Konstelasi Imajinasi

Kamis, 06 Juni 2013

Unlovely December

 HARI ini adalah hari pertama PMB Universitas Hasanuddin.Nampak Dina dan Ryan berlari menuju Baruga A.P Pettarani tempat PMB dimulai. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 wita.
“Sial, kita telat sejam” gumam Dina.
Saat mereka tiba, baruga riuh dengan tepuk tangan 5.000 mahasiswa baru dengan kostum khas putih-hitam. Mereka berdua berdecak kagum.Baruga yang super luas itu penuh. Saking penuhnya, mereka terpaksa duduk di tangga. Konsekuensi sebuah keterlambatan.
Rantepao, Toraja Utara merupakan tempat dimana Dina dan Ryan dibesarkan. Mereka bersahabat sejak kecil. Maklum, rumah Dina bersebelahan dengan rumah Ryan. Dari dulu mereka sepertinya tidak dapat dipisahkan. Mereka TK sama-sama, SD sama-sama, SMP sama-sama, SMA sama-sama, bahkan di UNHAS mereka masuk di jurusan yang sama, Antropologi. Saat SNMPTN, Dina dan Ryan memang memilih Antropologi pada pilihan pertama karena mereka tertarik mengkaji budaya yang ada di daerah asal mereka, Toraja Utara.
Walaupun banyak hal yang telah mereka lalui bersama, bukan berarti mereka sama dalam segala hal. Sebut saja kepribadian, Dina merupakan orang yang periang dan ceplas-ceplos dalam berbicara. Sedangkan Ryan adalah orang yang cool dan bicara seperlunya.
Soal fisik, Dina mirip orang Korea. Kulitnya putih bersih terawat dengan wajah yang manis dan potongan rambut pendek. Manis sekali. Berbeda dengan Dina yang mirip orang Korea, Ryan berwajahToraja tulen dengan rahang yang besar. Kulitnya coklat dengan potongan rambut super pendek khas mahasiswa baru, 2cm. Walaupun begitu, wajah Ryan bisadikategorikan tampan.
Perbedaan yang paling mencolok diantara mereka ada pada soal keyakinan. Ryan adalah seorang Muslim sedangkan Dina merupakan seorang Kristen Protestan.Walaupun Ryan merupakan seorang muallaf mengikuti ibunya, namun ia berusaha menjadi muslim yang taat. Begitu pula dengan Dina. Dalam konteks berbeda, Dina merupakan seorang Kristiani yang taat pula.
Pak Fiyan, ayah Ryan adalah seorang pemilik sawah. Saat masih SD dulu, Dina dan Ryan sering bermain di sawah milik Pak Fiyan.Hobi mereka bergelut dengan lumpur sawah. Meski begitu, pak Fiyan tidak pernah marah. Malah terkadang beliau ikut bermain bersama mereka berdua. Katanya, berani kotor itu baik Pak Fiyan adalah contoh ayah idaman. Meskipun istri dan anak satu-satunya berbeda keyakinan dengannya, namun beliau tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Akumulasi dari hal-hal itulah yang membuat Ryan sangat bangga terhadap ayahnya! Sekaligus sangat sayang.
PLAKK! Sebuah buku menghantam wajah Ryan dan melebur lamunan panjangnya.
“Woooiii…! Dilarang melamun!” teriak Dina tepat di depan lubang telinga Ryan. Ryan hanya tersenyum. Sepertinya dia akan menikmati masa-masa nya sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa Antropologi.
*

