Konstelasi Imajinasi

Senin, 06 Mei 2013

Es Krim Cokelat Bercerita



PERNAHKAH kita berpikir mengapa manusia diciptakan berbeda satu sama lain? Ada milyaran manusia, namun tidak ada satupun yang sama diantara kita. Tak satupun. Sebuah keajaiban genetika, yang berarti sebuah tanda betapa ajaibnya kehidupan. Setidaknya itu yang kupikirkan saat melihat jutaan wajah yang tak pernah sama. Termasuk wajah cantik di sampingku yang sedang menyantap es krim cokelat dengan lahapnya. Wajah yang sudah belasan tahun kutatap namun tak jemu jua.

Dina adalah teman semasa kecilku, kami melakukan banyak hal bersama, mulai dari bermain layangan, hingga naik sepeda. Tidak hanya di rumah, di bangku pendidikan pun kami selalu bersama. Mulai dari bangku Sekolah Dasar hingga di bangku kuliah semester delapan ini, aku dan Dina menjadi dualitas yang tak terpisahkan, duduk di kelas yang sama. 

Melakukan banyak hal bersama bukan berarti kami tidak memiliki perbedaan. Sebut saja dari segi fisik, Dina orangnya putih seperti aktris Korea dengan potongan rambut sebahu dan mata yang berbinar. Sedangkan aku memiliki kulit sawo matang, dengan rambut yang sedikit ikal dan sorotan mata yang tajam. Selain fisik, perbedaan keyakinan merupakan hal yang mendasar antara aku dan Dina. Aku seorang muslim yang taat, sedangkan Dina seorang kristian. Namun perbedaan-perbedaan itu tidak menghalangi kami untuk selalu bersama. Banyak teman yang terheran-heran dengan hal ini  seolah-olah aku tak bisa hidup tanpa Dina. Namun mereka tidak tahu, dan mungkin takkan pernah tahu, bahwa Dina satu-satunya orang yang paling mengerti diriku lebih dari siapa pun.

Aku termasuk tipe orang yang ingin mengetahui banyak hal. Sifatku yang seperti itu, membuat aku menjadi orang yang sedikit cerewet. Sewaktu kecil, Dina mungkin bosan mendengar pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang terlontar dari mulutku sambil mengemut lolipop.

“Dina, mengapa rambutku keriting seperti gulungan benang sedangkan rambutmu lurus seperti di iklan shampo? Mengapa warna kulitku seperti es krim coklat dan kulitmu seperti es krim vanila?”
“Karena memang!”. Jawab Dina simpel tapi ikutan nyeleneh. Kami pun tertawa, tertawa bahagia masa kecil.

Jujur, saat bersama Dina, aku merasa tenang dan nyaman. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Saat dia disampingku, seolah-olah aku bisa melakukan apa pun. Termasuk saat ini, aku menyukai seorang gadis. Gadis yang sudah cukup lama kukenal. Dia teman sekelasku dan aku tidak tahu harus bagaimana, apakah aku harus mengungkapkan perasaan ini atau terus memendamnya, entahlah. Namun semakin dipendam, perasaan ini kian hari kian membuncah. Bagaikan volcano yang siap mengeluarkan lava dan aliran magmanya. Atau bagaikan kue pie dalam oven yang sedang dipanggang dan siap untuk meletupkan isinya, kira-kira seperti itu. Dan lagi-lagi, Dina menjadi pendengar setia radio hatiku yang siarannya kembali menggalau.

“Din, menurutmu aku harus bagaimana? Apakah aku harus nembak Fatin atau tidak?” tanyaku dengan intonasi sedikit berbisik di taman yang rimbun dengan pepohonan ini.

“Kalau kamu suka yaah tembak, masa biar nyatakan perasaan kamu nggak bisa sih? Kamu kan laki-laki, atau lebih tepatnya pria!” Jawab Dina berusaha meyakinkan diriku sambil memetik daun dari ranting yang terjangkau oleh tangan mulusnya.

“Tapi kan kamu tahu sendiri aku belum pernah pacaran, Fatin juga orangnya berselera high class, nah aku? Ndeso begini mau mencoba menyet dengan Fatin? Ibarat gelandangan yang jatuh cinta terhadap putri.” Aku tambah galau memikirkan nasib perasaanku yang mungkin tidak akan kesampaian hanya karena faktor finansial.

“Lagi-lagi merendah, mungkin saat ini kamu belum punya apa-apa, tapi aku yakin lima tahun kedepan kamu bakalan berhasil Fauzan. Orang secerdas, se-supel. dan se-bejo kamu mana mungkin tidak berhasil!” Dina  kembali meyakinkan. Kali ini dengna nada yang sedikit tegas.

