Konstelasi Imajinasi

Jumat, 22 September 2017

Meninggalkan Dzulhijjah: Bulan yang Penuh Hari-Hari Mulia.

Tidak terasa, tahun kembali berganti. Baru sekali saya merasakan indahnya 1 Muharram yang lalu, menakjubkannya Rajab, teduhnya Ramadhan, meriahnya Syawal, dan semaraknya Dzulhijjah. Kita mengucapkan selamat tinggal pada 1438 H dan mulai menyambut 1439 H. Lalu mungkin, tidak lama lagi, kita memasuki 1440 H, ya, kita pasti tidak akan merasakannya juga seperti bagaimana kita tidak merasakan tahun ini berlalu begitu saja.
Tahun hijriah yang diambil dari sejarah hijrahnya rasul sebetulnya dimulai pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliaulah yang berinisiatif menjadikan momen hijrah sebagai tonggak perubahan tahun. Ada hikmah yang bisa kita petik, yakni pergantian tahun (atau waktu umumnya) senantiasa semakin diarahkan pada kebaikan. Semakin bergulir waktu, semakin berpindah waktu, semakin baik pula seharusnya perangai kita. Saya pribadi pun masih merasakan susahnya istikamah (maklum masih cinta dunia,
Sedih juga rasanya meninggalkan Dzulhijjah, sebab dalam beberapa hadits sahih dijelaskan banyak sekali keutamaan bulan Dzulhijjah yang tersimpan dalam hari-harinya. Bulan ini penuh dengan hari-hari mulia yang bahkan setara dengan bulan Ramadhan. 
Pertama, kita disuguhi ‘malam yang sepuluh’. Rasulullah mengatakan, sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah ini setidaknya lebih mulia dari sepuluh malam terakhir Ramadhan -derajat kemuliannya di bawah lailatul qadr dan orang yang 'menghabiskan seluruh darinya’ di medan jihad fi sabilillah. Introspeksi juga, betapa banyak hari-hari yang terlewat begitu saja dengan dosa dan maksiat, sementara lisan kita semakin enggan memuliakan-Nya.
Kedua, kita dijamu dengan hari Arafah. Hanya orang yang tidak mengkhawatirkan akhiratnya, tidak merasa berdosa, dan masa bodoh dengan amalnya yang tidak berpuasa di hari ini. Sebab puasa di hari ini mengampuni dosa setahun lalu dan setahun mendatang. Apakah kita menyia-nyiakan sebenarnya pengampunan dengan tidak ingin menahan lapar, syahwat dan dahaga dalam beberapa jam saja? Sungguh kerugian besar.
Ketiga, kita dimanjakan dengan hari kurban atau idul adha. Di hari ini, kita mengalirkan darah karena Allah. Sungguh, Ibrahmi dan Ismail adalah sebenar-benarnya teladan, dan keteladanan itu bisa kita contohkan dengan berkurban. Tak mampu sapi, kambing cukup. Betapa banyak waktu dan harta yang diberikan kepada kita, tidakkah kita bisa menyisihkannya setahun sekali saja? 
Keempat, kita diberi kesempatan untuk berkurban dan memuliakan Allah di tiga hari tasyrik. Secara bahasa, kata tasyrik berarti mendendeng atau mengeringkan daging. Di masa lalu, jalanan-jalanan di Madinah penuh dengan daging-daging kurban yang didendeng agar lebih awet. Di hari ini, bagi orang yang belum berkurban, diberi waktu tiga hari untuk menyembelih hewan dengan penuh keikhlasan.
Setelah memahami hari-hari mulia tersebut, masihkah kita ingin menganggap remeh keutamaan-keutamaan yang tersimpan dalam bulan ini? Jika kita termasuk orang yang lalai tahun ini dalam 'menikmati' bulan ini, semoga usia kita disanggupkan dan kita semua kembali dipertemukan dengan hari-hari mulia ini tahun depan.
Selamat tinggal 1438 H, selamat datang tahun baru 1439, selamat datang kebaikan-kebaikan.

sumber: kabarmakkah.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar