Konstelasi Imajinasi

Kamis, 02 April 2015

Sebelum Mencari Surga di Luar Jauh, Cari Dulu di Rumahmu –Sebuah Deskripsi dan Review Film “Ada Surga di Rumahmu”




“Mother, I am always close to you
I will be waving every time you leave
Oh, I am you
The care, the love, the memories
We are the story of one.” –Nightwish

            Otak saya secara spontan membuka folder musik dan memutar lagu berjudul Our Decades in the Sun milik Nightwish  saat mata saya menatap film berjudul Ada Surga di Rumahmu, sebuah film bergenre drama keluarga yang disutradari oleh Aditya Gumay dengan quote Surga itu begitu dekat. Tapi, mengapa kita sibuk mengejar yang jauh?
            Pagi saat mall belum buka, saya dan sembilan anggota keluarga Forum Lingkar Pena -cabang Makassar- sudah berhasil membuat satpam bertanya heran, “mau kemana, Pak?”  Untungnya kami berhasil menuju studio XXI tempat pemutaran perdana film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama tersebut. Kami bukanlah maniak film, tapi berhubung adanya undangan sebagai bagian dari promosi film untuk hadir saat pemutaran perdana, kami tidak menyia-nyiakan kesempatan. Film ini tidak membuat kami mengeluarkan sepeserpun rupiah, bayarannya berupa review yang -teman-teman sedang baca ini-.
         Film dimulai dengan kalimat tahlil dan gesekan roda ranjang pasien pada lantai di sebuah rumah sakit. Nampak terbaring seorang ibu yang sedang dilarikan ke ruang UGD. Setelah itu, scene berpindah ke tepian sungai Musi yang dipenuhi rumah-rumah bertaman eceng gondok di tahun 2004, nampak seorang anak –Ramadhan kecil- meneteskan air mata saat berceramah tentang kasih Uwais al-Qarni –sahabat Rasulullah- pada ibunya yang renta. Mulai dari sini, saya sadar bahwa filmnya beralur mundur.
            Nyatanya laku Ramadahan kecil tak sejalan dengan tutur, ia ternyata pemalas, nakal dan tidak penurut pada orang tuanya. Sampai suatu waktu ia dikirim ke pesantren milik ustaz Athar (ustaz Ahmad al-Habsyi), Umi-nya (Elma Theana) sangat sedih melepas kepergian Ramadhan, pula dengan Abuya-nya (Budi Khairul) yang mengantar  anak keduanya itu untuk memperoleh pendidikan agama yang baik sesuai harapan mereka.
         Hidup di pesantren –jauh dari orang tua dan mandiri- membuat kenakalan Ramadhan berkurang, ia lantas mengembangkan kemampuan berceramahnya meskipun awalnya ia dan dua rekannya –yang satu kurus berkacamata dan yang satu gemuk hobi makan- terkadang melanggar peraturan pesantren, tapi begitu beranjak dewasa dan menjadi ustaz, Ramadhan (Husein Alatas) dan dua rekannya tersebut membantu ustaz Athar mengelola pesantren.
            Perahu memang tenang berdiam di tepian Musi, tapi bukan itu tujuan perahu tersebut dibuat. Perahu yang kuat adalah perahu yang berhasil ke tepian seberang saat angin dan arus menerpa. Begitu pula dengan manusia, diciptakan tidak untuk dibiarkan begitu saja. Ujian dan godaan adalah sesuatu yang mutlak, dan hanya orang kuat yang berhasil sampai ke tepian bernama ‘kelulusan’. Di pertengahan film, Ramadhan diberi godaan. Ia berada di berbagai persimpangan. Persimpangan pertama, Ramadhan berniat merubah haluan hidupnya menjadi aktor film laga begitu menerima tawaran dari salah seorang kru film. Jika ia terpilih saat casting, ia akan jadi artis dan menetap di Jakarta seperti yang ia impikan sejak kecil. Tinggalkan kehidupan pesantren yang telah ia bangun bertahun-tahun, tinggalkan kakak, adik, Umi, dan Abuya.
        Tanpa pamit pada keluarga dan usatz Athar, ia dan dua sahabatnya mencoba peruntungan dengan ke Jakarta untuk ikut casting. Mungkin ini yang disebut dengan jalan Tuhan, halangan datang tanpa restu orang tua. Casting untuk film laga diundur tiga hari sehingga mereka bertiga harus tinggal di masjid. Sampai suatu malam, Ramadhan terbangun karena mendengar tangisan seorang yatim-piatu di dalam masjid yang berharap agar kedua orang tuanya hidup kembali. Sadar telah melakukan kesalahan, Ramadhan membawa dirinya pulang di hari yang seharusnya ia menunjukkan aksinya bersilat di depan sutradara.
            Ramadhan juga disambut oleh persimpangan perasaan. Ia –sepertinya- memiliki hati dengan Kirana (Zee Zee Shahab), seorang artis film asal Palembang berhati mulia dan dermawan, sedangkan di satu sisi ia juga memiliki perasaan dengan teman sepermainannya sejak kecil yang sangat sayang pada keluarga Ramadhan, Nayla (Nina Septiani). Ini bukan pilihan asal, sebab kedua perempuan tersebut juga mencintai Ramadhan.  Meskipun hingga akhir film tidak juga dikisahkan di dermaga siapa hati Ramadhan akan menghunjam sauh, tapi beberapa tanda mengisyaratkan kemungkinan Ramadhan akan memilih Nayla.
          Ujian lain yang dihadapi Ramadhan adalah terungkapnya kebenaran saat ustaz Athar yang telah sakit-sakitan sejak lama berada di pelabuhan maut, beliau menyampaikan bahwa, Abuya Ramadhan-lah yang mendonorkan ginjalnya beberapa tahun lalu sebab beliau menderita gagal ginjal dengan bayaran mendidik Ramadhan hingga menjadi ustaz berhati mulia. Mendengar itu, Ramadhan bercita-cita untuk senantiasa membaktikan hidupnya untuk pendidikan agama, dan orang tuanya.
        Ujian, ujian, dan ujian, belum hilang duka Ramadhan sepeninggal ustaz Athar, Umi-nya mengacaukan sebuah pesta di rumah Kirana saat penyakitnya kambuh –dan Ramadhan mendapat perlakuan tidak sopan dari ibu kirana-. Umi Ramadhan yang segera dilarikan ke UGD mengalami  kesalahan saraf di kepala hingga kehilangan kemampuan untuk berbicara. Sampai di sini, saya sadar bahwa alur cerita telah maju kembali.
         Di akhir film, Ramadhan mengucap syukur pada penguasa Musi dan alam semesta, sebab Ramadhan pada akhirnya bisa tampil di televisi –seperti artis- dengan berceramah, sebuah cita-cita yang berasal dari doa kedua orang tuanya dan orang-orang yang sayang pada Ramadhan.
            Film ini termasuk film yang mengangkat tema religi. Banyaknya motif-motif religi di film ini tidak lepas dari novel aslinya yang merupakan terbitan Mizan dan memang diangkat dari kisah nyata ustaz Ahmad al-Habsyi itu sendiri. Tapi meskipun bertema religi, ada banyak nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi. Toh bukankah kebudayaan manapun mengharuskan seorang anak untuk berbakti pada orang tuanya?
            Secara teknis, film ini juga berusaha mengekspos salah satu keindahan alam Indonesia, yakni sungai Musi. Dari awal hingga akhir film, sungai ini menjadi setting utama adegan-adegan menarik. Tidak ketinggalan, isu-isu sosial masyarakat Indonesia juga berhasil diangkat tanpa adanya sesuatu yang bersifat ‘dipaksa-paksakan’, seperti kenakalan Ramadhan kecil yang tidak dibuat senakal mungkin unuk menciptakan efek dramatis dan insaf di akhir film. Lagu daerah –dan sesekali dangdut- yang diputar di beberapa scene juga mencerminkan betapa orang-orang di Palembang masih mencintai musik khas tanah air.