“Tapi agamaku melarang pacaran, takutnya malah mendekati zina” kataku sambil menggerakkan jari jari tangan kiriku tak tentu arah diatas tempat duduk merah yang cukup untuk kami berdua. 

“Dinaa! Sekarang kan waktunya kerja kelompok untuk persiapan presentasi materi gender besok, kamu malah asyik cerita sama Fauzan. Ayo!” Suara asing mengganggu sinyal radio hatiku ke Dina, suara cempreng itu milik teman kelasku yang memang judes, Ika.

“Sebentar lagi yah, please! Nanggung nih… Kamu duluan aja yah…” Dina memelas dengan memasang wajah imut khas wondering something.

“Ok, waktu kamu lima menit untuk curhat-curhatan bareng Fauzan” Ika pun berlalu bersama daun daun yang berjatuhan diterpa hembusan angin sepoi.

“Ehm Ok, kalau begitu jangan tembak! Mending kamu simpan perasaan kamu. Dalam Islam kan dikenal konsep Ta’aruf, yah tiga bulan sebelum nikah kamu ta’aruf-an deh sama Fatin, abis itu nikah. Begini-begini aku tahu banyak loh tentang Islam dan menurutku Islam itu agama yang sempurna. tak bercelah!” Dina nyengir. memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi meski tanpa behel.

Rese’ yah kamu, kenapa tiba-tiba bahas agama? Tapi betul juga sih, mungkin itu cara terbaik yang harus kulakukan saat ini. Waiting.” Aku tertegun mendengar jawaban Dina. Hening.  Seolah-olah aku tercerahkan. Tercerahkan tentang aturan agama oleh seseorang yang justru berada di luar garis keimananku. 

“Eem… Fauzan, bagaiman jika Tuhan berkehendak lain? Bagaimana jika ternyata nanti kamu mencintaiku dan ternyata kita ini jodoh?” Dina memecah keheningan kemudian menatapku sendu, seolah ada pengharapan dalam raut wajahnya yang begitu rindang. Damai.

“Kau adalah sahabatku, oleh karena itu aku tidak mencintaimu Aku berkata lirih, kemudian tersenyum.

I see…” Dina kembali nyengir. Angin berhembus kencang. Kulihat Dina megucek matanya yang kemasukan debu. Dina kemudian bangkit lalu pergi meninggalkan jejak daun kering yang terinjak sepatu Machbeth miliknya. 

Aku masih duduk memikirkan petuah Dina. Kata-katanya yang berlalu lalang di dalam otakku menjadi sebuah lalu lintas kognisi yang begitu padat. Tersadar, aku menuju sekretariat HMJ untuk mengambil tas ku yang tersimpan sedari siang kemudian berlalu meninggalkan kampus menuju ke suatu tempat privasi tanpa gangguan siapa pun. Kamar.

***

MALAM menjelang. Aku berniat me-review materi minggu lalu untuk persiapan kuliah besok. Namun aku terkejut. Saat menggeledah tas, aku menemukan bingkisan kado berbentuk kotak kecil dengan motif hitam putih. 

“Apa ini? Eh, maksudnya siapa yang memberiku ini? Mengapa ia tahu bahwa besok adalah peringatan hari lahirku?” Aku tersenyum keheranan, tertawa dalam hati. Saat aku membuka kertas bingkisan itu selembar demi selembar, aku menemukan sebuah jam tangan.

 “Waw, dari mana ia tahu bahwa aku sangat ingin jam tangan? Dan… Dan dari mana ia tahu bahwa aku sangat menginginkan jam tangan dengan merek dan model yang seperti ini?” Aku merasa menjadi objek stalking seseorang. Seseorang yang fans… Tidak, seorang pengagum rahasia. Sekali lagi, aku tak mampu menahan perasaan senang bercampur rasa ingin tertawa. Di kepala ku telah menari wajah-wajah orang yang kemungkinan besar merupakan secret admirer tersebut. Namun sepertinya aku menemukan titik terang. Bersama dengan jam itu, terdapat secarik kertas bertuliskan:

“Bukankah pelangi tidak akan indah jika hanya satu warna? Bukankah es krim coklat akan terasa lebih nikmat jika disantap bersama es krim vanila? Jangan pernah pikirkan perbedaan. Karena semua perbedaan ini membuat harmonisasi yang lebih indah.”

Aku yakin hadiah ini dari Fatin. Gaya tulisannya  mirip dengan gaya tulisan Fatin. Selain itu, kami memang memiliki banyak perbedaan. Aku hanya laki-laki biasa sedangkan Fatin begitu jelita, cerdas, kaya dan berselera high class. Berkali-kali aku mengirimkan sinyal ke hatinya. Termasuk saat dia berulang tahun, aku memberinya boneka Winnie the Pooh. Boneka  kesukaannya. Dan akhirnya, aku menganggap jam tangan bersama secarik kertas ini sebagai jawaban. Aku bahagia. Aku senang bukan kepalang. Sepertinya malam ini aku akan mimpi indah.

***

HAL pertama yang kulakukan saat tiba di kampus keesokan paginya adalah mencari Fatin. Saat bertemu, ada perasaaan aneh yang menjalar di dadaku. Aneh sekali. Adrenalinku semakin kencang dan….

“Fauzan, selamat ulang tahun. Ini hadiah buat kamu.” Sembari memberikan bingkisan dengan motif polkadot. Saat kugenggam aku bisa menebak bahwa isinya adalah baju.

“Terima kasih atas hadiahnya lagi Fatin.” Aku mengembangkan senyum termanisku yang pernah ada.

“Lagi? Maksudnya?” Fatin terheran

“Iya, lagi. Bukannya kemarin kamu sudah memberiku hadiah?” Aku juga terheran. 

“Eem, Fauzan… Hadiah apa? Aku tidak mengerti sama sekali. Serius!” Wajah Fatin benar-benar serius kali ini.

“Ohaha maaf, aku semalam cuma mimpi” Mendengar itu Fatin pun berlalu meninggalkanku sendiri di taman ini. Kalau hadiah itu bukan dari Fatin, berarti…

Spontan aku mencari Dina. Jika asumsi ku benar maka yang memberiku hadiah jam semalam adalah dia. Sahabat terbaik yang pernah kumiliki selama ini, Dina. Mungkinkah seorang sahabat terbaik jatuh cinta terhadap sahabatnya sendiri? Aku tak habis pikir jika selama ini Dina menyimpan perasaannya yang begitu dalam. Aku merasa bersalah, selama ini aku terus membicarakan gadis lain di depannya. Membicarakan perasaan orang lain di hadapannya. Sungguh betapa tidak pekanya aku. Sugguh betapa bodohnya aku. Mulai detik ini kuputuskan tidak akan membicarakan kisah gadis itu lagi. Hadiah kemarin menyadarkan diriku untuk membuang perasaan ini jauh. Jauh ke suatu tempat yang aku pun tidak akan tahu.

 “Fauzan! Selamat ulang tahun, ciee yang sudah tua… Ini hadiah buat kamu… Pakai yah, awas kalau tidak, hidungmu nanti aku tusuk!” Aku menemukan Dina duduk sendiri di dalam ruang kelas yang kosong.

“Hadiah lagi?” Aku salah tingkah, Wajahku memerah. Ini tidak seperti ribuan pertemuanku sebelumnya dengan dia. Ada resonansi yang berbeda. Mungkinkah dia tahu bahwa aku telah tahu perasaanya yang tersimpan rapat dalam kotak masa kecil yang dikubur dalam kenangan belasan tahun silam? Entahlah. Namun aku melihat wajahnya begitu tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
 
“Lagi? Maksudnya? Oh aku tahu, pasti kamu sudah dapat hadiah dari Fatin… Iya kan? ciee…”Dina berusaha menggodaku. 

“Eh? Maksudnya? Bukannya kamu sudah memberiku hadiah kemarin? Iya kan?” Aku terheran. 

“Kamu mimpi yah? Hadiah yang kedua kali? Mana mungkin aku mau memberimu. Satu saja sudah cukup. Lagian beberapa hari belakangan dompetku menipis. Kemarin saja kamu yang bayarkan es krim waktu di taman.” 

Mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Dina barusan, aku semakin pusing. Jika orang itu bukan Fatin dan bukan pula Dina, lalu siapa pengagum rahasia yang memasukkan bingkisan kado ke dalam tas ku kemarin? Aku es krim cokelat yang siap meleleh dilanda udara kebingungan.

***

2 komentar:

  1. apa tidak ada es krim yang bercerita lagi? es krim bawang merah, maybe? seseorang yang tiba-tiba mengaku-ngaku jika dia yang memberikan kado kepada si Fauzan? hahaks

    BalasHapus
  2. Hahananti kau mi saja es krim bawang bombay :D

    BalasHapus