Konstelasi Imajinasi

Minggu, 02 Agustus 2015

Susahnya Ramadan di Jerman



Beda ladang, beda belalang. Ramadan di Jerman tidak semeriah Ramadan di Indonesia. Semuanya biasa saja, tidak ada panggilan sahur yang membangunkan orang-orang, tidak ada doa-doa menjelang berbuka yang ditampilkan di siaran TV lokal, tidak ada petasan, tidak ada yang istimewa. Itu yang saya alami tahun ini, mengikuti sebuah summer school di Freiburg, kota bagian selatan Jerman- membuat saya –akhirnya untuk pertama kali dalam hidup- menjalankan Ramadan jauh dari tanah kelahiran.

Jika di Indonesia puasa berlangsung selama kurang lebih 14 jam, maka di Jerman, puasa bisa sampai 19 jam. Hal itu karena jika Ramadan bertepatan dengan musim panas, maka siang akan sangat panjang. Bayangkan saja, matahari sudah terbit pukul 2.30 am dan baru terbenam pukul 9.30 pm. Sebagai orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan hal seperti ini, tentu hanya niat dan semangat yang membuat saya masih bertahan puasa sampai saat ini.

Malam terlampau singkat, alokasi waktu ibadah saat matahari terbenam harus diatur sedemikian rupa. Waktu antara berbuka,makan malam, shalat tarawih, tahajjud, dan sahur betul-betul seperti dilakukan dalam satu waktu, belum lagi waktu untuk tidur. Terkadang saya menggabung waktu antara makan malam dan sahur sebab jika harus bangun lagi akan sangat sulit. Saya pernah mencobanya tapi selalu saja kesiangan. Maklum, belum terbiasa.

 Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim, Ramadan menjadi hal yang begitu asing di telinga Freiburger bahkan meski Islamische Zentrum telah mengadakan festival menyambut bulan penuh berkah ini. Karena orang-orang tidak sadar, tidak tahu, atau mungkin berprinsip EGP (Emang Gue Pikirin), warga muslim menerima banyak sekali tantangan selama Ramadan, termasuk saya dan beberapa teman lain dari Indonesia yang mencoba untuk puasa.

Suhu mempengaruhi sulitnya berpuasa di negara-negara utara. Suhu di siang hari bisa mencapai 16°C sehingga rasa haus terkadang tidak mengetuk tenggorokan. Namun konsekuensinya, lapar sekonyong-konyongnya datang begitu saja. Hal yang sebaliknya terjadi jika suhu di atas 22°C, lapar memang bisa diatur, tapi haus menjadi hal yang susah dikompromikan.  

Keadaan sosio-kultural juga berdampak pada sulitnya berpuasa di negara nonmuslim. Meski tidak sulit menemukan perempuan berhijab di kota ini, tapi tetap saja lebih banyak perempuan-perempuan yang  pintar sekali mengumbar aurat -seperti kebanyakan perempuan lain di ‘dunia barat’-. Apalagi ini summer, waktunya untuk berpakaian semini mungkin agar matahari mampu merubah kulit putih menjadi lebih cokelat secara merata. Ini adalah tantangan yang sangat sulit. Setiap hari saya harus beraktivitas di pusat kota tempat orang-orang berlalu-lalang dan hal-hal seperti itu tidak bisa saya hindari. Perempuan-perempuan berpakaian tapi telanjang ada di mana-mana. Bersyukurlah teman-teman yang berada di negara muslim sebab hal yang seperti ini lebih jarang ditemukan.

Penjual makanan juga senang hati memanggil-manggil perut dan hasrat orang-orang untuk menikmati sajian di siang hari. Roti dengan aroma semerbak khas Jerman serta gelato alias Italian ice cream selalu saja terlihat sangat menggoda bagi saya. Pun penjual doner yang merupakan imigran Turki atau Kurdi –dan tentu saja muslim- masih saja menyajikan kebab, pizza, Yufka serta makanan halal lain di sudut-sudut jalan sebagai street food andalan kota ini. Meski mereka muslim, toko harus tetap dibuka selama Ramadan sebab toh bukan hanya muslim yang gemar makanan Turkische spezialiten, bahkan siapa pun pasti jatuh cinta. Itulah sebabnya setiap melewati kebab haus, godaan terasa sangat sulit.

Hal terindah selama bulan Ramadan di Freiburg adalah saat berbuka puasa. Sebuah kepuasaan tak tergambarkan selalu saja saya rasakan setiap mengakhiri puasa. Cahaya indah sisa-sisa petang menuju senja menjadi appetizer yang luar biasa nikmatnya. Saya biasa berbuka puasa bersama teman-teman Indonesia dari program yang kami ikuti bersama di tempat tinggal dosen pendamping kami. Semuanya kompak untuk mempersiapkan ta’jil, mulai membeli bahan makanan, memasak, hingga makan berjamaah.

Selain buka bersama di Liefmanhaus, terkadang saya berbuka di pusat kota, di kebab haus bersama teman saya yang dari Jerman. Meski dia tidak puasa, tapi dia rela menunggu saya dan kami menyantap pizza bersama. Dari sini saya melihat bahwa mereka sebenarnya menghargai  orang yang berpuasa. Menarik sekali.


Saya juga terkadang menyempatkan waktu untuk berbuga di Islamische Zentrum. Di Freiburg, ada dua masjid yang menjadi Islamic Centre warga muslim untuk lebih dekat pada Sang Khalik, yakni masjid Turki dan masjid Arab. Saya sangat senang menyantap ta’jil di masjid Arab. Awalnya kita diberi tiga biji kurma saat berbuka dan segelas air minum, lalu melaksanakan salat maghrib secara berjamaah. Sehabis itu, barulah kita makanan bersama-sama: roti, kari ayam, dan salat. Kebersamaan sangat terlihat di waktu-waktu ini, saling berbagi makanan, senyum –meski bahasa yang digunakan beragam, senyum memang bahasa universal untuk mengartikan bahagia-, orang-orang yang tidak saling kenal dipersatukan dalam satu ikatan: Islam.  

-Terbit di Fajar, bagian Mukjizat Ramadan

1 komentar: