Konstelasi Imajinasi

Minggu, 22 September 2013

Nasi Kuning Pagi Ini

AROMA lavender memenuhi ruangan yang serba putih ini. Aku berbaring di tempat tidur yang terbuat dari busa empuk dengan mata menatap keluar jendela di lantai empat sebuah bangunan yang cukup megah. Dari sini aku bisa menatap langit cerah tanpa batas bersama walet yang menari indah, bersama bulbul yang bernyanyi riang, bersama angan yang terbang jauh ke angkasa. Belum selesai kunikmati efek relaksasi yang ditimbulkan oleh kumpulan sensasi yang mewarnai hari ini, seseorang mengetuk pintu sembari membawa hidangan makan siang.
 
Di kamar ini aku layaknya seorang raja. Makanan yang selalu datang tepat waktu, kasur yang empuk,  fasilitas yang memadai, pelayanan yang memanjakan, serta pemandangan yang begitu indah membuatku nyaman, tenang, dan damai seolah aku merasa aman selamanya di sini. Namun entah sudah belasan tahun aku tidak pernah menginjak tempat ini lagi. Aku rindu tempat ini. Rumah sakit ini.
 
                                                                     *
 
TUJUH hari berlalu. Aku masih terbaring di sini, memandang keluar jendela, menatap mentari yang mulai terbit. Perlahan sinarnya mulai menyinari. Kulangkahkan kaki menuju jendela rumah sakit yang tidak begitu jauh dari tempatku merajut mimpi. Udara segar menyeruak masuk saat jendela kaca itu terbuka dan mengimpit dinding.
 
“Wah, kau sudah sehat rupanya.” sebuah suara penuh syukur keluar dari WC kamar yang tadinya tertutup.
 
“Tentu saja, tujuh hari sudah cukup bagiku untuk memulihkan diri Ibu. Jadi bisakah kita pulang hari ini?” kataku bersemangat.
 
“Kata dokter kemarin, dirimu masih harus istirahat di sini seminggu lagi.” Kata ibu sambil tersenyum.
Mendengar itu, aku hanya terdiam. Sebenarnya, perasaan nyaman yang kurasakan beberapa hari belakangan kini berganti bosan. Tujuh hari dengan hanya melakukan rutinitas yang sama dengan alur yang juga sama membuatku ingin segera keluar dari tempat ini. Aku mengira bahwa hari ini aku akan kembali. Kembali ke rumah yang mungkin sedikit kotor karena lama tak terjamah, kembali ke kamar dengan kasur dan bantal yang rindu untuk di manja. Aku kecewa. Entah pada siapa. Aku kembali ke tempat tidur, menarik selimut, lalu mengurung tubuh.

“Nasi kuning.” sebuah suara merdu membuka mataku kembali. Bukan karena yang meneriakkan suara itu adalah seorang perempuan, tapi karena dua buah kata yang diteriakkan merupakan nama sebuah makanan yang menggugah selera. Mungkin nasi kuning bisa menjadi alternatif makananku yang sebelumnya hanya bubur dan telur.
 
Aku bangun dari tempat tidur, beranjak cepat ke arah pintu, hingga ibu heran melihatku.
 
“Mba, nasi kuningnya!” Aku memanggilmu dari balik pintu.
 
“Mau pakai telur atau pakai ayam?” kamu tersenyum dan menatapku.
 
Aku terkagum. Kali ini bukan karena tampilan nasi kuningnya yang menggoda, namun wajah dan keramahan penjualnya yang tidak lain adalah kamu. Baru kutemukan seorang penjual yang memesona pandanganku. Wajah manis khas orang Sunda dengan balutan jilbab berwarna hitam, sweeter bermotif garis putih cokelat, serta training yang juga berwarna hitam menjadi paduan sempurna yang membuatmu tampil kawai di mataku.
 
“Eee… mau yang pakai telur atau yang pakai ayam?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Aku jadi kikuk.
 
“Yang pakai telur Mba.” kataku.
 
Tanganmu memberiku bungkusan nasi yang masih panas. Aku menyodorkan uang pecahan lima ribu,  kamu kembali tersenyum. Namun saat masih dalam lamunan, dirimu berlalu setelah mengucapkan terima kasih. Aku hanya memandangmu berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang mulai ramai. Langkahmu gemulai.Terlalu gemulai untuk seorang penjual nasi kuning. Aku mulai berpikir, mungkin kamulah yang menjadi alasan mengapa aku masih berada di sini.
 
                                                                     *
 
PAGI kembali datang. Pagi yang kemarin terasa muram kini kembali bersinar cerah. Dari balik tempat tidur, kunantikan suara yang sejak kemarin terngiang di telingaku.
 
“Nasi kuning.” Itu dia. Suara itu yang kutunggu. Suara merdu darimu, seorang penjual nasi kuning yang kini menghiasi pagiku.
 
“Mba, hari ini seperti yang kemarin yah…” kataku padamu.
Kamu memberiku sebungkus nasi kuning hangat berlaukkan tahu, tempe dan telur. Aku senang ternyata kamu masih mengingatku. Dan seperti yang kuduga, tampilanmu hari ini tidak terlalu berbeda dengan tampilan yang kemarin. Kecantikan alamiah muncul di balik busanamu yang begitu sederhana.
 
“Mba, sudah berapa tahun menjual nasi kuning di sini?” tanyaku berusaha membuka percakapan. Aku berharap obrolan kita pagi ini berlangsung cukup lama.
 
“Baru minggu ini. Aku orang baru.” Kamu tersenyum.
 
“Wah kebetulan, aku juga orang baru di sini. Orang baru sakit.” Aku tersenyum lebar padamu.
Kamu tertawa lalu berjalan ke arah koridor untuk menghabiskan jualan yang sepertinya masih tersisa beberapa bungkus lagi. Sejak saat itu, saat di mana mentari mulai menyinari kaki langit merupakan saat berharga yang tak terganti. Namun satu hal yang belum lengkap dan menjadi sedikit beban di hati, kamu terlalu cepat pergi.
 
                                                                       * 

TIDAK terasa lima hari telah berlalu. Penantianku di tiap pagi merupakan jawaban mengapa waktu berputar sedemikian agresif. Dirimu selalu membuatku penasaran. Penasaran akan resep apa yang kamu gunakan untuk membuat nasi kuning sederhana ini sedemikian lezat, penasaran karena ingin tahu kepribadian dan keseharianmu lebih dalam,  serta penasaran karena di setiap kesempatan, dirimu langsung berlalu setelah menjawab sebuah kalimat yang terlontar untuk sekadar akrab.
 
“Mba, tinggal di mana?” Pagi ini aku kembali membuka percakapan.
 
“Tidak jauh dari sini, kira-kira dua kilometer dari arah timur rumah sakit.” kamu menjawab dan tersenyum manis.
 
Lalu seperti pada empat pertemuan sebelumnya, setelah tersenyum kamu langsung melangkah pergi. 

Aku tidak mengerti apa yang ada dipikiranmu. Apakah kamu berusaha menjauh dariku? Entahlah.
 
Aku kembali memandang pundakmu yang semakin jauh. Ingin rasanya aku memangggil dan membuatmu kembali ke sini. Aku ingin menahanmu lebih lama lagi hanya untuk sekadar bercerita dan mengakrabkan diri. Namun aku tak berani. Lelaki macam apa aku ini? Meskipun aku juga mengerti bahwa kamu ingin menghabiskan jualanmu sebelum nasi hangatnya berubah dingin.
 
                                                                            *
 
PAGI kembali datang. Aku kembali mendengar teriakan lembut yang familiar.
 
“Nasi kuning” suaramu terdengar semakin dekat. Aku duduk berdiam diatas tempat tidur dengan kaki yang bersilangan.
 
“Nasi kuning!” teriakmu tepat di depan pintu kamarku. Aku melihat bayangan dirimu dari balik pintu kaca yang buram itu.
 