HARI ini hujan turun dengan derasnya. Ryan yang sedang berada di kelas hanya melihat keluar jendela. Tidak fokus. Tadi pagi ia dihubungi oleh sang ibu bahwa Ayahnya meninggal dunia. Sebuah pukulan teramat sakit yang menghantam dadanya. Ia menyandarkan kepalanya di jendela, berharap hujan jangan berhenti. Please,  jangan berhenti.
Saat malam menjelang,  Ryan dan Dina bergegaskeToraja Utara menggunakan Bus. Hujan belum berhenti menemani hati Ryan yang sedih.Selama perjalanan, Ryan hanya melamun dan lagi-lagi menyandarkan kepalanya di jendela bus menatap tiap tetes rinai yang terhambur. Dina yang duduk disampingnya juga ikut bersedih. “Tahukah kau? Saat kau bersedih, aku pun sedih.” Gumam Dina dalam hati.
Keesokan paginya, Dina dan Ryan telah tiba di kampung halaman tercinta. Tongkonan yang berbaris menyambut kedatangan mereka berdua. Ryan menangis sejadi-jadinya begitu melihat wajah ayahnya yang sudah tak bernyawa. Dina ikut menangis.
Ayah Ryan memang seorang Kristiani, namun beliau beserta keluarga besar fam Kendek masih menganut kepercayaan para leluhur Toraja yakni Aluk Todolo, sehingga jenazah Pak Fiyan belum bisa dikuburkan sebelum diadakan upacara Rambu Solo.
“Ryan, om dan keluarga besar Kendek sepakat bahwa kami akan mengadakan Rambu Solo pertengahan Desember nanti. Ibumu juga setuju akan hal itu.”Kata Om Victor kepada Ryan.
“Kenapa harus bulan Desember om? Bukankah biasanya dilakukan di pertengahan tahun?”Tanya Ryan heran.
“Biasanya memang seperti itu, tapi mulai tahun ini tidak lagi, upacara Rambu Solo dipindahkan keakhir tahun untuk kepentingan pariwisata! Saat Lovely December
Deg-deg! Sesuatu yang keras menghantam hati Ryan. Sebagai mahasiswa Antropologi, Ryan tahu dampak yang akan ditimbulkan jika Rambu Solo dipindahkan kebulan Desember. Fatal!
*
JELANG sehari sebelum berangkat kembali ke Toraja menyaksikan Rambu Solo ayahnya, Ryan, Dina, dan beberapa teman sekelasnya duduk menikmati secangkir kopi dan teh hangat di kantin kampus. 
 “Ini pasti bakalan seru!” gumam Dina bersemangat.
Di tengah canda-tawa dan riuh sorak sorai temannya yang bersemangat, Ryan tetap duduk termenung.
“Semangat dong… Sebentar lagi kan pulang kampung hehe” bujukDina
“Aku nggak ikut!” dengan tatapan tajam Ryan mengeluarkan statement mengejutkan.
“Ha? Maksudmu?Kau nggak mau ikut?” Tanya Dina.
“Tidak!”tegas Ryan.
“Kenapa Ryan? Kau tahu? Akhir-akhir ini kau aneh! Sangat aneh! Dan  sekarang kau membuat sensasi dengan tidak mau hadir di upacara Rambu Solo yang merupakan upacara pemakaman ayahmu sendiri? Apa yang akan dikatakan orang-orang dikampung nanti? Kau mau di cap sebagai anak yang tidak berbakti?” Kali ini Dina benar-benar kesal dengan kelakuan Ryan yang menurutnya keterlaluan.
“Atau, mungkin karena kau seorang muslim sehingga kau tidak suka jika ayahmu dimakamkan berdasarkan ajaran Aluk Todolo? Ibumu saja yang muslim datang kenapa kau tidak? Aku kecewa Ryan, Aku kecewa!” Dina sedikit berkaca.
“Ini bukan soal keyakinan Dina. Tidak masalah jika ayahku dimakamkan berdasarkan ajaran Aluk Todolo. Itu karena dia memang masih menganut kepercayaan itu dan aku adalah seorang muslim. Namun yang menjadi masalah adalah ketika upacara Rambu Solo yang  seharusnya berjalan khidmat dan sakral tiba-tiba berubah menjadi ajang pariwisata dimana para pelancong foto bersama, bersorak, bahkan tertawa. Dimana letak kepekaan kalian? Bayangkan saat pemakaman ayah kalian dijadikan ajang komersialisasi pariwisata. Itu yang tidak bisa kuterima!” Seluruh kantin yang dipenuhi teman-teman Ryan hening.
“Kalau kalian pernah membaca Etnografi Toraja, kalian tidak akan menemukan upacara Rambu Solo yang diadakan di akhir tahun. Pasti di pertengahan tahun.  Kenapa? Karena dipertengahan tahunlah panen padi dilakukan,  sehingga keuntungan hasil panen pulalah yang akan digunakan sebagai sumber dana utama untuk melaksanakan Rambu Solo. Kalau Rambu Solo dilakukan di akhir tahun, berarti padi masih sangat kecil-kecilnya. Dana yang  digunakan darimana? Utang!” Tegas Ryan meyakinkan teman-temannya.
“Asal kalian tahu, keluarga besarku sibuk mencari pinjaman sana-sini untuk menutupi dana Rambu Solo. Kalau beginikan rakyat juga yang susah. Apanya yang Lovely December? Program itu hanya merupakan sebuah bentuk mutilasi dan kanibalisme budaya!” kali ini Ryan mulai kesal.
“Maksudnya mutilasi dan kanibalisme?” Dina begitu ingin tahu.
“Mutilasi, karena pemerintah seenaknya ‘memotong’ Rambu Solo yang seharusnya diadakan di pertengahan tahun dipindahkan keakhir tahun. Kanibalisme, karena tujuan dari Lovely December adalah mencari keuntungan ekonomi pada sektor pariwisata. Bayangkan, ketika sebuah budaya di komersilkan. Tidakkah kalian berpikir bahwa Lovely December sebenarnya merusak budaya asli Toraja?”Kali ini teman-teman Ryan tertunduk.
“Tapi kan itu mendatangkan keuntungan bagi pemerintah, jadi kenapa tidak?” Tomo, salah seorang teman Ryan masih belum paham.
“Kita selalu mendengar isu dilarang merusak lingkungan demi  kepentingan ekonomi. Lantas bolehkah kita merusak sebuah kebudayaan demi kepentingan ekonomi? Ini bukan soal uang teman, ini bukan soal uang!tatapan Ryan kembali tajam.
Cakrawala pemikiran teman-teman Ryan kembali terbuka.
“Benar juga.” pikir mereka dalam hati. Dina tersenyum bangga dengan alasan Ryan.
What an Unlovely December…
*
Catatan kecil:
Bagi kalian yang sudah membaca cerpen “Es Krim Vanila Bercerita” atau “Es Krim Coklat Bercerita”, maka kalian pasti berpikir ada beberapa kesamaan motif dari cerita diatas. Baiklah aku mengaku, sebenarnya cerpen diatas merupakan versi awal dari kedua cerpen ‘Es Krim’ yang kubuat. Hehe :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar