Konstelasi Imajinasi

Rabu, 21 Januari 2015

Seperti Kamboja yang Sedang Kautatap

Sumber: boemisayekti.files.wordpress.com


Nak, akan kuceritakan padamu kisah cinta yang tidak akan kau temukan pada siapa pun di generasimu

SEORANG perempuan paruh baya terjatuh saat hendak menaiki tangga sebuah rumah panggung. Perempuan itu tak sanggup bangkit, dadanya teramat sakit. Ia teriak, namun tenggorokannya seolah tercekik.
Aminah yang kala itu sedang menyapu halaman, bergegas menuju ke arah ibunya yang sedang tergeletak tak berdaya. Segera ia menopang tubuh perempuan itu ke kamar lalu dibaringkannya di sebuah ranjang berkelambu.
Napasnya masih terengah, keringat mengucur dari jidatnya yang keriput. Aminah duduk di samping ibunya yang sedang berusaha memejamkan mata. Tangannya menggenggam erat tangan ibu yang dicintainya.
Begitu sang ibu tertidur, Aminah segera menuntaskan pekerjaannya yang tertunda. Angin yang bertiup kencang menerbangkan dedaunan yang menguning di ujung ranting pepohonan. Terlihat bulir air menetes dari mata Aminah. Kejadian beberapa menit lalu masih terbayang di benaknya.
Dari jalan setapak desa, terlihat dua orang pemuda memperhatikan Aminah yang sedang menyapu halaman rumahnya. Jelang sesaat, kedua orang itu berlalu. Aminah tetap melanjutkan pekerjaannya hingga tak ada lagi dedaunan yang menumpuk.
Keesokan harinya, semua kembali seperti biasa. Memang semenjak Sang ayah meninggal, Aminah lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia tak ingin Sang ibu yang menderita sakit parah menyusul ayahnya begitu cepat. Jadi atas kesadaran dan baktinya pada orang tua, ia lah yang mengurus kebutuhan sehari-hari mereka. Mulai dari bekerja di kebun orang, menyelesaikan pekerjaan rumah, hingga merawat sang ibu yang menghabiskan waktunya di pembaringan.

*

AWAN menutupi desa pagi itu saat Aminah sedang berada di kali untuk sekadar membersihkan diri dan mencuci. Ia tak sendiri, seorang gadis desa yang sebaya dengannya menemani Aminah bak seekor anak itik. Mereka mandi dan bermain air. Tapi sadar akan lokasi kali yang selalu dilalui oleh orang-orang desa, mereka tetap menggenakan sarung sebagai penutup tubuh. Dan benar saja, dari atas jembatan kayu yang menggantung indah di atas kali, nampak dua orang pemuda memperhatikan mereka.
“Sepertinya ada orang yang mengikutimu.” Fatimah berbisik pada Aminah seraya menunjuk ke arah jembatan.
Aminah langsung mengalihkan pandangannya ke arah jembatan kayu yang bergoyang itu, tapi kedua pemuda tadi sudah tak disana.  Dan bagai angin lalu, Aminah mengabaikan kejadian itu. Kini ia mulai mencuci pakaian yang dibawanya dari rumah pagi ini.
“Mengingat usiamu yang sekarang, pernahkah kau berpikir untuk menikah?” Tetiba saja Fatimah melontarkan pertanyaan yang membuat Aminah tertawa.
“Belum ada yang cocok. Mungkin suatu hari akan ada yang pas di hati.” Aminah kini tersenyum pada Fatimah sembari mengucek pakaian yang kali ini adalah pakaian ibunya.
“Bagaimana dengan Umar? Bukankah dia begitu menyukaimu. Lagian kalian berdua terlihat cocok untuk membangun sebuah keluarga yang purna.” Fatimah menggoda Aminah dengan alisnya yang naik turun.  
“Tidak Fatimah, dia sudah seperti sahabat bagiku.” Aminah tersenyum.
“Kalau Rafli? Bukankah sedari dulu kau dimabuk kepayang oleh sosoknya?” Mendengar pertanyaan itu, Aminah menghela napas panjang, kemudian menatap sahabat karibnya.
“Kau tahu lah, ia tidak sepadan denganku. Ia seorang tuan tanah, sedangkan aku hanya seorang buruh petik, mana mungkin ia jatuh cinta padaku.” Aminah terlihat lesu.
“Ada banyak cara cinta mempertemukan seseorang. Tanpa memandang apa dan siapa, tetiba cinta telah bersarang di hati dua insan. Yah, kita tidak pernah tahu bagaimana cinta memainkan perannya.” Tutur Fatimah sambil tersenyum seolah memberi semangat.
Tak ada pembicaran lagi sehabis itu. Mereka berdua diam. Yang terdengar hanya bunyi pakaian yang sedang dikucek, bunyi kayu jembatan yang berdecit, bunyi ranting dan daun yang diterpa angin, serta bunyi riak-riak air yang mengalir dan menghantam bebatuan besar di sepanjang kali.

*

DUA orang pemuda memandang lekat sosok Aminah dari balik pepohonan. Dengan keranjang di pundaknya, Aminah nampak sibuk memetik kopi Robusta yang siap panen.
“Sampai kapan kalian akan mengikutiku? Tunjukkan saja diri kalian.” Ucap Aminah dengan santainya sambil meraih buah kopi dengan jemarinya yang mulus.
“Ini aku.” Seorang pemuda menampakkan diri dari balik pohon.
“Kupikir aku telah menjadi sasaran tindak kejahatan, ternyata kau Umar.” Aminah nampak lega, sebab sosok mencurigakan selama ini hanyalah pemuda desa yang merupakan teman semasa kecil Aminah. “Aku tahu masih ada satu lagi yang selalu mengikutiku. Tunjukkan dirimu!” Aminah mengeraskan suaranya.
Mendengar suara Aminah yang seolah menggerebek pelaku kriminal, sosok itu muncul dari lebatnya pepohonan kopi. Aminah terperanjat dan nampak tak percaya akan siapa yang berdiri di hadapannya.
Rafli?
“Maaf Aminah. Aku hanya ingin tahu kehidupanmu lebih dalam. Itulah mengapa tiap hari, aku mengikutimu kemana saja. Aku mengajak Umar sebab tidak ada yang lebih tahu dirimu selain sahabat masa kecilmu.” Rafli mengutarakan kalimat yang menunjukkan bahwa ia begitu penasaran dengan sosok Aminah.
“Maksudnya?” Aminah seolah tak tahu, padahal hatinya tersipu malu. Ia tak menyangka seorang Rafli menaruh perhatian lebih padanya.
“Empat tahun lalu, saat pertama kali aku menginjakkan kaki di desa ini dan menjadi seorang tuan tanah, kau satu-satunya sosok yang mengalihkan duniaku. Bukan hanya fisikmu yang laksmi, tapi ketulusan hati dan keluhuran pekertimu membuat siapa saja pasti jatuh hati. Termasuk aku Aminah.” Pemuda itu mengungkapkan perasaannya ke Aminah.
“Sejujurnya aku pun merasakan hal serupa. Namun jika kau memang mencintaiku, datanglah ke rumah untuk membicarakan hal yang lebih serius.” Aminah tertunduk. Ia malu setengah mati.
Mendengar perkataan dan laku Aminah yang mengisyaratkan sebuah penerimaan, Rafli lompat kegirangan. Jawaban Aminah tidak meleset dari tebakannya. Ia sudah mempersiapkan semuanya. Bekal untuk sebuah perjalanan panjang antara ia dan Aminah.

*

SELURUH desa riuh begitu pernikahan seorang tuan tanah dengan seorang buruh pemetik kopi diumumkan. Tetangga dan sanak famili sudah berkumpul di rumah Aminah untuk membantu kelancaran acara tersebut, pun janur kuning telah terpasang di depan rumah. Jantung Aminah berdebar menanti momen bahagia yang akan berlangsung empat hari kemudian. Ia tidak habis pikir, kisah cintanya bagaikan dongeng pernikahan antara rakyat jelata dan seorang pangeran.
Namun di tengah suka cita Aminah, penyakit ibunya kembali datang. Tetiba ia tak sadarkan diri saat asyik bercengkerama di dapur bersama keluarga yang lain. Seisi rumah panik. Tak terkecuali Aminah, ia berharap Sang ibu kembali membuka matanya.
Seorang mantri berkata bahwa perempuan yang melahirkan Aminah itu hanya butuh dirawat dengan baik. Mendengar perkataan mantri tadi, muncul keraguan di hati Aminah. Kini ia dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit.
Apakah ia harus melanjutkan pernikahannya dengan Rafli? Sebab jika demikian, maka ia harus melakukan kewajibannya sebagai istri. Dan, tentu saja kasih terhadap ibunya akan terbagi. Atau apakah ia harus membatalkan pernikahan itu demi merawat Sang ibu dengan sepenuh hati? Aminah dilema setengah mati. Satu-satunya cara adalah meminta pertimbangan Sang calon suami.
“Ibu adalah orang terpenting dalam hidupmu. Rawatlah ia dengan setulus hatimu. Soal pernikahan bisa kita tunda dan diselenggarakan di lain waktu. Tenang saja, aku akan setia menunggumu sampai kapan pun.” Jawaban calon suami tercinta membuat hati Aminah tersentuh. Betapa beruntungnya ia mendapatkan lelaki seperti Rafli.
“Tapi, apa itu tidak masalah buatmu?” Aminah meminta keyakinan dari hati Rafli sekali lagi.
Tidak masalah, karena aku mencintaimu.”  