Aku berbalik ke arah jendela dan jelang beberapa detik kulirik kembali pintu kaca itu, aku masih mendapati dirimu menunggu. Mungkin karena dirimu tidak mendengar sepatah katapun keluar dari mulutku.
 
“Nasi kuning.” kamu kembali berteriak. Aku bisa melihat dari pintu kaca buram itu, kau menatapku dengan tatapan pengharapan. Berharap aku menemuimu, lalu membeli sebungkus nasi kuning telur kesukaanku.
 
“Maaf, pagi ini sepertinya aku tidak ingin makan nasi kuning.” Aku berteriak dari dalam kamar. Apa yang barusan kukatakan? Kata-kata itu keluar begitu saja. Dan kulihat dirimu berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
 
Aku menyesal mengikuti saran ibu. Beliau yang menyuruhku untuk tidak terlalu keseringan makan nasi kuning karena khawatir jangan sampai penyakitku kambuh lagi. Aku mengikuti saran beliau hari ini dan aku menyesal. Semoga esok kamu masih datang. Karena aku rindu nasi kuningmu. Tidak, sebenarnya aku rindu dirimu.
 
                                                                        *
 
LAMA kutunggu namun hari ini aku tak mendengar suaramu. Mungkinkah kamu kecewa? Sepertinya tidak mungkin. Dirimu tidak mungkin kecewa hanya karena seorang pembeli yang dalam lima hari terakhir terus membeli jualanmu dan di hari keenam tiba-tiba ia bertingkah sebaliknya. Aku yakin, ada lebih banyak pembeli yang akan menghabiskan nasi kuningmu di tiap pagi. Itu dia, mungkin saja jualanmu pagi ini sudah habis. Baiklah, aku sudah tidak berharap lagi.
 
Aku merapikan barang-barangku karena sesuai janji dokter, aku akan pulang di hari ketujuh yang jatuh tepat pada hari ini. Aku sebenarnya sedih, karena mungkin saja kita akan susah untuk bertemu kembali. Dan jujur, aku masih memikirkan kejadian kemarin.
 
“Nasi kuning.” sebuah suara lembut membuatku tersentak dari lamunan.
Aku berbalik kearah pintu kaca yang pagi ini terbuka lebar lalu kudapati dirimu tersenyum manis sembari mengangkat sebuah kantongan hitam kecil.
 
Aku menujumu.
 
Kau menyerahkan kantongan hitam itu. Namun aku terkejut karena isinya merupakan nasi kuning yang tertata rapi dalam sebuah wadah plastik berwarna putih.
 
“Nasi kuning ini khusus kubuatkan untukmu.” Kamu kembali tersenyum lalu berbalik arah dan mencoba untuk meninggalkanku.
 
“Tunggu sebentar! Maukah kamu sedikit lebih lama di sini? Ada banyak hal yang ingin kubagi denganmu.” Akhirnya aku mengutarakan kalimat itu.
 
Langkahmu terhenti. Kamu kembali berbalik padaku lalu heran mematung. Mata kita bertemu. Saling membaca, saling berbicara.
 
“Seharusnya kamu mengucapkan kalimat itu di hari pertama kita bertemu.” Aku melihat senyum manis terkembang di wajahmu.
 
Lalu kamu menujuku.
 
                                                                           *

Cerpen diatas pernah dimuat di harian Berita Pagi edisi Ahad, 8 Oktober 2013 :)

8 komentar:

  1. Nasi Kuning Pagi Ini. Romantis sekali, Bapak. Karena membaca cerpenmu, tiba-tiba saya menjadi lapar. Tanggung jawab kau! Huh.

    BalasHapus
  2. Kerenmu, Dek! Keren ini tulisan..........

    BalasHapus
  3. Arigataou gozaimashita Azalea-senpai :D Saya banyak belajar dari tulisan-tulisan kalian (Kita, kak Jum, kak Isma, Nunu, n Bang Benny) hehe :D

    BalasHapus
  4. Arigataou gozaimashita Azalea-senpai :D Saya banyak belajar dari tulisan-tulisan kalian (Kita, kak Jum, kak Isma, Nunu, n Bang Benny) hehe :D

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus