Konstelasi Imajinasi

Rabu, 04 September 2013

Entitas Gelap

MALAM ini purnama ketiga puluh enam. Aku yang duduk bersila ditengah lingkaran segel magi berusaha menangkap seluruh energi semesta yang terpancar pada tiap benda. Aku menyebutnya Orbs. Di ruangan yang gelap ini, orbs tersebut memancarkan cahaya berwarna-warni. Mereka bersinar bagaikan belasan lilin yang menerangi ruang hampa. Aku yang awalnya konsentrasi menyerap energi, kini hanyut dalam ilusi pendarannya. Pendaran  yang hanya bisa dilihat oleh mata orang tertentu saja, seperti aku. Dua belas tahun silam, aku dan saudaraku tiba-tiba mampu merasakan entitas lain yang lebih halus dari semua makhluk yang kami tahu. Entitas tersebut kami sebut Astral.

Ruang gelap ini adalah persembunyian rahasiaku selama  bertahun-tahun. Berdesain interior gothic dengan keseluruhan dinding berwarna hitam menambah kesan gelap dan suramnya tempat ini. Terdengar menyeramkan namun aku suka itu. Aku suka gelap. Dalam gelap, aku menemukan betapa indahnya cahaya yang tidak disadari oleh mereka yang diselimuti terang. Dalam gelap,aku menikmati terang dengan cara yang berbeda. Dalam gelap, aku menemukan jati diriku yang sebenarnya. Aku dirasuki oleh astral Lucifer, malaikat yang jatuh dan terusir dari surga bergelar The Fallen. Mungkin karena itulah, meskipun bernaung dalam gelap aku tetap menyukai terang. Dan mungkin aku rindu padanya.

Aku masih berusaha menyerap orbs agar Mana dalam jiwaku terisi penuh. Mana akan sangat kubutuhkan dalam pertarungan malam ini. Jika Mana dalam jiwaku kurang, maka aku akan kewalahan untuk mengendalikan astral yang menjadi sumber kekuatan. Aku tidak mau itu terjadi karena aku harus memenangkan pertarungan ini. Penderitaan ini sudah cukup. Surga yang indah  seharusnya menjadi tempatku bernaung, bukan di bumi manusia yang penuh akan derita dan kesengsaraan. Mengingat semua itu, semangatku terpancing. Aku akan mengalahkan Gabriel, malaikat yang membuangku dalam gelap pekat. 

Malam sudah hampir larut. Mana dalam tubuhku sudah terisi penuh. Aku menghentikan semediku lalu beranjak keluar dari lingkaran segel magi yang kubuat untuk melindungi diri dari entitas yang berniat menyerangku. Aku menyalakan sedikit cahaya untuk menyiapkan jubah hitam yang kugunakan saat perang.

Di depan cermin, kutemui diriku pada sosok pemuda rapuh dengan rambut hitam Emo yang dulunya hanya bisa mengeluh. Namun Lucifer telah merubah semuanya, aku kini menjelma menjadi pemuda berani yang siap menaklukkan apapun.

Puas menatap cermin, aku mengambil Dark Pulsar yang kemampuannya telah ter-upgrade ke tingkat yang lebih advance. Pedang ini terbuat dari bahan Vibranium, sebuah unsur paling kuat dan paling langka di Bumi. Ditambah lagi, pedang ini memiliki efek sihir karena mata pedangnya terbuat dari kristal yang berasal dari sumber legendaris energi sihir peradaban Atlantis. Luar biasa, aku mampu merasakan energi Dark Pulsar beresonansi dengan energi gelap tubuhku.

“Gabriel, waktumu di surga sudah habis. Saatnya untukmu belajar mencintai gelap” Aku menyeringai.

Beranjak dari tempat persembunyian, kulangkahkan kaki menuju dunia luar yang sedikit terang oleh cahaya bintang jua purnama. Angin malam yang berhembus cukup kuat, membuat dahan dan ranting pepohonan bergerak sehingga menghasilkan suara alam yang khas di telinga. Angin malam juga menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Aku akan menuju ke medan pertempuran. Medan dimana semuanya telah dijanjikan. Namun  perjalanan kesana tidaklah mudah. Berbagai rintangan harus kuhadapi. Labirin yang menyesatkan hingga serangan monster mengerikan seperti Werewolf, Vampir, dan Cerberus menjadi pemanasan sebelum berhadapan dengan Gabriel.

                                                                                 *
DISINILAH aku, berpijak diatas tanah yang dijanjikan tiga tahun lalu. Elvenpath, sebuah wilayah lapang yang dikelilingi oleh lebatnya hutan purba dengan rerumputan yang menari riang diterpa hembusan angin malam. Banyak kenangan di tempat ini. Kenangan yang terkristalisasi dalam bentuk Orbs berwarna putih.

Aku tidak menemukan sosoknya. Dimanakah dia? Seharusnya dia sudah disini sedari tadi, menantiku dengan sabar sambil mengepakkan sayap putihnya yang berkilau diterpa cahaya kuning purnama. Apakah dia sudah lupa jalan menuju ketempat ini? Ataukah dia sudah lupa akan janjinya?Tidak mungkin. Dia dirasuki astral malaikat, mustahil dia tersesat dan mustahil pula dia lupa.    

Entah sudah berapa menit waktu yang kulalui sembari mengingat semua kenangan yang telah terukir. Sesekali aku menatap purnama, aku berharap dia datang dari sana. Lama sekali pikirku. Tapi sudahlah, yang kulakukan hanya menunggu. Karena kesabaran akan menentukan segalanya.

“Maaf membuatmu menunggu, Fikar” sebuah suara datang dari arah yang tidak kuduga.

Tidak biasanya dia datang menghadap bulan. Aku berbalik kearahnya dan jelang beberapa detik kulihat tatapan matanya yang bersahabat. Mata jernih seorang malaikat.

“Akhirnya kau datang juga Zul. Atau harus kupanggil Gabriel?” Aku tersenyum melihatnya. Sosoknya tidak jauh berbeda. Dia masih senang menggunakan gamis putih dan celana kain hitam, sebuah paduan warna yang sempurna.

“Terserah kau saja, Lucifer.” Celetuk Gabriel sembari membetulkan kacamatanya.

“Baru kali ini kau datang menghadap bulan. Ada apa dengan sayapmu?” Penampilannya memang tidak berubah, namun beberapa kebiasaannya mungkin telah dia tinggalkan.

“Aku ini manusia biasa, tidak berbeda dengan dirimu Zul” Dia merendah.

“Aku tahu itu, namun tubuh kita dirasuki oleh astral 12 tahun yang lalu. Sejak saat itu kita berdua telah melalui berbagai macam pertarungan, hingga kau menghilang tiga tahun yang lalu” Aku kembali mengingatkan Gabriel akan apa yang terjadi tiga tahun lalu.

“Tentu saja aku ingat semua itu, mana mungkin aku melupakannya. Masa itu adalah masa paling indah sekaligus masa paling sulit dalam hidupku” Dia sedikit tersenyum.

“Baguslah, artinya kau juga masih mengingat janjimu.” Sekarang giliranku tersenyum.

“Temui aku di Elvenpath saat purnama ketiga puluh enam. Jika kau bisa mengalahkanku, maka aku akan mengembalikanmu ke surga. Tapi percuma saja, karena itu tidak akan terjadi!” Gabriel sesumbar seolah dia akan menang.

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi sebelum mencobanya” Aku menghunus Dark Pulsar.

“Ternyata kau masih membawa benda seperti itu” Dia mungkin terheran melihat pedangku yang level-nya telah ditingkatkan.

“Tentu saja. Kalau kau tidak ingin mati sia-sia, sebaiknya siapkan senjatamu. Aku sudah tidak sabar melihat Excalibur yang legendaris itu.” Aku memberikan peringatan terakhir padanya.

“Jangan harap aku akan mengeluarkan benda seperti itu” Perkataan ini terasa aneh buatku. Tapi siapa peduli,? Yang harus kulakukan hanya mengalahkannya dan kembali ke surga.

“Jangan menyesal Gabriel, aku akan mengirimmu kedalam gelap!” Aku memusatkan mana pada ujung Dark Pulsar. Lalu dengan sekali hentakan, sinar merah yang bercampur dengan pekatnya hitam menjadi sebuah ledakan besar layaknya ledakan bintang.

Dark Nova Blaster!” Serangan itu tepat mengenai Gabriel. Aku tersenyum puas.

Namun apa yang kulihat tidak bisa dipercaya. Sosok itu masih berdiri tangguh, tanpa luka dan goresan sedikitpun. Aku mengutuk dalam hati. Sudah sekuat apakah malaikat ini hingga serangan terkuatku tidak mempan padanya? Dia hanya tersenyum dan menahan tawa. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi.

“Sial, Dark Slashes!” Aku menyerangnya bertubi-tubi dengan sayatan berkecepatan tinggi. Namun dia berhasil menghindari seranganku. Hingga ia berhasil menangkap ujung pedangku lalu melemparnya jauh. Mustahil. Dia…

“Sudah cukup, aku berhenti!” Tatapannya tajam dan serius

“Tidak, pertarungan kita belum berakhir!” Aku berteriak tepat di depan wajahnya.

“Ini sudah berakhir, berhentilah bermain-main!” Nada bicaranya mulai meninggi.

“Aku tidak bermain-main! Aku akan mengalahkanmu dan kembali ke…”

DEBUK!
Sebuah pukulan keras dan cepat mengenai pipiku. Sangat sakit.

“Sampai kapan kau mau bertingkah layaknya anak umur delapan tahun?” Pertanyaan itu menyakiti hatiku. Lebih sakit dari pukulan yang mengenai pipiku.

“Aku hanya…”

“Hanya apa? Kau tidak ubahnya seorang anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Kenapa kau masih saja mempertahankan ilusi, fantasi, dan imajinasimu? Kau menamai semua yang ada sesuai dengan keinginan duniamu saja, Orbs, Elvenpath, Labirin, Monster, mereka semua hanya imajinasi. Tidakkah kau berpikir bahwa pedangmu itu hanya mainan? Bahwa semua jurus yang kau keluarkan itu tidak pernah bekerja? Bahwa kerasukan entitas astral seperti Lucifer dan Gabriel itu tidak pernah terjadi? Sama sekali tidak pernah dan tidak akan pernah! Berhentilah ber-fantasi!” Dia mulai menggertakku. Aku tertunduk, terdiam, dan terpaku memikirkan kata-kata Zul.

“Tiga tahun lalu, aku sengaja mengundangmu ke tempat ini untuk melihat apakah kau sudah berubah atau tidak. Ternyata sama saja. Kau masih seorang chunnibyou . Malam ini usiamu genap 20 tahun, kumohon hentikan perbuatan alay  mu ini. Berhentilah berilusi, berhentilah berfantasi dan berhentilah berimajinasi seolah apa yang kau bayangkan itu nyata. Kumohon…”

“Aku tahu semua itu! Aku tahu semua jurus itu tidak pernah bekerja dan aku tahu mereka semua tidak nyata. Aku hanya berusaha melindungi diriku dari dunia dewasa yang dingin.  Tidakkah kau pernah memikirkan itu?” Aku memotong perkataan Zul. Sekarang aku balik menggertak. Meskipun sebenarnya aku sedih. Sedih karena seseorang telah menyadarkanku juga karena aku mungkin harus meninggalkan kebiasaan lamaku.

“Sudahlah, tidak perlu sedih begitu. Aku tahu, kau mempertahankan dirimu yang seperti ini hanya karena kau tidak siap menjadi dewasa. Tapi sampai kapan? Satu hal yang  harus kau tahu bahwa ketika kau masih seorang bocah lugu maka kau akan melihat dunia hanya berwarna hitam atau putih. Saat beranjak dewasa, kau akan menyadari bahwa tidak ada yang sebenarnya hitam dan tidak ada yang sebenarnya putih. Mereka bercampur sehingga menimbulkan sebuah warna keraguan, abu-abu. Yang harus kau lakukan adalah terbebas dari keraguan itu dan memilih jalan hidupmu.”

Zul benar. Aku hanya takut menjadi dewasa. Dunia dewasa itu tidak enak. Sebuah dunia yang dipenuhi oleh wajah keraguan, kebohongan, dan kepalsuan. Namun, aku tahu hari itu akan datang. Siap tidak siap, aku harus menjalaninya. Gelap tidak akan selalu menjadi gelap, begitupun dengan terang. Terkadang ada sesuatu yang berada diantara keduanya. Dialah Sang Bayang yang selalu saja remang. Namun, aku yang memutuskan entah apakah selamanya berada dalam gelap, bersembunyi dibalik keraguan remang, atau berlari menuju terang. Namun bagiku, Zul benar-benar malaikat. Malaikat yang menyadarkan Sang Iblis agar melepas belenggu gelap.

“Kakak, ini sudah subuh. Mari kita pulang sebelum ayah dan ibu terbangun” Aku mengajak Zul berlalu dari padang rumput yang sudah gelap karena kehilangan purnama. Dia mungkin heran. Entah sudah berapa tahun aku tidak memanggilnya dengan panggilan kesayangan.

“Baiklah, tapi mulai sekarang tolong nyalakan lampu kamarmu.” Dia tertawa. Aku hanya tersenyum mendengar candanya. 

Begitulah kisah dimana iblis dikalahkan oleh malaikat. Dimana gelap hilang dan terbuang, lalu terang menuntunku pulang.

                                                                               *
                                                                              Makassar dan Sungguminasa, Agustus-September 2013

2 komentar:

  1. idenya keren. ending sudah lumayan. perlu diolah sedikit saja biar lebih 'nyes'. hehe. hanya mungkin bagian awal yang masih dalam ranah fantasinya perlu diperpadta, agak kepanjangan, saya kira, dek. ini hanya masukan. over all. cadas memang imajinasita, saudara! ;)

    BalasHapus
  2. haha okok kak Azalea, saya akn belajar lebih giat lagi... oleh karena itu jangan pernah bosan membimbing saya :)

    BalasHapus