           Penceritaan adegan demi adegan berjalan harmonis, antara lucu sampai penonton tertawa, sedih sampai penonton meneterskan air mata –ini terjadi pada penonton di sebelah saya, sebut saja Mawar-, so sweet, keren, hingga membanggakan. Sebuah kombinasi menarik untuk dinikmati dan mempermainkan emosi.
          Hanya saja, seperti pada kebanyakan film-film lain yang diangkat dari sebuah novel, -meskipun saya belum baca bukunya-  saya yakin ada banyak adegan yang tidak diceritakan lengkap sehingga terkesan melompat dan tidak sesuai dengan logika cerita. Selain itu, ketidak konsistenan tokoh Nayla menjadi celah tersendiri dalam film ini. Ia awalnya tokoh yang menjaga batas-batas antara laki-laki dan perempuan, namun entah mungkin karena terbawa arus perasaan –seperti inkonsistensi pada kebanyakan perempuan-, batas-batas itu mulai kabur. Ia mau saja berboncengan dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan pergi menikmati senja berdua di tepian Musi. Bukankah ini sama saja mengajarkan hal-hal yang kurang berkenan jika ditinjau dari sudut pandang Islam? Pantaskah seorang pendakwah melakukan itu? 
        Celah lain yang mungkin kebanyakan dari kita tidak memperhatikan adalah 'bocornya' film saat Ramadhan kecil sibuk membaca komik Naruto. Sepintas seperti tak ada yang salah, tapi jika teman-teman adalah pembaca komik dan maniak Naruto seperti saya, kalian akan menemukan bahwa komik Naruto yang dibaca Ramadhan kecil adalah komik volume 59 yang baru terbit awal tahun 2014 silam sedangkan setting film mengambil tahun 2004. Jadinya bocor kan? Sedikit saran, sutradara seharusnya lebih jeli melihat hal-hal kecil seperti ini, sebab penontonnya bisa jadi berasal dari berbagai kalangan, termasuk pencinta anime.
            Pada akhirnya, Film ini mengajarkan kita sesuatu yang mungkin telah hilang dari manusia di generasi kita. Kita sibuk menghabiskan waktu dengan menjadi aktivis yang berdiri di danger line demi kepentingan masyarakat, ceramah di sana-sini, sedekah ke orang miskin, menulis kisah atau puisi tentang kebaikan saling mengasihi, berdakwah sampai ke pelosok negeri dengan harapan surga mampu diraih, tapi pernahkah kita menyibukkan diri dengan orang tua kita, terutama ibu?  Pernahkah kita berdiri di garis terdepan saat ibu sedang meminta bantuan? Pernahkah kita menulis sesuatu tentang dia sebagai persembahan terima kasih karena telah lahir? Kita masih sibuk mengejar surga di luar jendela sampai-sampai lupa bahwa surga sebenarnya ada di dalam rumah kita sendiri. Sebelum kita terpaksa mencari surga yang jauh, rawatlah surga itu sepenuh hati selagi beliau masih di sini.


    Ini anak-anak FLP -Makassar- yang bergaya seolah artis filmnya :3

4 komentar:

  1. Saya sudah nonton film ini kemarin. Tapi nggak ngeh juga soal komik Naruto itu. Pas baca postingan ini, ngangguk2... Ohhh iya juga sih :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah! :3 tapi itu hanya sebagian kecil saja dari film yang keren ini hehe

      Hapus
  2. jadi sekarang nama aku mawar. okkeh. besok-besok asoka. ahahaha. bdw, keren reviem ta, nak! cuma, agak mengganggu itu kata "merubah" di atas. ^^v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih keren review ta, Ma! (Mawar) :D mengganggu yang mana kak? merubah yang mana? :3

      Hapus