*

HARI itu, mereka menunda pernikahan tersebut. Dan kau tahu apa yang terjadi? Takdir berkata lain. Semuanya tak seindah kisah pernikahan dalam dongeng yang selalu kubacakan padamu sebelum tidur saat kau kecil dulu, Nak.
Bisa kau lihat dari tiga makam yang ada di depan matamu saat ini. Ketiga makam itu saling berdampingan.  Yang paling kiri adalah makam calon kakekmu, Rafli, yang di tengah adalah makam nenekmu, dan yang paling kanan adalah makam kakekmu, Umar.
Beberapa bulan setelah ditundanya pernikahan itu, Rafli kecelakaan saat hendak ke kebun untuk melihat patok tanahnya. Ia terpeleset dan terjatuh di lereng bukit. Kepalanya terbentur bebatuan yang membuatnya cedera kepala berat dan tak tertolong lagi. Nenekmu yang mendengar berita itu terpuruk dalam kesedihan mendalam. Seseorang yang seharusnya sudah menjadi suaminya kini tinggal kenangan.
Belum juga hilang duka yang nenekmu derita, nenek buyutmu meninggal di tahun yang sama. Jelang dua bulan setelah meninggalnya Rafli. Sejak hari itu, tak ada lagi senyum indah dari wajah nenekmu yang ayu.
Kau bertanya tentang kakekmu? Baiklah, Umar bisa menjadi kakekmu sebab nenekmu menerima lamarannya delapan tahun kemudian. Waktu yang cukup lama bagi sebuah penantian cinta yang berawal dari persahabatan.
Dan, kakekmu pantas memperoleh imbalan yang setimpal. Hati nenekmu. Yah, meskipun kakekmu tahu hati yang nenekmu berikan hanyalah serpihan kecil dari hati yang telah dimiliki oleh Rafli, kakekmu tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Baginya, selama itu adalah cinta, itu sudah cukup.
Nak, sebelum kita meninggalkan pemakaman ini, tidakkah kau perhatikan kamboja yang tumbuh di antara makam Rafli dan nenekmu? Beberapa orang bilang tumbuhan itu laiknya dinding pembatas antara Rafli dan nenekmu. Sebuah tanda bahwa cinta mereka tidak akan pernah bersatu. Mungkin itu benar, tapi ibumu ini punya pendapat lain.
Perhatikan akar kamboja itu, tidakkah kau lihat dari mana ia berasal? Ya, dari dalam kuburan Rafli dan nenekmu. Akarnya yang menghunjam tanah adalah sebuah media penyalur cinta di antara mereka. Cinta yang tersalur melalui akar, batang dan jaringan tumbuhan itu menghasilkan bunga berkelopak putih yang bermekaran di tiap ujung ranting kamboja tersebut.
Indah bukan? Tentu saja. Cinta mereka yang kembali bersemi di alam sana menjelma bunga di dunia fana. Bunga yang mekar dari sebuah keabadian.

(Pare - Makassar, Januari-Maret 2014)


***


Kisah Cerpen 

Cerpen ini diangkat dari kisah nyata dari kakek-nenek seorang teman yang tinggal di Sumatera. Waktu itu, awal Januari 2014 saya berada di kampung Inggris Pare dan punya teman di suatu tempat kursus, saat senggang ia menceritakan kisah cinta (sejati) neneknya yang (masih) mencintai calon suaminya. Sewaktu ia cerita, entah kenapa saya berpikir "Gila! Mungkin di generasi kita sudah tidak ada lagi kisah cinta seperti ini." Jadilah saya abadikan dalam cerpen di atas dengan perubahan di sana-sini, yah namanya kan fiksi hehehe tapi substansinya tidak berubah dan beberapa 'motif' cerita tetap sama, misalnya 'dua orang yang akan menikah lalu gagal karena si perempuan memilih untuk merawat orang tua' dan 'di pemakaman muncul pohon kamboja di antara makam mereka'. That's it! Amazing right?

Cerpen ini dimuat di majalah fakultas 'Saksi' looh :D hehehe (terus?). Nah, sekadar refleksi dan berbagi perasaan, saya ingin menanyakan pertanyaan sederhana, masih adakah cinta sejati seperti kisah di atas? Atau mungkin sudah punah? Maybe.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar