuat para siswa nyaman dengan perpustakaan, misalnya mendesain perpustakaan sekreatif mungkin dan sedemikian rupa khas anak-anak sehingga siswa menyukai suasana perpustakaan. Selanjutnya, lakukan pembiasaan berkunjung ke perpustakaan dengan membuat jadwal-jadwal khusus setiap hari agar siswa merasa tiada hari tanpa tidak menginjak perpustakaan. Begitu berada di dalam, guru sebaiknya menggunakan metode pembelajaran kreatif yang melibatkan buku bacaan sebagai instrumen, seperti mengadakan ‘lomba temukan judul buku’, ‘temukan kata’, dan lain-lain.

Selain mengoptimalkan fungsi perpustakaan, ketersediaan bahan bacaan khusus anak juga perlu diperhatikan, kalau perlu, bahan bacaan tersebut ditulis oleh kalangan anak-anak sendiri. Hal itu juga mampu meningkatkan kreativitas siswa dalam bidang literasi. Memang saat ini banyak ditemukan buku bacaan khusus anak-anak dengan segala jenis dan genrenya, namun hampir semuanya ditulis oleh orang dewasa, baik cerita anak, dongeng, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Sangat jarang buku khusus anak ditulis oleh anak seusianya. Sejauh ini, baru penerbit Mizan yang memiliki bagian khusus untuk menerbitkan buku hasil karya anak-anak, yakni Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). Apa yang dilakukan penerbit Mizan sangat patut diikuti oleh penerbit-penerbit lain karena selain meningkatkan kreativitas dan semangat anak, segmentasi pasarnya pun jelas.

Senada dengan tujuan penerbit Mizan, salah satu organisasi penulis terbesar di Indonesia, Forum Lingkar Pena juga memiliki program FLP Kids, sebuah wadah untuk mengedukasi anak-anak agar mencintai dunia literasi sejak kecil. Mereka yang tergabung dalam program FLP Kids ini diajar dan dilatih agar gemar membaca dan mampu menghasilkan karya berupa tulisan di media massa atau pun buku. Apa yang juga dilakukan oleh organisasi FLP ini patut ditiru oleh komunitas-komunitas menulis di seluruh Indonesia yang sedang menjamur. Semangat inilah yang perlu terus dijaga dan dipupuk agar generasi Indonesia mendatang dipenuhi penulis-penulis produktif dengan karya-karya kreatif ala gen Z dan gen Alfa.

Kurangnya Teladan dari Orang Dewasa

Salah satu sifat kebudayaan adalah diwariskan. Proses pewarisan kebudayaan dilakukan dengan berbagai bentuk pembudayaan, salah satu yang paling efektif adalah dengan memberikan teladan kepada penerus kebudayaan tersebut. Begitu juga dengan pembudayaan literasi. Para siswa akan rajin membaca ketika mendapati guru di sekolah juga membaca. Sama halnya di rumah, jika anak sering mendapati orang tua mereka selalu membaca, maka secara tidak langsung, anak akan meniru perilaku tersebut.

Anak adalah peniru yang ulung. George Herbert Mead dalam teori pengembangan diri manusianya menjelaskan bahwa seumur hidup, manusia akan terus belajar melalui pengembangan diri yang bertahap-tahap. Dimulai dari tahap persiapan (preparatory stage), tahap meniru (play stage), tahap siap bertindak (game stage), dan tahap penerimaan norma kolektif (generalizing stage). Jika dilihat berdasarkan usia dan kecenderungannya berinteraksi, tahap meniru dan bertindak merupakan tahapan usia siswa Sekolah Dasar. Pada kedua tahap itu, proses peniruan merupakan cara anak untuk mempelajari kebudayaan masyarakatnya. Anak-anak di masa ini perlu teladan dan ditunjukkan contoh-contoh yang baik, misalnya membaca.

Ketimpangan sering terjadi ketika guru di sekolah dan orang tua di rumah selalu menyuruh anak-anaknya agar rajin membaca, padahal mereka sendiri jarang dan malas melakukan hal tersebut. Apa yang didengar oleh anak tidak sesuai dengan apa yang dia lihat. Jika guru dan orang tua hanya memberikan instruksi tanpa contoh langsung, kebanyakan siswa tidak akan mengindahkan metode seperti itu. Oleh karena itu, cara paling efektif agar membaca dan berliterasi ini betul-betul membudaya adalah dengan menjadikannya milik bersama, bukan hanya diwajibkan bagi siswa, tapi juga bagi orang dewasa. Pemberian teladan merupakan kunci perbaikan generasi mendatang agar membaca dan berliterasi betul-betul membudaya pada masyarakat.

Pada akhirnya, tiga persoalan yang menjadi penyebab rendahnya minat membaca dan berliterasi siswa sekolah dasar bisa ditemukan solusinya. Menjadikan budaya tulis lebih utama ketimbang budaya tutur dengan melakukan pergeseran paradigma, mengoptimalkan perpustakaan dan akses bacaan dengan memahami pola pikir genereasi Z dan generasi Alfa, serta pemberian teladan dari orang dewasa merupakan solusi yang sangat mungkin dilakukan agar membaca dan berliterasi dapat membudaya. Solusi-solusi tersebut perlu implementasi riil secara bertahap agar tidak ada lagi ketimpangan antara kebudayaan ideal dengan kebudayaan nyata.


Sumber: dokumentasi pribadi

Jumat, 22 September 2017

Meninggalkan Dzulhijjah: Bulan yang Penuh Hari-Hari Mulia.

Tidak terasa, tahun kembali berganti. Baru sekali saya merasakan indahnya 1 Muharram yang lalu, menakjubkannya Rajab, teduhnya Ramadhan, meriahnya Syawal, dan semaraknya Dzulhijjah. Kita mengucapkan selamat tinggal pada 1438 H dan mulai menyambut 1439 H. Lalu mungkin, tidak lama lagi, kita memasuki 1440 H, ya, kita pasti tidak akan merasakannya juga seperti bagaimana kita tidak merasakan tahun ini berlalu begitu saja.
Tahun hijriah yang diambil dari sejarah hijrahnya rasul sebetulnya dimulai pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliaulah yang berinisiatif menjadikan momen hijrah sebagai tonggak perubahan tahun. Ada hikmah yang bisa kita petik, yakni pergantian tahun (atau waktu umumnya) senantiasa semakin diarahkan pada kebaikan. Semakin bergulir waktu, semakin berpindah waktu, semakin baik pula seharusnya perangai kita. Saya pribadi pun masih merasakan susahnya istikamah (maklum masih cinta dunia,
Sedih juga rasanya meninggalkan Dzulhijjah, sebab dalam beberapa hadits sahih dijelaskan banyak sekali keutamaan bulan Dzulhijjah yang tersimpan dalam hari-harinya. Bulan ini penuh dengan hari-hari mulia yang bahkan setara dengan bulan Ramadhan. 
Pertama, kita disuguhi ‘malam yang sepuluh’. Rasulullah mengatakan, sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah ini setidaknya lebih mulia dari sepuluh malam terakhir Ramadhan -derajat kemuliannya di bawah lailatul qadr dan orang yang 'menghabiskan seluruh darinya’ di medan jihad fi sabilillah. Introspeksi juga, betapa banyak hari-hari yang terlewat begitu saja dengan dosa dan maksiat, sementara lisan kita semakin enggan memuliakan-Nya.
Kedua, kita dijamu dengan hari Arafah. Hanya orang yang tidak mengkhawatirkan akhiratnya, tidak merasa berdosa, dan masa bodoh dengan amalnya yang tidak berpuasa di hari ini. Sebab puasa di hari ini mengampuni dosa setahun lalu dan setahun mendatang. Apakah kita menyia-nyiakan sebenarnya pengampunan dengan tidak ingin menahan lapar, syahwat dan dahaga dalam beberapa jam saja? Sungguh kerugian besar.
Ketiga, kita dimanjakan dengan hari kurban atau idul adha. Di hari ini, kita mengalirkan darah karena Allah. Sungguh, Ibrahmi dan Ismail adalah sebenar-benarnya teladan, dan keteladanan itu bisa kita contohkan dengan berkurban. Tak mampu sapi, kambing cukup. Betapa banyak waktu dan harta yang diberikan kepada kita, tidakkah kita bisa menyisihkannya setahun sekali saja? 
Keempat, kita diberi kesempatan untuk berkurban dan memuliakan Allah di tiga hari tasyrik. Secara bahasa, kata tasyrik berarti mendendeng atau mengeringkan daging. Di masa lalu, jalanan-jalanan di Madinah penuh dengan daging-daging kurban yang didendeng agar lebih awet. Di hari ini, bagi orang yang belum berkurban, diberi waktu tiga hari untuk menyembelih hewan dengan penuh keikhlasan.
Setelah memahami hari-hari mulia tersebut, masihkah kita ingin menganggap remeh keutamaan-keutamaan yang tersimpan dalam bulan ini? Jika kita termasuk orang yang lalai tahun ini dalam 'menikmati' bulan ini, semoga usia kita disanggupkan dan kita semua kembali dipertemukan dengan hari-hari mulia ini tahun depan.
Selamat tinggal 1438 H, selamat datang tahun baru 1439, selamat datang kebaikan-kebaikan.

sumber: kabarmakkah.com